Tulisan ini dibuat sebagai jawaban dari berbagai reaksi terhadap refleksi mengenai korupsi yang dilemparkan sebuah milis Kristen.
------
Date: Tue, 02 Sep 2003
Subject: Peranan Gereja Dalam Memerangi Korupsi
Setelah membaca tulisan pertama saya tentang korupsi, pasti muncul sebuah pertanyaan: lalu? Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak korupsi di masyarakat? Tulisan pertama saya memang sangat pesimistis sekali, karena memang yang ingin saya tekankan di sana adalah realitas politik-sosial yang kita hadapi dalam usaha membersihkan Indonesia dari korupsi. Namun, tetap ada jalan keluar, namun dibutuhkan sekali waktu lama sekali, dan di sini saya melihat perlunya peranan gereja dalam membantu perang melawan korupsi.
Satu hal yang jarang sekali disorot dalam sejarah adalah peranan penting gereja sendiri dalam usaha pemberantasan korupsi. Gereja yang sering dianggap sebagai antek kekuasaan ternyata bisa dan mampu beperan dalam menghancurkan pilar-pilar kekuasaan oknum-oknum korup, yakni melalui peranannya sebagai jaringan sosial di masyarakat.
Seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, Tammany memiliki pengaruh tinggi di masyarakat imigran karena Tammany berperan sebagai "safety net," orang-orang yang membantu para imigran untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Namun di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, fungsi Tammany perlahan-lahan diambil alih oleh gereja-gereja, seperti yang terkenal adalah Salvation Army, yang membuat dapur umum, memberikan bantuan kesehatan, dsb.
Kalangan elit di New York sendiri mulai terpengaruh oleh khotbah-khotbah dari gereja, yang mulai menyerang ketidakpedulian sosial mereka dan mengajak kaum elit untuk melihat ke bawah, membantu orang-orang yang memerlukan bantuan. Dari sana, mulai muncul gerakan-gerakan sosial yang menuntut pemerintahan bersih dan memperbaiki harkat kehidupan rakyat kecil. Intinya, gereja membantu membuka mata kaum elit itu, tak lagi rakyat bawah dilihat sebagai sampah dan perusak pandangan, tapi sebagai kelompok yang perlu dijangkau oleh gereja.
Tentunya efek dari gerakan ini tak terlihat di jangka pendek. Pada jangka pendeknya, kaum Tammany tetap berkuasa. Mayor dan bawahannya tetap korup. Bahkan, sewaktu kaum reformis berhasil memasukkan orang-orang mereka di balai kota di tahun 1910-an, mereka kembali menghadapi tembok, terutama dari "interest groups" seperti Tammany yang mengamuk melihat bagaimana kaum reformis itu sedikit-sedikit menghancurkan pilar-pilar kekuasaan mereka. Tammany menyerang kembali melalui jalur-jalur politis, dan kaum reformis pun kalah.
Namun untuk jangka panjangnya, kaum reformis berhasil mendapatkan suara dan publikasi. Di sini juga perlunya media massa yang simpatis dan bertanggung jawab. Media massa New York yang mulai disusupi kaum reformis menjadi lebih vokal menghadapi ketidakadilan sosial. Gereja pun berperan cukup penting: memberikan persetujuan dan bantuan moral dan spiritual kepada kaum reformis, memberikan kepada kaum reformis alasan dan tujuan dari gerakan pembersihan korupsi.
Idealnya, kisah ini ditutup dengan kalimat bahwa gerakan reformasi menang dan berhasil membersihkan kota New York. Namun, faktanya tak demikian: korupsi tetap merajalela, tapi jumlah korupsi dan penyelewengan yang terjadi menjadi bertambah kecil, berhasil diminimkan sehingga tak lagi terjadi penyelewengan secara blantan seperti di abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
Intinya, ini bukan perang di mana kita bisa dan pasti menang dalam waktu singkat, namun ini adalah sebuah perang tanpa akhir, di mana yang bisa dilakukan adalah mengurangi korban-korban di masyarakat, yakni rakyat kecil yang diinjak-injak oleh oknum-oknum koruptor, dan terus secara perlahan tapi pasti, mengubah budaya masyarakat dari "pasrah" menjadi betul-betul melawan korupsi, bukan hanya slogan saja.
Perang ini hanya bisa dilakukan dan diteruskan melalui koordinasi dari kaum reformis. Banyak kelompok Islam mulai mengibarkan bendera anti-korupsi dan berusaha memberikan dampak positif untuk masyarakat. Gereja Katolik dibawah alm. Romo Mangunwijaya sudah berusaha mati-matian memperbaiki harkat hidup masyarakat.
Namun, masih banyak yang perlu dilakukan. Kita harus mengubah pola pikir kita bahwa masalah di masyarakat bisa dibereskan hanya melalui hadiah yang kita bagi-bagikan setiap hari raya seperti Lebaran atau Natal, menjadi sebuah perang melawan korupsi dan kemiskinan yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, tahun, dekade, abad, dsb. Sampai kita mau mengubah pola pikir kita dari keuntungan jangka pendek dan ekslusif menjadi seluruh rakyat Indonesia, sampai kita mau mengubah pola pikir kita menjadi keluar dan menjangkau masyarakat, maka hanya masa depan suram yang terbentang di hadapan kita, dan sayangnya gereja dan organisasi-organisasi agama juga bertanggung jawab atas kesuraman masa depan tersebut.
YS
No comments:
Post a Comment