Tulisan ini ditulis untuk sebuah milis Kristen ditengah perdebatan sengit tentang teologi dan bahasa Roh.
YS
----------
Date: Tue, 17 Sep 2002
Subject: Bahasa dan opresi
Seperti biasa, kritik dan saran akan diterima dengan senang hati. Terima kasih juga untuk Yohannes Somawiharja yang sering bekerja sebagai editor. Namun, isi dari tulisan ini merupakan tanggung jawab saya.
YS
---------
Apa fungsi bahasa? Saya tak ragu kalau jawaban pertama dari pertanyaan ini adalah alat untuk komunikasi. Faktanya, bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan kita dalam segi rasional seperti penyampaian ide sampai segi emosional pengungkapan perasaan. Namun satu fungsi bahasa yang sering kali dilupakan atau lebih tepat tak terlihat adalah bahasa sebagai alat kekuasaan.
Saya rasa banyak pembaca yang menguasai bahasa daerah selain bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. Bagi pembaca yang menguasai bahasa-bahasa berkasta seperti bahasa Jawa atau Sunda, para pembaca pasti sudah terbiasa dengan stratifikasi bahasa seperti Kromo Inggil, kasar, dsb. Tentunya pembaca sudah terbiasa untuk misalnya menyapa yang dituakan atau mungkin pejabat dengan bahasa Kromo Inggil. Kenapa? Karena nilai kesopanan kita meminta hal demikian. Tak mungkin kita menyapa misalnya Sultan Jogja dengan bahasa kasar atau mungkin berbicara di muka umum dengan bahasa demikian.
Satu pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah kenapa berbicara dengan pejabat tinggi dengan bahasa kasar itu tidak sopan? Siapa yang sebetulnya yang pertama menstratifikasikan bahasa dan menyatakan bahwa kosa kata yang sopan untuk berbicara dengan orang-orang demikian adalah seperti ini? Tak lain dari para penguasa tersebut, yang mempengaruhi nilai-nilai sosial dan memaksakan masyarakat untuk mengikuti adat demikian. Stratifikasi bahasa digunakan agar terjadi "penghormatan" dan pemisahan satu golongan dengan golongan lain, dan menyebabkan terjadinya kelas dalam masyarakat tersebut, di mana satu kelas ditempatkan di atas kelas lain.
Fungsi bahasa sebagai alat kekuasaan tak hanya terlihat di dunia sehari-hari, tapi juga di dunia spiritual, seperti di gereja. Saya ingin memberikan sebuah contoh, yakni penggunaan bahasa Latin di gereja di abad pertengahan sebagai alat komunikasi utama gereja. Mengapa bahasa Latin digunakan di gereja Katolik? Beberapa jawaban seperti bahasa Latin merupakan bahasa kekaisaran Romawi, dan karena gereja berkembang di kekaisaran Romawi, dan bahasa utama kekaisaran Romawi adalah Latin, sehingga untuk bisa berkomunikasi diantara gereja dan massa, perlu sebuah bahasa, dan tentunya Latin adalah bahasa yang paling relevan.
Tapi bagaimana setelah ratusan tahun ke depan di mana kekaisaran Romawi sudah menjadi relik sejarah dan tak ada lagi sisa-sisanya di Eropa barat? Gereja tetap menggunakan bahasa Latin (tulisan ini tak akan menyinggung perpecahan gereja Katolik Romawi dan Orthodox Yunani karena perpecahan ini di luar fokus tulisan ini). Misa-misa, Alkitab, percakapan antara pemuka gereja tetap dilakukan dalam bahasa Latin. Kalau kita mau intropeksi, hal ini sebetulnya sangat berbahaya untuk gereja dan bahkan agama Kristen sendiri. Pengetahuan tentang Alkitab menjadi sangat minim. Fokus gereja akhirnya sebagai tempat ritual dan sosialisasi dan rakyat jelata sama sekali tak mengerti tentang theologia.
Saya berspekulasi bahwa di abad pertengahan, Kristen sebetulnya lebih dianggap sebagai sebuah ritual oleh rakyat jelata. Hal ini juga dilakukan di gereja Orthodox Yunani, di mana bahasa pemuka gereja tak membumi dan tak dimengerti massa. Akhirnya, Kristen menjadi agama yang hanya membungkus secara kulit, tanpa inti, dan tak heran, begitu Islam masuk di abad ketujuh, agama Islam cepat sekali menyebar. Rakyat tak ada yang tahu beda Kristen dan Islam selain ritual, sehingga buat mereka tak ada rintangan untuk dengan mudah pindah agama (kecuali di mana agama sudah menjadi bagian dari identitas, seperti Yahudi, yang berakibatkan perpindahan agama agak sulit).
Tentunya satu pertanyaan yang patut ditanyakan adalah mengapa gereja melakukan hal seperti itu? Salah satu jawabannya adalah masalah kekuasaan yang datang dari bahasa.
Untuk gereja di abad pertengahan, bahasa bukanlah sebuah alat komunikasi antara massa dan gereja, melainkan bahasa "persatuan" elit gereja, di mana gereja membentuk sebuah elit yang keanggotannya didapat karena mereka berbahasa sama, yakni Latin. Untuk belajar bahasa Latin, orang-orang perlu masuk biara atau universitas-universitas yang waktu itu hanya disediakan untuk gerejawan dan para bangsawan. Bahasa misa dan bahasa Alkitab yang Latin menyebabkan tak adanya jalur untuk masyarakat awam untuk mempelajari theologia (belum lagi angka literatur yang sangat rendah). Akhirnya, elit gereja bisa memposisikan dirinya sebagai satu-satunya jalan untuk mengerti Tuhan. Merekalah mengubung massa dengan Tuhan, sehingga kekuasaan mereka tak bisa diganggu gugat.
Hancurnya kekuasaan elit Latin gereja Katolik dimulai dengan Reformasi Luther. Satu pukulan terbesar yang dilakukan Luther kepada gereja Katolik adalah melokalkan bahasa Alkitab, dari hanya Latin menjadi bahasa Jerman, disusul Inggris, dan lain sebagainya.
Alkitab tak lagi menjadi monopoli elit gereja yang berbahasa Latin setiap orang sekarang bisa membaca dan mengerti Alkitab. Elit gereja tak lagi 100% relevan, massa memiliki alternatif dan setiap orang "bisa berhubungan" dengan Tuhan karena mereka tahu siapa Tuhan itu. Akibatnya, gereja di masa itu menyadari bahwa mereka perlu berubah kalau mereka mau tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial politis Eropa.
Tentunya di sini pembaca mulai bertanya-tanya, lalu apa relevansinya tulisan ini dengan masa kini, di mana Alkitab sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan gereja tak lagi melakukan misa dengan bahasa Latin? (Sebagai selingan, minggu lalu saya memiliki kesempatan untuk mengikuti misa Katolik di gereja Santo Augustine di South San Francisco-sebetulnya ini "kecelakaan," saya diajak salah satu rekan yang saya pikir beragama Protestan dan ia tak menyebutkan nama gerejanya. Namun, sangat menarik melihat bagaimana misa yang biasanya berbahasa Latin di-Inggriskan.) Saya rasa tulisan ini tetap sangat relevan dengan kehidupan gereja masa kini, di mana saya melihat perkembangan-perkembangan di Indonesia dan juga di Amerika tentang penggunaan bahasa Roh atau penggunaan ayat-ayat Alkitab untuk membentuk gereja yang elitis dan anti-kritik.
Bahasa Roh merupakan sebuah topik yang kontroversial dan saya tak akan membahas tentang apakah bahasa Roh itu ada, karena saya tak mau tulisan ini menjadi keluar dari fokusnya. Yang ingin saya bahas adalah penggunaan bahasa roh di gereja sebagai ukuran sebagaimana besar iman seseorang. Di Indonesia beberapa kali saya menghadiri pertemuan di mana pemimpiin pertemuan menyatakan seperti "mari kita berdoa dengan bahasa Roh" atau di pertemuan di mana satu-persatu orang-orang mulai "praktek" bahasa Roh di depan orang lain. Di tempat lain, ada yang menggunakan kemampuan berbahasa roh sebagai ukuran apakah seseorang bisa ikut menjadi anggota "elit" gereja.
"Bahasa Roh" tak lagi menjadi sesuatu yang privat yang antara Tuhan dengan umat-Nya, tapi sebagai alat untuk memisahkan mana yang menjadi "elit" yang dianggap lebih dekat dengan Tuhan, dari massa yang tak bisa berbahasa Roh, atau bahasa Roh dianggap sebagai alat pemisah pembentuk eksklusivitas golongan. Hasil lain dari praktek ini adalah munculnya kemuanfikan dan kepura-puraan, karena orang-orang yang tak bisa bahasa Roh berpura-pura bisa atau lebih gila lagi, ikut kursus "bahasa roh." Sebelum pembaca menyatakan bahwa saya secara langsung menyerang aliran kharismatik, lebih baik saya mengeluarkan pernyataan, bahwa "serangan" ini bukan ditujukan kepada aliran kharismatik. Serangan ini ditujukan terutama kepada golongan elit yang menggunakan bahasa Roh untuk ambisi pribadi atau golongan dan sebagai alat untuk membungkam kritik dengan melabelkan kritik sebagai "kurang iman."
Tipe kedua adalah penggunaan ayat-ayat Alkitab seperti "jangan menghakimi." Implisit di balik penggunaan ayat-ayat itu adalah sebuah pernyataan, bahwa massa sebetulnya goblok dan tak tahu apa-apa, dan lebih baik menyerahkan semua keputusan kepada elit gereja yang dianggap jauh lebih tahu yang terbaik dari massa. Intinya, elit menggunakan "bahasa ayat Alkitab", mencomot ayat-ayat tanpa melihat bagiannya secara keseluruhan, sebagai senjata untuk membungkam kritik dan menghilangkan proses akuntabilitas. Massa awam yang kebanyakan tak tahu banyak tentang Alkitab pun berubah menjadi pasif, karena mereka tak tahu apa sebetulnya konteks lengkapnya, dan setiap kali mereka akan selalu dibungkam oleh tuduhan sesat, tukang menghakimi, dsb. Akibatnya, kekuasaan elit gereja tak terkontrol dan berkembang juga theologi "bapak"-isme, di mana satu figur utama gereja mengontrol gereja secara total, dikelilingi elit yang mati-matian membelanya, dengan alasan fanatisme ataupun karena kekuasaan.
Bagaimana untuk menghindari bahaya-bahaya di atas? Pertama-tama saya rasa yang paling penting adalah kesadaran dari jemaat sendiri terhadap bahaya-bahaya di atas. Adanya bahaya ekslusifitas dalam gereja, yang perlu dicegah. Kedua adalah jemaat perlu lebih mengenal Alkitab dan lebih mengerti doktrin-doktrin. Jemaat harus berubah dari domba yang pasif hanya menerima, menjadi domba yang agresif dan mau bertanya. Yang ketiga adalah pembentukan semacam badan pengawas independen yang bisa mengaudit gereja dan pendeta, usaha-usaha agar tak terjadi ekslusifitas elit gereja. Yang keempat adalah elit gereja sendiri memberikan dorongan kepada jemaat untuk berani menemukan jalur hidup mereka yang paling sesuai dan memberikan dampak konkrit kepada masyarakat. Jadi elit gereja justru mendorong jemaat agar keluar dari bola gereja dan terjun di masyarakat dan menjadi sesuatu yang selalu digembor-gemborkan sebagai garam dan terang dunia. Di sini terjadi kerjasama antara elit gereja dan jemaat yang bekerja di dunia, bukannya perasaan bahwa yang satu menyaingi yang lain, atau menuduh bahwa jemaat melupakan gereja.
Mungkin salah satu contohnya dapat dilihat di tetangga kita, yakni Islam aliran Nadhatul Utama. Kita bisa melihat dalam muktamar-muktamar mereka, para kiai dengan fasihnya saling menyerang dan menerima ide, didukung dengan kitab-kitab mereka yang tingginya sampai ke langit. Di sana, tak ada kiai yang lebih benar atau salah, yang penting adalah perdebatan yang sehat dan membentuk kelompok yang demokratis. Tak ada dalam perdebatan mereka, opresi dengan menggunakan bahasa dalam bentuk apa pun. Bahasa Arab? Semuanya bisa. Bahasa "ayat suci?" Tak ada yang membungkam kritik dengan tuduhan "sesat" dsb. Elit NU seperti Gus Dur bahkan mendorong tokoh-tokoh NU yang muda-muda untuk berpikir secara radikal, melepaskan diri dari kekangan konservatisme Islam - bahkan sampai secara ekstrim yakni mempertanyakan interpretasi Qur'an itu sendiri, dan secara langsung melindungi tokoh-tokoh muda dari serangan kaum konservatif. Tak heran bahwa Nardatulah Utama banyak sekali memunculkan ide-ide baru dan juga sarang dari banyak pemikir-pemikir Islam yang tangguh baik dalam segi theologis
maupun sosial dan sangat terbuka terhadap kerjasama antara Kristen dan Islam untuk mendukung masyarakat majemuk di Indonesia.
Kita sebagai umat Kristen di Indonesia sudah jauh sekali tertinggal dari kaum Muslim. Dengan tantangan-tantangan yang sekarang muncul, baik secara jasmani (misalnya tekanan baik bersifat SARA maupun karena kondisi sosial, misalnya kemiskinan) maupun rohani (misalnya materialisme dunia), sudah saatnya kita sebagai orang Kristen menghentikan opresi dengan bahasa roh ataupun bahasa ayat, dan mulai mengejar ketinggalan kita dengan berusaha lebih demokratis dan lebih mementingkan akuntabilitas gereja dan membentuk jemaat yang berani bertanya dan berpikir secara independen. Salah satunya juga dengan bekerja sama dengan rekan-rekan Muslim, yang sudah mau mengulurkan tangan untuk bekerja sama dengan kita dalam membentuk masyarakat pluralistik. Sayang sekali kalau kesempatan ini terlewatkan akibat kediktatoran bahasa.
YS
No comments:
Post a Comment