Artikel lama ini rupanya arsipnya terpotong setengah sehingga saya harus menambahkan beberapa paragraf untuk melengkapinya. Semoga "update" ini tidak mengurangi nilai sejarah artikel lama ini.
YS
Date: Mon, 12 Nov 2001
Retorika dan Identitas
Tak dapat disangkal bahwa retorika memang merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan politik. Saya setuju dengan banyak argumen yang menyatakan bahwa retorika bisa mempengaruhi massa secara luas dan contoh-contoh yang ia berikan juga memperkuat argumennya. Namun saya bertanya-tanya apakah fokusnya dalam retorika ini sebetulnya seperti "putting cart before the horse."
Mengapa saya katakan "putting cart before the horse?" Saya melihat ada faktor penting yang sayangnya dilupakan dalam analisa-analisa tentang retorika, yakni pengaruh identitas sebagai pendorong terbentuknya retorika. Zaller (1992) menulis bahwa ide bisa berpengaruh kalau ada tiga faktor pendukung, yakni: simplifikasi (sesederhana apakah ide tersebut), intensitas (seberapa sering ide dikumandangkan), dan familiaritas (sekenal apakah orang-orang kepada ide ini).
Identitas merupakan sesuatu yang memenuhi faktor "simplifikasi" dan "familiaritas." Seseorang yang menganggap sesuatu ide sebagai bagian dari identitasnya secara sekaligus berarti "familiar" dengan ide tersebut dan untuknya unsur identitas menjadi sesuatu yang "simple."
Untuk lebih memperjelas, mari kita ambil contoh Sumpah Pemuda. Satu hal yang sering dilupakan orang adalah kenapa Sumpah Pemuda terjadi tahun 1928 bukan tahun 1908 (Boedi Oetomo) yang sering dianggap sebagai hari Kebangkitan Nasional? Pertama-tama, tahun 1908, para elit Indonesia masih merasa bagian dari daerah-daerah sendiri, bukan merupakan bagian dari Indonesia. Namun pada tahun-tahun menjelang tahun 1928, kita melihat partai-partai politik Indonesia yang bersifat kedaerahan "digebuki" Belanda dan tokoh-tokoh politik Indonesia sendiri mulai kecewa dengan "Volksraad" yang dianggap sebagai boneka Belanda. Karena itu mereka melihat bahwa perlu adanya gerakan nasional dan untuk mereka Kongres Pemuda II sendiri menjadi tempat yang bisa menggodok ide di mana yang terbentuk adalah ide yang bisa menjadi bagian identitas semua kelompok. Ide tersebut kemudian dikembangkan menjadi retorika nasional dan menjadi slogan pemersatu Indonesia.
Sumpah Pemuda bisa diterima oleh masyarakat luas (baca: elit politik) karena ide Sumpah Pemuda itu sendiri bisa diterima oleh elit sebagai bagian dari identitasnya. Karena ide tersebut sudah menjadi bagian dari identitas, ide yang sebetulnya "kompleks" itu menjadi sederhana karena "familiaritas" dari semuanya. Sebuah ide yang bisa mewakili identitas dari orang-orang yang memiliki "vested interests" dalam ide tersebut akhirnya bisa diterima oleh massa.
Bahkan juga retorika yang cukup populer akhir-akhir ini seperti Piagam Jakarta memiliki pola perkembangan yang sama dengan yang saya tuliskan di atas. Elit dari kalangan Islam garis keras merasa bahwa mereka sudah lama "digebuki" di era Suharto dan selama ini juga mereka tak memiliki bagian dari "kue" yang tersedia. Karena banyak elit Islam yang memiliki concern yang sama, ide Piagam Jakarta menjadi memiliki banyak resonansi. Jadi diterimanya ide Piagam Jakarta bukan hanya karena mass media saja, tapi juga karena ide ini bisa diterima menjadi identitas dari kebanyakan orang Islam yang melihat ide ini sebagai simbol dari segala masalah, segala keburukan negara, dan segala penindasan yang didapatkan di era Orde Baru.
Namum pertanyaannya adalah bagaimana ide yang bisa diterima oleh semua elit untuk membentuk retorika level dua itu bisa dibentuk? Bukankah untuk mengedarkan "ide" itu sendiri ke kalangan elit perlu ada "retorika" tambahan?
Jadi kelihatannya ada tiga level yang perlu diperhatikan dalam retorika. Segi yang sering dibahas adalah level pelaksanaannya, yakni level ketiga, sedangkan saya menekankan perlunya memahami level kedua, yakni proses pembentukan retorika itu sendiri yang berdasarkan oleh ide. Untuk retorika level pertama yang bisa membentuk ide di level kedua saya (atau lebih tepatnya Yohannes Somawiharja mengusulkan kepada saya bahwa kita perlu) melihat pentingnya pembentukan pemikir-pemikir masyarakat yang benar-benar "top notch."
Terkikisnya nilai kemajemukan di masyarakat pada masa kini selalu menjadi perbincangan yang hangat. Banyak yang mempertanyakan apakah turunnya nilai-nilai kemajemukan di masyarakat ini disebabkan oleh kurangnya pendidikan Pancasila atau apakah memang kurangnya baiknya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh pola pengajaran identitas masyarakat sendiri. Apakah identitas seorang siswa? Kalau ditanya, mungkin jawabannya ya Jawa, Sunda, Chinese, Batak, atau suku apa lagi lah - atau agama Islam, Kristen, Hindu, Budha. Tak ada yang menjawab identitasnya adalah orang Indonesia yang kebetulan bersuku A dan beragama X. Jadi terlihat bahwa sebetulnya sekolah-sekolah GAGAL dalam membentuk elit politik memiliki identitas INDONESIA, mugnkin karena pengajaran yang terlalu bersifat penghapalan daripada memikir dan membentuk identitas yang mempersatukan bangsa diatas kelompok dan golongan. Sangat menyedihkan....
Untuk itu saya rasa kita perlu menekankan kualitas guru-guru pengajar agama dan Pancasila. Apakah mungkin kita bisa membuat proposal untuk orang-orang berduit untuk menyumbangkan dana untuk melatih
guru-guru dan tenaga pengajar studi masyarakat majemuk (atau menaikkan gaji mereka yang memang berkualitas tinggi)dan menggunakan guru-guru itu untuk melatih elit Pancasilais baru?
Akhir kata, kita perlu memikirkan level pertama dan kedua ini dengan sangat serius, jika kita memang mau membuat retorika Pancasila yang bergema, dan tak tertenggelamkan oleh retorika nuansa SARA yang terus berkembang tanpa henti.
YS
No comments:
Post a Comment