Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, August 28, 2011

Bahaya "Organisasi Sukses"

Tulisan lama yang sedikit diubah. Menarik bahwa sampai sekarang pun dilema Indonesia masih tetap sama, terutama yang menimpa partai-partai politik, yakni kuatnya budaya "Bapakisme." Padahal ini ditulis 9 tahun lalu....

-------------

Date: Mon, 07 Oct 2002
Subject: "Organisasi Sukses"

Pada tahun 1941, Jerman secara de-fakto adalah penguasa Eropa. Prancis dihancurkan dalam hanya beberapa minggu. Inggris terisolasi di utara. Di saat itu, Hitler melihat ke timur, ke arah Uni Soviet yang dianggap sebagai musuh terbesarnya. Hitler lalu meluncurkan salah satu operasi terbesar dalam sejarah: Operasi Barbarosa yang bertujuan menghancurkan Russia dalam waktu delapan minggu!

Walaupun sekarang banyak yang menyatakan bahwa Operasi Barbarosa adalah awal dari kehancuran Hitler, namun di saat itu sebetulnya, kalau kita melihat dokumen-dokumen yang telah di-deklasifikasikan sekarang, Hitler sebetulnya hampir menang. Stalin waktu itu dalam kondisi "mental breakdown," stress dan panik melihat laju panser (tank) Jerman yang tak bisa ditahan. Menurut dokumen, kalau waktu itu Hitler berhasil masuk ke Moscow sebelum musim dingin, ada kemungkinan seluruh anggota politbiro Uni Soviet bisa tertangkap dan termasuk diantaranya Stalin sendiri.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan "keberhasilan" Hitler di saat itu: tentara Uni Soviet memang hancur, akibat represi Stalin di tahun 1930-an di mana ia secara literal menghancurkan seluruh birokrasi angkatan bersenjata dengan menangkapi orang-orang yang ia anggap sebagai musuhnya. Rakyat Uni Soviet sendiri muak dengan komunisme, seperti orang-orang Ukrania yang menyambut kedatangan tentara Jerman tanpa perlawanan sama sekali. Hitler waktu itu justru dianggap sebagai pembebas.

Kalau begitu, kenapa Hitler tak bisa meraih Moscow sebelum musim dingin? Salah satu jawaban yang diterima para ahli sejarah adalah Hitler memerintahkan pasukannya untuk menyerbu daerah Kaukasus dulu, tempat ladang-ladang minyak yang dibutuhkan Jerman. Akibatnya, tentara Jerman kehilangan momentum, dan begitu mereka kembali bergerak ke Moscow, pertahanan di sana sudah sangat kuat dan musim salju sudah mulai datang. Sampai sekarang di pinggir kota Moscow masih ada monumen yang menandakan posisi terujung tentara Jerman - yakni hanya tinggal beberapa kilometer dari Moscow.

Perintah Hitler sebetulnya ditentang banyak jendralnya, seperti "Heinz" Guderian, ahli perang tank terhebat di masa itu. Tapi mereka tak berani menentangnya dengan terbuka, dan kalaupun mereka menentang Hitler, bantahan dari Hitler sudah cukup untuk membungkam mereka. Para jendral belum lupa bahwa serangan ke Prancis pun ditentang mereka, namun Hitler berhasil "membuktikan" bahwa keputusannya tak pernah salah. Sekarang kalau ia memutuskan strategi untuk menghancurkan Uni Soviet, strateginya pasti benar, dan para jendral pasti salah. Selain itu juga, faktor "ego" mempengaruhi Hitler: ia tak mau wibawanya terancam oleh jendral-jendralnya. Guderian sendiri akhirnya dipecat karena ia terang-terangan membangkang Hitler dengan mempertanyakan taktiknya. Namun kali ini ternyata Hitler salah. Ketidakmauannya menerima pendapat dari orang lain dan hanya dari "yes men" menyebabkan kehancuran ambisinya menghancurkan Uni Soviet (dan menguasai dunia).

Walaupun dalam retrospectnya kita bisa mengeritik Hitler dan jendral-jendralnya, namun pertanyaan terbesarnya adalah apakah fenomena Hitler ini hanya ada di Jerman yang dikuasai diktator itu?

Saya sebetulnya kuatir kalau banyak organisasi baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan di Indonesia dan di mancanegara bersikap sebagai Hitler - bukan sama kejamnya, tapi sama keras kepalanya.

Biasanya pola yang sama terjadi: pemimpin organisasi berhasil memajukan organisasinya sampai hebat sekali dan memiliki banyak pengaruh - pokoknya sukses total.

Setelah sukses, yang terjadi adalah banyak orang-orang di sekeliling pemimpinnya, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja mengkultuskan pemimpinnya itu. Sama seperti Hitler yang dianggap selalu benar dan berhasil, bawahan pemimpin-pemimpin tersebut jadi merasa pemimpin organisasi sebagai orang yang pasti sukses, diberkati Tuhan, dsb. Buktinya - organisasi yang dipimpin bisa menjadi besar dan hebat. Ahli-ahli psikologis memberikan istilah untuk efek ini yakni efek karismatik pemimpin dan "group-think" di mana sebuah kelompok berpikir sama karena dipengaruhi pemimpinnya itu.

Di Indonesia sendiri, efek sukses ini bergabung dengan "bapakisme," fenomena di mana orang-orang dengan buta mengikuti perintah para pemimpin, yang sudah mendarah daging akibat pengaruh budaya maupun kebiasaan. Kondisi masyarakat yang sudah memiliki budaya "wajib tunduk" kepada pemimpin, ditambah lagi dengan fenomena "sukses" saling bahu-membahu untuk semakin mengkultuskan pemimpin. Fenomena ini berlaku baik di organisasi yang bersifat sekuler maupun keagamaan.

Akibatnya, salah satu kelemahan pemimpin tipe Hitler ini terletak dari kurangnya rasa pertanggung jawaban pemimpin organisasi kepada anggotanya. Mereka memilih untuk menjalankan organisasinya tanpa memiliki proses akuntabilitas yang baik (walau mungkin juga karena kurangnya pengalaman managemen). Lebih parah lagi, sebagian dari mereka memilih untuk membungkam kritik, asalkan kewibawaan mereka sebagai "bapak" tetap terjaga. Apalagi untuk organisasi keagamaan, suara pemimpin sering dianggap sebagai suara Tuhan, menentang pemimpin berarti murtad. Akibatnya, kritik dalam organisasi akan ditekan dan "ditendang" dalam sistem "group think" yang sangat tidak sehat ini.

Masalahnya - sekali badai menerpa atau sekali pemimpin organisasi tersebut melakukan tindakan yang berbahaya untuk organisasi, hasilnya akan seperti Hitler: hancur lebur. Contoh dalam segi politis adalah Suharto, yang begitu Krisis Moneter Asia menerpa, langsung dinastinya dan Indonesia sendiri hancur berantakan.

Tentunya tulisan ini bukan menyatakan bahwa banyak organisasi yang sukses itu dengan sadar bersikap "jahat" dan membenci kritik. Tapi pengaruh kesuksesan yang terus menerus berakibat fatal untuk organisasi tersebut. Karena kesuksesan tersebut, pola kerja mereka menjadi sama seperti Hitler: diktatorial, apa yang saya pilih pasti benar, dan tak ada tanggung jawab. Jemaat sendiri melihat pemimpinnya terus sukses tak
mau mencoba mencari alternatif atau meminta pertanggung jawaban. Di sini, kesuksesan organisasi menjadi batu sandungan yang akan menghancurkan segalanya.

Jadi sebetulnya apa yang ingin saya sampaikan lebih lanjut? Pertama, saya rasa organisasi-organisasi di Indonesia baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan harus mulai menyadari adanya sistem
"cult of leadership" baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Sampai sekarang, banyak organisasi berdiri karena pengaruh atau dorongan satu orang saja. Begitu orang tersebut "pamit," maka organisasi tersebut akan ikut runtuh, karena hanya orang tersebut yang menjadi inti dari organisasi. Gejala ini sebetulnya lebih tepat dinamakan gejala "Suharto" yang akan saya diskusikan lebih lanjut.

Kedua: organisasi baik sekuler maupun keagamaan harus lebih profesional. Jika pemimpin organisasi memang tak terlalu bisa membangun organisasi dan hanya pintar membangkitkan semangat anggota atau mengajar, atau memberikan inspirasi, alangkah baiknya kalau ia atau orang-orang di sekelilingnya menyadari hal tersebut dan mencoba mencari tokoh atau siapa saja yang memang ahli organisasi. Dari sana, "ahli" tersebut membentuk organisasi yang memang kuat dan efisien, kemudian "ahli" itu sendiri "lengser," yakni membiarkan organisasi itu tumbuh dan berjalan sendiri tanpa perlu ia sebagai motor penggeraknya.

Sebelum saya melanjutkan point berikut, saya ingin menyampaikan satu peringatan: Hancurnya Indonesia disebabkan waktu Suharto lengser, tak ada organisasi yang siap menggantikannya. Bandingkan dengan Spanyol dibawah Franco, di mana Franco menyiapkan birokrasi negara yang bisa berfungsi tanpa dirinya, sehingga waktu ia meninggal, transisi ke demokrasi pun berjalan lancar. Pertanyaannya adalah apakah organisasi sekarang dipimpin Suharto atau Franco?

Ketiga, para pemimpin organisasi, baik sekuler maupun religius, harus lebih bertanggung jawab kepada anggota organisasi, di mana pemimpin atau pemuka agama sadar bahwa anggota tak boleh hanya dijadikan sapi perahan saja, atau hanya sebagai penonton dagelan yang setia, atau lebih parah lagi sebagai kacung tak berotak yang pekerjaannya hanya wajib melakukan apa yang diminta para pemimpin. Namun, para anggota perlu diberikan juga peran lebih mendalam dalam organisasi, lebih diajak bertanggung jawab, lebih memikirkan masa depan organisasi tersebut, dan juga lebih bersikap kritis: tak melaksanakan ideologi atau tata cara atau hukum secara membabi buta, namun memiliki pengertian yang cukup mendalam tentang ideologi maupun, kalau misalnya organisasi keagamaan, pemahaman kepada kitab suci dan doktrin.

Yang keempat tentunya adalah para anggota perlu dan pasti sudah sadar bahwa para pemimpin organisasi pun adalah orang biasa yang bisa berbuat salah. Namun, satu hal yang sering dilupakan adalah "kemanusiaan" pemimpin pun bukan artinya bahwa kesalahan atau kekurangan pemimpin harus selalu ditolerir. Jika hal ini yang terjadi, saya rasa kasusnya justru bisa menjadi plesetan sebuah kisah di Alkitab, di mana Daud membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, yang saat itu merupakan istri Uria. Namun Natan tak menegur Daud karena alasannya, "ah, Daud khan biasa, dan manusia memang selalu berbuat salah, jadi ya toleransi donk, entar kalau terlalu suci dianggap Tuhan."

Itu adalah dampak yang sangat buruk. Kita mencintai dan menghormati para pemimpin organisasi, baik organisasi sekuler maupun keagamaan, tapi kita tidak boleh karena kasih kita menjadi ultra-toleransi terhadap kesalahan mereka. Posisi para pemimpin organisasi yang memang di atas menyebabkan mereka menjadi bahan sorotan dan memang harus disorot. Kesalahan memang dimaklumi, tapi tak ditoleransi terus menerus. Perubahan tetap diperlukan. Para anggota perlu lebih berani, berusaha memberikan masukan kepada organisasi mereka, tentang kemungkinan perlunya perbaikan di beberapa bidang dan lain-lain.

Jika kita tak berani berbuat demikian, "sukses"-nya sebuah organisasi bisa berarti sebagai paku pertama yang akan menutup peti mati organisasi tersebut. Karena itu, di saat ini sebelum terlambat, mungkin sudah saatnya kita berpikir, apakah sekarang kita sedang mengikuti Hitler yang menyerbu Uni Soviet?

YS

No comments:

Post a Comment