Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Friday, August 12, 2011

Masyarakat Placebo

Tulisan lama ini sebetulnya kurang bagus, kurang tersusun dengan rapih dan agak membingungkan untuk dibaca. Tapi pesannya masih relevan, yakni sering kali kita hanya berpolemik saja dalam mencoba memperbaiki bangsa, tanpa melakukan tindakan-tindakan yang konkrit. Misalnya saja, gerakan doa, zikir bersama, dsb, yang tidak membantu rakyat miskin sama sekali, tapi ujung-ujungnya hanya sebagai ajang tebar pesona, memperlihatkan bahwa "saya peduli," dan selesai.

YS


------
Date: Wed, 25 Sep 2002
Subject: Masyarakat Placebo

Terima kasih sebesar-sebesarnya untuk editor saya, Yohannes Somawiharja, dan Sadikin Djumin, sebagai kritik. Tanggung jawab untuk isi tulisan ini tetap terletak pada saya.
YS
-----------
Dalam bidang penelitian obat-obatan, biasanya para peneliti mengambil sejumlah sukarelawan yang dipakai untuk menjadi objek studi obat tersebut. Sukarelawan ini dibagi atas dua kelompok: kelompok pertama diberi obat yang sedang diteliti dan kelompok kedua yang diberi obat palsu yang tak berefek positif maupun negatif (misalnya hanya tepung; tapi tampak luar nya sama dengan obat yang sedang diteliti). Dengan demikian diharapkan, jika obat yg sedang diuji benar2 bermanfaat, akan didapatkan hasil yang kontras diantara dua kelompok itu.

Obat gadungan yang tak memiliki efek apa-apa untuk badan diatas disebut placebo. Yang menarik adalah, kelompok yang diberi placebo di banyak kesempatan kondisi mereka membaik sesuai efek yang didapati pada kelompok yang diberi obat asli. Ini dijelaskan sebagai efek psikologis saja.

Efek psikologis karena placebo ini sering sekali didiskusikan, dan salah satu kesimpulan dan penerapan yang ditarik dari situ adalah besarnya efek kata-kata terhadap kondisi manusia. Walaupun jarang sekali diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, namun "kata-kata" memiliki pengaruh yang sangat besar bagi manusia pada umumnya. Hanya satu kata pun bisa mempengaruhi sifat dan sikap seseorang, bisa membentuk dan menghancurkan karir, bahkan kesehatan pun bisa terpengaruh. Jadi di sini ada efek placebo: memberikan semacam bantuan psikologis, sehingga orang tersebut bisa merasa senang (feel good) padahal sebetulnya placebo nya sendiri tak memberikan efek apa-apa secara nyata.

Efek "placebo" ini juga banyak terjadi bidang politik. Misalnya saja, di jaman Kekaisaran Romawi, senat bekerja sebagai stempel karet bagi para kaisar Romawi, walaupun sebenarnya secara konstitusi, senat lah yang memilih Kaisar dan Kaisar kedudukannya ada dibawah senat dan melaksanakan amanat senat. Lebih lanjut lagi, biarpun Kaisar lama-kelamaan semakin bertindak sewenang-wenang, namun rakyat Romawi tetap merasa bahwa mereka ada dibawah pemerintahan republik (senat) dan bukan dibawah Kaisar, akibat adanya institusi senat tersebut.

Pada abad ke sembilanbelas hal ini juga terjadi di Prussia/Jerman. Pada waktu itu Bismarck dan Kaisar Wilhelm II mengebiri kekuasaan parlemen (Reichstag). Padahal parlemen ini dibentuk akibat Revolusi 1848, dimana kaum liberal berhasil memaksa kaisar Prussia membentuk parlemen. Tapi sekali lagi, walaupun parlemen dikebiri, rakyat Jerman/Prussia tak pernah menganggap dirinya dibawah pemerintahan autokrat, karena toh institusi Reichstag tetap ada.

Di Russia, Tsar Nicholas II memerintah tanpa memperhatikan Duma (DPR) yang dibentuk sebagai hasil Revolusi 1905 dimana Russia kalah melawan Jepang. Di Jepang sendiri, perlemennya (DIET) juga tak berdaya menghadapi militerisme di tahun-tahun menjelang Perang Dunia II; padahal Diet dibentuk sewaktu jaman Meiji yang waktu itu ingin "menyontek" sistem parlementer Inggris yang relatif demokratis agar tak terjadi lagi sistem ke-Shogunan (militer) yang dianggap penyebab ketinggalannya.

Pola yang sama terlihat di Indonesia di bawah Suharto. Seperti yang selalu diajarkan di kelas-kelas, bahwa kita "diwakili" MPR dan kita memilih wakil rakyat dalam pemilu karena itu Indonesia adalah republik. Fakta sebenarnya, kata "republik" hanyalah sebagai nama saja, karena MPR secara faktanya impoten dan hanya stempel Suharto. Namun, kita yang membaca nama "Republik Indonesia" tetap berpikir bahwa kita tinggal dalam satu negara yang demokratis (kecuali bagi yang skeptik). Itulah pengaruh placebo: memuaskan aspek psikologis kita tanpa dampak yang nyata.

Menariknya, kebanyakan badan perwakilan tersebut dibentuk karena tekanan aktivis demokrasi terhadap pemerintah totaliter. Jadi di sini terlihat satu pola: aktivis demokrasi menekan pemerintah, pemerintah "tunduk" dan membentuk parlemen, lalu kemudian parlemen menjadi macan ompong karena pemerintah tak mengidahkan parlemen (Romawi, Russia), atau akibat "parlemen" diserap oleh pemerintah dan di-impotenkan (Prussia, Jepang, dan Indonesia), sedangkan kebanyakan rakyat, melihat bahwa ada yang namanya "parlemen," merasa itu sudah cukup, bahwa mereka terwakili.

Jadi, parlemen "placebo" dibentuk agar rakyat merasa keinginan mereka sudah dipenuhi, lalu pemerintah tersebut kembali ke bisnis seperti biasa. Memang manusia mudah sekali terjebak, asalkan ada semacam aktivitas yang memuaskan idealismenya, walaupun hanya bersifat marginal, ia langsung puas. Padahal masih banyak langkah yang perlu ditempuh agar idealismenya itu menjadi fakta.

Sampai di sini, pembaca mungkin mulai bertanya-tanya, lalu apa dampaknya untuk kehidupan sehari-hari, apakah efek placebo ini ada dalam kehidupan kita sehari-hari? Inilah masalah yang ingin saya kemukakan, bahwa efek placebo ini merajalela dalam kehidupan sehari-hari. Efek placebo ini saya bagi dua golongan, yakni "placebo nurani" akibat kesadaran kita atas masalah sosial, dan "placebo defensif" yang disebabkan oleh kritik.

Sekarang, mari kita diskusikan golongan pertama, "placebo nurani," dimana kita menyadari ada masalah sosial. Kemudian kita bersama-sama membentuk gerakan dengan tujuan untuk membantu masyarakat. Beberapa gerakan ini, dilandasi oleh kepedulian sosial yang sangat, berhasil dan memberikan pengaruh cukup berarti di masyarakat Indonesia.

Tapi, banyak gerakan tersebut hanya sampai dalam bentuk konsep saja, atau mungkin beberapa pertemuan atau persekutuan-persekutuan keagamaan yang mengumpulkan banyak orang dan "berdoa" untuk Indonesia. Setelah berdoa? Semua bubar, tak ada implementasi lebih lanjut dan akhirnya "hidup segan, mati tak mau." Mengapa? Itu adalah akibat pengaruh psikologis bahwa kita sudah cukup melakukan sesuatu hanya dengan membentuk "masyarakat placebo," dalam kasus ini dengna hanya berdoa tanpa berbuat.

Masih sangat sedikit warga Indonesia yang tertarik untuk ikut serta dalam mengumbah masyarakat di bidang sosial, politis, dan ekonomi. Walaupun dalam beberapa dekade terakhir, isu ini membludak dengan label "social action," "Corporate Responsibility," dan lain-lain dengan adanya reformasi di Indonesia. Sehingga bagi banyak orang, jika tak melakukan apa-apa dalam hal ini, bisa merasa ketinggalan. Nurani jadi mengetuk; rasa kemanusiaan kita bangun begitu kita membaca cerita tentang kemiskinan, korban banjir, dan masalah-masalah lain seperti demokratisasi, krisis kemanusiaan, konflik etnis, dsb.

Untuk "menjawab" rasa gelisah di nurani, kita umumnya membentuk banyak aktivitas-aktivitas dengan label yang bertujuan sosial. Misalnya, kita membentuk kelompok seperti kelompok peduli sosial, atau kalau di Permias (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dulu seperti Forum Kemanusiaan yang berusaha membantu pengungsi akibat kerusuhan etnis, dsb.

Kalau tidak, dalam diskusi-diskusi seperti di banyak mailing list, sewaktu sebuah golongan diserang karena dianggap kurang memiliki kepedulian sosial, anggota golongan tersebut kemudian menyatakan "ya, kita setuju - mari kita buat platform bersama," dsb.

Efek psikologis itu akan bertambah tinggi kalau nama gerakan tersebut benar-benar indah, misalnya saja seperti contoh di atas, "Forum Kemanusiaan," atau mungkin "kelompok peduli sosial Indonesia," dsb. Selain itu, efeknya akan lebih hebat lagi kalau gerakan tersebut cukup aktif untuk melibatkan banyak organisasi lain. Dengan bergabung dengan kelompok-kelompok tersebut, anggotanya sudah merasa bahwa dia sudah menjadi peduli soal kemanusiaan dan Indonesia, apalagi kalau ditanya, ia bisa menjawab bahwa misalnya ia adalah anggota "Forum Kemanusiaan." Label nama yang sangat mengesankan.

Namun, setelah parkir nama, satu hal yang *jarang* sekali dilakukan adalah berusaha terus mengembangkan gerakan-gerakan tersebut, sehingga gerakan tersebut akhirnya hanya tinggal nama saja, atau fungsinya secara tak disadari berubah sebagai tempat sosialisasi saja walau di bawah bendera keren seperti "aksi peduli." Sering terjadi bahwa organisasi atau gerakan yang dibentuk memang dengan tujuan bagus, akhirnya tak memiliki pengaruh sama sekali akibat memang kurangnya investasi anggotanya dalam kelompok tersebut baik di bidang tenaga ataupun dana.

Yang terjadi kemudian, begitu gerakan-gerakan tersebut masuk dalam status "hidup segan, mati tak mau," untuk beberapa anggota terjadi dilema: kalau keluar dari gerakan tersebut, nurani terganggu (masak mau keluar, tanda tak peduli, khan) atau mungkin hanya tak enak kepada anggota lain, tapi kalau tetap di dalam, sebenarnya manfaatnya tidak banyak.

Untuk sebagian anggota yang lain, mereka tetap lebih suka status quo seperti itu terpelihara, karena mereka merasa nurani mereka tak terganggu, karena mereka merasa telah "berpengaruh" ke Indonesia dengan terlibat dalam organisasi seperti itu. Dan lagi "keterlibatan" seperti ini toh tak ada dampak negatifnya untuk mereka, walau mungkin yang mereka lakukan hanya bersosialisasi atau berdoa atau berzikir saja. Tentu saja saya tidak menyangkal kuasa doa dan pengaruhnya untuk Indonesia. (tapi kalau memang kegiatannya hanya doa, kok tidak pakai  label "kelompok berdoa untuk Indonesia"; ini lebih jujur)

Sebenarnya golongan kedua, "placebo defensif" ini jauh lebih parah dari golongan pertama yang saya gambarkan di atas. "Placebo defensif" sering dipakai oleh golongan yang sedang diserang/dikritik untuk menghentikan kritik. Cara yang biasa dilakukan adalah kelompok yang tak suka dikritik ini menyediakan sebuah "forum" untuk para kritikus. Di dalam forum ini, mereka diajak untuk "membuat platform bersama yang memperhatikan masalah ini," dsb. Nah, forum diskusi seperti inilah yang menjadi "placebo."

Strateginya adalah berusaha untuk menyudahi serangan kritik dengan seolah mengulurkan tangan menyambut dan mengulur waktu, dengan harapan agar serangan kritik menjadi semakin melemah akibat berjalannya waktu atau dimana para kritikus sudah cukup dipuaskan hanya dengan adanya forum ini.

Ini adalah praktek ulur waktu di mana kritik "dipuaskan" karena merasa golongan yang dikritik mau bekerja sama, sedangkan golongan yang dikritik sendiri berhasil mengalihkan topik diskusi. Jadi ucapan untuk mengajak bekerjasama sebetulnya dikeluarkan bukan karena memang ada itikad seperti itu, namun hanya sebagai "placebo" untuk memuaskan kritik dan menyudahi serangan.

Jadi inilah masalah terbesar kita, yakni kita banyak terjebak dalam "Feel good society," masyarakat yang merasa enak karena telah melakukan sesuatu: yakni terlibat dalam "masyarakat placebo."

Berdasarkan pergaulan saya bersama dengan beberapa kelompok seperti ini, saya temukan bahwa umumnya kelompok-kelompok ini tidak melakukan aktivitas ini dengan kesengajaan untuk mengelabui apalagi punya tujuan jahat. Tujuan tulisan ini adalah untuk menyadarkan mereka dan memaksimalkan apa yang sebenarnya mereka miliki (talenta) dan tidak hanya puas dengan aktivitas model placebo saja.

Bagaimana menghindarkan diri agar tidak terperangkap dalam "masyarakat placebo" ini? Sebetulnya yang terpenting adalah komitmen: kepedulian dan berapa banyak sumber daya baik material ataupun tenaga yang akan kita sumbangkan untuk kegiatan kita.

Kebanyakan "feel good society" terjadi karena sebetulnya kita tak memiliki dorongan lain selain "rasa bersalah" yang terbentuk karena kita tak memberikan dampak apa-apa untuk masyarakat sebagai warga negara Indonesia ayng berkecukkupan. Dipihak lain adalah fakta bahwa kita sendiri memang tak mau terlalu banyak menyumbang tenaga dan pikiran (get your hand dirty).

Ada kemungkinan lain dimana sumber daya kita memang sudah tersebar secara luas tapi tipis. Kalau hal itu yang memang terjadi, lebih baik kalau kita jangan membentuk aktivitas dan wadah baru dan lebih memfocuskan resources yang kita punya.

Ada baiknya kalau kita bergabung dengan kelompok aksi sosial seperti ini bukan karena kita merasa bersalah, namun seharusnya karena kita memang mau membuat dampak untuk masyarakat Indonesia. Untuk itu, kita bersedia menyumbangkan lebih banyak dan memiliki "personal stake" dalam kelompok tersebut.

Bagaimana cara mengukur apakah kita ber-placebo ria? Pertama-tama kita mungkin bisa melihat bahwa seberapa konkrit efek yang terjadi akibat aktivitas ini. Jika gerakan ini bersifat abstrak, mungkin kita perlu melihat sebesar apa aktivitas ini bisa memenuhi tujuan ideal gerakan ini, dan berapa persentase faktor "No Action Talk Only" hadir dalam gerakan ini.

Namun bagaimana kalau gerakan ini terjadi di "negeri seberang" seperti di Amerika Serikat dan Australia, di mana kita sulit sekali memberikan dampak nyata? Saya rasa mungkin yang terpenting adalah menyadari komitmen kita sendiri kepada organisasi ini, sebesar apa keikutsertaan kita dalam organisasi ini dan sebesar apa sumbangan kita dari segi waktu, dana, tenaga atau kesempatan?

Rasanya, ini lebih menyangkut soal intropeksi diri dalam diri kita sendiri, di mana kita harus mulai mengambil langkah mundur dan bertanya-tanya apakah yang kita lakukan adalah aksi "placebo," di mana memberi sedekah sudah cukup dan hidup "berbahagia," atau memang kita ingin melakukan aktivitas yang benar-benar ingin menimbulkan dampak bagi masyarakat.

Cara lain lagi yang mungkin akan berpengaruh adalah, bagaimana isu yang ingin kita hadapi lewat aktivitas-aktivitas kita tetap menjadi pergumulan dalam hidup kita secara terus menerus, di mana kita tetap berusaha mencari jalan yang lebih baik lagi untuk memperbaiki (improve) aktivitas tersebut bisa lebih memberikan dampak cukup besar kedalam masyarakat.

Jika kita berani berkata bahwa sumbangan kita sudahlah maksimal (ini bukan masalah dana, namun juga masalah komitmen seperti tenaga), sebagaimanapun kecilnya dampaknya bagi masyarakat, saya rasa yang sedang terbentuk bukanlah "masyarakat placebo," tapi gerakan nyata. Tapi kalau dalam refleksi kita, kita menyadari bahwa kok kayaknya gerakan ini sudah menyimpang dari tujuan dan sebetulnya tak sesuai dengan harapan kita pada mulanya, mungkin sudah waktunya kita bertanya-tanya apakah kita sedang terjebak dalam "masyarakat placebo."

No comments:

Post a Comment