Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Thursday, September 29, 2011

Sistem Pemilu 2004

Date: Mon, 16 Feb 2004
Subject: Sistem Pemilu 2004

Pemilu kedua setelah jatuhnya Orde Baru akan dilaksanakan pada bulan April 2004. Seperti biasa, kita akan memilih partai-partai yang kita anggap bisa mewakili kita di DPR dan MPR. Namun ada beberapa perbedaan antara pemilu ini dengan pemilu-pemilu yang lalu, terutama dari sistem pemilu yang digunakan, yakni campuran antara sistem distrik dan proporsional, yang berbeda dari pemilu yang lalu yang merupakan sistem proporsional.

Akibatnya, ada perbedaan yang cukup menyolok dari segi peraturan pengambilan dan penghitungan suara, dan menurut analisa awal saya, penghitungan suara dalam pemilu ini akan sangat merugikan partai-partai kecil. Namun kerugian ini mungkin bisa berguna di masa depan. Tulisan ini akan mencoba menerangkan kepada pembaca bagaimana sistem pemilu yang baru ini dan apa dampak dari sistem campuran yang digunakan dalam pemilu ini.

Pertama-tama, mari kita bahas cara pengambilan suara. Seperti biasa, kita sebagai warga negara yang ikut pemilu akan mencoblos partai. Misalnya, saya mencoblos PDI-P, sesudah saya mencoblos PDI-P, saya akan melihat beberapa calon wakil rakyat, diurut berdasarkan kebijaksanaan pemimpin partai. Nomor urut teratas yang diprioritaskan untuk mendapatkan kursi. Jadi jika PDI-P memenangkan 4 kursi, maka nomor 1-4 akan mendapatkan kursi di DPR.

Berbeda dari biasa, dalam pemilu kali ini, kita tak hanya mencoblos partai, namun juga tokoh mana yang kita anggap mewakili kepentingan kita. Jadi misalkan kita menyukai tokoh yang ada di nomor 7, maka sesudah memilih partai, maka kita perlu memilih nomor tersebut. Jika nomor tersebut mendapatkan jumlah di atas batas suara, maka nomor tujuh itulah yang akan mendapatkan kursi. Jadi dalam kasus ini, kemampuan ketua umum partai untuk mengatur siapa yang mendapatkan kursi dikurangi. Namun ada satu peringatan: pemilih tak boleh hanya memilih nama calon wakil saja, namun harus juga mencoblos partai. Jika partai tak dicoblos, maka suara dianggap gugur. Namun pemilih bisa mencoblos partai tanpa mencoblos nama, seperti yang dilakukan di pemilu-pemilu yang lalu. Itu adalah perbedaan prosedural.

Yang terpenting adalah perbedaan dari cara penghitungan suara. Berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, di mana penghitungan suara dilakukan per propinsi (e.g. di propinsi Jawa Barat partai-partai memperebutkan 90 kursi), dalam pemilu kali ini, penghitungan suara dihitung berdasarkan distrik. Jawa Barat yang memiliki 90 kursi dibagi atas 10 distrik pemilihan umum, di mana di setiap distrik, setiap partai memperebutkan sekitar 9 kursi.

Perbedaan ini kelihatannya tak berarti, namun ada satu dampak yang cukup signifikan, yakni terbuangnya dan terkikisnya partai-partai kecil akibat sistem ini. Mari saya ambil contoh Jawa Barat sendiri yang memperebutkan 90 kursi. Dalam pemilu dengan sistem representatif, misalnya Partai A memenangkan 10% suara, maka partai A akan memperoleh 9 kursi. Namun dengan sistem distrik, misalnya partai A mendapatkan 1% suara di tiap distrik, maka ini yang terjadi:

Misalnya: ada 12,000,000 penduduk; memperebutkan  29 kursi:
Partai A mendapatkan 6,000,000 suara
Partai B mendapatkan 3,000,000 suara
Partai C mendapatkan 2,500,000 suara
Partai D mendapatkan    500,000 suara
Dalam sistem representatif, partai A mendapatkan 50% (15), B mendapatkan 25% (7), C mendapatkan 20% (6), dan D mendapatkan 5% (1).

Bagaimana dengan distrik? Daerah ini dibagi ke dalam 3 distrik, dan tiap distrik memperebutkan 9-10 kursi.

Misalnya: distrik I: 4,000,000 - 10 kursi, BPP: 400,000; partai-partai mendapatkan suara yang sama:
Partai A mendapatkan 2,000,000 suara
Partai B mendapatkan 1,000,000 suara
Partai C mendapatkan 800,000 suara
Partai D mendapatkan 160,000 suara

Pembagian kursi:
Partai A mendapatkan 5 kursi
Partai B mendapatkan 3 kursi (1,000,000 - 800,000 = 200,000)
Partai C mendapatkan 2 kursi
Partai D mendapatkan 0 kursi (160,000)
Partai D kalah di tiap distrik, dan akhirnya sewaktu penghitungan suara dilakukan, partai D yang seharusnya mendapatkan 5% mendapatkan 0 kursi (0%). Partai B mendapatkan 30%, melebihi 25% yang didapatnya dalam sistem representasional.

Tentu saja banyak kelemahan dalam skenario ini, misalnya Partai D mungkin kuat di distrik X, sehingga bisa mendapatkan 2 kursi, namun secara keseluruhan, sistem ini menguntungkan dua partai terbesar karena memperbesar angka suara yang didapatkannya dibandingkan dengan perolehan sebenarnya, dan mengurangi pendapatan suara partai-partai kecil.

Ada keuntungan dengan sistem ini: yakni partai-partai kecil yang biasanya adalah partai-partai radikal atau fundamentalis yang tak banyak menerima dukungan dari mayoritas menjadi semakin terpuruk. Agar bisa menang pemilu, maka partai-partai tersebut perlu memperbesar "market" mereka, menjangkau lebih banyak orang, atau dengan kata lain menjadi lebih moderat. Sistem ini pun memaksa pembentukan beberapa partai besar yang harus bersikap moderat dan pemerintahan yang terbentuk pun akan lebih stabil.

Di sisi lain, kerugian dari sistem ini adalah membuat orang-orang yang merasa tak terwakili oleh dua partai besar tersebut tak memiliki jalan keluar untuk aspirasinya. Lebih sulit lagi jikalau partai-partai besar tersebut tak memiliki komitmen yang tinggi untuk kehidupan demokrasi (misalnya mendorong agenda yang menguntungkan hanya satu kelompok tertentu). Jika ini yang terjadi, maka kita hanya bisa berharap bahwa para pemilih lebih terinformasi dan lebih moderat sehingga mereka bisa menyadari tentang buruknya partai tersebut dan memilih partai lain yang lebih moderat dan pluralistis.
---

Pemilihan Presiden

Setelah pemilu DPR/DPD selesai, maka partai-partai yang melebihi batas threshold berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Di sini kelihatannya tak ada masalah. Kita kembali ke balot suara dan memilih presiden secara langsung. Jikalau seorang calon presiden mendapatkan suara lebih dari 50%, maka ia akan langsung diumumkan sebagai pemenang. Namun jika pendapatan suara dibawah 50%, maka akan diadakan ronde dua pemilihan presiden, di mana dua pasang calon yang mendapatkan suara terbanyak akan "bertanding."

Dalam undang-undang ditentukan bahwa rakyat juga akan memilih presiden secara langsung dalam ronde kedua. Namun ada kemungkinan bahwa MPR akan turun tangan dan menginterpretasikan undang-undang - bahwa MPR-lah yang akan memilih presiden di ronde kedua. Tapi tafsiran ini kelihatannya akan sulit dilakukan.

Sistem pemilihan presiden seperti ini memiliki beberapa keuntungan.

Pertama, presiden akan memiliki mandat yang lebih kuat dibandingkan biasa - karena presiden langsung dipilih rakyat, maka ia tak perlu lagi berkompromi di MPR/DPR dan membentuk kabinet pelangi. Presiden bisa langsung membentuk kabinet sesuai kehendaknya, memasukkan orang-orang yang dianggapnya mampu dan tak akan menjegal keputusannya - tidak seperti sistem kabinet pelangi yang kita sekarang miliki. Faktanya, pemilu ini memberikan legitimasi dan bersama dengan itu, kekuasaan yang cukup besar kepada presiden.

Kembali, permasalahannya adalah bagaimana jika presiden yang dipilih "berengsek." Di sini MPR perlu berperan - sebagai badan yang akan meminta pertanggungjawaban presiden (impeach), walau ada kemungkinan akan terjadi skenario "Russia" atau "Venezuela," di mana presiden dan parlemen keduanya merasa lebih berkuasa dan memiliki legitimasi, sehingga mereka berusaha saling menjatuhkan dan saling mensabotase.
---

Implikasi:

Pemilu kali ini akan memperkuat partai-partai besar dan mengurangi pengaruh partai-partai kecil, dan kelihatannya perkembangan sistem politik yang terjadi adalah ke arah beberapa partai besar saja. Di sisi lain, presiden pun akan memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih tinggi dari sebelumnya (sesudah jatuhnya Orde Baru), sehingga jabatan presiden akan sangat diperebutkan. Ada kemungkinan terjadinya kerusuhan jika perbedaan suara yang didapat tak terlalu besar dan apalagi jika tuduhan kecurangan muncul dan terbukti, mengingat betapa besarnya kekuasaan yang diperebutkan dalam pemilu ini.

Mengingat analisa yang telah saya sampaikan barusan, maka ini menjadi tantangan tambahan bagi para pendukung Partai Kristen. Partai Kristen di sistem ini harus bisa mendapatkan minimal satu kursi di tiap distrik dan 3% kumulatif untuk skala nasional agar bisa bertahan dan bisa mencalonkan tokohnya menjadi presiden. Ini juga menjadi tantangan tambahan: jika partai Kristen tak sanggup mendapatkan cukup suara untuk bertahan, maka partai Kristen akan membuang-buang suara orang-orang Kristen yang memutuskan untuk memilih partai tersebut

Jika partai Kristen gagal mendapatkan suara yang dibutuhkan, maka ada beberapa hal yang bisa terjadi:
1. Koalisi, melebur kepada satu partai besar
2. Mengganti retorika, dari fokus hanya ke kalangan sendiri menjadi memperbesar "market," misalnya orang-orang Islam
3. Terus bertahan, dan akhirnya akan menjadi irrelevan

Tindakan lain yang bisa dilakukan adalah pemusatan kampanye. Kelihatannya kebanyakan orang-orang yang menjadi target partai Kristen tinggal di perkotaan di Jawa dan sedikit sekali di daerah, kecuali di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Jika partai Kristen berhasil memperkuat pengaruhnya di beberapa distrik tersebut, maka ada kemungkinan Partai Kristen bisa mendapatkan cukup kursi di pemerintahan. Itu jugalah kelihatannya yang menjadi strategi Partai Keadilan Sejahtera - yang kebanyakan anggotanya intelektual yang tinggal di perkotaan.

Tahun monyet ini akan sangat menarik.

YS

No comments:

Post a Comment