Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, August 28, 2011

Teater Gereja

Tulisan lama untuk milis Kristen, tentang bahaya terlalu terpakunya orang-orang Kristen kepada ritual agama daripada kepada substansi agama.

YS

--------
Date: Sun, 03 Nov 2002
Subject: Teater Gereja
------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan yang akan mempunyai anak minggu ini. (Dedikasi ini juga untuk suaminya).
YS
--------
Abstrak: Dalam tulisan ini saya mencoba memperlihatkan ada pola pikir dibawah sadar kita yang menyamakan gereja kita dengan teater, dan menunjukkan dampak-dampak negatif yang terjadi dengan pola pikir ini, yakni terlalu ritualistik atau dogmatik.
----
Pernahkah anda melihat teater atau film? Dalam teater, apa yang kita lakukan? Kita memperhatikan para aktor dan aktris berakting, mengikuti script (untuk simplifikasi, saya akan memakai kata "aktor" saja - namun artinya adalah para aktor dan aktris). Di saat itu, aktor itu yang mungkin sehari-harinya pemurung, menjadi ceria - karena peran yang dimainkannya memang tentang orang ceria, dan lain sebagainya.

Para aktor memainkan peran mereka berdasarkan interpretasi mereka tentang apa yang diinginkan oleh penulis skript itu sewaktu ia membuat peran itu. Para pemain sangat perlu untuk mengerti terhadap peran yang mereka mainkan dan bagaimana membawakan peran itu. Aktor-aktor yang profesional biasanya terlihat sekali dalam pertunjukan teater: permainan mereka sangat bagus dan mereka bisa dengan tepat menggambarkan karakter orang yang mereka mainkan.

Namun interpretasi mereka terhadap peran mereka sering sekali berbeda. Misalnya, interpretasi Partick Steward terhadap Hamlet (tokoh karangan Shakespeare) sangat berbeda dengan interpretasi Mel Gibson tentang Hamlet, sehingga mereka memainkannya berbeda, padahal ini tokoh yang sama- Hamlet. Akira Kurosawa, dalam membuat film "Ran," menginterpretasikan King Lear dengan lensanya sendiri - sehingga ia membuat pertunjukan Shakespeare dengan aroma Jepang, sementara mungkin direktur lain akan membuat King Lear yang sangat berbeda. Permainan Leonardo Dicaprio di "Romeo dan Juliet" berbeda dengan permainan aktor lain dalam pertunjukan yang memiliki tokoh yang sama.

Bagaimana para penonton? Penonton biasanya tak tertarik untuk membaca semua latar belakang pertunjukan tersebut, dst. Mereka mau para aktor itu sudah "membelah" skripsi pertunjukan itu, mengerti, dan mempertunjukkannya di depan para penonton. Ekspresi dan cara permainan aktor-aktor itu menjelaskan kepada penonton tentang apa isi cerita tersebut.

Semua penonton duduk diam, memperhatikan pertunjukan itu. Bagi penonton, sejelek apapun permainannya, tata krama dan nilai-nilai sosial memaksa mereka untuk tetap duduk dengan tenang - dan tentunya kalau permainannya benar-benar parah, penonton memiliki kesempatan untuk keluar dari teater itu dan tak akan kembali lagi untuk melihat permainan berikut.

Biasanya penonton menjadi "tergila-gila" terhadap salah satu pemain karena kehebatannya membawakan peran tersebut. Lihat saja aktor-aktris film seperti Harrison Ford, Tom Cruise, dsb; yang selain mereka memang tampan, permainan mereka memang sangat bagus. Untuk penonton tersebut, film-film Harrison Ford pasti selalu bagus.

Selain para pemain, pertunjukan teater atau film sangat memerlukan konteks: latar belakang panggung, efek, benda-benda, dan lain sebagainya. Pertunjukan teater ataupun film, kalau tak ada latar belakang misalnya pemandangan, dsb - pokoknya pembuat konteks - akan terlihat sangat konyol. Apa yang bisa dimengerti dari misalnya adegan Rambo yang menembaki orang Komunis, namun latar belakangnya warnanya cuma putih. Tapi begitu Rambo diposisikan di hutan rimba, atau di tengah desa Vietnam, baru konteksnya terlihat dan kita mengerti bahwa ini bukan orang gila yang menembaki orang-orang di depan layar putih.

Gereja juga sama. Gereja adalah teater, di mana kita masuk gereja untuk di-"hibur" oleh pementasan kegiatan rohani. Di banyak gereja Katolik misalnya, kalau pendeta masuk perlu diiringi anak yang membawa salib atau menyan untuk memberikan situasi ritualitas dan keagungan tersebut. Di gereja-gereja Protestan, pendeta masuk diikuti pembantunya yang membawakan kitab atau apa saja. Semua ini untuk memberikan konteks bahwa anda masuk gereja, bukan ke sebuah klub malam. Ritualitas seperti ini diperlukan untuk memberikan suasana religius, meningkatkan kewibawaan pendeta yang akan memimpin acara atau membawakan khotbah, dsb.

Tradisi teater gereja memiliki akar yang sangat panjang, yakni dari akhir jaman Romawi di mana gereja mengalami sinkretisme dengan budaya lokal dalam kegiatan keagamaan. Penyembahan-penyembahan dewa-dewi Romawi atau Yunani, atau daerah manapun memerlukan sebuah gedung dan pertunjukan teater ini, demi membuat suasana menjadi khusyuk dan penuh rasa spiritualistis.

Misalnya saja "Oracle of Delphi," tempat orang Yunani meramal nasib. Untuk masuk ke Oracle dan bertanya kepada Dewa Apollo, seseorang perlu bertemu dengan para pendeta wanitanya, dan mereka akan mengadakan semacam upacara, dan lalu salah satu pendetanya masuk ke ruang bawah tanah, dan waktu keluar, biasanya ia sudah "kepenuhan" dan ia akan memberikan ramalannya. Tanpa upacara-upacara seperti ini, Oracle tak akan ada bedanya dengan dukun-dukun ramal di Jawa. Tapi upacara ini menyebabkan Oracle mendapatkan keagungannya dan membuat ramalannya menjadi sangat diikuti.

Naiknya Kristen menjadi agama negara Romawi dan juga karena pergaulannya dengan budaya setempat menyebabkan agama Kristen pun terpengaruh oleh kegiatan teater ini. Coba kalau kita baca Kisah Para Rasul, terlihat bahwa gereja-gereja pertama seperti yang dipimpin Paulus, dilakukan bukan di gedung megah, melainkan di sebuah persekutuan kecil - contohnya di sebuah rumah di Troas di mana Paulus membangkitkan Eutychus yang jatuh dari tingkat tiga. Tak mungkin jaman itu ada kebaktian di sebuah gereja yang bertingkat tiga, apalagi di tengah penganiayaan terhadap orang Kristen. Namun setelah Kristen menjadi agama negara, gereja berasimilasi dengan budaya teater ini, di mana sekarang untuk kebaktian, diperlukan sebuah gedung gereja dan ritual dan upacara yang sangat kompleks. Tak ada salahnya untuk beritual, namun kesalahan terbesar adalah kalau ritual ini menggantikan pengertian tentang ke-Kristenan yang selalu terjadi.

Di Eropa misalnya, sewaktu Luther mengadakan reformasi besar-besaran dan ide reformasi berkembang, banyak pendeta yang perlu dididik ulang, karena fokus mereka lebih ke acara ritual tiap minggu, bukan untuk memperkuat iman rakyat.

Di jaman sekarang, kondisi sudah lebih membaik, banyak pendeta memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup. Sayangnya sering kali juga fokus yang terbentuk masih tetap sama: yakni penekanan terhadap ritualisme dan bukan kepada Firman.

Banyak sekali contoh dari penekanan kepada ritualisme ini di kalangan jemaat. Misalnya saja, ke gereja untuk mendapat berkat atau untuk menghapus dosa, sementara hari-hari biasa kelakuannya tak mencerminkan orang-orang Kristen. Misalnya saja, berapa banyak orang yang bisa berkata bahwa mereka ditipu atau dikerjai pengusaha yang mengakunya beragama Kristen. Bahkan pendeta pun tak luput: ada beberapa sumber yang menclaim bahwa ada seorang pendeta yang namanya sangat terkenal di Indonesia, namun ia sering mengunjungi -maaf- tempat-tempat mesum - dan sayangnya bukan untuk berkhotbah atau melayani orang-orang seperti Romo Mangun - tapi untuk dilayani.

Ini adalah dampak dari kepercayaan bahwa gereja itu sebuah teater, sehingga kita hanya perlu tiap minggu ke teater ini untuk melihat pertunjukan ini, lalu pulang sampai minggu berikutnya. Gereja yang bersifat teater ini hanya akan merusak jemaatnya. Mereka menjadi terlalu menekankan ritualisme: jemaat perlu melakukan ini, itu, pendeta/biarawan/biarawati perlu berpakaian ini, itu, dsb; tanpa mengerti latar belakang peraturan itu. Ritualisme menjadi agama, dan peraturan yang dibuat manusia menjadi sesuatu yang sakral.

Beberapa gereja berusaha agar mereka tak jatuh dalam perangkap ini, dan mereka benar-benar menanamkan doktrin ke anggotanya dan membangun pemahaman Firman. Namun sekarang timbul masalah baru: kultus bintang film. Bintang film merupakan salah satu sarana pemikat publik yang bagus. Misalnya saja, kepercayaan bahwa kalau yang main itu Liu Te Hua, Ling Cing Xia (pasti salah tulis), atau mungkin Harrison Ford, filmnya pasti bagus. Beberapa menjadi sangat tergila-gila, misalnya kalau dibilang bahwa misalnya Harrison Ford itu payah, pasti langsung tersinggung dan mati-matian membela bintang film itu. Menurut mereka, interpretasi bintang film tersebut kepada skripsinya 100% benar, dan terlihat dari mainnya yang 100% bagus, sehingga mereka pasti selalu hebat.

Ganti semua nama bintang film itu dengan nama pendeta, dan anda akan melihat pola yang sama. Banyak pendeta dianggap memiliki doktrin yang satu-satunya benar, baik misalnya bahasa Roh, baptisan Toronto, predestinasi, dsb. Para pengikutnya mati-matian membela pendeta dan doktrinnya itu, berpedoman "tak ambil tawanan," dan menyerang para pengikut pendeta lain tanpa ampun ataupun berkompromi. Untuk mereka, bintang film ini pasti bagus mainnya, karena itu tak perlu melihat film yang lain karena pasti parah.

Saya terus terang merasa bahwa yang sering sekali terjadi adalah pengikutnya sendiri tak memiliki pengetahuan mendalam tentang Alkitab (skript). Doktrin (permainan) menjadi jalan pintas bagi penonton untuk mengerti dan membaca skript tersebut. Namun karena hanya itulah cara mereka mengerti skripsi itu, dan mereka jadinya menjadi fanatik. Lebih parah lagi, pembacaan Alkitab menjadi dilakukan melalui lensa doktrin.

Sangat disayangkan bahwa untuk para pengikut itu, mereka melupakan fakta bahwa semua doktrin itu adalah interpretasi para pendeta itu terhadap Alkitab. Sama seperti para aktor yang berperan di teater dan di film, para pendeta membaca Alkitab, menginterpretasikannya, dan kemudian menyebarkannya. Karena faktor "manusia" inilah maka setiap orang akan menginterpretasikan Alkitab berbeda-beda dan membuat doktrin (akting) yang berbeda. Namun para pengikutnya menyatakan doktrin sebagai sesuatu yang mutlak, bukan interpretasi, dan akhirnya perselisihan tajam pun terjadi.

Terlalu fokusnya gereja dalam ritualisme dan gontok-gontokan doktrin menyebabkan gereja melupakan mandat budaya. Energi yang harusnya bisa digunakan untuk mandat budaya habis difokuskan untuk memperindah ritual dan memperbanyak para pendukung pendeta. Yang terjadi adalah gereja kekurangan orang yang kompeten di bidang "mandat budaya" dan terlepas dari dunia nyata, dan sering juga dampaknya adalah gereja semakin kehilangan domba-dombanya ataupun orang yang berpotensial menjadi Kristen karena mereka muak melihat teater gereja ini. Gereja Indonesia sekarang lebih bersifat teater daripada fungsi gereja sebenarnya, yakni sarana untuk pemupukan iman dan memperlengkapi orang Kristen. Gereja yang terlalu bersifat teater pada jangka panjangnya akan mengalami banyak kesulitan.
Sebelum terlambat, kita perlu merefleksi diri, apakah gereja kita adalah teater?

Kalau gereja mau mereformasi dirinya, gereja perlu menyadari tentang bahaya-bahaya yang saya sebutkan di atas: ritualistis dan dogmatis. Untuk yang ritualistis, gereja perlu memikirkan ulang apa fungsi gereja itu: apakah gereja sebagai tempat untuk beritual atau tempat untuk mendidik jemaat dan dari sana berusaha menggantikan cara berpikir ritualistis menjadi lebih edukasionil.

Untuk yang dogmatis dalam doktrin, para pendukung doktrin perlu menyadari bahwa yang mereka miliki hanyalah interpretasi tentang Alkitab, sehingga mereka perlu lebih terbuka dalam menerima ide. Kita perlu berhenti bergontok-gontokan dalam segi doktrin, dan perlu lebih menyadari perbedaan ini hanyalah pada segi interpretasi. Dari sana, kita berusaha saling bekerja sama untuk lebih bisa bergerak di mandat budaya.

YS

No comments:

Post a Comment