Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Thursday, August 4, 2011

Keadilan Sosial dan Keutuhan Bangsa

Artikel panjang ini seingat saya dipotong sampai setengahnya waktu diterbitkan di Sinar Harapan. Memang artikel ini terlalu panjang dan berbelit-belit, menarik tapi meluber.
--------------

Keadilan Sosial dan Keutuhan Bangsa
Oleh Yohanes Sulaiman
Sinar Harapan, 16 Agustus 2001
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0108/16/opi02.html

Negara sering kali menganggap bahwa kerusuhan social disebabkan orang-orang yang hanya ingin memecah persatuan bangsa. Padahal ada beberapa kasus di mana kerusuhan terjadi karena alasan yang bisa diterima dengan akal sehat, yakni perasaan bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil. Paper ini mencoba mengupas apa itu keadilan dan bagaimana keadilan bisa menjadi pedang yang mengancam keutuhan negara Indonesia dan apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasinya.

Apa itu keadilan? Keadilan adalah sesuatu yang sulit sekali untuk dijelaskan karena keadilan memiliki banyak definisi dan hampir setiap orang yang saya tanyai memiliki pandangan yang berbeda tentang apa itu keadilan.

Akibatnya, apa yang saya anggap adil belum tentu dianggap orang lain sebagai sesuatu yang adil. Karena itu saya bisa simpulkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang subjektif, bukan objektif. Namun satu hal yang pasti adalah agar suatu konsep bisa dianggap sebagai adil, konsep itu harus disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan.

Kalau begitu, bagaimana jika sesuatu konsep tak disetujui oleh semua orang?

Coba perhatikan eksperimen yang dilakukan oleh Werner Guth, Rolf Schmittberger, dan Berndt Schwarze di tahun 1982. Werner Guth, Rolf Schmittberger, dan Berndt Schwarze membagi para partisipan riset mereka ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari dua orang. Mereka kemudian memberikan $10 kepada salah satu orang dari tiap kelompok secara terang-terangan dan meminta kepada tiap orang yang mereka berikan $10 untuk memberikan berapa pun yang mereka mau kepada partnernya dengan catatan bahwa jika partnernya tidak setuju, maka kedua orang itu akan kehilangan $10 itu. Hasilnya adalah sebagian besar peserta memilih untuk memberikan $5 kepada partnernya dan sebagian kecil peserta memilih untuk menolak pemberiannya.

Eksperimen ini diulang oleh Daniel Kahneman, Jack L. Knetsch, dan Richard H. Thaler di tahun 1986 dengan meminta kepada orang yang diberikan $10 secara tersendiri untuk memberikan $2 kepada partnernya, namun kepada kedua orang itu diberitahukan bahwa mereka akan menerima $10. Hasilnya sebagian besar peserta yang menerima $2 lebih memilih untuk menolaknya dan secara otomatis yang mendapat $10 kehilangan $8 (Kahneman and Tversky, 2000. pp. 328-9).

Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan memilih untuk menghukum orang yang dianggap memerlakukannya secara tidak adil. Salah satu caranya adalah merelakan diri mereka kehilangan apa yang bisa mereka dapatkan. Dalam kasus di atas, orang yang mendapat $2 memilih untuk menghukum orang yang dianggap memperlakukannya secara tak adil dengan merelakan dirinya kehilangan $2 agar bisa membuat partnernya kehilangan $8. Hal yang menarik dari kasus di atas adalah orang yang kedua sebetulnya tak akan rugi jika ia hanya menerima $2. Ia tak melakukan apa-apa untuk mendapatkan $2. Bahkan ia malahan menerima kerugian dengan menolak $2 demi membuat partnernya kehilangan $8. Tapi itulah faktanya. Perasaan bahwa seseorang diperlakukan tak adil akan membuat orang itu berani menanggung resiko rugi untuk menghukum orang yang dianggap memperlakukannya secara tidak adil.

Perang adalah salah satu dampak dari kasus ini dalam dunia nyata. Kaum rasionalis seperti James Fearon selalu menyatakan bahwa perang itu mahal, karena itu setiap negara akan berusaha menghindari perang dengan cara negosiasi. Namun karena setiap orang tak bisa secara tepat memperkirakan kekuatan orang lain, maka negara memiliki insentif untuk memperdayai lawannya untuk mendapat keuntungan. Perang akan terjadi jika mufakat tak dapat diraih dalam perundingan (Fearon, 1995).

Secara rasional, ide Fearon benar, namun David A. Welch dalam bukunya Justice and the Genesis of War menyatakan bahwa motivasi manusia untuk berperang adalah keadilan. Sebuah negara yang tak diperlakukan secara tak adil akan lebih bermotivasi untuk membakar api peperangan untuk mendapatkan apa yang mereka anggap adil. Eksperimen cognitive di atas cukup mendukung hipotesis Welch bahwa orang-orang cenderung untuk mengorbankan apa yang bisa mereka dapatkan untuk menghukum orang yang memperlakukan mereka secara tak adil. Tapi apakah alasan untuk perang semudah itu?

Kaum realis pengikut Hans J. Morgenthau akan mempertanyakan ide di atas. Morgenthau dalam bukunya yang terkenal Politics Among Nations menyatakan bahwa sebuah negara tidak mungkin akan bisa mengetahui secara pasti motivasi dan tujuan negara lain secara objektif. Motivasi sendiri tak akan bisa dilihat karena setiap negara akan berusaha menyembunyikan motivasi mereka yang sebenarnya. Karena itu, Morgenthau berusaha memudahkan perhitungan politik dengan mengasumsikan bahwa motivasi tiap negara adalah kekuasaan.

Keadilan merupakan salah satu alasan termudah yang bisa digunakan negara untuk memperluas kekuasaan. Alasan ‘demi keadilan’ bisa membantu sebuah negara untuk mengumpulkan dukungan rakyat atau dukungan internasional. Sebagai contoh, Adolf Hitler di tahun 1930-an menyerbu Austria, Czechoslovakia, dan Polandia dengan menggunakan alasan bahwa ia ingin menuntut keadilan dari perjanjian Versailles yang memang sangat mengekang Jerman. Banyak lagi contoh-contoh yang bisa disebutkan, tapi intinya adalah keadilan merupakan alasan terbaik bagi negara untuk memperluas kekuasaannya. Karena itu, setiap negara akan berusaha melakukan propaganda untuk memikat hati rakyat agar menyetujui politiknya. Untuk itu dengan alasan keadilan, sebuah negara bisa terus menyerbu negara lain dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun begitu, apakah ide ‘keadilan’ hanyalah sebuah propaganda dan tak bisa digunakan untuk menjelaskan perang? Tidak juga. David Welch menyatakan bahwa justru karena keadilan merupakan alasan termudah sebuah negara, maka jarang sekali sebuah negara menggunakan alasan ini (Welch, 1993. pp 44). Contohnya, dalam pengadilan, hampir tak pernah terjadi kasus pembelaan seorang pemerkosa bahwa alasan dia memperkosa korbannya karena ia ingin keadilan. Pembunuh juga jarang sekali menyatakan karena ia mencari keadilan karena itu ia membunuh korbannya, kecuali jika itu adalah alasan sebenarnya.Karena keadilan itu memang sesuatu yang terlalu sulit untuk dipercaya di pengadilan intelektual, maka ide ini jarang sekali digunakan kecuali jika memang keadilan merupakan sesuatu yang menjadi alasan utama.

Dalam kehidupan bernegara, negara adalah pemberi keadilan bagi rakyatnya, dan hal itu diakui rakyat dan menjadi konsensus bersama sehingga rakyat dengan senang hati menyerahkan hak mereka dalam hukum kepada negara. Karena itu, dalam negara yang memang berfungsi secara lancar, rakyat jarang sekali main hakim sendiri dengan tindakan-tindakan yang sangat ekstrim karena rakyat percaya bahwa negara akan memutuskan setiap perkara secara adil.

Namun dalam beberapa kasus tertentu, negara tak lagi bisa dianggap sebagai pemberi keadilan dan tak lagi disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai sebagai sumber keadilan. Akibatnya, rakyat memilih untuk melaksanakan hukum dengan tangan sendiri. Beberapa contoh di Indonesia adalah peristiwa pembakaran tersangka perampokan. Namun dalam kasus ekstrimnya dan sekarang sedang terjadi di Indonesia adalah rasa ketidakadilan berkembang menjadi gerakan separatisme.

Gerakan separatisme berkembang karena kaum separatis percaya bahwa negara memperlakukan mereka secara tidak adil dan negara tak berbuat apa-apa untuk menjawab keluhan mereka. Begitu otoritas negara melemah, maka secara otomatis gerakan separatisme akan beraksi. Contoh gerakan ini di Indonesia adalah Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, dan perjuangan kemerdekaan di Timor Timur.

Di sisi lain, pemberontakan massal terjadi karena mereka percaya bahwa pemerintah tak sanggup lagi memberikan jaminan bahwa mereka tak akan diperlakukan secara tak adil. Sebetulnya jenis ini adalah jenis yang bisa dicegah, namun Pemerintahan Orde Baru yang autoritarian menyebabkan sinyal ketidakpuasan rakyat tak terlihat. Melemahnya otoritas pemerintah dan rasa bahwa tak ada harapan untuk mereka untuk mendapatkan keadilan yang diakibatkan negara yang dianggap berpihak kepada sebelah pihak menyebabkan kerusuhan mudah meledak. Kerusuhan di Maluku dan Kalimantan Tengah adalah contoh dari pemberontakan massal akibat perasaan bahwa mereka tak diperlakukan secara adil.

Rasa kecewa dan kepercayaan bahwa pemerintah tak lagi menjadi penengah yang netral menyebabkan kaum-kaum yang bertikai seperti di Kalimantan Tengah mengangkat senjata dan menyerbu etnis atau golongan lain yang dianggap sebagai pihak yang diuntungkan oleh kebijakan negara.

Lama sebelum tejadinya krisis ekonomi dan konflik etnis di Indonesia, sebetulnya Indonesia sudah mendapatkan lampu kuning yakni dalam contoh kehancuran Yugoslavia. Sebelum terpecahnya Yugoslavia, ketiga ethnis hidup berdampingan tanpa ada masalah dan kaum Serbia sendiri berpendapat bahwa kerusuhan disebabkan oleh sebagian gerombolan ekstrimis (Gleny, 1993. pp. 19). Namun begitu Croatia menyatakan diri merdeka, kaum Serbia di Croatia merasa diri mereka terancam. Lebih buruk lagi untuk mereka, pemerintah baru di Croatia sama sekali tidak memberikan jaminan atau paling sedikit usaha untuk meringankan kekuatiran mereka. Akhirnya yang terjadi adalah kaum Serbia berusaha memisahkan diri mereka dari negara baru ini dan terjadi perang saudara.

Keadilan merupakan alasan yang paling mudah untuk meraih dukungan rakyat. Perang bisa dengan mudah terjadi karena rakyat merasa diperlakukan tidak adil berusaha memperbaiki ketidakadilan itu dan bahkan rela mengorbankan keuntungan mereka. Perang-perang kemerdekaan merupakan contoh-contoh yang positif dari kegunaan prinsip keadilan. Indonesia yang dijajah Belanda berusaha membebaskan dirinya dengan perang. Antek-antek Belanda di Indonesia kemudian diadili. Di Jawa bahkan antek-antek Belanda jauh lebih dibenci daripada orang Belanda sendiri karena rakyat Jawa merasa antek-antek itu memperlakukan sesamanya secara tak adil.

Namun banyak juga contoh-contoh negatif dari perang keadilan. Beberapa diantaranya adalah gerakan separatis dan kerusuhan massal. Karena itu, untuk mencegah agar gerakan separatisme dan kerusuhan massal bisa terjadi, pemerintah wajib memberikan jaminan kepada rakyat, terutama kepada kaum minoritas yang merasa terdesak, bahwa pemerintah memperhatikan kegelisahan dan keluhan rakyat serta memberikan rasa bahwa pemerintah akan berusaha menegakkan keadilan.

Sampai sekarang jaminan keadilan dari pemerintah sangatlah kurang. Orde Baru memberikan pelajaran bahwa militer adalah organisasi pengawal negara dan militer akan menumpas setiap gerakan yang berusaha memperlihatkan ketidak-puasan rakyat kepada negara. Karena itu begitu Orde Baru jatuh, muncul gerakan-gerakan separatisme dan kerusuhan massal. Gerakan-gerakan separatisme dan kerusuhan massal tak akan terjadi hanya oleh provokator saja, namun juga berasal dari kegelisahan rakyat bahwa pemerintah tak menjamin keadilan bagi mereka.

Karena itu, prioritas utama pemerintahan Megawati seyogyanya adalah memberikan kembali jaminan keadilan kepada rakyat. Walaupun jaminan keadilan tak bisa diberikan secepat mungkin, tapi jika pemerintah terlihat berusaha untuk memberikan jaminan keadilan, maka paling sedikit kerusuhan massal akan berkurang. Selain itu juga pemerintah wajib membentuk komisi untuk rekonsiliasi negara yang menerima keluhan, menjadi penengah, dan memulihkan kepercayaan rakyat atas kesatuan dan persatuan Indonesia.

No comments:

Post a Comment