Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, August 28, 2011

Teater Gereja

Tulisan lama untuk milis Kristen, tentang bahaya terlalu terpakunya orang-orang Kristen kepada ritual agama daripada kepada substansi agama.

YS

--------
Date: Sun, 03 Nov 2002
Subject: Teater Gereja
------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk rekan yang akan mempunyai anak minggu ini. (Dedikasi ini juga untuk suaminya).
YS
--------
Abstrak: Dalam tulisan ini saya mencoba memperlihatkan ada pola pikir dibawah sadar kita yang menyamakan gereja kita dengan teater, dan menunjukkan dampak-dampak negatif yang terjadi dengan pola pikir ini, yakni terlalu ritualistik atau dogmatik.
----
Pernahkah anda melihat teater atau film? Dalam teater, apa yang kita lakukan? Kita memperhatikan para aktor dan aktris berakting, mengikuti script (untuk simplifikasi, saya akan memakai kata "aktor" saja - namun artinya adalah para aktor dan aktris). Di saat itu, aktor itu yang mungkin sehari-harinya pemurung, menjadi ceria - karena peran yang dimainkannya memang tentang orang ceria, dan lain sebagainya.

Para aktor memainkan peran mereka berdasarkan interpretasi mereka tentang apa yang diinginkan oleh penulis skript itu sewaktu ia membuat peran itu. Para pemain sangat perlu untuk mengerti terhadap peran yang mereka mainkan dan bagaimana membawakan peran itu. Aktor-aktor yang profesional biasanya terlihat sekali dalam pertunjukan teater: permainan mereka sangat bagus dan mereka bisa dengan tepat menggambarkan karakter orang yang mereka mainkan.

Namun interpretasi mereka terhadap peran mereka sering sekali berbeda. Misalnya, interpretasi Partick Steward terhadap Hamlet (tokoh karangan Shakespeare) sangat berbeda dengan interpretasi Mel Gibson tentang Hamlet, sehingga mereka memainkannya berbeda, padahal ini tokoh yang sama- Hamlet. Akira Kurosawa, dalam membuat film "Ran," menginterpretasikan King Lear dengan lensanya sendiri - sehingga ia membuat pertunjukan Shakespeare dengan aroma Jepang, sementara mungkin direktur lain akan membuat King Lear yang sangat berbeda. Permainan Leonardo Dicaprio di "Romeo dan Juliet" berbeda dengan permainan aktor lain dalam pertunjukan yang memiliki tokoh yang sama.

Bagaimana para penonton? Penonton biasanya tak tertarik untuk membaca semua latar belakang pertunjukan tersebut, dst. Mereka mau para aktor itu sudah "membelah" skripsi pertunjukan itu, mengerti, dan mempertunjukkannya di depan para penonton. Ekspresi dan cara permainan aktor-aktor itu menjelaskan kepada penonton tentang apa isi cerita tersebut.

Semua penonton duduk diam, memperhatikan pertunjukan itu. Bagi penonton, sejelek apapun permainannya, tata krama dan nilai-nilai sosial memaksa mereka untuk tetap duduk dengan tenang - dan tentunya kalau permainannya benar-benar parah, penonton memiliki kesempatan untuk keluar dari teater itu dan tak akan kembali lagi untuk melihat permainan berikut.

Biasanya penonton menjadi "tergila-gila" terhadap salah satu pemain karena kehebatannya membawakan peran tersebut. Lihat saja aktor-aktris film seperti Harrison Ford, Tom Cruise, dsb; yang selain mereka memang tampan, permainan mereka memang sangat bagus. Untuk penonton tersebut, film-film Harrison Ford pasti selalu bagus.

Selain para pemain, pertunjukan teater atau film sangat memerlukan konteks: latar belakang panggung, efek, benda-benda, dan lain sebagainya. Pertunjukan teater ataupun film, kalau tak ada latar belakang misalnya pemandangan, dsb - pokoknya pembuat konteks - akan terlihat sangat konyol. Apa yang bisa dimengerti dari misalnya adegan Rambo yang menembaki orang Komunis, namun latar belakangnya warnanya cuma putih. Tapi begitu Rambo diposisikan di hutan rimba, atau di tengah desa Vietnam, baru konteksnya terlihat dan kita mengerti bahwa ini bukan orang gila yang menembaki orang-orang di depan layar putih.

Gereja juga sama. Gereja adalah teater, di mana kita masuk gereja untuk di-"hibur" oleh pementasan kegiatan rohani. Di banyak gereja Katolik misalnya, kalau pendeta masuk perlu diiringi anak yang membawa salib atau menyan untuk memberikan situasi ritualitas dan keagungan tersebut. Di gereja-gereja Protestan, pendeta masuk diikuti pembantunya yang membawakan kitab atau apa saja. Semua ini untuk memberikan konteks bahwa anda masuk gereja, bukan ke sebuah klub malam. Ritualitas seperti ini diperlukan untuk memberikan suasana religius, meningkatkan kewibawaan pendeta yang akan memimpin acara atau membawakan khotbah, dsb.

Tradisi teater gereja memiliki akar yang sangat panjang, yakni dari akhir jaman Romawi di mana gereja mengalami sinkretisme dengan budaya lokal dalam kegiatan keagamaan. Penyembahan-penyembahan dewa-dewi Romawi atau Yunani, atau daerah manapun memerlukan sebuah gedung dan pertunjukan teater ini, demi membuat suasana menjadi khusyuk dan penuh rasa spiritualistis.

Misalnya saja "Oracle of Delphi," tempat orang Yunani meramal nasib. Untuk masuk ke Oracle dan bertanya kepada Dewa Apollo, seseorang perlu bertemu dengan para pendeta wanitanya, dan mereka akan mengadakan semacam upacara, dan lalu salah satu pendetanya masuk ke ruang bawah tanah, dan waktu keluar, biasanya ia sudah "kepenuhan" dan ia akan memberikan ramalannya. Tanpa upacara-upacara seperti ini, Oracle tak akan ada bedanya dengan dukun-dukun ramal di Jawa. Tapi upacara ini menyebabkan Oracle mendapatkan keagungannya dan membuat ramalannya menjadi sangat diikuti.

Naiknya Kristen menjadi agama negara Romawi dan juga karena pergaulannya dengan budaya setempat menyebabkan agama Kristen pun terpengaruh oleh kegiatan teater ini. Coba kalau kita baca Kisah Para Rasul, terlihat bahwa gereja-gereja pertama seperti yang dipimpin Paulus, dilakukan bukan di gedung megah, melainkan di sebuah persekutuan kecil - contohnya di sebuah rumah di Troas di mana Paulus membangkitkan Eutychus yang jatuh dari tingkat tiga. Tak mungkin jaman itu ada kebaktian di sebuah gereja yang bertingkat tiga, apalagi di tengah penganiayaan terhadap orang Kristen. Namun setelah Kristen menjadi agama negara, gereja berasimilasi dengan budaya teater ini, di mana sekarang untuk kebaktian, diperlukan sebuah gedung gereja dan ritual dan upacara yang sangat kompleks. Tak ada salahnya untuk beritual, namun kesalahan terbesar adalah kalau ritual ini menggantikan pengertian tentang ke-Kristenan yang selalu terjadi.

Di Eropa misalnya, sewaktu Luther mengadakan reformasi besar-besaran dan ide reformasi berkembang, banyak pendeta yang perlu dididik ulang, karena fokus mereka lebih ke acara ritual tiap minggu, bukan untuk memperkuat iman rakyat.

Di jaman sekarang, kondisi sudah lebih membaik, banyak pendeta memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup. Sayangnya sering kali juga fokus yang terbentuk masih tetap sama: yakni penekanan terhadap ritualisme dan bukan kepada Firman.

Banyak sekali contoh dari penekanan kepada ritualisme ini di kalangan jemaat. Misalnya saja, ke gereja untuk mendapat berkat atau untuk menghapus dosa, sementara hari-hari biasa kelakuannya tak mencerminkan orang-orang Kristen. Misalnya saja, berapa banyak orang yang bisa berkata bahwa mereka ditipu atau dikerjai pengusaha yang mengakunya beragama Kristen. Bahkan pendeta pun tak luput: ada beberapa sumber yang menclaim bahwa ada seorang pendeta yang namanya sangat terkenal di Indonesia, namun ia sering mengunjungi -maaf- tempat-tempat mesum - dan sayangnya bukan untuk berkhotbah atau melayani orang-orang seperti Romo Mangun - tapi untuk dilayani.

Ini adalah dampak dari kepercayaan bahwa gereja itu sebuah teater, sehingga kita hanya perlu tiap minggu ke teater ini untuk melihat pertunjukan ini, lalu pulang sampai minggu berikutnya. Gereja yang bersifat teater ini hanya akan merusak jemaatnya. Mereka menjadi terlalu menekankan ritualisme: jemaat perlu melakukan ini, itu, pendeta/biarawan/biarawati perlu berpakaian ini, itu, dsb; tanpa mengerti latar belakang peraturan itu. Ritualisme menjadi agama, dan peraturan yang dibuat manusia menjadi sesuatu yang sakral.

Beberapa gereja berusaha agar mereka tak jatuh dalam perangkap ini, dan mereka benar-benar menanamkan doktrin ke anggotanya dan membangun pemahaman Firman. Namun sekarang timbul masalah baru: kultus bintang film. Bintang film merupakan salah satu sarana pemikat publik yang bagus. Misalnya saja, kepercayaan bahwa kalau yang main itu Liu Te Hua, Ling Cing Xia (pasti salah tulis), atau mungkin Harrison Ford, filmnya pasti bagus. Beberapa menjadi sangat tergila-gila, misalnya kalau dibilang bahwa misalnya Harrison Ford itu payah, pasti langsung tersinggung dan mati-matian membela bintang film itu. Menurut mereka, interpretasi bintang film tersebut kepada skripsinya 100% benar, dan terlihat dari mainnya yang 100% bagus, sehingga mereka pasti selalu hebat.

Ganti semua nama bintang film itu dengan nama pendeta, dan anda akan melihat pola yang sama. Banyak pendeta dianggap memiliki doktrin yang satu-satunya benar, baik misalnya bahasa Roh, baptisan Toronto, predestinasi, dsb. Para pengikutnya mati-matian membela pendeta dan doktrinnya itu, berpedoman "tak ambil tawanan," dan menyerang para pengikut pendeta lain tanpa ampun ataupun berkompromi. Untuk mereka, bintang film ini pasti bagus mainnya, karena itu tak perlu melihat film yang lain karena pasti parah.

Saya terus terang merasa bahwa yang sering sekali terjadi adalah pengikutnya sendiri tak memiliki pengetahuan mendalam tentang Alkitab (skript). Doktrin (permainan) menjadi jalan pintas bagi penonton untuk mengerti dan membaca skript tersebut. Namun karena hanya itulah cara mereka mengerti skripsi itu, dan mereka jadinya menjadi fanatik. Lebih parah lagi, pembacaan Alkitab menjadi dilakukan melalui lensa doktrin.

Sangat disayangkan bahwa untuk para pengikut itu, mereka melupakan fakta bahwa semua doktrin itu adalah interpretasi para pendeta itu terhadap Alkitab. Sama seperti para aktor yang berperan di teater dan di film, para pendeta membaca Alkitab, menginterpretasikannya, dan kemudian menyebarkannya. Karena faktor "manusia" inilah maka setiap orang akan menginterpretasikan Alkitab berbeda-beda dan membuat doktrin (akting) yang berbeda. Namun para pengikutnya menyatakan doktrin sebagai sesuatu yang mutlak, bukan interpretasi, dan akhirnya perselisihan tajam pun terjadi.

Terlalu fokusnya gereja dalam ritualisme dan gontok-gontokan doktrin menyebabkan gereja melupakan mandat budaya. Energi yang harusnya bisa digunakan untuk mandat budaya habis difokuskan untuk memperindah ritual dan memperbanyak para pendukung pendeta. Yang terjadi adalah gereja kekurangan orang yang kompeten di bidang "mandat budaya" dan terlepas dari dunia nyata, dan sering juga dampaknya adalah gereja semakin kehilangan domba-dombanya ataupun orang yang berpotensial menjadi Kristen karena mereka muak melihat teater gereja ini. Gereja Indonesia sekarang lebih bersifat teater daripada fungsi gereja sebenarnya, yakni sarana untuk pemupukan iman dan memperlengkapi orang Kristen. Gereja yang terlalu bersifat teater pada jangka panjangnya akan mengalami banyak kesulitan.
Sebelum terlambat, kita perlu merefleksi diri, apakah gereja kita adalah teater?

Kalau gereja mau mereformasi dirinya, gereja perlu menyadari tentang bahaya-bahaya yang saya sebutkan di atas: ritualistis dan dogmatis. Untuk yang ritualistis, gereja perlu memikirkan ulang apa fungsi gereja itu: apakah gereja sebagai tempat untuk beritual atau tempat untuk mendidik jemaat dan dari sana berusaha menggantikan cara berpikir ritualistis menjadi lebih edukasionil.

Untuk yang dogmatis dalam doktrin, para pendukung doktrin perlu menyadari bahwa yang mereka miliki hanyalah interpretasi tentang Alkitab, sehingga mereka perlu lebih terbuka dalam menerima ide. Kita perlu berhenti bergontok-gontokan dalam segi doktrin, dan perlu lebih menyadari perbedaan ini hanyalah pada segi interpretasi. Dari sana, kita berusaha saling bekerja sama untuk lebih bisa bergerak di mandat budaya.

YS

Bahaya "Organisasi Sukses"

Tulisan lama yang sedikit diubah. Menarik bahwa sampai sekarang pun dilema Indonesia masih tetap sama, terutama yang menimpa partai-partai politik, yakni kuatnya budaya "Bapakisme." Padahal ini ditulis 9 tahun lalu....

-------------

Date: Mon, 07 Oct 2002
Subject: "Organisasi Sukses"

Pada tahun 1941, Jerman secara de-fakto adalah penguasa Eropa. Prancis dihancurkan dalam hanya beberapa minggu. Inggris terisolasi di utara. Di saat itu, Hitler melihat ke timur, ke arah Uni Soviet yang dianggap sebagai musuh terbesarnya. Hitler lalu meluncurkan salah satu operasi terbesar dalam sejarah: Operasi Barbarosa yang bertujuan menghancurkan Russia dalam waktu delapan minggu!

Walaupun sekarang banyak yang menyatakan bahwa Operasi Barbarosa adalah awal dari kehancuran Hitler, namun di saat itu sebetulnya, kalau kita melihat dokumen-dokumen yang telah di-deklasifikasikan sekarang, Hitler sebetulnya hampir menang. Stalin waktu itu dalam kondisi "mental breakdown," stress dan panik melihat laju panser (tank) Jerman yang tak bisa ditahan. Menurut dokumen, kalau waktu itu Hitler berhasil masuk ke Moscow sebelum musim dingin, ada kemungkinan seluruh anggota politbiro Uni Soviet bisa tertangkap dan termasuk diantaranya Stalin sendiri.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan "keberhasilan" Hitler di saat itu: tentara Uni Soviet memang hancur, akibat represi Stalin di tahun 1930-an di mana ia secara literal menghancurkan seluruh birokrasi angkatan bersenjata dengan menangkapi orang-orang yang ia anggap sebagai musuhnya. Rakyat Uni Soviet sendiri muak dengan komunisme, seperti orang-orang Ukrania yang menyambut kedatangan tentara Jerman tanpa perlawanan sama sekali. Hitler waktu itu justru dianggap sebagai pembebas.

Kalau begitu, kenapa Hitler tak bisa meraih Moscow sebelum musim dingin? Salah satu jawaban yang diterima para ahli sejarah adalah Hitler memerintahkan pasukannya untuk menyerbu daerah Kaukasus dulu, tempat ladang-ladang minyak yang dibutuhkan Jerman. Akibatnya, tentara Jerman kehilangan momentum, dan begitu mereka kembali bergerak ke Moscow, pertahanan di sana sudah sangat kuat dan musim salju sudah mulai datang. Sampai sekarang di pinggir kota Moscow masih ada monumen yang menandakan posisi terujung tentara Jerman - yakni hanya tinggal beberapa kilometer dari Moscow.

Perintah Hitler sebetulnya ditentang banyak jendralnya, seperti "Heinz" Guderian, ahli perang tank terhebat di masa itu. Tapi mereka tak berani menentangnya dengan terbuka, dan kalaupun mereka menentang Hitler, bantahan dari Hitler sudah cukup untuk membungkam mereka. Para jendral belum lupa bahwa serangan ke Prancis pun ditentang mereka, namun Hitler berhasil "membuktikan" bahwa keputusannya tak pernah salah. Sekarang kalau ia memutuskan strategi untuk menghancurkan Uni Soviet, strateginya pasti benar, dan para jendral pasti salah. Selain itu juga, faktor "ego" mempengaruhi Hitler: ia tak mau wibawanya terancam oleh jendral-jendralnya. Guderian sendiri akhirnya dipecat karena ia terang-terangan membangkang Hitler dengan mempertanyakan taktiknya. Namun kali ini ternyata Hitler salah. Ketidakmauannya menerima pendapat dari orang lain dan hanya dari "yes men" menyebabkan kehancuran ambisinya menghancurkan Uni Soviet (dan menguasai dunia).

Walaupun dalam retrospectnya kita bisa mengeritik Hitler dan jendral-jendralnya, namun pertanyaan terbesarnya adalah apakah fenomena Hitler ini hanya ada di Jerman yang dikuasai diktator itu?

Saya sebetulnya kuatir kalau banyak organisasi baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan di Indonesia dan di mancanegara bersikap sebagai Hitler - bukan sama kejamnya, tapi sama keras kepalanya.

Biasanya pola yang sama terjadi: pemimpin organisasi berhasil memajukan organisasinya sampai hebat sekali dan memiliki banyak pengaruh - pokoknya sukses total.

Setelah sukses, yang terjadi adalah banyak orang-orang di sekeliling pemimpinnya, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja mengkultuskan pemimpinnya itu. Sama seperti Hitler yang dianggap selalu benar dan berhasil, bawahan pemimpin-pemimpin tersebut jadi merasa pemimpin organisasi sebagai orang yang pasti sukses, diberkati Tuhan, dsb. Buktinya - organisasi yang dipimpin bisa menjadi besar dan hebat. Ahli-ahli psikologis memberikan istilah untuk efek ini yakni efek karismatik pemimpin dan "group-think" di mana sebuah kelompok berpikir sama karena dipengaruhi pemimpinnya itu.

Di Indonesia sendiri, efek sukses ini bergabung dengan "bapakisme," fenomena di mana orang-orang dengan buta mengikuti perintah para pemimpin, yang sudah mendarah daging akibat pengaruh budaya maupun kebiasaan. Kondisi masyarakat yang sudah memiliki budaya "wajib tunduk" kepada pemimpin, ditambah lagi dengan fenomena "sukses" saling bahu-membahu untuk semakin mengkultuskan pemimpin. Fenomena ini berlaku baik di organisasi yang bersifat sekuler maupun keagamaan.

Akibatnya, salah satu kelemahan pemimpin tipe Hitler ini terletak dari kurangnya rasa pertanggung jawaban pemimpin organisasi kepada anggotanya. Mereka memilih untuk menjalankan organisasinya tanpa memiliki proses akuntabilitas yang baik (walau mungkin juga karena kurangnya pengalaman managemen). Lebih parah lagi, sebagian dari mereka memilih untuk membungkam kritik, asalkan kewibawaan mereka sebagai "bapak" tetap terjaga. Apalagi untuk organisasi keagamaan, suara pemimpin sering dianggap sebagai suara Tuhan, menentang pemimpin berarti murtad. Akibatnya, kritik dalam organisasi akan ditekan dan "ditendang" dalam sistem "group think" yang sangat tidak sehat ini.

Masalahnya - sekali badai menerpa atau sekali pemimpin organisasi tersebut melakukan tindakan yang berbahaya untuk organisasi, hasilnya akan seperti Hitler: hancur lebur. Contoh dalam segi politis adalah Suharto, yang begitu Krisis Moneter Asia menerpa, langsung dinastinya dan Indonesia sendiri hancur berantakan.

Tentunya tulisan ini bukan menyatakan bahwa banyak organisasi yang sukses itu dengan sadar bersikap "jahat" dan membenci kritik. Tapi pengaruh kesuksesan yang terus menerus berakibat fatal untuk organisasi tersebut. Karena kesuksesan tersebut, pola kerja mereka menjadi sama seperti Hitler: diktatorial, apa yang saya pilih pasti benar, dan tak ada tanggung jawab. Jemaat sendiri melihat pemimpinnya terus sukses tak
mau mencoba mencari alternatif atau meminta pertanggung jawaban. Di sini, kesuksesan organisasi menjadi batu sandungan yang akan menghancurkan segalanya.

Jadi sebetulnya apa yang ingin saya sampaikan lebih lanjut? Pertama, saya rasa organisasi-organisasi di Indonesia baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan harus mulai menyadari adanya sistem
"cult of leadership" baik secara sengaja ataupun tidak sengaja. Sampai sekarang, banyak organisasi berdiri karena pengaruh atau dorongan satu orang saja. Begitu orang tersebut "pamit," maka organisasi tersebut akan ikut runtuh, karena hanya orang tersebut yang menjadi inti dari organisasi. Gejala ini sebetulnya lebih tepat dinamakan gejala "Suharto" yang akan saya diskusikan lebih lanjut.

Kedua: organisasi baik sekuler maupun keagamaan harus lebih profesional. Jika pemimpin organisasi memang tak terlalu bisa membangun organisasi dan hanya pintar membangkitkan semangat anggota atau mengajar, atau memberikan inspirasi, alangkah baiknya kalau ia atau orang-orang di sekelilingnya menyadari hal tersebut dan mencoba mencari tokoh atau siapa saja yang memang ahli organisasi. Dari sana, "ahli" tersebut membentuk organisasi yang memang kuat dan efisien, kemudian "ahli" itu sendiri "lengser," yakni membiarkan organisasi itu tumbuh dan berjalan sendiri tanpa perlu ia sebagai motor penggeraknya.

Sebelum saya melanjutkan point berikut, saya ingin menyampaikan satu peringatan: Hancurnya Indonesia disebabkan waktu Suharto lengser, tak ada organisasi yang siap menggantikannya. Bandingkan dengan Spanyol dibawah Franco, di mana Franco menyiapkan birokrasi negara yang bisa berfungsi tanpa dirinya, sehingga waktu ia meninggal, transisi ke demokrasi pun berjalan lancar. Pertanyaannya adalah apakah organisasi sekarang dipimpin Suharto atau Franco?

Ketiga, para pemimpin organisasi, baik sekuler maupun religius, harus lebih bertanggung jawab kepada anggota organisasi, di mana pemimpin atau pemuka agama sadar bahwa anggota tak boleh hanya dijadikan sapi perahan saja, atau hanya sebagai penonton dagelan yang setia, atau lebih parah lagi sebagai kacung tak berotak yang pekerjaannya hanya wajib melakukan apa yang diminta para pemimpin. Namun, para anggota perlu diberikan juga peran lebih mendalam dalam organisasi, lebih diajak bertanggung jawab, lebih memikirkan masa depan organisasi tersebut, dan juga lebih bersikap kritis: tak melaksanakan ideologi atau tata cara atau hukum secara membabi buta, namun memiliki pengertian yang cukup mendalam tentang ideologi maupun, kalau misalnya organisasi keagamaan, pemahaman kepada kitab suci dan doktrin.

Yang keempat tentunya adalah para anggota perlu dan pasti sudah sadar bahwa para pemimpin organisasi pun adalah orang biasa yang bisa berbuat salah. Namun, satu hal yang sering dilupakan adalah "kemanusiaan" pemimpin pun bukan artinya bahwa kesalahan atau kekurangan pemimpin harus selalu ditolerir. Jika hal ini yang terjadi, saya rasa kasusnya justru bisa menjadi plesetan sebuah kisah di Alkitab, di mana Daud membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, yang saat itu merupakan istri Uria. Namun Natan tak menegur Daud karena alasannya, "ah, Daud khan biasa, dan manusia memang selalu berbuat salah, jadi ya toleransi donk, entar kalau terlalu suci dianggap Tuhan."

Itu adalah dampak yang sangat buruk. Kita mencintai dan menghormati para pemimpin organisasi, baik organisasi sekuler maupun keagamaan, tapi kita tidak boleh karena kasih kita menjadi ultra-toleransi terhadap kesalahan mereka. Posisi para pemimpin organisasi yang memang di atas menyebabkan mereka menjadi bahan sorotan dan memang harus disorot. Kesalahan memang dimaklumi, tapi tak ditoleransi terus menerus. Perubahan tetap diperlukan. Para anggota perlu lebih berani, berusaha memberikan masukan kepada organisasi mereka, tentang kemungkinan perlunya perbaikan di beberapa bidang dan lain-lain.

Jika kita tak berani berbuat demikian, "sukses"-nya sebuah organisasi bisa berarti sebagai paku pertama yang akan menutup peti mati organisasi tersebut. Karena itu, di saat ini sebelum terlambat, mungkin sudah saatnya kita berpikir, apakah sekarang kita sedang mengikuti Hitler yang menyerbu Uni Soviet?

YS

Friday, August 12, 2011

Masyarakat Placebo

Tulisan lama ini sebetulnya kurang bagus, kurang tersusun dengan rapih dan agak membingungkan untuk dibaca. Tapi pesannya masih relevan, yakni sering kali kita hanya berpolemik saja dalam mencoba memperbaiki bangsa, tanpa melakukan tindakan-tindakan yang konkrit. Misalnya saja, gerakan doa, zikir bersama, dsb, yang tidak membantu rakyat miskin sama sekali, tapi ujung-ujungnya hanya sebagai ajang tebar pesona, memperlihatkan bahwa "saya peduli," dan selesai.

YS


------
Date: Wed, 25 Sep 2002
Subject: Masyarakat Placebo

Terima kasih sebesar-sebesarnya untuk editor saya, Yohannes Somawiharja, dan Sadikin Djumin, sebagai kritik. Tanggung jawab untuk isi tulisan ini tetap terletak pada saya.
YS
-----------
Dalam bidang penelitian obat-obatan, biasanya para peneliti mengambil sejumlah sukarelawan yang dipakai untuk menjadi objek studi obat tersebut. Sukarelawan ini dibagi atas dua kelompok: kelompok pertama diberi obat yang sedang diteliti dan kelompok kedua yang diberi obat palsu yang tak berefek positif maupun negatif (misalnya hanya tepung; tapi tampak luar nya sama dengan obat yang sedang diteliti). Dengan demikian diharapkan, jika obat yg sedang diuji benar2 bermanfaat, akan didapatkan hasil yang kontras diantara dua kelompok itu.

Obat gadungan yang tak memiliki efek apa-apa untuk badan diatas disebut placebo. Yang menarik adalah, kelompok yang diberi placebo di banyak kesempatan kondisi mereka membaik sesuai efek yang didapati pada kelompok yang diberi obat asli. Ini dijelaskan sebagai efek psikologis saja.

Efek psikologis karena placebo ini sering sekali didiskusikan, dan salah satu kesimpulan dan penerapan yang ditarik dari situ adalah besarnya efek kata-kata terhadap kondisi manusia. Walaupun jarang sekali diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, namun "kata-kata" memiliki pengaruh yang sangat besar bagi manusia pada umumnya. Hanya satu kata pun bisa mempengaruhi sifat dan sikap seseorang, bisa membentuk dan menghancurkan karir, bahkan kesehatan pun bisa terpengaruh. Jadi di sini ada efek placebo: memberikan semacam bantuan psikologis, sehingga orang tersebut bisa merasa senang (feel good) padahal sebetulnya placebo nya sendiri tak memberikan efek apa-apa secara nyata.

Efek "placebo" ini juga banyak terjadi bidang politik. Misalnya saja, di jaman Kekaisaran Romawi, senat bekerja sebagai stempel karet bagi para kaisar Romawi, walaupun sebenarnya secara konstitusi, senat lah yang memilih Kaisar dan Kaisar kedudukannya ada dibawah senat dan melaksanakan amanat senat. Lebih lanjut lagi, biarpun Kaisar lama-kelamaan semakin bertindak sewenang-wenang, namun rakyat Romawi tetap merasa bahwa mereka ada dibawah pemerintahan republik (senat) dan bukan dibawah Kaisar, akibat adanya institusi senat tersebut.

Pada abad ke sembilanbelas hal ini juga terjadi di Prussia/Jerman. Pada waktu itu Bismarck dan Kaisar Wilhelm II mengebiri kekuasaan parlemen (Reichstag). Padahal parlemen ini dibentuk akibat Revolusi 1848, dimana kaum liberal berhasil memaksa kaisar Prussia membentuk parlemen. Tapi sekali lagi, walaupun parlemen dikebiri, rakyat Jerman/Prussia tak pernah menganggap dirinya dibawah pemerintahan autokrat, karena toh institusi Reichstag tetap ada.

Di Russia, Tsar Nicholas II memerintah tanpa memperhatikan Duma (DPR) yang dibentuk sebagai hasil Revolusi 1905 dimana Russia kalah melawan Jepang. Di Jepang sendiri, perlemennya (DIET) juga tak berdaya menghadapi militerisme di tahun-tahun menjelang Perang Dunia II; padahal Diet dibentuk sewaktu jaman Meiji yang waktu itu ingin "menyontek" sistem parlementer Inggris yang relatif demokratis agar tak terjadi lagi sistem ke-Shogunan (militer) yang dianggap penyebab ketinggalannya.

Pola yang sama terlihat di Indonesia di bawah Suharto. Seperti yang selalu diajarkan di kelas-kelas, bahwa kita "diwakili" MPR dan kita memilih wakil rakyat dalam pemilu karena itu Indonesia adalah republik. Fakta sebenarnya, kata "republik" hanyalah sebagai nama saja, karena MPR secara faktanya impoten dan hanya stempel Suharto. Namun, kita yang membaca nama "Republik Indonesia" tetap berpikir bahwa kita tinggal dalam satu negara yang demokratis (kecuali bagi yang skeptik). Itulah pengaruh placebo: memuaskan aspek psikologis kita tanpa dampak yang nyata.

Menariknya, kebanyakan badan perwakilan tersebut dibentuk karena tekanan aktivis demokrasi terhadap pemerintah totaliter. Jadi di sini terlihat satu pola: aktivis demokrasi menekan pemerintah, pemerintah "tunduk" dan membentuk parlemen, lalu kemudian parlemen menjadi macan ompong karena pemerintah tak mengidahkan parlemen (Romawi, Russia), atau akibat "parlemen" diserap oleh pemerintah dan di-impotenkan (Prussia, Jepang, dan Indonesia), sedangkan kebanyakan rakyat, melihat bahwa ada yang namanya "parlemen," merasa itu sudah cukup, bahwa mereka terwakili.

Jadi, parlemen "placebo" dibentuk agar rakyat merasa keinginan mereka sudah dipenuhi, lalu pemerintah tersebut kembali ke bisnis seperti biasa. Memang manusia mudah sekali terjebak, asalkan ada semacam aktivitas yang memuaskan idealismenya, walaupun hanya bersifat marginal, ia langsung puas. Padahal masih banyak langkah yang perlu ditempuh agar idealismenya itu menjadi fakta.

Sampai di sini, pembaca mungkin mulai bertanya-tanya, lalu apa dampaknya untuk kehidupan sehari-hari, apakah efek placebo ini ada dalam kehidupan kita sehari-hari? Inilah masalah yang ingin saya kemukakan, bahwa efek placebo ini merajalela dalam kehidupan sehari-hari. Efek placebo ini saya bagi dua golongan, yakni "placebo nurani" akibat kesadaran kita atas masalah sosial, dan "placebo defensif" yang disebabkan oleh kritik.

Sekarang, mari kita diskusikan golongan pertama, "placebo nurani," dimana kita menyadari ada masalah sosial. Kemudian kita bersama-sama membentuk gerakan dengan tujuan untuk membantu masyarakat. Beberapa gerakan ini, dilandasi oleh kepedulian sosial yang sangat, berhasil dan memberikan pengaruh cukup berarti di masyarakat Indonesia.

Tapi, banyak gerakan tersebut hanya sampai dalam bentuk konsep saja, atau mungkin beberapa pertemuan atau persekutuan-persekutuan keagamaan yang mengumpulkan banyak orang dan "berdoa" untuk Indonesia. Setelah berdoa? Semua bubar, tak ada implementasi lebih lanjut dan akhirnya "hidup segan, mati tak mau." Mengapa? Itu adalah akibat pengaruh psikologis bahwa kita sudah cukup melakukan sesuatu hanya dengan membentuk "masyarakat placebo," dalam kasus ini dengna hanya berdoa tanpa berbuat.

Masih sangat sedikit warga Indonesia yang tertarik untuk ikut serta dalam mengumbah masyarakat di bidang sosial, politis, dan ekonomi. Walaupun dalam beberapa dekade terakhir, isu ini membludak dengan label "social action," "Corporate Responsibility," dan lain-lain dengan adanya reformasi di Indonesia. Sehingga bagi banyak orang, jika tak melakukan apa-apa dalam hal ini, bisa merasa ketinggalan. Nurani jadi mengetuk; rasa kemanusiaan kita bangun begitu kita membaca cerita tentang kemiskinan, korban banjir, dan masalah-masalah lain seperti demokratisasi, krisis kemanusiaan, konflik etnis, dsb.

Untuk "menjawab" rasa gelisah di nurani, kita umumnya membentuk banyak aktivitas-aktivitas dengan label yang bertujuan sosial. Misalnya, kita membentuk kelompok seperti kelompok peduli sosial, atau kalau di Permias (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dulu seperti Forum Kemanusiaan yang berusaha membantu pengungsi akibat kerusuhan etnis, dsb.

Kalau tidak, dalam diskusi-diskusi seperti di banyak mailing list, sewaktu sebuah golongan diserang karena dianggap kurang memiliki kepedulian sosial, anggota golongan tersebut kemudian menyatakan "ya, kita setuju - mari kita buat platform bersama," dsb.

Efek psikologis itu akan bertambah tinggi kalau nama gerakan tersebut benar-benar indah, misalnya saja seperti contoh di atas, "Forum Kemanusiaan," atau mungkin "kelompok peduli sosial Indonesia," dsb. Selain itu, efeknya akan lebih hebat lagi kalau gerakan tersebut cukup aktif untuk melibatkan banyak organisasi lain. Dengan bergabung dengan kelompok-kelompok tersebut, anggotanya sudah merasa bahwa dia sudah menjadi peduli soal kemanusiaan dan Indonesia, apalagi kalau ditanya, ia bisa menjawab bahwa misalnya ia adalah anggota "Forum Kemanusiaan." Label nama yang sangat mengesankan.

Namun, setelah parkir nama, satu hal yang *jarang* sekali dilakukan adalah berusaha terus mengembangkan gerakan-gerakan tersebut, sehingga gerakan tersebut akhirnya hanya tinggal nama saja, atau fungsinya secara tak disadari berubah sebagai tempat sosialisasi saja walau di bawah bendera keren seperti "aksi peduli." Sering terjadi bahwa organisasi atau gerakan yang dibentuk memang dengan tujuan bagus, akhirnya tak memiliki pengaruh sama sekali akibat memang kurangnya investasi anggotanya dalam kelompok tersebut baik di bidang tenaga ataupun dana.

Yang terjadi kemudian, begitu gerakan-gerakan tersebut masuk dalam status "hidup segan, mati tak mau," untuk beberapa anggota terjadi dilema: kalau keluar dari gerakan tersebut, nurani terganggu (masak mau keluar, tanda tak peduli, khan) atau mungkin hanya tak enak kepada anggota lain, tapi kalau tetap di dalam, sebenarnya manfaatnya tidak banyak.

Untuk sebagian anggota yang lain, mereka tetap lebih suka status quo seperti itu terpelihara, karena mereka merasa nurani mereka tak terganggu, karena mereka merasa telah "berpengaruh" ke Indonesia dengan terlibat dalam organisasi seperti itu. Dan lagi "keterlibatan" seperti ini toh tak ada dampak negatifnya untuk mereka, walau mungkin yang mereka lakukan hanya bersosialisasi atau berdoa atau berzikir saja. Tentu saja saya tidak menyangkal kuasa doa dan pengaruhnya untuk Indonesia. (tapi kalau memang kegiatannya hanya doa, kok tidak pakai  label "kelompok berdoa untuk Indonesia"; ini lebih jujur)

Sebenarnya golongan kedua, "placebo defensif" ini jauh lebih parah dari golongan pertama yang saya gambarkan di atas. "Placebo defensif" sering dipakai oleh golongan yang sedang diserang/dikritik untuk menghentikan kritik. Cara yang biasa dilakukan adalah kelompok yang tak suka dikritik ini menyediakan sebuah "forum" untuk para kritikus. Di dalam forum ini, mereka diajak untuk "membuat platform bersama yang memperhatikan masalah ini," dsb. Nah, forum diskusi seperti inilah yang menjadi "placebo."

Strateginya adalah berusaha untuk menyudahi serangan kritik dengan seolah mengulurkan tangan menyambut dan mengulur waktu, dengan harapan agar serangan kritik menjadi semakin melemah akibat berjalannya waktu atau dimana para kritikus sudah cukup dipuaskan hanya dengan adanya forum ini.

Ini adalah praktek ulur waktu di mana kritik "dipuaskan" karena merasa golongan yang dikritik mau bekerja sama, sedangkan golongan yang dikritik sendiri berhasil mengalihkan topik diskusi. Jadi ucapan untuk mengajak bekerjasama sebetulnya dikeluarkan bukan karena memang ada itikad seperti itu, namun hanya sebagai "placebo" untuk memuaskan kritik dan menyudahi serangan.

Jadi inilah masalah terbesar kita, yakni kita banyak terjebak dalam "Feel good society," masyarakat yang merasa enak karena telah melakukan sesuatu: yakni terlibat dalam "masyarakat placebo."

Berdasarkan pergaulan saya bersama dengan beberapa kelompok seperti ini, saya temukan bahwa umumnya kelompok-kelompok ini tidak melakukan aktivitas ini dengan kesengajaan untuk mengelabui apalagi punya tujuan jahat. Tujuan tulisan ini adalah untuk menyadarkan mereka dan memaksimalkan apa yang sebenarnya mereka miliki (talenta) dan tidak hanya puas dengan aktivitas model placebo saja.

Bagaimana menghindarkan diri agar tidak terperangkap dalam "masyarakat placebo" ini? Sebetulnya yang terpenting adalah komitmen: kepedulian dan berapa banyak sumber daya baik material ataupun tenaga yang akan kita sumbangkan untuk kegiatan kita.

Kebanyakan "feel good society" terjadi karena sebetulnya kita tak memiliki dorongan lain selain "rasa bersalah" yang terbentuk karena kita tak memberikan dampak apa-apa untuk masyarakat sebagai warga negara Indonesia ayng berkecukkupan. Dipihak lain adalah fakta bahwa kita sendiri memang tak mau terlalu banyak menyumbang tenaga dan pikiran (get your hand dirty).

Ada kemungkinan lain dimana sumber daya kita memang sudah tersebar secara luas tapi tipis. Kalau hal itu yang memang terjadi, lebih baik kalau kita jangan membentuk aktivitas dan wadah baru dan lebih memfocuskan resources yang kita punya.

Ada baiknya kalau kita bergabung dengan kelompok aksi sosial seperti ini bukan karena kita merasa bersalah, namun seharusnya karena kita memang mau membuat dampak untuk masyarakat Indonesia. Untuk itu, kita bersedia menyumbangkan lebih banyak dan memiliki "personal stake" dalam kelompok tersebut.

Bagaimana cara mengukur apakah kita ber-placebo ria? Pertama-tama kita mungkin bisa melihat bahwa seberapa konkrit efek yang terjadi akibat aktivitas ini. Jika gerakan ini bersifat abstrak, mungkin kita perlu melihat sebesar apa aktivitas ini bisa memenuhi tujuan ideal gerakan ini, dan berapa persentase faktor "No Action Talk Only" hadir dalam gerakan ini.

Namun bagaimana kalau gerakan ini terjadi di "negeri seberang" seperti di Amerika Serikat dan Australia, di mana kita sulit sekali memberikan dampak nyata? Saya rasa mungkin yang terpenting adalah menyadari komitmen kita sendiri kepada organisasi ini, sebesar apa keikutsertaan kita dalam organisasi ini dan sebesar apa sumbangan kita dari segi waktu, dana, tenaga atau kesempatan?

Rasanya, ini lebih menyangkut soal intropeksi diri dalam diri kita sendiri, di mana kita harus mulai mengambil langkah mundur dan bertanya-tanya apakah yang kita lakukan adalah aksi "placebo," di mana memberi sedekah sudah cukup dan hidup "berbahagia," atau memang kita ingin melakukan aktivitas yang benar-benar ingin menimbulkan dampak bagi masyarakat.

Cara lain lagi yang mungkin akan berpengaruh adalah, bagaimana isu yang ingin kita hadapi lewat aktivitas-aktivitas kita tetap menjadi pergumulan dalam hidup kita secara terus menerus, di mana kita tetap berusaha mencari jalan yang lebih baik lagi untuk memperbaiki (improve) aktivitas tersebut bisa lebih memberikan dampak cukup besar kedalam masyarakat.

Jika kita berani berkata bahwa sumbangan kita sudahlah maksimal (ini bukan masalah dana, namun juga masalah komitmen seperti tenaga), sebagaimanapun kecilnya dampaknya bagi masyarakat, saya rasa yang sedang terbentuk bukanlah "masyarakat placebo," tapi gerakan nyata. Tapi kalau dalam refleksi kita, kita menyadari bahwa kok kayaknya gerakan ini sudah menyimpang dari tujuan dan sebetulnya tak sesuai dengan harapan kita pada mulanya, mungkin sudah waktunya kita bertanya-tanya apakah kita sedang terjebak dalam "masyarakat placebo."

Thursday, August 11, 2011

Bahasa dan opresi

Tulisan ini ditulis untuk sebuah milis Kristen ditengah perdebatan sengit tentang teologi dan bahasa Roh.
YS

----------
Date: Tue, 17 Sep 2002
Subject: Bahasa dan opresi

Seperti biasa, kritik dan saran akan diterima dengan senang hati. Terima kasih juga untuk Yohannes Somawiharja yang sering bekerja sebagai editor. Namun, isi dari tulisan ini merupakan tanggung jawab saya.

YS

---------
Apa fungsi bahasa? Saya tak ragu kalau jawaban pertama dari pertanyaan ini adalah alat untuk komunikasi. Faktanya, bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan kita dalam segi rasional seperti penyampaian ide sampai segi emosional pengungkapan perasaan. Namun satu fungsi bahasa yang sering kali dilupakan atau lebih tepat tak terlihat adalah bahasa sebagai alat kekuasaan.

Saya rasa banyak pembaca yang menguasai bahasa daerah selain bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. Bagi pembaca yang menguasai bahasa-bahasa berkasta seperti bahasa Jawa atau Sunda, para pembaca pasti sudah terbiasa dengan stratifikasi bahasa seperti Kromo Inggil, kasar, dsb. Tentunya pembaca sudah terbiasa untuk misalnya menyapa yang dituakan atau mungkin pejabat dengan bahasa Kromo Inggil. Kenapa? Karena nilai kesopanan kita meminta hal demikian. Tak mungkin kita menyapa misalnya Sultan Jogja dengan bahasa kasar atau mungkin berbicara di muka umum dengan bahasa demikian.

Satu pertanyaan yang perlu ditanyakan adalah kenapa berbicara dengan pejabat tinggi dengan bahasa kasar itu tidak sopan? Siapa yang sebetulnya yang pertama menstratifikasikan bahasa dan menyatakan bahwa kosa kata yang sopan untuk berbicara dengan orang-orang demikian adalah seperti ini? Tak lain dari para penguasa tersebut, yang mempengaruhi nilai-nilai sosial dan memaksakan masyarakat untuk mengikuti adat demikian. Stratifikasi bahasa digunakan agar terjadi "penghormatan" dan pemisahan satu golongan dengan golongan lain, dan menyebabkan terjadinya kelas dalam masyarakat tersebut, di mana satu kelas ditempatkan di atas kelas lain.

Fungsi bahasa sebagai alat kekuasaan tak hanya terlihat di dunia sehari-hari, tapi juga di dunia spiritual, seperti di gereja. Saya ingin memberikan sebuah contoh, yakni penggunaan bahasa Latin di gereja di abad pertengahan sebagai alat komunikasi utama gereja. Mengapa bahasa Latin digunakan di gereja Katolik? Beberapa jawaban seperti bahasa Latin merupakan bahasa kekaisaran Romawi, dan karena gereja berkembang di kekaisaran Romawi, dan bahasa utama kekaisaran Romawi adalah Latin, sehingga untuk bisa berkomunikasi diantara gereja dan massa, perlu sebuah bahasa, dan tentunya Latin adalah bahasa yang paling relevan.

Tapi bagaimana setelah ratusan tahun ke depan di mana kekaisaran Romawi sudah menjadi relik sejarah dan tak ada lagi sisa-sisanya di Eropa barat? Gereja tetap menggunakan bahasa Latin (tulisan ini tak akan menyinggung perpecahan gereja Katolik Romawi dan Orthodox Yunani karena perpecahan ini di luar fokus tulisan ini). Misa-misa, Alkitab, percakapan antara pemuka gereja tetap dilakukan dalam bahasa Latin. Kalau kita mau intropeksi, hal ini sebetulnya sangat berbahaya untuk gereja dan bahkan agama Kristen sendiri. Pengetahuan tentang Alkitab menjadi sangat minim. Fokus gereja akhirnya sebagai tempat ritual dan sosialisasi dan rakyat jelata sama sekali tak mengerti tentang theologia.

Saya berspekulasi bahwa di abad pertengahan, Kristen sebetulnya lebih dianggap sebagai sebuah ritual oleh rakyat jelata. Hal ini juga dilakukan di gereja Orthodox Yunani, di mana bahasa pemuka gereja tak membumi dan tak dimengerti massa. Akhirnya, Kristen menjadi agama yang hanya membungkus secara kulit, tanpa inti, dan tak heran, begitu Islam masuk di abad ketujuh, agama Islam cepat sekali menyebar. Rakyat tak ada yang tahu beda Kristen dan Islam selain ritual, sehingga buat mereka tak ada rintangan untuk dengan mudah pindah agama (kecuali di mana agama sudah menjadi bagian dari identitas, seperti Yahudi, yang berakibatkan perpindahan agama agak sulit).

Tentunya satu pertanyaan yang patut ditanyakan adalah mengapa gereja melakukan hal seperti itu? Salah satu jawabannya adalah masalah kekuasaan yang datang dari bahasa.

Untuk gereja di abad pertengahan, bahasa bukanlah sebuah alat komunikasi antara massa dan gereja, melainkan bahasa "persatuan" elit gereja, di mana gereja membentuk sebuah elit yang keanggotannya didapat karena mereka berbahasa sama, yakni Latin. Untuk belajar bahasa Latin, orang-orang perlu masuk biara atau universitas-universitas yang waktu itu hanya disediakan untuk gerejawan dan para bangsawan. Bahasa misa dan bahasa Alkitab yang Latin menyebabkan tak adanya jalur untuk masyarakat awam untuk mempelajari theologia (belum lagi angka literatur yang sangat rendah). Akhirnya, elit gereja bisa memposisikan dirinya sebagai satu-satunya jalan untuk mengerti Tuhan. Merekalah mengubung massa dengan Tuhan, sehingga kekuasaan mereka tak bisa diganggu gugat.

Hancurnya kekuasaan elit Latin gereja Katolik dimulai dengan Reformasi Luther. Satu pukulan terbesar yang dilakukan Luther kepada gereja Katolik adalah melokalkan bahasa Alkitab, dari hanya Latin menjadi bahasa Jerman, disusul Inggris, dan lain sebagainya.

Alkitab tak lagi menjadi monopoli elit gereja yang berbahasa Latin  setiap orang sekarang bisa membaca dan mengerti Alkitab. Elit gereja tak lagi 100% relevan, massa memiliki alternatif dan setiap orang "bisa berhubungan" dengan Tuhan karena mereka tahu siapa Tuhan itu. Akibatnya, gereja di masa itu menyadari bahwa mereka perlu berubah kalau mereka mau tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial politis Eropa.

Tentunya di sini pembaca mulai bertanya-tanya, lalu apa relevansinya tulisan ini dengan masa kini, di mana Alkitab sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan gereja tak lagi melakukan misa dengan bahasa Latin? (Sebagai selingan, minggu lalu saya memiliki kesempatan untuk mengikuti misa Katolik di gereja Santo Augustine di South San Francisco-sebetulnya ini "kecelakaan," saya diajak salah satu rekan yang saya pikir beragama Protestan dan ia tak menyebutkan nama gerejanya. Namun, sangat menarik melihat bagaimana misa yang biasanya berbahasa Latin di-Inggriskan.) Saya rasa tulisan ini tetap sangat relevan dengan kehidupan gereja masa kini, di mana saya melihat perkembangan-perkembangan di Indonesia dan juga di Amerika tentang penggunaan bahasa Roh atau penggunaan ayat-ayat Alkitab untuk membentuk gereja yang elitis dan anti-kritik.

Bahasa Roh merupakan sebuah topik yang kontroversial dan saya tak akan membahas tentang apakah bahasa Roh itu ada, karena saya tak mau tulisan ini menjadi keluar dari fokusnya. Yang ingin saya bahas adalah penggunaan bahasa roh di gereja sebagai ukuran sebagaimana besar iman seseorang. Di Indonesia beberapa kali saya menghadiri pertemuan di mana pemimpiin pertemuan menyatakan seperti "mari kita berdoa dengan bahasa Roh" atau di pertemuan di mana satu-persatu orang-orang mulai "praktek" bahasa Roh di depan orang lain. Di tempat lain, ada yang menggunakan kemampuan berbahasa roh sebagai ukuran apakah seseorang bisa ikut menjadi anggota "elit" gereja.

"Bahasa Roh" tak lagi menjadi sesuatu yang privat yang antara Tuhan dengan umat-Nya, tapi sebagai alat untuk memisahkan mana yang menjadi "elit" yang dianggap lebih dekat dengan Tuhan, dari massa yang tak bisa berbahasa Roh, atau bahasa Roh dianggap sebagai alat pemisah pembentuk eksklusivitas golongan. Hasil lain dari praktek ini adalah munculnya kemuanfikan dan kepura-puraan, karena orang-orang yang tak bisa bahasa Roh berpura-pura bisa atau lebih gila lagi, ikut kursus "bahasa roh." Sebelum pembaca menyatakan bahwa saya secara langsung menyerang aliran kharismatik, lebih baik saya mengeluarkan pernyataan, bahwa "serangan" ini bukan ditujukan kepada aliran kharismatik. Serangan ini ditujukan terutama kepada golongan elit yang menggunakan bahasa Roh untuk ambisi pribadi atau golongan dan sebagai alat untuk membungkam kritik dengan melabelkan kritik sebagai "kurang iman."

Tipe kedua adalah penggunaan ayat-ayat Alkitab seperti "jangan menghakimi." Implisit di balik penggunaan ayat-ayat itu adalah sebuah pernyataan, bahwa massa sebetulnya goblok dan tak tahu apa-apa, dan lebih baik menyerahkan semua keputusan kepada elit gereja yang dianggap jauh lebih tahu yang terbaik dari massa. Intinya, elit menggunakan "bahasa ayat Alkitab", mencomot ayat-ayat tanpa melihat bagiannya secara keseluruhan, sebagai senjata untuk membungkam kritik dan menghilangkan proses akuntabilitas. Massa awam yang kebanyakan tak tahu banyak tentang Alkitab pun berubah menjadi pasif, karena mereka tak tahu apa sebetulnya konteks lengkapnya, dan setiap kali mereka akan selalu dibungkam oleh tuduhan sesat, tukang menghakimi, dsb. Akibatnya, kekuasaan elit gereja tak terkontrol dan berkembang juga theologi "bapak"-isme, di mana satu figur utama gereja mengontrol gereja secara total, dikelilingi elit yang mati-matian membelanya, dengan alasan fanatisme ataupun karena kekuasaan.

Bagaimana untuk menghindari bahaya-bahaya di atas? Pertama-tama saya rasa yang paling penting adalah kesadaran dari jemaat sendiri terhadap bahaya-bahaya di atas. Adanya bahaya ekslusifitas dalam gereja, yang perlu dicegah. Kedua adalah jemaat perlu lebih mengenal Alkitab dan lebih mengerti doktrin-doktrin. Jemaat harus berubah dari domba yang pasif hanya menerima, menjadi domba yang agresif dan mau bertanya. Yang ketiga adalah pembentukan semacam badan pengawas independen yang bisa mengaudit gereja dan pendeta, usaha-usaha agar tak terjadi ekslusifitas elit gereja. Yang keempat adalah elit gereja sendiri memberikan dorongan kepada jemaat untuk berani menemukan jalur hidup mereka yang paling sesuai dan memberikan dampak konkrit kepada masyarakat. Jadi elit gereja justru mendorong jemaat agar keluar dari bola gereja dan terjun di masyarakat dan menjadi sesuatu yang selalu digembor-gemborkan sebagai garam dan terang dunia. Di sini terjadi kerjasama antara elit gereja dan jemaat yang bekerja di dunia, bukannya perasaan bahwa yang satu menyaingi yang lain, atau menuduh bahwa jemaat melupakan gereja.

Mungkin salah satu contohnya dapat dilihat di tetangga kita, yakni Islam aliran Nadhatul Utama. Kita bisa melihat dalam muktamar-muktamar mereka, para kiai dengan fasihnya saling menyerang dan menerima ide, didukung dengan kitab-kitab mereka yang tingginya sampai ke langit. Di sana, tak ada kiai yang lebih benar atau salah, yang penting adalah perdebatan yang sehat dan membentuk kelompok yang demokratis. Tak ada dalam perdebatan mereka, opresi dengan menggunakan bahasa dalam bentuk apa pun. Bahasa Arab? Semuanya bisa. Bahasa "ayat suci?" Tak ada yang membungkam kritik dengan tuduhan "sesat" dsb. Elit NU seperti Gus Dur bahkan mendorong tokoh-tokoh NU yang muda-muda untuk berpikir secara radikal, melepaskan diri dari kekangan konservatisme Islam - bahkan sampai secara ekstrim yakni mempertanyakan interpretasi Qur'an itu sendiri, dan secara langsung melindungi tokoh-tokoh muda dari serangan kaum konservatif. Tak heran bahwa Nardatulah Utama  banyak sekali memunculkan ide-ide baru dan juga sarang dari banyak pemikir-pemikir Islam yang tangguh baik dalam segi theologis
maupun sosial dan sangat terbuka terhadap kerjasama antara Kristen dan Islam untuk mendukung masyarakat majemuk di Indonesia.

Kita sebagai umat Kristen di Indonesia sudah jauh sekali tertinggal dari kaum Muslim. Dengan tantangan-tantangan yang sekarang muncul, baik secara jasmani (misalnya tekanan baik bersifat SARA maupun karena kondisi sosial, misalnya kemiskinan) maupun rohani (misalnya materialisme dunia), sudah saatnya kita sebagai orang Kristen menghentikan opresi dengan bahasa roh ataupun bahasa ayat, dan mulai mengejar ketinggalan kita dengan berusaha lebih demokratis dan lebih mementingkan akuntabilitas  gereja dan membentuk jemaat yang berani bertanya dan berpikir secara independen. Salah satunya juga dengan bekerja sama dengan rekan-rekan Muslim, yang sudah mau mengulurkan tangan untuk bekerja sama dengan kita dalam membentuk masyarakat pluralistik. Sayang sekali kalau kesempatan ini terlewatkan akibat kediktatoran bahasa.

YS

Kavaleri dan Infanteri Kristen

Tulisan sangat lama ini ditulis untuk sebuah milis Kristen dan seingat saya dulu banyak sekali dibajak dan disebarkan kemana-mana tanpa menggunakan nama saya dan diedit sesuai agenda tersendiri. Yah, ini adalah naskah asli, yang sudah diperbaiki juga, karena banyak yang dulu saya tulis sudah tak lagi relevan atau malah justru merusak inti dari tulisan ini, yang sebetulnya menekankan perlunya keterlibatan gereja di masyarakat secara lebih mendalam, terutama dalam memerangi kemiskinan dan ketidakadilan di masyarakat.

YS
---------

Date: Thu, 22 Aug 2002
Subject: Kavaleri dan Infanteri Kristen

Pernahkah pembaca melihat gambar-gambar perang di Eropa di abad pertengahan, di mana terlihat ksatria-ksatria berketopong mengendarai kuda, dengan anggunnya menyerbu musuh? Atau mungkin di Alkitab ada juga ilustrasi di mana terlihat raja-raja Israel seperti Ahab mengendarai kereta berkuda? Kalau yang membaca Asterix mungkin juga sering melihat ilustrasi Julius Caesar mengendarai kereta kuda dengan anggunnya. Sewaktu melihat ilustrasi-ilustrasi tersebut, sering kali terasa (terutama waktu kecil), betapa inginnya duduk diatas kuda dengan gagahnya, melaju ke medan perang dan menang.

Tapi fakta aslinya tak seindah gambar-gambar itu. Hancurnya "feudalisme" di Eropa selain karena faktor sosial juga lebih banyak karena para jendral di abad pertengahan menemukan pasukan anti-kavaleri: artileri, pemanah, dan pikeman (infanteri dengan tombak panjang), yang sangat murah tapi bisa mengancurkan serangan pasukan kavaleri. Dalam fakta sejarahnya juga, pasukan kavaleri atau kereta (chariot) tak terlalu efisien kecuali dalam kondisi tertentu. Pasukan kereta memerlukan daerah yang benar-benar datar, seperti padang pasir; begitu mereka masuk ke daerah pegunungan seperti China atau Eropa, kereta tak lagi bisa efektif: mudah sekali untuk kereta-kereta tersebut untuk terbalik hanya karena menyenggol satu batu kecil. Kuda perang tak cocok bertempur di pegunungan. Penyebaran Islam yang oleh pedang, unta, dan kuda efektif di daerah Timur Tengah yang relatif datar tapi tidak di daerah Eropa yang bergunung. Perhatikan juga: daerah-daerah mana yang gagal dikuasai pasukan Genghis Khan? Eropa tengah yang bergunung, selatan China yang penuh hutan rimba, dan Jepang yang dilindungi laut.

Selain itu, pasukan kereta, gajah, kavaleri, bahkan di jaman sekarang ini, tank; sangatlah mahal. Misalnya pasukan kereta: perlu ditarik oleh 3-4 kuda, kemudian diisi tiga orang, pengemudi, pemegang tameng, dan penombak. Pasukan kavaleri ksatria: biaya kuda dan juga membeli baju zirah itu sangat tinggi, apalagi di abad pertengahan yang belum mengenal tekhnologi modern.

Jadi apa gunanya kavaleri atau pasukan kereta, atau bahkan pasukan gajah? Tidak lain sebagai "shock troop," pasukan yang mengagetkan pasukan musuh karena kecepatan dan "terror"-nya. Bayangkan, bagaimana rasanya di depan kuda yang melaju, yang ditunggangi ksatria yang mengarahkan tombaknya kehadapan pembaca? Tentunya sangat menakutkan. Tapi shock itu hanya sementara. Korban pasukan kavaleri sendiri tak akan terlalu banyak. Begitu shock terjadi dan mengakibatkan barisan musuh terbelah dan kacau, pasukan infanteri perlu langsung dengan cepat mengisi belahan itu dan menghancurkan pasukan musuh.  Tak heran kalau di medan perang, jauh lebih banyak infanteri, sedangkan cavaleri hanya sedikit. Misalnya di perang saudara US (1861-5), kedua pihak memiliki 96,885 infantry dan 10,596 kavaleri. Jadi, memang pasukan kavaleri dibutuhkan dalam perang, tapi tanpa kerja samanya dengan pasukan infanteri, pasukan kavaleri tak akan bisa memberikan kemenangan mutlak atau jangka panjang.

Sebelum pembaca merasa bahwa tulisan ini isinya hanya tentang taktik perang, mari saya sekarang masuk ke inti permasalahan yang ingin saya sampaikan dengan ilustrasi di atas; yakni persamaan antara "kavaleri-infanteri" dengan gereja Indonesia. Saya memperhatikan bahwa milis-milis Kristen condong memberikan pujian kepada orang-orang yang dianggap ahli theologia atau membangkitkan semangat 45 melalui KKR. Terlihat jelas bahwa banyak gereja di Indonesia terlalu condong dalam membentuk pasukan-pasukan kavaleri seperti ahli-ahli theologia/apologetika, atau pendeta pemimpin, daripada pekerja infanteri yang sebetulnya sangat critical, seperti seorang yang kerjaannya menjadi gembala atau pekerja di background, seperti guru-guru sekolah minggu.

Invanteri adalah "disciple-makers": orang-orang yang secara mendalam membangun relationship dengan orang lain dengan tujuan untuk membangun iman dan karakter, serta mendorong penerapannya yang efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan keberanian untuk menanggung resikonya. Orang-orang seperti guru sekolah minggu, guru Injil, pembina pemuda, pemimpin kelompok kecil tumbuh bersama, orang-orang yang terjun di masyarakat untuk membantu orang-orang miskin dan membela keadilan, merupakan contoh-contoh pasukan infanteri ini. Mereka semua bekerja tanpa terlihat, tersembunyi karena mereka masuk ke dalam masyarakat.

Penekanan untuk kavaleri daripada infanteri di dalam gerakan Kristen bukan merupakan problematika yang baru. Bahkan sejak pertama kali reformasi terjadi di masa Luther, hal ini sudah menjadi masalah besar, di mana theolog-theolog baru yang dihasilkan universitas-universitas lebih tertarik untuk terjun dalam debat polemik theologia Calvinis lawan Lutheran lawan Katolik daripada menjadi pasukan infanteri yang melakukan pelayanan yang tak terlihat. Lulusan sekolah theologi lebih ditekankan ilmu debat yang menyerang Katolik, bukan pelayanan kepada jemaat.

Kalau pun ada penggembalaan, fokus pelayanannya bukan kepada massa yang tak memiliki uang atau pengaruh. Contohnya ada satu gereja yang sampai menyewa tukang pukul untuk mengusir orang-orang yang dianggap kurang beriman atau kurang berpendidikan. Pada masa itu, orang-orang yang bisa mengerti theologia reformasi hanyalah sedikit, yakni intelektual yang memang bisa membaca, sedangkan agar bisa mengerti seperti itu, orang-orangnya perlu memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Pertanyaannya: siapa yang waktu itu bisa memiliki pendidikan tinggi? Hanyalah bangsawan dan orang kaya. Tak heran, akibatnya terjadi dua fakta penting yang kurang dibahas dalam sejarah gereja: reformasi menyebabkan angka orang atheis meningkat dan pengaruh Lutheran/Calvinis sendiri dalam hanya beberapa tahun setelah reformasi sebetulnya menurun drastis.

Saya tak ragu kalau hal di juga terjadi di Indonesia. Gereja kebanyakan hanya untuk orang-orang kaya. Contohnya: gedung gereja dengan harga milyaran, apakah pembantu rumah tangga atau rakyat kecil yang miskin berani masuk ke gedung-gedung seperti itu tanpa rasa risih karena mereka tak memiliki baju super mahal dan dikelilingi orang-orang yang berpakaian seperti kaisar? Kalau dengan perumpamaan saya di atas, saya bilang itu adalah gereja tipe kavaleri.

Bagaimana dengan para pendeta? Terlihat fokus dari gereja hanyalah membentuk pendeta kavaleri, yang hanya mau khotbah di depan massa yang minimal 1000 orang atau orang-orang kaya. Ini tidak salah, asalkan didukung oleh "infanteri" yang kemudian membantu orang-orang yang berhasil "dijamah" dan digembalakan. Tapi sering kali yang terjadi hanya sebuah KKR, tanpa dilanjutkan oleh usaha-usaha gereja untuk menggembalakan domba-Nya. Memang lebih menyenangkan untuk menjadi pasukan kavaleri: tenar. lebih terlihat, lebih banyak duit, dsb. Siapa yang tak mau memimpin KKR dan digaji dengan uang kolekte sampai milyaran?

Memang ada juga perhatian ditempatkan untuk pasukan infanteri, tapi permasalahannya adalah perhatiannya lebih ditujukan kepada pasukan infanteri yang berperan untuk meningkatkan keagungan pasukan kavaleri. Misalnya dalam KKR, cukup banyak perhatian ditujukan untuk pasukan infanteri yang mati-matian mengusahakan agar KKR itu terjadi seperti orang yang menyusun booklet, menghias gedung, pokoknya kacung-kacung yang tanpa mereka itu KKR tak akan bisa terjadi.

Sayangnya perhatian yang sama tak ditujukan ke pasukan infanteri lain yang tak bekerja secara langsung untuk kejayaan pasukan kavaleri itu. Misalnya infanteri pengajar sekolah Minggu. Saya sering mendengar guru-guru sekolah Minggu ditempatkan di ruangan kumuh gereja, tanpa sarana memadai. Di satu gereja, guru sekolah minggu mengajar di sebuah ruangan tempat sang pendeta memelihara hewan peliharaannya, seperti burung hias.

Sayang sekali pasukan kavaleri itu tak menyadari bahwa tanpa pasukan infanteri yang mati-matian mengajar sekolah minggu atau membantu konseling, atau pokoknya fungsi sosial lain, gereja tak akan bisa berfungsi. Di tempat lain, pasukan infanteri Kristen yang berusaha terjun di bidang politik tak didukung penuh oleh gereja. Beberapa gereja sampai melarang anggotanya ikut politik atau berpartisipasi karena ingin agar semua sumber daya dikumpulkan demi keagungan pasukan kavaleri gereja. Kalaupun ada uang, daripada membangun sekolah untuk orang miskin atau gerakan sosial lain, gereja lebih memfokuskan untuk membangun gedung gereja super atau sekolah yang tujuannya cari duit. Satu yayasan Kristen di Indonesia misalnya, terkenal memiliki sumber daya yang sangat tinggi, tapi kebanyakan asetnya dilempar untuk membeli tanah, tanpa lebih meningkatkan sekolah atau memperbanyak sekolah untuk orang-orang miskin. Sayangnya memang penekanan gereja kita hanyalah untuk pasukan kavaleri saja.

Salah satu peserta milis ini pernah bertanya kepada saya, bahwa kenapa kok Islam kelihatannya lebih maju dari Kristen dari segi politik dan sosial? Jawaban saya adalah kehebatan mereka terletak bukan dari segi jumlah, tapi justru dari koordinasi pasukan mereka yang brilyan. Pasukan kavaleri mereka hebat-hebat, seperti Cak Nur, Gus Dur, dsb. Hebatnya mereka juga menekankan sekali ke peran infanteri, seperti pengembangan jaringan zakat, jaringan pluralisme kerukunan kelompok dan agama, dsb. Kerja sosial mereka bukan hanya seperti kita, yang bangkit kalau sedang ada krisis SARA, tapi betul-betul berkeinginan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat.

Sayang sekali bahwa gereja jarang memikirkan untuk mengkoordinasi gerakan Kristen. Kebanyakan hanya tertarik sebagai pasukan kavaleri saja. Kalau ada gerakan untuk meningkatkan pasukan infanteri, kebanyakan ditentang pendeta atau penatua dengan alasan bahwa itu tak menguntungkan gereja atau tak membantu pasukan kavaleri. Justru harusnya yang terjadi sebaliknya: pasukan kavaleri digunakan untuk membantu pasukan infanteri. Kavaleri membantu untuk mendobrak musuh, menciptakan celah yang mampu diisi pasukan infanteri dengan cepat sehingga musuh bisa dikalahkan.

Apa yang dimaksud dengan musuh? Masalah-masalah sosial, baik di kalangan Kristen maupun agama lain di Indonesia, yang sangat beragam, dari masalah kemiskinan, anak terlantar, sampai penyelewengan kekuasaan. Tuhan menginginkan kita menjadi garam dan terang dunia, yang berarti bahwa orang-orang Kristen harus terjun dan membantu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, tanpa memperdulikan latar belakangnya. Itulah pekerjaan kaum infanteri yang bergumul dengan lumpur di medan perang dunia. Sekarang, maukah kita membentuk taktik baru, koordinasi antara kedua pasukan tuk membentuk "Laskar Kristus" yang hebat, yang berjuang memerangi ketidakadilan di bumi Indonesia?

Sebelum saya menyudahi tulisan ini, saya minta kepada saudara- saudari pembaca tulisan ini, tolong, kalau hari Minggu bertemu dengan guru sekolah minggu atau orang lain yang kurang dihargai pelayanannya di gereja (e.g. sound system operator, tukang sapu, dsb), tolong luangkan sedikit waktu untuk mengatakan terima kasih karena mau menjadi pasukan infanteri.

YS

Wednesday, August 10, 2011

Apa arti sebuah nama?

Tulisan pendek ini disusun menanggapi keributan di milis, antara pembela dan penentang Laskar Jihad dan juga para pembela dan penentang "Laskar Merah."
YS

Subject: Apa arti sebuah nama?
Date: Mon, 03 Dec 2001 00:14:21 -0500

Dear all:

Setiap kali kita mendengar kata "Jihad", "Laskar Merah," dsb, yang langsung terbentuk di kepala kita adalah image bahwa ini "perang agama." Karena itu tak heran, beberapa anggota milis yang beragama Kristen (termasuk saya) akan langsung bereaksi begitu mendengar berita yang memburuk-burukkan Kristen, dan di milis lain, yang beragama Islam langsung bereaksi jika mendengar berita yang memburuk-burukkan Islam.

Maaf jika saya salah, tapi saya rasa para pembaca pasti sudah tahu bahwa di milis-milis lain, para peserta milis yang beragama Islam tentu sangat peka kalau mendengar atau membaca berita yang menyudutkan Laskar Jihad. Begitu juga kalau peserta milis yang Kristen membaca berita yang menyudutkan Laskar Kristen di Maluku. Karena itu para peserta milis akan cenderung sangat kritikal atau skeptik jika membaca berita seperti itu. Saya yakin bukan karena semua mendukung Laskar Jihad ataupun gerakan lain yang menggunakan kekerasan, melainkan ada "defense mechanism" di dalam diri masing-masing yang berusaha membela "agama"-nya dan menganggap tak mungkin berita-berita yang menyudutkan agama masing-masing benar.

Tapi untuk yang namanya Laskar Jihad atau Laskar Merah atau apapun namanya, sebetulnya kita perlu sangat kritis. Saya berharap agar para pembaca "membongkar" nama-nama itu dan melihat apa yang terjadi di lapangan.

Yang saya lihat terjadi di Indonesia adalah agama digunakan sebagai "pembenaran" bagi perbuatan biadab yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Silahkan "serbu" saya sebagai provokator, tapi ada satu term yang saya gunakan untuk makhluk sejenis mereka: "Thugs" atau bandit.

Mengapa saya katakan bandit? Tidak lain karena perbuatan laskar-laskar tersebut yang menyatakan diri mereka sebagai "pembela agama" tak berbeda jauh dari perbuatan kriminil yang mengorbankan rakyat yang tak berdosa. Coba kalau kita belah kerusuhan di Maluku tahun 1999, apa awalnya? Keributan antara gang kriminal Islam lawan Kristen yang memperebutkan daerah kekuasaan yang menjalar karena provokasi dari Jakarta menjadi "perang agama." Kenapa menjalar? Karena polisi dan militer yang tak becus menjaga keadaan, sehingga kriminal-kriminal tersebut bebas bertindak tanpa takut akan dilempar ke bui akibat perbuatan mereka. Rakyat tentunya yang menjadi korban, terpaksa "memilih" untuk lebih baik di bawah "ganglord" yang mana.

Tapi apakah ini sebetulnya perang agama atau seperti kata Huntington "Clash of Civilization"? Tidak. Karena yang terjadi adalah perang antara kriminal.

Saya memandang bahwa pasukan-pasukan milisi dari semua agama termasuk Laskar Jihad yang masuk di tahun 2000 semakin memperkeruh suasana. Pasukan-pasukan tersebut tidak lain adalah kaki tangan politikus ekstrimis yang gila kuasa dan digunakan sebagai alat teror kepada lawan-lawan politik lain. Saya menuduh bahwa laskar-laskar apapun baik di Maluku, Poso, Jawa Timur, ataupun Kalimantan sebagai kaum fanatik yang sebetulnya kalau di alam demokrasi yang sempurna adalah orang-orang di pinggir jalan yang berteriak-teriak tanpa diacuhkan orang-orang yang lalu lalang. Di jaman berantakan ini, mereka bisa tampil di pentas karena dengan kekerasan yang menjadi sarana untuk mereka agar bisa "didengar" oleh pemerintah pusat dan bisa menekan pemerintah. Apalagi dengan angka pengangguran yang tinggi, yakni sekitar 20 juta orang, merupakan sumber daya yang cukup sebagai "tentara bayaran."

Kriminal-kriminal itu beraksi sesuai dengan naluri mereka: merampok, menjarah, memperkosa, dan menghancurkan. Tapi saya jamin, begitu kaum kriminal ini dihadapkan dengan tentara yang berdisiplin, mereka akan kocar-kacir, karena pada dasarnya memang mereka pengecut yang hanya ingin "easy gain" dengan rampok. Ngapain mengorbankan nyawa? Karena itu, saya yakin pasti ada semacam doa restu dari Jakarta yang memberikan garansi agar perbuatan biadab mereka tak akan dibawa ke pengadilan.

Intinya adalah: ini bukan konflik agama, melainkan konflik kaum kriminal. Karena itu, satu jalan yang dibutuhkan: pasukan yang kuat, terlatih, berdisiplin, serta bersenjata lengkap. Laskar-laskar, dsb merupakan paramilitary unit, yang mutunya setingkat diatas kriminal, tapi tetap bukan merupakan pasukan militer betulan. Dengan pasukan disiplin dan kepastian hukum, maka saya jamin kerusuhan etnis di Indonesia akan lenyap dengan sendirinya.

Beberapa informasi tambahan:
http://www.intl-crisis-group.org/
http://www.humanrightswatch.org/asia/indonesia.php

Salam,

YS

Retorika dan Identitas

Artikel lama ini rupanya arsipnya terpotong setengah sehingga saya harus menambahkan beberapa paragraf untuk melengkapinya. Semoga "update" ini tidak mengurangi nilai sejarah artikel lama ini.
YS

Date: Mon, 12 Nov 2001
Retorika dan Identitas

Tak dapat disangkal bahwa retorika memang merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan politik. Saya setuju dengan banyak argumen yang menyatakan bahwa retorika bisa mempengaruhi massa secara luas dan contoh-contoh yang ia berikan juga memperkuat argumennya. Namun saya bertanya-tanya apakah fokusnya dalam retorika ini sebetulnya seperti "putting cart before the horse."

Mengapa saya katakan "putting cart before the horse?" Saya melihat ada faktor penting yang sayangnya dilupakan dalam analisa-analisa tentang retorika, yakni pengaruh identitas sebagai pendorong terbentuknya retorika. Zaller (1992) menulis bahwa ide bisa berpengaruh kalau ada tiga faktor pendukung, yakni: simplifikasi (sesederhana apakah ide tersebut), intensitas (seberapa sering ide dikumandangkan), dan familiaritas (sekenal apakah orang-orang kepada ide ini).

Identitas merupakan sesuatu yang memenuhi faktor "simplifikasi" dan "familiaritas." Seseorang yang menganggap sesuatu ide sebagai bagian dari identitasnya secara sekaligus berarti "familiar" dengan ide tersebut dan untuknya unsur identitas menjadi sesuatu yang "simple."

Untuk lebih memperjelas, mari kita ambil contoh Sumpah Pemuda. Satu hal yang sering dilupakan orang adalah kenapa Sumpah Pemuda terjadi tahun 1928 bukan tahun 1908 (Boedi Oetomo) yang sering dianggap sebagai hari Kebangkitan Nasional? Pertama-tama, tahun 1908, para elit Indonesia masih merasa bagian dari daerah-daerah sendiri, bukan merupakan bagian dari Indonesia. Namun pada tahun-tahun menjelang tahun 1928, kita melihat partai-partai politik Indonesia yang bersifat kedaerahan "digebuki" Belanda dan tokoh-tokoh politik Indonesia sendiri mulai kecewa dengan "Volksraad" yang dianggap sebagai boneka Belanda. Karena itu mereka melihat bahwa perlu adanya gerakan nasional dan untuk mereka Kongres Pemuda II sendiri menjadi tempat yang bisa menggodok ide di mana yang terbentuk adalah ide yang bisa menjadi bagian identitas semua kelompok. Ide tersebut kemudian dikembangkan menjadi retorika nasional dan menjadi slogan pemersatu Indonesia.

Sumpah Pemuda bisa diterima oleh masyarakat luas (baca: elit politik) karena ide Sumpah Pemuda itu sendiri bisa diterima oleh elit sebagai bagian dari identitasnya. Karena ide tersebut sudah menjadi bagian dari identitas, ide yang sebetulnya "kompleks" itu menjadi sederhana karena "familiaritas" dari semuanya. Sebuah ide yang bisa mewakili identitas dari orang-orang yang memiliki "vested interests" dalam ide tersebut akhirnya bisa diterima oleh massa.

Bahkan juga retorika yang cukup populer akhir-akhir ini seperti Piagam Jakarta memiliki pola perkembangan yang sama dengan yang saya tuliskan di atas. Elit dari kalangan Islam garis keras merasa bahwa mereka sudah lama "digebuki" di era Suharto dan selama ini juga mereka tak memiliki bagian dari "kue" yang tersedia. Karena banyak elit Islam yang memiliki concern yang sama, ide Piagam Jakarta menjadi memiliki banyak resonansi. Jadi diterimanya ide Piagam Jakarta bukan hanya karena mass media saja, tapi juga karena ide ini bisa diterima menjadi identitas dari kebanyakan orang Islam yang melihat ide ini sebagai simbol dari segala masalah, segala keburukan negara, dan segala penindasan yang didapatkan di era Orde Baru.

Namum pertanyaannya adalah bagaimana ide yang bisa diterima oleh semua elit untuk membentuk retorika level dua itu bisa dibentuk? Bukankah untuk mengedarkan "ide" itu sendiri ke kalangan elit perlu ada "retorika" tambahan?

Jadi kelihatannya ada tiga level yang perlu diperhatikan dalam retorika. Segi yang sering dibahas adalah level pelaksanaannya, yakni level ketiga, sedangkan saya menekankan perlunya memahami level kedua, yakni proses pembentukan retorika itu sendiri yang berdasarkan oleh ide. Untuk retorika level pertama yang bisa membentuk ide di level kedua saya (atau lebih tepatnya Yohannes Somawiharja mengusulkan kepada saya bahwa kita perlu) melihat pentingnya pembentukan pemikir-pemikir masyarakat yang benar-benar "top notch."

Terkikisnya nilai kemajemukan di masyarakat pada masa kini selalu menjadi perbincangan  yang hangat. Banyak yang mempertanyakan apakah turunnya nilai-nilai kemajemukan di masyarakat ini disebabkan oleh kurangnya pendidikan Pancasila atau apakah memang kurangnya baiknya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.

Mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia sendiri sangat dipengaruhi oleh pola pengajaran identitas masyarakat sendiri. Apakah identitas seorang siswa? Kalau ditanya, mungkin jawabannya ya Jawa, Sunda, Chinese, Batak, atau suku apa lagi lah - atau agama Islam, Kristen, Hindu, Budha. Tak ada yang menjawab identitasnya adalah orang Indonesia yang kebetulan bersuku A dan beragama X. Jadi terlihat bahwa sebetulnya sekolah-sekolah GAGAL dalam membentuk elit politik memiliki identitas INDONESIA, mugnkin karena pengajaran yang terlalu bersifat penghapalan daripada memikir dan membentuk identitas yang mempersatukan bangsa diatas kelompok dan golongan. Sangat menyedihkan....

Untuk itu saya rasa kita perlu menekankan kualitas guru-guru pengajar agama dan Pancasila. Apakah mungkin kita bisa membuat proposal untuk orang-orang berduit untuk menyumbangkan dana untuk melatih
guru-guru dan tenaga pengajar studi masyarakat majemuk (atau menaikkan gaji mereka yang memang berkualitas tinggi)dan menggunakan guru-guru itu untuk melatih elit Pancasilais baru?

Akhir kata, kita perlu memikirkan level pertama dan kedua ini dengan sangat serius, jika kita memang mau membuat retorika Pancasila yang bergema, dan tak tertenggelamkan oleh retorika nuansa SARA yang terus berkembang tanpa henti.

YS

Friday, August 5, 2011

Opini publik?

Tulisan ini dibuat waktu di Indonesia banyak terjadi demonstrasi yang menentang penyerbuan Amerika ke Afghanistan dan para demonstran mengarak-arak foto Osama bin Laden di jalan-jalan.


------------
Date: Thu, 04 Oct 2001 16:41:12 -0400
Subject: Opini publik?

Apa itu opini publik? Siapakah publik?

Banyak sekali "wakil rakyat" yang menyatakan dirinya mengatasnamakan publik. Gus Dur contohnya sewaktu mengeluarkan dekrit. Apalagi yang mengaku dirinya membela 'Islam.' Mereka menyatakan bahwa mereka mewakili aspirasi umat Islam Indonesia. Agama dan golongan lain pun pasti memiliki hal ini, di mana sering kita dengar ada kelompok yang mewakili "aspirasi umat Kristen" atau suku "A" atau apa lagi. Tapi dalam faktanya, sering kali yang dikeluarkan adalah opini mereka atau kelompok kecilnya sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah opini mereka itu bisa menjadi opini publik pada umumnya.

Manusia adalah makhluk yang peka kepada 'pengaruh,' terutama dari para ahli. Contohnya, dalam clinical psychology, sering sekali terjadi bahwa psikiater secara tak sadar menanamkan ide-ide kepada pasiennya. Dalam satu contoh yang terkenal, untuk menjawab kenapa pasiennya itu takut makan udang, psikiaternya bertanya apakah dulu memang pernah ibunya melarang makan udang atau ada ketakutan yang berhubungan dengan itu. Secara tak sadar, ide bahwa ibunya keras/kejam tertanam dalam pasien tersebut, dan dalam beberapa kejadian pasien tersebut malahan percaya bahwa ibunya memang kejam, padahal faktanya sebaliknya. Kasus ini sekarang sedang di pengadilan di salah satu negara bagian di US, karena ibunya itu terkena tuduhan penyiksaan anak-anak.

Pengaruh seseorang yang dianggap ahli kepada "orang biasa" sangat besar. Menurut heuristic analysis, setiap hari seseorang dibanjiri banyak informasi. Sementara itu, dia perlu membuat keputusan dalam waktu singkat dengan informasi yang cukup. Berhubung dia tak pernah bisa mendapatkan informasi secara total, maka ia membuat 'jalan pintas,' yakni dengan mengambil apa yang sesuai dengan pandangannya tentang dunia. Salah satu jalan pintasnya adalah dengan mendengarkan pendapat 'para ahli,' karena orang-orang percaya pandangan para ahli itu hampir selalu benar atau karena masuk logika. Untuk itu, kredibilitas dan kepercayaan sangatlah penting.

Kembali ke masalah pertama tentang opini politik publik, apakah anda pikir semua orang itu tahu tentang politik? Saya rasa mungkin saja ada orang-orang di Indonesia yang tak tahu siapa Cak Nur. Sejujurnya, nama-nama ketua partai saja saya sering lupa. Mengapa hal itu terjadi? Gampangnya: kebanyakan informasi. Setiap hari seseorang harus bekerja, melakukan tetek bengek, dsb. Sekarang mereka harus mengikuti masalah politik dan memiliki informasi penuh tentang politik.... Sesuatu yang tak mungkin. Terlalu banyak informasi dan otak manusia tak akan sanggup menampung seluruh informasi itu.

Akhirnya, orang-orang mencari "jalan pintas." Salah satunya adalah dengan mencari opini para 'ahli,' yang bisa saja dukun, kyai, haji, komentator, pendeta, dsb. Tapi yang penting adalah mereka percaya bahwa para 'ahli' itu akan membela kepentingan mereka dan mereka sendiri bisa men-identify diri mereka dengan para ahli itu. Di sini salah satu faktor yang berpengaruh adalah ideologi, agama, dan nama. Tak heran dalam pemilu kemarin, penelitian Liddle dan Mujani membuktikan bahwa tokoh-tokoh politik seperti Megawati Sukarnoputri yang paling berpengaruh dalam mempengaruhi rakyat untuk memilih partai karena rakyat bisa men-identify diri mereka dengan Sukarno. Mereka melihat Sukarno adalah pembela rakyat kecil.

Sekarang kita melihat kasus Afganistan, Taliban, dan Osama. Mengapa ada saja orang-orang yang bisa semudah itu percaya kepada Osama, dan konco-konconya di Indonesia? Karena mereka tak tahu apa itu Taliban. Mereka tak bisa mendapatkan informasi secara sempurna Taliban itu apa.

Beberapa suara menyatakan bahwa karena faktanya begini, ya rakyat perlu dididik secara total dan 'diterangkan' jalannya. Tapi rakyat sibuk semua mencari makan dan kerja.... Mereka tak ada waktu untuk baca informasi. Lagipula, kalaupun ada waktu, mereka akan membaca sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka mau baca. Tak heran Pos Kota adalah koran terlaku di Indonesia.

Begitu saatnya melakukan keputusan politik, rakyat akan melihat tokoh-tokoh yang dianggap ahli. Nah, di sini saatnya elit-elit politik kita seperti Amien Rais, Hamzah Haz, dsb berpengaruh kuat. Rakyat melihat mereka, percaya mereka, akan mengambil keputusan dengan berdasarkan apa yang tokoh-tokoh berpengaruh tersebut ingin. Tak heran juga di sisi lainnya, alm. Romo Mangunwijaya sangat berpengaruh di Jawa Tengah, karena semua orang memang percaya dia. Intinya adalah siapa yang bisa dipercaya rakyat yang tak bisa mendapat informasi secara sempurna.

Masih belum percaya? Mari kita kembali sekarang ke cerita tentang anak dan udang, apakah anda percaya bahwa memang ada kasus di mana hal tersebut terjadi? Mungkin kalau anda memang seseorang yang senang membaca tulisan saya dan percaya apa saja yang saya tuliskan, anda pasti akan percaya bahwa memang ada kasus itu. Tapi faktanya, cerita di atas itu fiksi yang saya buat dalam waktu 1 menit (walau memang ada unsur yang diambil dari kejadian sesungguhnya, tapi sama sekali tak menyangkut masalah udang). Jika anda memang percaya bahwa yang saya tulis selalu credible atau masuk akal, maka anda tak akan memiliki kesulitan untuk menelan cerita tersebut bulat-bulat, atau paling tidak, anda percaya bahwa memang ada udang di kasus tersebut.

Tapi jika saya adalah seseorang yang kredibilitasnya dipertanyakan, maka anda tak akan percaya secepat itu. Selain itu juga, yang berpengaruh adalah apakah yang saya ceritakan sesuai dengan gambaran anda tentang dunia? Jika tidak, rasanya tulisan ini juga tak akan anda percayai.

YS

Analisa: denial kepada 9/11

Artikel ini ditulis seminggu setelah peristiwa 9/11 menanggapi perdebatan di milis, tentang kenapa banyak sekali orang yang tidak semudah itu mempercayai serangan 9/11 didalangi oleh Al Qaeda.

YS


-----
Date: Wed, 19 Sep 2001 01:45:05 -0400
Subject: Analisa: denial

Dear all:

Seperti yang kita ketahui, minggu lalu di New York dan Washington, teroris membajak empat kapal dan berhasil menabrakkan tiga diantaranya ke World Trade Center dan Pentagon. Pemerintah Amerika kemudian meng-identifikasi terorisnya sebagai beragama Islam dan pengikut Osama bin Laden. Seperti yang kita saksikan, terjadi reaksi besar-besaran di Indonesia, di mana beberapa politikus mengancam Amerika untuk tak sembarangan menuduh kaum Muslim, menteror Muslim, dsb. Namun setelah Amerika memberikan bukti lebih lanjut, yang terjadi adalah politikus dan pemikir Islam seperti Hamzah Haz dan Emha justru menuduh bahwa tindakan US-lah yang menyebabkan terjadinya kasus itu dan Amerika perlu melindungi kaum minoritasnya yang beragama Islam diserang orang-orang yang ingin membalas dendam.

Tindakan-tindakan itu mungkin dianggap menggelikan oleh banyak rekan-rekan yang terutama beragama Kristen. Namun, tindakan politikus dan pemikir Islam sebetulnya wajar, karena itu adalah apa yang dinamakan 'self-defense mechanism,' yakni pemikiran untuk melindungi image dari diri sendiri tentang dunia.

Manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengerti dunia secara total, karena itu ia membentuk semacam image atau snapshot atau gambaran tentang dunia, apa sebenarnya dunia itu. Gambaran itu dibentuk berdasarkan apa yang ia percayai dan menjadi bagian dari identitasnya. Contohnya, orang yang percaya tahayul akan percaya kalau di gunung ini ada roh anu, dan bumi ini dibentuk oleh Brata apa. Tapi yang umum terjadi adalah orang-orang percaya bahwa dunia itu adil dan orang baik itu akan mengalami sesuatu yang baik dan melakukan sesuatu yang baik.

Dunia yang adil dan baik merupakan salah satu kepercayaan yang paling umum. Misalnya kamu teman baik sama "X", dan kamu percaya bahwa membantu orang merupakan perbuatan yang baik, karena itu kamu percaya kalau "X" senang membantu orang, karena kamu memang percaya "X" memang orang baik. Tapi begitu ada yang berkata "X" ternyata melakukan penggelapan, kamu tak akan percaya semudah itu, karena konsep dunia yang adil itu. Penggelapan adalah tindakan buruk, dan karena kamu percaya "X" baik, kamu tak akan percaya bahwa ia melakukan penggelapan. Self-defense mechanism kamu langsung bekerja sehingga kamu pertama-tama bisa berkata, "'X' tak akan melakukan hal berengsek itu."

Tapi begitu ternyata terbukti "X" melakukan penggelapan, maka dapat terjadi dua hal. Jika hubungan kamu dengan "X" tak terlalu dekat, maka kamu akan mengubah pandangan kamu tentang "X", yakni ternyata "X" itu memang berengsek. Tapi jika hubungan "X" dengan kamu dekat, yang terjadi adalah kamu membela "X" dan menyalahkan korban. Misalnya kamu bisa menyatakan bahwa memang perusahaan tempat "X" itu berengsek, bosnya tukang tipu, pemuja setan, pembukuan berengek, dsb. Hal ini karena kamu ingin melestarikan pandangan kamu tentang dunia yang adil.

Tapi sebaliknya, kamu akan mudah sekali menerima ide bahwa "X" melakukan penggelapan jika kamu memang memiliki pandangan negatif tentang "X", dan sulit sekali mengubah pandangan kamu bahwa "X" jahat kalau kamu mendapat berita bahwa "X" ternyata gemar membantu orang lain. Jika kamu berpikir "X" jahat dan ternyata orang-orang berkata bahwa dia gemar membantu, yang terjadi adalah kamu berpendapat "X" melakukannya untuk cari muka, ada udang dibalik batu, dsb.

Hal yang sama juga terjadi dengan pembantaian bernuansa etnis atau agama. Pembunuh atau orang yang memerintah orang-orang untuk melakukan pembantaian mengalami dilema yang telah saya sebutkan di atas. Supaya mereka bisa tidur dengan nyenyak di malam hari, mereka membuat ideologi yang bisa membenarkan tindakan mereka. Contohnya, para perencana 9/11 percaya bahwa yang diserang adalah orang-orang kafir atau penyerang Islam. Karena Islam lebih dulu diserang, mereka bisa menyatakan bahwa mereka membantai untuk menuntut balas, dan ini dibenarkan Tuhan.

Jadi Tuhan yang menjadi alat untuk membenarkan diri.... Mereka bisa juga menyatakan bahwa korban mereka bukanlah manusia, karena berbeda agama atau kepercayaan, jadi menyalahkan korbannya. Karena itu, tak ada bedanya korban manusia dengan hewan dan lagipula pembunuhan itu sudah diperbolehkan Tuhan. Itu yang menyebabkan mereka bisa tidur nyenyak di malam hari. Tak heran kalau kelompok-kelompok radikal selalu menekankan penyerbuan kepada tempat ibadah, karena tujuannya memang untuk memposisikan diri sebagai korban yang berhak menuntut balas.

Hal yang sama terjadi dengan para politikus dan pemikir Islam di Indonesia. DI satu pihak, mereka tak bisa menerima bahwa orang Islam melakukan tindakan keji yang memperburuk nama mereka di dunia internasional. Di pihak lain, mereka memiliki pandangan buruk tentang Amerika dan senang sekali mendengar Amerika menerima bencana. Karena itu, begitu WTC dibom, terlihat banyak orang-orang Islam bersuka cita, karena mereka merasa Allah itu adil dengan membiarkan WTC dibom. Namun, begitu Amerika menuduh Islam, self-defense mechanism bergerak; Arafat berkata bahwa gambar orang Palestina yang berpesta itu salah, CNN dituduh bohong, dsb. Hal ini bukan karena mereka buta atau terlalu naif, tapi karena pandangan mereka tentang dunia memang seperti itu. Karena itu tak heran Hamzah Haz menyatakan bahwa US perlu melindungi minoritas sementara di Indonesia menutup mata kepada kerusuhan bernuansa etnis dan agama.

YS

Thursday, August 4, 2011

Keadilan Sosial dan Keutuhan Bangsa

Artikel panjang ini seingat saya dipotong sampai setengahnya waktu diterbitkan di Sinar Harapan. Memang artikel ini terlalu panjang dan berbelit-belit, menarik tapi meluber.
--------------

Keadilan Sosial dan Keutuhan Bangsa
Oleh Yohanes Sulaiman
Sinar Harapan, 16 Agustus 2001
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0108/16/opi02.html

Negara sering kali menganggap bahwa kerusuhan social disebabkan orang-orang yang hanya ingin memecah persatuan bangsa. Padahal ada beberapa kasus di mana kerusuhan terjadi karena alasan yang bisa diterima dengan akal sehat, yakni perasaan bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil. Paper ini mencoba mengupas apa itu keadilan dan bagaimana keadilan bisa menjadi pedang yang mengancam keutuhan negara Indonesia dan apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasinya.

Apa itu keadilan? Keadilan adalah sesuatu yang sulit sekali untuk dijelaskan karena keadilan memiliki banyak definisi dan hampir setiap orang yang saya tanyai memiliki pandangan yang berbeda tentang apa itu keadilan.

Akibatnya, apa yang saya anggap adil belum tentu dianggap orang lain sebagai sesuatu yang adil. Karena itu saya bisa simpulkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang subjektif, bukan objektif. Namun satu hal yang pasti adalah agar suatu konsep bisa dianggap sebagai adil, konsep itu harus disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan.

Kalau begitu, bagaimana jika sesuatu konsep tak disetujui oleh semua orang?

Coba perhatikan eksperimen yang dilakukan oleh Werner Guth, Rolf Schmittberger, dan Berndt Schwarze di tahun 1982. Werner Guth, Rolf Schmittberger, dan Berndt Schwarze membagi para partisipan riset mereka ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari dua orang. Mereka kemudian memberikan $10 kepada salah satu orang dari tiap kelompok secara terang-terangan dan meminta kepada tiap orang yang mereka berikan $10 untuk memberikan berapa pun yang mereka mau kepada partnernya dengan catatan bahwa jika partnernya tidak setuju, maka kedua orang itu akan kehilangan $10 itu. Hasilnya adalah sebagian besar peserta memilih untuk memberikan $5 kepada partnernya dan sebagian kecil peserta memilih untuk menolak pemberiannya.

Eksperimen ini diulang oleh Daniel Kahneman, Jack L. Knetsch, dan Richard H. Thaler di tahun 1986 dengan meminta kepada orang yang diberikan $10 secara tersendiri untuk memberikan $2 kepada partnernya, namun kepada kedua orang itu diberitahukan bahwa mereka akan menerima $10. Hasilnya sebagian besar peserta yang menerima $2 lebih memilih untuk menolaknya dan secara otomatis yang mendapat $10 kehilangan $8 (Kahneman and Tversky, 2000. pp. 328-9).

Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan memilih untuk menghukum orang yang dianggap memerlakukannya secara tidak adil. Salah satu caranya adalah merelakan diri mereka kehilangan apa yang bisa mereka dapatkan. Dalam kasus di atas, orang yang mendapat $2 memilih untuk menghukum orang yang dianggap memperlakukannya secara tak adil dengan merelakan dirinya kehilangan $2 agar bisa membuat partnernya kehilangan $8. Hal yang menarik dari kasus di atas adalah orang yang kedua sebetulnya tak akan rugi jika ia hanya menerima $2. Ia tak melakukan apa-apa untuk mendapatkan $2. Bahkan ia malahan menerima kerugian dengan menolak $2 demi membuat partnernya kehilangan $8. Tapi itulah faktanya. Perasaan bahwa seseorang diperlakukan tak adil akan membuat orang itu berani menanggung resiko rugi untuk menghukum orang yang dianggap memperlakukannya secara tidak adil.

Perang adalah salah satu dampak dari kasus ini dalam dunia nyata. Kaum rasionalis seperti James Fearon selalu menyatakan bahwa perang itu mahal, karena itu setiap negara akan berusaha menghindari perang dengan cara negosiasi. Namun karena setiap orang tak bisa secara tepat memperkirakan kekuatan orang lain, maka negara memiliki insentif untuk memperdayai lawannya untuk mendapat keuntungan. Perang akan terjadi jika mufakat tak dapat diraih dalam perundingan (Fearon, 1995).

Secara rasional, ide Fearon benar, namun David A. Welch dalam bukunya Justice and the Genesis of War menyatakan bahwa motivasi manusia untuk berperang adalah keadilan. Sebuah negara yang tak diperlakukan secara tak adil akan lebih bermotivasi untuk membakar api peperangan untuk mendapatkan apa yang mereka anggap adil. Eksperimen cognitive di atas cukup mendukung hipotesis Welch bahwa orang-orang cenderung untuk mengorbankan apa yang bisa mereka dapatkan untuk menghukum orang yang memperlakukan mereka secara tak adil. Tapi apakah alasan untuk perang semudah itu?

Kaum realis pengikut Hans J. Morgenthau akan mempertanyakan ide di atas. Morgenthau dalam bukunya yang terkenal Politics Among Nations menyatakan bahwa sebuah negara tidak mungkin akan bisa mengetahui secara pasti motivasi dan tujuan negara lain secara objektif. Motivasi sendiri tak akan bisa dilihat karena setiap negara akan berusaha menyembunyikan motivasi mereka yang sebenarnya. Karena itu, Morgenthau berusaha memudahkan perhitungan politik dengan mengasumsikan bahwa motivasi tiap negara adalah kekuasaan.

Keadilan merupakan salah satu alasan termudah yang bisa digunakan negara untuk memperluas kekuasaan. Alasan ‘demi keadilan’ bisa membantu sebuah negara untuk mengumpulkan dukungan rakyat atau dukungan internasional. Sebagai contoh, Adolf Hitler di tahun 1930-an menyerbu Austria, Czechoslovakia, dan Polandia dengan menggunakan alasan bahwa ia ingin menuntut keadilan dari perjanjian Versailles yang memang sangat mengekang Jerman. Banyak lagi contoh-contoh yang bisa disebutkan, tapi intinya adalah keadilan merupakan alasan terbaik bagi negara untuk memperluas kekuasaannya. Karena itu, setiap negara akan berusaha melakukan propaganda untuk memikat hati rakyat agar menyetujui politiknya. Untuk itu dengan alasan keadilan, sebuah negara bisa terus menyerbu negara lain dan memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun begitu, apakah ide ‘keadilan’ hanyalah sebuah propaganda dan tak bisa digunakan untuk menjelaskan perang? Tidak juga. David Welch menyatakan bahwa justru karena keadilan merupakan alasan termudah sebuah negara, maka jarang sekali sebuah negara menggunakan alasan ini (Welch, 1993. pp 44). Contohnya, dalam pengadilan, hampir tak pernah terjadi kasus pembelaan seorang pemerkosa bahwa alasan dia memperkosa korbannya karena ia ingin keadilan. Pembunuh juga jarang sekali menyatakan karena ia mencari keadilan karena itu ia membunuh korbannya, kecuali jika itu adalah alasan sebenarnya.Karena keadilan itu memang sesuatu yang terlalu sulit untuk dipercaya di pengadilan intelektual, maka ide ini jarang sekali digunakan kecuali jika memang keadilan merupakan sesuatu yang menjadi alasan utama.

Dalam kehidupan bernegara, negara adalah pemberi keadilan bagi rakyatnya, dan hal itu diakui rakyat dan menjadi konsensus bersama sehingga rakyat dengan senang hati menyerahkan hak mereka dalam hukum kepada negara. Karena itu, dalam negara yang memang berfungsi secara lancar, rakyat jarang sekali main hakim sendiri dengan tindakan-tindakan yang sangat ekstrim karena rakyat percaya bahwa negara akan memutuskan setiap perkara secara adil.

Namun dalam beberapa kasus tertentu, negara tak lagi bisa dianggap sebagai pemberi keadilan dan tak lagi disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai sebagai sumber keadilan. Akibatnya, rakyat memilih untuk melaksanakan hukum dengan tangan sendiri. Beberapa contoh di Indonesia adalah peristiwa pembakaran tersangka perampokan. Namun dalam kasus ekstrimnya dan sekarang sedang terjadi di Indonesia adalah rasa ketidakadilan berkembang menjadi gerakan separatisme.

Gerakan separatisme berkembang karena kaum separatis percaya bahwa negara memperlakukan mereka secara tidak adil dan negara tak berbuat apa-apa untuk menjawab keluhan mereka. Begitu otoritas negara melemah, maka secara otomatis gerakan separatisme akan beraksi. Contoh gerakan ini di Indonesia adalah Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, dan perjuangan kemerdekaan di Timor Timur.

Di sisi lain, pemberontakan massal terjadi karena mereka percaya bahwa pemerintah tak sanggup lagi memberikan jaminan bahwa mereka tak akan diperlakukan secara tak adil. Sebetulnya jenis ini adalah jenis yang bisa dicegah, namun Pemerintahan Orde Baru yang autoritarian menyebabkan sinyal ketidakpuasan rakyat tak terlihat. Melemahnya otoritas pemerintah dan rasa bahwa tak ada harapan untuk mereka untuk mendapatkan keadilan yang diakibatkan negara yang dianggap berpihak kepada sebelah pihak menyebabkan kerusuhan mudah meledak. Kerusuhan di Maluku dan Kalimantan Tengah adalah contoh dari pemberontakan massal akibat perasaan bahwa mereka tak diperlakukan secara adil.

Rasa kecewa dan kepercayaan bahwa pemerintah tak lagi menjadi penengah yang netral menyebabkan kaum-kaum yang bertikai seperti di Kalimantan Tengah mengangkat senjata dan menyerbu etnis atau golongan lain yang dianggap sebagai pihak yang diuntungkan oleh kebijakan negara.

Lama sebelum tejadinya krisis ekonomi dan konflik etnis di Indonesia, sebetulnya Indonesia sudah mendapatkan lampu kuning yakni dalam contoh kehancuran Yugoslavia. Sebelum terpecahnya Yugoslavia, ketiga ethnis hidup berdampingan tanpa ada masalah dan kaum Serbia sendiri berpendapat bahwa kerusuhan disebabkan oleh sebagian gerombolan ekstrimis (Gleny, 1993. pp. 19). Namun begitu Croatia menyatakan diri merdeka, kaum Serbia di Croatia merasa diri mereka terancam. Lebih buruk lagi untuk mereka, pemerintah baru di Croatia sama sekali tidak memberikan jaminan atau paling sedikit usaha untuk meringankan kekuatiran mereka. Akhirnya yang terjadi adalah kaum Serbia berusaha memisahkan diri mereka dari negara baru ini dan terjadi perang saudara.

Keadilan merupakan alasan yang paling mudah untuk meraih dukungan rakyat. Perang bisa dengan mudah terjadi karena rakyat merasa diperlakukan tidak adil berusaha memperbaiki ketidakadilan itu dan bahkan rela mengorbankan keuntungan mereka. Perang-perang kemerdekaan merupakan contoh-contoh yang positif dari kegunaan prinsip keadilan. Indonesia yang dijajah Belanda berusaha membebaskan dirinya dengan perang. Antek-antek Belanda di Indonesia kemudian diadili. Di Jawa bahkan antek-antek Belanda jauh lebih dibenci daripada orang Belanda sendiri karena rakyat Jawa merasa antek-antek itu memperlakukan sesamanya secara tak adil.

Namun banyak juga contoh-contoh negatif dari perang keadilan. Beberapa diantaranya adalah gerakan separatis dan kerusuhan massal. Karena itu, untuk mencegah agar gerakan separatisme dan kerusuhan massal bisa terjadi, pemerintah wajib memberikan jaminan kepada rakyat, terutama kepada kaum minoritas yang merasa terdesak, bahwa pemerintah memperhatikan kegelisahan dan keluhan rakyat serta memberikan rasa bahwa pemerintah akan berusaha menegakkan keadilan.

Sampai sekarang jaminan keadilan dari pemerintah sangatlah kurang. Orde Baru memberikan pelajaran bahwa militer adalah organisasi pengawal negara dan militer akan menumpas setiap gerakan yang berusaha memperlihatkan ketidak-puasan rakyat kepada negara. Karena itu begitu Orde Baru jatuh, muncul gerakan-gerakan separatisme dan kerusuhan massal. Gerakan-gerakan separatisme dan kerusuhan massal tak akan terjadi hanya oleh provokator saja, namun juga berasal dari kegelisahan rakyat bahwa pemerintah tak menjamin keadilan bagi mereka.

Karena itu, prioritas utama pemerintahan Megawati seyogyanya adalah memberikan kembali jaminan keadilan kepada rakyat. Walaupun jaminan keadilan tak bisa diberikan secepat mungkin, tapi jika pemerintah terlihat berusaha untuk memberikan jaminan keadilan, maka paling sedikit kerusuhan massal akan berkurang. Selain itu juga pemerintah wajib membentuk komisi untuk rekonsiliasi negara yang menerima keluhan, menjadi penengah, dan memulihkan kepercayaan rakyat atas kesatuan dan persatuan Indonesia.

Mengkaji kejatuhan Gus Dur

Tulisan lama tentang Gus Dur ini memang menarik kalau dibaca ulang. Walaupun alasan-alasannya ada benarnya, tapi tulisan ini tak mengena alasan paling intinya, yakni Gus Dur terlalu mengancam kedudukan elit politik pada waktu itu dengan gaya pemerintahannya yang cenderung main tubruk. Akibat jatuhnya Gus Durlah maka sampai sekarang, presiden-presiden Indonesia terkesan agak... melempem, tak berani bertindak terlalu keras, karena takut dikudeta oleh parlemen melalui pemakzulan.

-------------

Mengkaji kejatuhan Gus Dur
July 29, 2001

Lingkaran keberuntungan sangatlah mengerikan. Di suatu saat, seseorang berada di puncak kebahagiaan, namun dalam sekejab ia bisa berada di tempat yang paling bawah.

Hal ini bisa menggambarkan situasi Gus Dur sekarang ini. Gus Dur diangkat menjadi presiden tahun 1999 dengan penuh harapan. Semua golongan mendukungnya, termasuk sebagian besar anggota MPR. Semua pihak memiliki pengharapan tinggi kepada pemerintahan yang baru. Dalam bulan-bulan pertama, Gus Dur tampak bisa melakukan apa saja. Wiranto saja yang dianggap "untouchable" dapat didepak. Sangatlah ironis, bahwa Gus Dur bisa dijatuhkan oleh anggota-anggota MPR dalam waktu kurang dari dua tahun. Kini merupakan saat untuk meretropeksi penyebab kejatuhan Gus Dur dan berharap agar pelajaran ini tak hilang oleh pemerintahan Megawati.

Mengapa Gus Dur jatuh?

Satu diantara beberapa alasan-alasan yang saya anggap sangat penting adalah kesulitan untuk mengira langkah-langkah Gus Dur yang berikut. Sampai sekarang pun terlihat bahwa sangatlah sulit untuk meramal langkah berikut Gus Dur. Untuk menggusur Wiranto yang merupakan satu personality, langkah Gus Dur yang 'unpredictable' sangat tepat. Namun, menghadapi lawan politik yang lebih dari satu pihak, siasat Gus Dur sama sekali tak bisa. Lawan-lawan politik Gus Dur belajar dari kejatuhan Wiranto dan secara 'cognitive' belajar untuk tak menerima perkataan bahkan janji Gus Dur secara bulat-bulat (walau tak terlihat secara langsung). Intinya: Gus Dur yang sulit diprediksi menjadi Gus Dur yang sulit dipercaya dan tak memiliki kredibilitas (karena ucapannya yang berubah-ubah). Akhirnya, Gus Dur sulit untuk membentuk koalisi yang kuat.

Alasan kedua yang berasal dari alasan pertama tadi adalah tak adanya koalisi pendukung Gus Dur. Sama seperti Megawati setelah menang pemilu, Gus Dur tak membentuk koalisi yang stabil dan kuat. PKB mendapat suara hanya sekitar 10% dari pemilu, sehingga tak memiliki 'mandat' yang kuat. Kabinetnya tak memiliki kesatuan. Lebih parah lagi, Gus Dur memecat/ditinggalkan menteri-menterinya yang dianggap competent seperti Laksamana Sukardi dan Kwik Kian Gie (langkah ini sangat tak didukung pasar dan menyebabkan harga dollar naik). Dalam memecat Laksamana pun, Gus Dur sekaligus menggusur orang-orang Golkar dari dalam kabinet. Hasilnya, Gus Dur dengan sukses membuat PDI-P dan Golkar menjadi musuhnya yang sulit sekali diajak bekerja sama dan juga instabilitas ekonomi. Lawan-lawan politiknya dalam DPR menggunakan keadaan ini untuk bergabung untuk mendongkel Gus Dur.

Alasan ketiga adalah politik massa Gus Dur. Walaupun Gus Dur akhirnya tak mengerahkan massa (banser) ke Jakarta, namun ancaman-ancamannya cukup membuat tokoh-tokoh politik dan ekonomi kuatir. Yang pertama kuatir bahwa kedudukan mereka didepak, sementara yang kedua menguatirkan instabilitas ekonomi yang berdampak lebih buruk lagi. Di tengah-tengahnya, militer Indonesia terjepit. Saya yakin militer pasti merasa terancam melihat bermunculannya pasukan Banser, karena secara psikologis pasti masih tersisa dampak paranoia kepada "angkatan kelima" seperti di tahun 1960-an. Gus Dur yang sering kali secara implicit mengancam untuk mengirim Banser akhirnya menyebabkan ketiga kelompok itu menjadi lebih merasa terancam. Akhirnya, tak ada lagi dari mereka yang mendukung Gus Dur, terutama militer yang dukungannya sebetulnya sangatlah crucial. Lebih parah lagi bagi Gus Dur, semangat banser sendiri tak konstan. Pertama kali mungkin mereka bergairah mendukung Gus Dur, namun waktu mereka sering sekali "dipanggil," otomatis terjadi kejenuhan secara psikologis dan akhirnya di bulan Juli, tak ada yang menjawab panggilan Gus Dur. Ditambah lagi, militer di bulan Juli akhirnya sudah "siap" untuk melawan Banser (karena setiap kali mendengar berita kemunculannya).

Alasan keempat adalah tak adanya hasil yang jelas dari pekerjaan Gus Dur. Gus Dur tak menyadari bahwa sebagai 'public relations,' tak ada berita baik artinya berita buruk. Semua surat kabar telah memasang kegiatan-kegiatan Gus Dur seperti melancong' ke luar negeri dan ucapan-ucapan kontroversialnya, namun hampir tak ada berita tentang kesuksesan kerja Gus Dur. Tommy buron. Bom-bom meledak di berbagai tempat. Kerusuhan SARA di berbagai daerah. KKN belum bisa diberantas. Lebih parah lagi, Gus Dur dililit oleh skandal-skandal yang memalukan walau tak terbukti seperti Buloggate dan Bruneigate. Karena rakyat melihat tak ada hasil kerja Gus Dur yang positif, tak ada yang berusaha untuk membelanya.

Alasan kelima yang akhirnya menyebabkan jatuhnya Gus Dur adalah ancaman dekrit. Siasat dekrit sudah sering digunakan dalam sejarah. Hitler, Napoleon III, dan Boris Yeltsin memakai dekrit untuk membubarkan parlemen dan mempertahankan kekuasaan mereka. Namun, kesuksesan mereka karena ketiganya didukung militer dan rakyat sendiri melihat bahwa ketiganya memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Gus Dur gagal karena kombinasi dari kelima alasan di atas.

Kelima alasan di atas sangat perlu diingat oleh Megawati, sebagai pemimpin berikut. Megawati memiliki dukungan PDI-P yang merupakan faksi terbesar dalam DPR. Namun PDI-P dan PPP tak memiliki 50% suara yang bisa memberikan kestabilan politik. Seperti Gus Dur juga, Megawati memerintah Indonesia yang dalam kondisi sangat parah dimana pemerintah tak lagi memiliki kewibawaan. Rabu ini Megawati sudah akan mengumumkan kabinet yang terbentuk, dan Megawati hanya memiliki waktu 100 hari untuk memperlihatkan cara kerja yang baik, sebelum masa bulan madu politik dan ekonomi berakhir. Seratus hari pertama ini akan sangat menentukan untuk kestabilan pemerintahan Megawati seterusnya. Jika dalam seratus hari pertama ini Megawati tak bisa berhasil, maka Indonesia bisa mengalami kekacauan yang lebih parah lagi.