Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Friday, September 2, 2011

Legitimasi, demonstrasi, dan menyongsong pemilu 2004

Apakah tulisan ini terlalu "umum," sehingga bisa diaplikasikan untuk kapan saja, atau apa elit Indonesianya yang dari dulu kacau beliau terus, sampai delapan tahun pun tetap ngaco.

YS
---------------

Wed, 05 Feb 2003
Legitimasi, demonstrasi, dan menyongsong pemilu 2004

Akhir-akhir ini sering kita saksikan bahwa beberapa golongan yang menyatakan mereka mewakili rakyat berdemo untuk menjatuhkan Megawati.

Pertama-tama, alasan yang dikemukakan cukup masuk akal: yakni sebagai protes atas kenaikan harga. Namun setelah kenaikan dibatalkan dan tuntutan menjadi mundurnya Megawati dan Hamzah dari kursi Presiden dan Wakil presiden, timbul pertanyaan tentang apakah kegunaan demonstrasi seperti ini. Tulisan ini bukan untuk mendukung Megawati ataupun Hamzah Haz, namun tujuannya adalah kembali membawa isu legitimasi dan transisi ke demokrasi ke permukaan perdebatan - yang sayangnya tak disinggung sama sekali dalam diskusi akhir-akhir ini tentang demonstrasi Indonesia.

Apa itu legitimasi? Legitimasi adalah "sesuatu" yang memberikan seseorang atau sekelompok orang mandat untuk melakukan sesuatu. Untuk memerintah sebuah negara, seseorang memerlukan legitimasi - baik nyata ataupun dikontruksi.

Dalam sejarah, bagaimana seseorang mendapatkan legitimasi untuk memerintah negara selalu mengalami perubahan. Pada masa prasejarah, legitimasi penguasa berdasarkan kekerasan: saya berhak memerintah kamu karena saya bisa memaksa kamu untuk mengikuti saya. Dengan kata lain: kamu perlu tunduk kepada saya agar saya tak menyakiti kamu.

Setelah masa negara-kota atau kerajaan-kerajaan pertama di dunia di mana penduduk mulai banyak dan hubungan antar manusia semakin kompleks, ide legitimasi pun berubah. Agama digunakan sebagai alat untuk menguasai massa, dengan cara menyatakan penguasa sebagai wakil Tuhan atau bahkan "anak" dari Tuhan. Misalnya Pharaoh Mesir kuno menyatakan mereka sebagai keturunan Amun Ra. Kaisar-kaisar China menyatakan bahwa mereka memiliki mandat dari surga. Kaisar-kaisar Romawi bahkan menyatakan bahwa mereka sama seperti Tuhan.

Di abad pertengahan, dengan berkembangnya pengaruh Islam dan Kristen, di mana Tuhan mulai dipisahkan dari manusia, Sultan dan raja-raja menggunakan dukungan agama sebagai alat untuk legitimasi. Raja-raja Eropa selalu meminta pemberkatan dari Paus di Roma ketika mereka naik tahta. Penguasa-penguasa Islam yang pertama menggunakan hubungan mereka sebagai "Sahabat Nabi" untuk legitimasi kekuasaan mereka. Sultan-sultan Islam setelahnya, seperti Sultan-sultan dari Ottoman bergantung kepada Grand Mufti untuk legitimasi mereka.

Namun, tetap terlihat dengan jelas peran penting agama dan juga sebagaimana terpisahnya agama dari penguasa. Misalnya dalam sejarah Ottoman dari tahun 1612 sampai 1922, 13 dari 25 sultan didepak dari tahta (sebagian dibunuh) karena Fatwa dari Grand Mufti di Istanbul. Di Eropa sendiri, beberapa raja pernah di-excommunicate oleh Paus dan kehilangan mahkota mereka.

Reformasi Luther berdampak besar untuk legitimasi para penguasa. Di Eropa, pengaruh Paus kepada raja-raja Eropa semakin berkurang. Penyebabnya cukup beragam: sebagian raja Eropa seperti Henry VIII merampas harta Gereja Katolik dan merangkul aliran Protestanisme. Dengan dirampasnya harta gereja, gereja tak lagi memiliki pengaruh sebagai tuan tanah dan otomatis penghasilannya berkurang dan sebagai akibatnya, gereja semakin bergantung kepada kaum aristokrasi atau golongan borjuis dan bahkan raja sendiri.

Namun pukulan terbesar terjadi dengan berkembangnya paham Liberalisme yang menyerang legitimasi kerajaan dan kepausan dengan menyatakan bahwa negara merupakan hasil dari kontrak rakyat, bukan karena Tuhan ataupun keturunan. Rousseau misalnya menyatakan bahwa negara ada karena rakyat bersedia bergabung dengan sesamanya, dan menyerahkan sebagian kebebasannya untuk negara agar mendapatkan perlindungan negara.

Dengan semakin berkembangnya paham liberalisme, kepercayaan bahwa negara adalah wakil Tuhan semakin goyah: negara adalah wakil dari rakyat dan rakyat memilih pemimpinnya, dan pemimpin (apalagi yang goblok dan totaliter) tak berhak menggunakan Tuhan sebagai alat untuk membenarkan diri. Dari sini institusi demokrasi terbentuk. Tentunya karena tak semua orang bisa meluangkan waktu untuk berpolitik, maka mereka memilih perwakilan untuk mewakili mereka dalam pemerintahan dalam pemilihan umum. Itulah demokrasi perwakilan: dengan pembentukan institusi yang bisa menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

Namun proses perpindahan legitimasi dari sistem otokrasi ke demokrasi merupakan proses yang sangat sulit dan sering kali berdarah dan sering kali juga gagal. Begitu tak ada lagi satu-satunya sumber legitimasi yang kuat, yang terjadi adalah kekosongan kekuasaan: kelompok-kelompok memperebutkan kursi kekuasaan dan menyatakan bahwa merekalah yang paling pantas menjadi penguasa karena merekalah yang memiliki legitimasi utama.

Misalnya Prancis yang dianggap salah satu negara "demokrasi" pertama, memiliki sejarah yang cukup berdarah. Republik pertamanya diwarnai keributan kaum ekstrim, di mana kaum republikan membantai kaum agama dan monarkis, sampai puncaknya adalah kediktatoran Robespiere yang membunuh sekitar lima puluh ribu lawan politiknya. Berdarahnya pemerintah Robespiere membuat rakyat Prancis akhirnya muak, dan sayap kanan Prancis pun bereaksi tajam: Akhirnya republik ini dihancurkan kediktatoran kaum "Direktorat" dan disusul dengan naiknya Napoleon.

Spanyol dalam prosesnya menuju demokrasi, mengalami banyak sekali perang saudara dan kegagalan. Republik tahun 1931-1936 gagal karena banyak sekali hal, seperti ketidak dewasaan wakil-wakil rakyat yang terpolarisasi dan cenderung mengambil sikap ekstrim dan intoleran kepada lawan politiknya. Misalnya, pemerintah ekstrim kiri yang berkuasa dari 1931-3 dan 35-6 memberlakukan politik intoleransi kepada kaum agama: bahkan pemerintah secara terbuka membiarkan aksi perusakan tempat keagamaan dan pembunuhan kepada kaum rohani. Sementara sewaktu pemilihan umum 1933 menyebabkan kaum kanan berkuasa, kaum kanan menghentikan politik reformasi tanah yang sangat merugikan kaum borjuis namun menguntungkan rakyat kecil.

Namun, satu faktor yang akhirnya menjadi pemicu perang adalah tindakan-tindakan ekstrimis yang didukung elit politik yang bertentangan dengan semangat demokrasi seperti teror, pembunuhan kepada lawan politik, dsb. Bahkan, pembunuhan satu tokoh politik di tahun 1936 yang akhirnya menjadi pemicu Perang Saudara yang menghasilan Franco sebagai diktator dari tahun 1939 sampai 1975.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia pun sekarang sedang mengalami hal yang sama: proses transisi ke demokrasi dari otoriter. Pemerintahan otoriter Suharto memiliki beberapa sumber legitimasi seperti pertumbuhan ekonomi yang baik dan stabilitas yang cukup baik. Stabilitas pemerintahan Suharto disebabkan karena ia mampu mencegah terjadinya polarisasi dalam kehidupan politik: semua orang dipaksa menjadi moderat: misalnya kerusuhan yang berbau agama ditekan dengan kekerasan, semua partai dipaksa berlandaskan azas yang sama: Pancasila, dsb.

Krisis ekonomi ditambah lagi polarisasi dan kekerasan yang berdasarkan agama yang sangat merusak stabilitas yang ia banggakan dan menghancurkan legitimasi Suharto. Akhirnya Suharto jatuh, digantikan pemerintah Indonesia yang sekarang, yang menyatakan diri memiliki legitimasi karena mewakili rakyat - yang memilih para wakil setiap pemilu. Dengan kembalinya Indonesia ke demokrasi, bola kembali ke gedung MPR/DPR: di mana rakyat menyalurkan aspirasi mereka dan MPR/DPR kembali menjadi badan yang bisa menyalurkan keinginan rakyat.

Namun, apakah demokrasi Indonesia itu telah matang? Belum, karena banyak sekali kenyataan yang membuat demokrasi ini mirip sekali dengan demokrasi ekstrimis Spanyol di tahun 1933-6. Seperti halnya setiap transisi, setiap transisi ke demokrasi sangat dipengaruhi kaum elit: apakah elit politik akan menjadi fasilitator (pembantu) untuk menuju demokrasi atau penghambat demokrasi dengan kerajinan mereka untuk mengambil tindakan yang menyebabkan polarisasi negara.

Konsep perwakilan rakyat merupakan pedang bermata dua: karena rakyat diwakili, maka rakyat perlu menyerahkan hak politiknya kepada parlemen. Namun, parlemen sendiri karena mereka dipilih rakyat, perlu memperhatikan nasib rakyat.

Di Indonesia, kontrak sosialnya adalah rakyat memilih anggota DPR dan menurut peraturan, hanya anggota DPR yang berhak memilih dan menurunkan presiden. Sebaliknya, karena DPR dipilih rakyat, DPR juga wajib memperhatikan suara rakyat. Ini adalah kontrak, di mana aturan yang ada adalah rakyat menyalurkan suara dan aspirasi mereka lewat DPR.

Namun di Indonesia, yang terjadi adalah konslet: banyak anggota DPR dan DPRD tak mengerti apa tugas mereka dalam negara demokrasi. Banyak anggota DPR dan DPRD berlaku seperti pangeran-pangeran layaknya seperti pada masa kerajaan-kerajaan jaman dulu. Terlihat dari sikap para oknum: mereka merasa sekali dipilih, maka kekuasaan mereka absolut dan mereka tak perlu memperdulikan rakyat. Banyak sekali cerita dari daerah-daerah bahwa anggota DPRD memarahi rakyat yang protes, dengan menyatakan bahwa mereka sudah terpilih jadi mereka tak perlu lagi mendengarkan rakyat. Ada yang membenarkan diri mereka dengan alasan bahwa mereka membela agama dan yang menyerang mereka adalah anti agama. Mereka kelihatannya masih tetap pada mental abad pertengahan: tak pernah menyadari bahwa tanggung jawab mereka adalah kepada rakyat yang telah memilih mereka.

Akibatnya adalah para oknum tersebut tanpa perhitungan memaksakan paham-paham dan peraturan-peraturan yang mempolarisasi bangsa dari segi SARA (e.g. memaksakan paham mereka kepada negara) maupun peraturan ekonomi yang goblok. Lebih parah lagi, tanpa bertanggung jawab mereka di luar gedung DPR/MPR mendukung kelompok-kelompok di kerusuhan-kerusuhan berdarah di berbagai daerah. Lebih memalukan lagi adalah aksi kenaikan harga baru-baru ini. Kenaikan harga yang telah disahkan oleh DPR ternyata ditentang oleh demonstrasi dan banyak anggota DPR tanpa tahu malu bersikap seakan-akan mereka tak menyadari pengesahan itu telah terjadi.

Tapi inilah resiko transisi ke demokrasi: memang elit politik yang sudah sekian lama di bawah rezim Suharto sama sekali tak sadar apa sebetulnya kewajiban mereka sebagai wakil rakyat. Tak heran rakyat akhirnya memilih mengambil tindakan sendiri dan tak mempercayai institusi.

Namun, tindakan berikut yang dilakukan beberapa oknum demonstran setelah mereka berhasil menuntut pembatalan kenaikan harga, yakni menuntut mundurnya Mega-Haz dengan ancaman kekerasan juga salah. Kenapa? Karena dalam demokrasi, hanya MPR/DPR yang bisa menjatuhkan presiden. Contohnya adalah jatuhnya Gus Dur: walaupun banyak yang tak puas, tapi jatuhnya Gus Dur adalah sah karena melalui proses legal yakni lewat institusi legislatif. Dalam demokrasi demonstrasi memang diperbolehkan, namun demonstrasi pun perlu bertanggung jawab: ada satu batas tertentu yang tak boleh dilewati karena akan berbahaya untuk kelangsungan demokrasi itu sendiri.

Memang banyak yang tak puas atas kerja wakil rakyat yang goblok dan korup. Namun, untuk mengekspresikan pandangan itu, hanya ada satu jalan, yakni Pemilu. Dalam pemilu berikut, rakyat perlu lebih pintar, yakni melihat partai-partai mana yang berengsek dan memiliki wakil-wakil yang korup dan berengsek, dan memilih partai yang memiliki wakil-wakil yang bertanggung jawab. Pemilu adalah kesempatan untuk mengekspresikan bahwa wakil-wakil rakyat selama ini sangat mengecewakan dan rakyat perlu memasukkan wakil-wakil baru yang bertanggung jawab dan tak mempolarisasi masyarakat dengan isu SARA. Dengan terus berkuasanya ekstrimis politis yang tak bertanggung jawab, demokrasi akan gagal.

Contoh-contoh yang telah dijabarkan di atas memperlihatkan bahwa tindakan tergoblok yang bisa dilakukan adalah memilih kembali wakil-wakil rakyat yang terang-terangan sudah memperlihatkan sikap anti-demokrasi mereka ke gedung DPR/MPR di mana mereka akan kembali memecah bangsa. Tahun ini adalah masa "persiapan" untuk pemilu tahun 2004, dan untuk itu kita perlu mulai memikirkan bagaimana menggunakan hak pilih dengan baik. Memilih golput atau partai yang berideologi ekstrimis bukan tindakan yang terbaik. Yang perlu dipikirkan adalah masa depan: yakni Indonesia dengan demokrasi yang berhasil.

YS

No comments:

Post a Comment