Sebetulnya ini bukan tulisan original, tapi isinya cukup menarik sebagai "think piece." Mungkin bisa saya kembangkan sewaktu-waktu untuk menjadi tulisan yang lebih bermutu.
YS
Date: Fri, 29 Jun 2001
Subject: Masih adakah harapan untuk Indonesia?
(A reply, original thread is missing)
Pertama-tama, kita sebetulnya perlu melihat birokrasi sendiri secara keseluruhan. Apakah guna birokrasi pemerintah kita? Jawaban 'normal'-nya adalah birokrasi digunakan untuk melayani rakyat. Namun, dibeberapa negara, birokrasi sebetulnya juga digunakan sebagai 'social security.' Fungsi 'social security' digunakan di banyak sekali begara berkembang seperti India, Mexico, dan Indonesia; di mana birokrasi digunakan untuk menyerap ekses dari tenaga kerja sehingga angka pengangguran berkurang. Caranya adalah dengan meningkatkan 'layer' birokrasi.
Mengingat fungsi birokrasi sebagai social security, otomatis pemerintah juga tak bisa memberikan banyak dana bagi semua birokrat. Karena pegawai negeri tak punya cukup dana, maka mereka mengambil 'jalan pintas,' atau dalam bahasa sehari-harinya adalah korupsi. Kenapa mereka mau mengambil pekerjaan dengan gaji kecil seperti ini? Karena tanpa ini, mereka memang tak punya pekerjaan. Kalau tak salah, dulu ada penelitian bahwa jika birokrasi India disempurnakan/diefisienkan sehingga tak ada korupsi, maka angka pengangguran akan naik lebih dari 15%. Bayangkan: 150 juta orang pengangguran? Belum lagi multiplier effect-nya....
Yang diatas adalah teori 'birokrasi' sebagai social security yang kelihatannya bisa menjelaskan korupsi di jajaran birokrasi bawah dan ketidak-effisien birokrasi negara secara keseluruhan. Bagaimana menjelaskan korupsi di tingkat atas? Walau penjelasan di atas bisa diterapkan dalam beberapa aspek, tapi penjelasan lebih lanjutnya harus lebih melihat proses cognitive. Korupsi birokrat kelas atas seperti menteri dan Presiden sebetulnya bisa diklasifikasikan.
Klasifikasi pertama adalah birokrat sebagai parasit. Di sini, pemerintah yang tanpa legitimasi atau mungkin hanya terpilih sekali dan tak bisa lagi, berlaku sebagai tikus di lumbung padi. Kamu tak punya kesempatan lagi untuk memperkaya diri kamu selain di periode itu dan kamu tak tertarik membentuk dinasti atau pemerintahan yang berjalan terus menerus.
Contohnya adalah Idi Amin, Papa 'Doc' Duvalier, Mobutu, dst. Begitu mereka naik tahta, langkah pertama yang dilakukan adalah mengeruk kekayaan negara untuk pribadi karena kamu tahu bahwa kamu tak akan di atas terus (karena tak stabil, bahaya, dsb) sehingga lebih baik mengeruk kekayaan dulu dan mengirimnya ke luar negeri sehingga begitu kamu jatuh, kamu bisa menghabiskan sisa hidup kamu berkelimpahan di pembuangan. Biasanya type ini di Afrika, Amerika Selatan dan beberapa negara Asia, dan terlihat dengan tak berkembangnya perekonomian negara dan rakyat yang tetap hidup di bawah garis kemiskinan tanpa perubahan nasib. Kalau saya tak salah ingat, 7 dari 8 daftar itu adalah type pertama ini. Indonesia yang sekarang kayaknya masuk type pertama ini juga.
Type kedua adalah birokrat 'sapi perah' atau 'cash cow.' Dalam type ini, pemerintah memperlakukan negara seperti sapi perahan, terus diurus, dipelihara, digemukkan, dan selama itu susunya tetap diambil sendiri. Jadi pemerintah korupsi, tapi korupsinya enggak keterlaluan, sehingga ekonomi tetap bertumbuh dan ada pemerataan kemakmuran.
Di sini, pemerintah yang berkuasa merasa bahwa masih ada kemungkinan untuk mereka (dan cukup besar, mungkin karena manipulasi voting) untuk terus berkuasa dan bahkan membentuk dinasti. Contohnya adalah Suharto sebelum anak-anaknya gila duit, Partai Komunis China, raja-raja Arab, dan banyak negara-negara Barat.
Bagaimana cara supaya pemerintah tak menjadi type pertama atau kedua yang diatas?
That's a "one million dollar question".... Tapi hypotesa saya adalah:
1. Perlu accountability yang cukup kuat. Misalnya Denmark, mereka accountabilitynya cukup bagus
sehingga korupsi bisa ditekan.
2. Pegawai negeri sendiri gajinya berkecukupan/negara makmur. A long term efforts.
3. Hukum yang kuat dan 'kejam.' Contoh: Singapore.
4. Pemegang kekuasaan memberikan contoh yang baik (guru kencing berdiri....)
Contoh: Singapore.
Jadi ini kembali ke masalah duluan ayam atau telur....
Jika korupsi semakin berkurang, maka negara semakin makmur.... tapi juga korupsi semakin berkurang jika negara semakin makmur.
Sementara ini negara Indonesia semakin kacau....
Yohanes Sulaiman's random musings and writings on politics, economics, philosophy, and anything weird.
Announcement
Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.
Sunday, July 31, 2011
Saturday, July 30, 2011
SARA atau R atau A?
Ini dulu disebarkan di mailing list Kristen, menanggapi perdebatan tentang kemelut di Ambon dan Poso, yang kemudian beranjak masuk ke diskusi soal kerusuhan Mei.
Inti dari tulisan ini ujung-ujungnya adalah yang paling penting adalah justru persepsi dari tiap kelompok yang berbeda. Persepsi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan begitu semua pihak bisa berdialog dengan baik, dan mempersatukan persepsi, maka mereka akan melihat kenyataan, bahwa semua ya sama saja.
Salah satu obat yang sudah lama tak diminum oleh masyarakat di era reformasi ini adalah hidup sederhana. Rasanya, semakin lama kita semakin tertarik menunjukkan kemewahan dan kekayaan, bukan lagi hidup sederhana. Mungkin ini nilai lama yang harus diingat kembali.
YS
-----
SARA atau R atau A?
May 7, 2001
Edited version: 11/1/2002
Tak dapat kita hiraukan bahwa selama beberapa tahun Orde Reformasi ini berlangsung, kerusuhan A (agama) dan R (ras) sering sekali terjadi. Sangat disayangkan bahwa diskusi yang terbentuk akhirnya terfokus dalam isu agama atau ras saja, sedangkan pada kenyataannya, saya merasa bahwa sering sekali kita melupakan bahwa bukan hanya dua faktor itu saja yang penting, namun semua faktor SARA sangat menentukan terjadinya keributan sosial.
Karena tiap perdebatan tentang kerusuhan sosial hanya memiliki satu variable yakni R atau A, akhirnya sangat sulit untuk menganalisa secara tepat mengapa keributan sosial bisa terjadi atau kenapa masih sulit terjadi pembauran, atau mengapa pembauran bisa terjadi. Namun dari cerita-cerita yang ada, kita bisa mengambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA disebabkan oleh keempat faktor (suku, agama, ras, antar golongan) atau paling sedikit 3 faktor.
Contoh: dalam cerita salah satu rekan dituliskan bahwa ia berada di sebuah kampung waktu kecil, di mana ia dapat bergaul dengan nyaman dengan teman-temannya yang lain yang memiliki ras yang berbeda (Pribumi vs non-pribumi). Dapat diasumsikan bahwa ada perbedaan agama dan ras di kampung itu, tapi perbedaan golongan (kekayaan) relatif rendah. Akhirnya pembauran masih bisa dilakukan.
Cerita yang lain: ada 2 faktor tersebut, dan ditambah kekayaan, akhirnya terjadi keributan.
Dapat diambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA akan terjadi dan semakin meningkat dengan bertingkatnya perbedaan kekayaan. Namun ada satu faktor yang saya rasa perlu dilihat lebih lanjut yakni suku. Apakah suku juga memiliki peran yang menentukan dalam SARA? Faktor ini sangat jarang disinggung dalam diskusi. Apakah suku X lebih toleran, atau suku Y, atau apakah ada yang lain?
Selain keempat faktor ini, saya ingin menambahkan satu faktor lain yang jarang sekali dianalisa dan sebetulnya relevan, yakni faktor P (Pengenalan/persepsi).
Saya percaya bahwa lack of understanding dan pengenalan atas golongan lain menyebabkan kita memiliki persepsi yang kurang baik, dan akhirnya membentuk "a self-fulfilling prophecy." Hal ini implicitly terlihat dalam cerita-cerita yang telah disajikan dalam milis. Namun saya ingin lebih elaborate dengan sebuah kasus fiktif:
Contoh: kita memiliki pandangan buruk kepada suku A karena ada orang dari suku A pernah merampok kita. Kemudian kita membaca di koran bahwa ada koruptor besar dari suku A. Proses cognitive kita langsung mengaitkan bahwa memang suku A ini berengsek. Kemudian kita berpandangan demikian dan dikenalkan dengan Z dari suku A di sekolah.
Karena pandangan kita dari pertama sudah buruk, maka waktu telihat di muka kita rasa kurang senang. Z, melihat kita mukanya agak aneh, langsung berpikir bahwa kita memang enggak mau berteman, lalu akhirnya menjauhi kita. Melihat Z menjauhi kita, kita langsung berasumsi bahwa si Z memang berengsek dan semua suku A sama-sama berengsek. Lebih parah lagi: ketika kita melihat si Z menolong si X dari suku B, asumsi kita akan menjadi, "hmm... pasti ia menolong X karena ada maunya." Akhirnya kita selalu menganggap suku A itu memang berengsek. Saya label contoh ini sebagai lingkaran setan persepsi.
Perbedaan SARA yang menyolok (terutama di bidang golongan) akan membuat unsur P menjadi lebih menentukan. Saya melihat bahwa kedudukan kelas yang relatif linear dalam latar belakang kehidupan perkampungan menyebabkan persepsinya dan juga persepsi orang-orang sekampung di sekitarnya bisa relatif stabil. Relatif kecilnya kesenjangan sosial menyebabkan orang-orang sekampungnya bisa bergaul dengan lebih baik dan bisa menangkal unsur negatif dari perbedaan ras dan agama.
Hal ini sangat kontras dengan kaum Chinese di perkotaan, di mana kesenjangan sosial sangatlah menyolok. Kesenjangan sosial menyebabkan yang lebih makmur merasa insecure dan membangun dinding tinggi dan merasa buat apa bergaul kalau orang-orang lain hanyalah ingin untungnya saja. Hal ini dilihat negatif oleh penduduk sekitar dan terjadi persepsi bahwa kaum Chinese hanya ingin berpisah. Akhirnya terjadi lingkaran setan yang saya sebutkan di atas.
Bagaimana dengan gereja? Gereja sayangnya kurang sensitif menghadapi isu kesenjangan sosial. Secara kasarnya, gereja lebih banyak menjilat ke atas dan menginjak kaki; yakni hanya cater kepada high class, bukan kepada low class. Saya akui tak semua gereja demikian, tapi minoritas ini membuat gereja secara keseluruhan mendapat cap buruk. Jemaat sendiri dengan berusaha menjilat ke pendeta tak memperbaiki keadaan. Gereja harus lebih berusaha memasyarakat.
Salam,
YS
Inti dari tulisan ini ujung-ujungnya adalah yang paling penting adalah justru persepsi dari tiap kelompok yang berbeda. Persepsi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan begitu semua pihak bisa berdialog dengan baik, dan mempersatukan persepsi, maka mereka akan melihat kenyataan, bahwa semua ya sama saja.
Salah satu obat yang sudah lama tak diminum oleh masyarakat di era reformasi ini adalah hidup sederhana. Rasanya, semakin lama kita semakin tertarik menunjukkan kemewahan dan kekayaan, bukan lagi hidup sederhana. Mungkin ini nilai lama yang harus diingat kembali.
YS
-----
SARA atau R atau A?
May 7, 2001
Edited version: 11/1/2002
Tak dapat kita hiraukan bahwa selama beberapa tahun Orde Reformasi ini berlangsung, kerusuhan A (agama) dan R (ras) sering sekali terjadi. Sangat disayangkan bahwa diskusi yang terbentuk akhirnya terfokus dalam isu agama atau ras saja, sedangkan pada kenyataannya, saya merasa bahwa sering sekali kita melupakan bahwa bukan hanya dua faktor itu saja yang penting, namun semua faktor SARA sangat menentukan terjadinya keributan sosial.
Karena tiap perdebatan tentang kerusuhan sosial hanya memiliki satu variable yakni R atau A, akhirnya sangat sulit untuk menganalisa secara tepat mengapa keributan sosial bisa terjadi atau kenapa masih sulit terjadi pembauran, atau mengapa pembauran bisa terjadi. Namun dari cerita-cerita yang ada, kita bisa mengambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA disebabkan oleh keempat faktor (suku, agama, ras, antar golongan) atau paling sedikit 3 faktor.
Contoh: dalam cerita salah satu rekan dituliskan bahwa ia berada di sebuah kampung waktu kecil, di mana ia dapat bergaul dengan nyaman dengan teman-temannya yang lain yang memiliki ras yang berbeda (Pribumi vs non-pribumi). Dapat diasumsikan bahwa ada perbedaan agama dan ras di kampung itu, tapi perbedaan golongan (kekayaan) relatif rendah. Akhirnya pembauran masih bisa dilakukan.
Cerita yang lain: ada 2 faktor tersebut, dan ditambah kekayaan, akhirnya terjadi keributan.
Dapat diambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA akan terjadi dan semakin meningkat dengan bertingkatnya perbedaan kekayaan. Namun ada satu faktor yang saya rasa perlu dilihat lebih lanjut yakni suku. Apakah suku juga memiliki peran yang menentukan dalam SARA? Faktor ini sangat jarang disinggung dalam diskusi. Apakah suku X lebih toleran, atau suku Y, atau apakah ada yang lain?
Selain keempat faktor ini, saya ingin menambahkan satu faktor lain yang jarang sekali dianalisa dan sebetulnya relevan, yakni faktor P (Pengenalan/persepsi).
Saya percaya bahwa lack of understanding dan pengenalan atas golongan lain menyebabkan kita memiliki persepsi yang kurang baik, dan akhirnya membentuk "a self-fulfilling prophecy." Hal ini implicitly terlihat dalam cerita-cerita yang telah disajikan dalam milis. Namun saya ingin lebih elaborate dengan sebuah kasus fiktif:
Contoh: kita memiliki pandangan buruk kepada suku A karena ada orang dari suku A pernah merampok kita. Kemudian kita membaca di koran bahwa ada koruptor besar dari suku A. Proses cognitive kita langsung mengaitkan bahwa memang suku A ini berengsek. Kemudian kita berpandangan demikian dan dikenalkan dengan Z dari suku A di sekolah.
Karena pandangan kita dari pertama sudah buruk, maka waktu telihat di muka kita rasa kurang senang. Z, melihat kita mukanya agak aneh, langsung berpikir bahwa kita memang enggak mau berteman, lalu akhirnya menjauhi kita. Melihat Z menjauhi kita, kita langsung berasumsi bahwa si Z memang berengsek dan semua suku A sama-sama berengsek. Lebih parah lagi: ketika kita melihat si Z menolong si X dari suku B, asumsi kita akan menjadi, "hmm... pasti ia menolong X karena ada maunya." Akhirnya kita selalu menganggap suku A itu memang berengsek. Saya label contoh ini sebagai lingkaran setan persepsi.
Perbedaan SARA yang menyolok (terutama di bidang golongan) akan membuat unsur P menjadi lebih menentukan. Saya melihat bahwa kedudukan kelas yang relatif linear dalam latar belakang kehidupan perkampungan menyebabkan persepsinya dan juga persepsi orang-orang sekampung di sekitarnya bisa relatif stabil. Relatif kecilnya kesenjangan sosial menyebabkan orang-orang sekampungnya bisa bergaul dengan lebih baik dan bisa menangkal unsur negatif dari perbedaan ras dan agama.
Hal ini sangat kontras dengan kaum Chinese di perkotaan, di mana kesenjangan sosial sangatlah menyolok. Kesenjangan sosial menyebabkan yang lebih makmur merasa insecure dan membangun dinding tinggi dan merasa buat apa bergaul kalau orang-orang lain hanyalah ingin untungnya saja. Hal ini dilihat negatif oleh penduduk sekitar dan terjadi persepsi bahwa kaum Chinese hanya ingin berpisah. Akhirnya terjadi lingkaran setan yang saya sebutkan di atas.
Bagaimana dengan gereja? Gereja sayangnya kurang sensitif menghadapi isu kesenjangan sosial. Secara kasarnya, gereja lebih banyak menjilat ke atas dan menginjak kaki; yakni hanya cater kepada high class, bukan kepada low class. Saya akui tak semua gereja demikian, tapi minoritas ini membuat gereja secara keseluruhan mendapat cap buruk. Jemaat sendiri dengan berusaha menjilat ke pendeta tak memperbaiki keadaan. Gereja harus lebih berusaha memasyarakat.
Salam,
YS
Friday, July 29, 2011
Merekonstruksi identitas bangsa
Artikel ini dulu diterbitkan di Jawa Pos. Walaupun sekarang ini terlihat bahwa jalan "keluar"-nya terlalu simplistik dan tak akan bisa diterapkan, namun menariknya, ide utamanya sampai sekarang masih terus relevan. Apalagi setelah kita mendengar berita yang memukul nurani kita, tentang para pembantai kelompok Ahmadiyah yang hanya dikenai hukuman 3-6 bulan penjara saja. Berarti nyawa manusia dihargai setara dengan tiga biji kakao. Memang begitulah negara kita.... Atau juga perda-perda yang bersifat SARA dan kebijakan pemerintah daerah, misalnya Walikota Bogor yang kelihatannnya lebih suka Indonesia menjadi Afghanistan daripada menjadi negara yang modern yang toleran.
YS
-------------
Merekonstruksi identitas bangsa
(Jawa Pos, April 5, 2001)
Dalam pengadilan kasus kriminalitas, kita sering sekali mendengar kata rekonstruksi. Rekonstruksi adalah usaha pengadilan untuk mendapatkan fakta/gambaran tentang bagaimana suatu kasus terjadi dengan menyuruh terdakwa untuk melakukan ulang adegan kejahatan yang ia lakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan agar pengadilan tahu bahwa terdakwa memang melakukan hal ini atau tak ada orang lain lagi yang disembunyikan terdakwa.
Kita sekarang menuju ke kasus yang lebih besar lagi, yakni kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA yang terjadi akhir-akhir ini. Saya ingin memeriksa salah satu faktor yang sebetulnya secara teori harus bisa menghalangi kerusuhan-kerusuhan ini yakni identitas Indonesia sebagai negara 'Bhinneka Tunggal Ika.'
Generasi Indonesia yang lahir dan besar di masa Orde Baru selalu diajarkan ide 'Pancasila' dan 'Bhinneka Tunggal Ika.' Dalam ide ini, kita selalu ditekankan bahwa Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang walaupun memiliki beraneka ragam suku, agama, dsb, tapi tetap bersatu padu. Dengan ditekankannya ide ini ke kepala kita, diharapkan agar ide ini menjadi identitas kita.
Namun ide ini mendapat tantangan besar setelah kejatuhan Orde Baru di tahun 1998. Pertama-tama terjadi keributan-keributan yang terjadi dari Sabang sampai Merauke yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat. Contohnya saja Mei 1998, kerusuhan etnis, SARA, dsb. Salah satu pukulan terbesar kepada ide ini adalah lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi. Otomatis hal ini menimbulkan pertanyaan kepada wilayah-wilayah yang lain: apakah Indonesia bisa bubar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus kembali ke pertanyaan paling pertama: mengapa sebuah negara bisa terbentuk?
Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Karena kita hidup dalam kondisi anarkis, maka orang-orang bergabung dan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah 'leviathan' yang merupakan negara. Namun sebagai balasannya, negara wajib memberikan jaminan keamanan, hukum dan keadilan bagi warga negaranya.
Era Orde Baru memberikan dua yang pertama, atau lebih tepat memaksakan dua dari tiga unsur di atas. Unsur keamanan menjadi sesuatu yang prioritas, karena itu militer selalu dikirimkan ke daerah-daerah yang dianggap bergolak. Namun, pengiriman militer hanya merupakan usaha untuk menekan tutup panci yang mendidih atau hanya menambah segelas air dingin ke panci yang bergolak. Kita lupa bahwa ada api dibawah panci.
Saya minta para pembaca memikirkan pertanyaan berikut:
Apakah tidak mungkin bahwa dibalik kerusuhan-kerusuhan ini adalah sebuah keyakinan atau pandangan bahwa mereka merupakan pihak yang terinjak-injak dan tak diperlakukan secara adil di Indonesia? Karena kita sudah dipenuhi ide Bhinneka Tunggal Ika sejak di SD, kita memikirkan ide ini sebagai fakta yang semua orang wajib menyetujuinya. Kita menelan secara bulat-bulat bahwa semua orang pasti memilih bersatu di bawah Indonesia. Karena itu, apapun yang kita lakukan kepada ethnis lain tak akan berakibat tindakan separatis atau yang lain lagi, karena kita berpikir bahwa keinginan semua warga Indonesia adalah bersatu. Kita hanya ingat kata "Tunggal Ika," namun melupakan kata "Bhinneka."
Keinginan untuk bersatu melupakan bahwa ada yang merasa tertindas, baik warga minoritas ataupun rakyat miskin. Perasaan tertindas akan menyebabkan manusia untuk lebih bersatu dengan sesamanya yang dianggap sama-sama tertindas. Akhirnya, perasaan persatuan yang terbagi dalam kriteria SARA akan menjadi lebih kuat. Akhirnya yang terbentuk adalah identitas kelompok, bukan identitas bangsa.
Jelaslah dari kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi akhir-akhir ini, ke-'benar'-an dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi bahan pertanyaan. Apa yang digembar gemborkan rezim orde baru sebagai contoh negara bersatu ternyata hancur dalam sekejap setelah militer tak lagi menjadi penekan tutup panci yang mendidih. Untuk itu kita harus kembali ke inti masalah yang utama: jauhkan api dari bawah panci.
Api yang perlu kita matikan adalah rasa ketidakadilan di Indonesia.
Rasa ketidak-adilan menyebabkan satu golongan menyerang golongan lain. Jelas sekali bahwa jaminan hukum pemerintah tak lagi dipandang sebelah mata karena pemerintah sendiri dianggap tidak lagi bisa memberikan jaminan keadilan kepada warganya.
Untuk mengatasi kerusuhan-kerusuhan ini, pemerintah wajib memberikan kembali rasa keadilan. Salah satu caranya adalah membentuk komisi sejenis "truth and reconciliation" di Afrika yang menerima semua keluhan/tuduhan dan berusaha memberikan 'penutup' seperti yang sedang terjadi di Afrika Selatan. Komisi ini akan diisi oleh pihak ketiga yang bisa berasal dari suku lain di Indonesia, seperti orang Bali yang Hindu; intinya adalah pihak yang netral.
Selain itu, pemerintah wajib memberikan jaminan keadilan kepada seluruh warga Indonesia. Walaupun jaminan keadilan tak bisa diberikan dalam semalam, namun pemerintah bisa lebih memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini dan meyakinkan bahwa tak ada pihak yang diperlakukan tidak adil. Jikalau langkah ini tak dilakukan, saya kuatir identitas kelompok akan lebih kuat lagi.
YS
-------------
Merekonstruksi identitas bangsa
(Jawa Pos, April 5, 2001)
Dalam pengadilan kasus kriminalitas, kita sering sekali mendengar kata rekonstruksi. Rekonstruksi adalah usaha pengadilan untuk mendapatkan fakta/gambaran tentang bagaimana suatu kasus terjadi dengan menyuruh terdakwa untuk melakukan ulang adegan kejahatan yang ia lakukan secara bertahap. Hal ini dilakukan agar pengadilan tahu bahwa terdakwa memang melakukan hal ini atau tak ada orang lain lagi yang disembunyikan terdakwa.
Kita sekarang menuju ke kasus yang lebih besar lagi, yakni kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA yang terjadi akhir-akhir ini. Saya ingin memeriksa salah satu faktor yang sebetulnya secara teori harus bisa menghalangi kerusuhan-kerusuhan ini yakni identitas Indonesia sebagai negara 'Bhinneka Tunggal Ika.'
Generasi Indonesia yang lahir dan besar di masa Orde Baru selalu diajarkan ide 'Pancasila' dan 'Bhinneka Tunggal Ika.' Dalam ide ini, kita selalu ditekankan bahwa Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang walaupun memiliki beraneka ragam suku, agama, dsb, tapi tetap bersatu padu. Dengan ditekankannya ide ini ke kepala kita, diharapkan agar ide ini menjadi identitas kita.
Namun ide ini mendapat tantangan besar setelah kejatuhan Orde Baru di tahun 1998. Pertama-tama terjadi keributan-keributan yang terjadi dari Sabang sampai Merauke yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat. Contohnya saja Mei 1998, kerusuhan etnis, SARA, dsb. Salah satu pukulan terbesar kepada ide ini adalah lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi. Otomatis hal ini menimbulkan pertanyaan kepada wilayah-wilayah yang lain: apakah Indonesia bisa bubar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus kembali ke pertanyaan paling pertama: mengapa sebuah negara bisa terbentuk?
Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Karena kita hidup dalam kondisi anarkis, maka orang-orang bergabung dan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah 'leviathan' yang merupakan negara. Namun sebagai balasannya, negara wajib memberikan jaminan keamanan, hukum dan keadilan bagi warga negaranya.
Era Orde Baru memberikan dua yang pertama, atau lebih tepat memaksakan dua dari tiga unsur di atas. Unsur keamanan menjadi sesuatu yang prioritas, karena itu militer selalu dikirimkan ke daerah-daerah yang dianggap bergolak. Namun, pengiriman militer hanya merupakan usaha untuk menekan tutup panci yang mendidih atau hanya menambah segelas air dingin ke panci yang bergolak. Kita lupa bahwa ada api dibawah panci.
Saya minta para pembaca memikirkan pertanyaan berikut:
Apakah tidak mungkin bahwa dibalik kerusuhan-kerusuhan ini adalah sebuah keyakinan atau pandangan bahwa mereka merupakan pihak yang terinjak-injak dan tak diperlakukan secara adil di Indonesia? Karena kita sudah dipenuhi ide Bhinneka Tunggal Ika sejak di SD, kita memikirkan ide ini sebagai fakta yang semua orang wajib menyetujuinya. Kita menelan secara bulat-bulat bahwa semua orang pasti memilih bersatu di bawah Indonesia. Karena itu, apapun yang kita lakukan kepada ethnis lain tak akan berakibat tindakan separatis atau yang lain lagi, karena kita berpikir bahwa keinginan semua warga Indonesia adalah bersatu. Kita hanya ingat kata "Tunggal Ika," namun melupakan kata "Bhinneka."
Keinginan untuk bersatu melupakan bahwa ada yang merasa tertindas, baik warga minoritas ataupun rakyat miskin. Perasaan tertindas akan menyebabkan manusia untuk lebih bersatu dengan sesamanya yang dianggap sama-sama tertindas. Akhirnya, perasaan persatuan yang terbagi dalam kriteria SARA akan menjadi lebih kuat. Akhirnya yang terbentuk adalah identitas kelompok, bukan identitas bangsa.
Jelaslah dari kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi akhir-akhir ini, ke-'benar'-an dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi bahan pertanyaan. Apa yang digembar gemborkan rezim orde baru sebagai contoh negara bersatu ternyata hancur dalam sekejap setelah militer tak lagi menjadi penekan tutup panci yang mendidih. Untuk itu kita harus kembali ke inti masalah yang utama: jauhkan api dari bawah panci.
Api yang perlu kita matikan adalah rasa ketidakadilan di Indonesia.
Rasa ketidak-adilan menyebabkan satu golongan menyerang golongan lain. Jelas sekali bahwa jaminan hukum pemerintah tak lagi dipandang sebelah mata karena pemerintah sendiri dianggap tidak lagi bisa memberikan jaminan keadilan kepada warganya.
Untuk mengatasi kerusuhan-kerusuhan ini, pemerintah wajib memberikan kembali rasa keadilan. Salah satu caranya adalah membentuk komisi sejenis "truth and reconciliation" di Afrika yang menerima semua keluhan/tuduhan dan berusaha memberikan 'penutup' seperti yang sedang terjadi di Afrika Selatan. Komisi ini akan diisi oleh pihak ketiga yang bisa berasal dari suku lain di Indonesia, seperti orang Bali yang Hindu; intinya adalah pihak yang netral.
Selain itu, pemerintah wajib memberikan jaminan keadilan kepada seluruh warga Indonesia. Walaupun jaminan keadilan tak bisa diberikan dalam semalam, namun pemerintah bisa lebih memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini dan meyakinkan bahwa tak ada pihak yang diperlakukan tidak adil. Jikalau langkah ini tak dilakukan, saya kuatir identitas kelompok akan lebih kuat lagi.
Thursday, July 28, 2011
Siapakah wakilku? Mempertanyakan wakil rakyat di DPR/DPRD
Nah, ini menarik. Terus terang, saya lupa apakah artikel ini dimuat di Jawa Pos atau draft artikel yang terlupakan, mengingat pada bulan April 2001 itu saya mengalami banyak sekali kesibukan di department saya. Kalau melihat dari artikel ini, kelihatannya ini adalah draft karena penutupnya yang begitu tiba-tiba. Anggap saja ini artikel yang ditolak karena kurang mutu, biar kita sama-sama puas. Hehehe.
Tapi menariknya, isinya masih terus relevan dan kalau saya kirim ke surat kabar mana pun, dengan sedikit perubahan, ada kemungkinan akan dimuat karena dianggap relevan.
YS
________
Siapakah wakilku? Mempertanyakan wakil rakyat di DPR/DPRD
April 1, 2001
"Banyak anggota DPR/DPRD yang bergaya hidup layaknya kaum eksekutif kelas atas. Padahal, pendapatan resmi mereka pas-pasan."
Kalimat di atas adalah kalimat pembuka dari sebuah artikel di majalah Forum, di mana inti dari artikel ini adalah banyak anggota DPR berkelakuan tidak sepantasnya dan berlaku seperti dalam pepatah "besar pasak daripada tiang" di tengah-tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. Hal ini memberi pertanyaan baru: seberapa besarkah rasa tanggung jawab anggota DPR kepada rakyat yang diwakilinya.
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, saya ingin memberi pertanyaan kepada pembaca.
Berhubung artikel ini muncul di koran Jawa Pos, maka saya assume sebagian pembaca pasti tinggal di Surabaya. Nah, pertanyaan saya adalah siapa wakil saudara di DPR yang mewakili Surabaya? Pembaca yang budiman mungkin juga berkata bahwa anda diwakili bukan oleh individu, tapi oleh partai. Kalau begitu, pertanyaan saya adalah tahukah kantor pusat partai anda di Surabaya? Jika ya, apakah saudara pernah mengontak atau dikontak kantor tersebut untuk meminta pendapat atau pertolongan?Apakah ada "personal touch" dari partai tersebut kepada pembaca? Saya ragu kalau ada 5% dari pembaca yang menjawab ya untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.
Kelemahan terbesar sistem pemilihan umum di Indonesia adalah rakyat memilih wakilnya secara tidak langsung. Seperti yang kita ketahui, dalam pemilu kita memilih partai yang dianggap mewakili kita, dan dari suara-suara yang terkumpul, partai itu kemudian dialokasikan jumlah kursi di DPR. Walaupun sistem ini dianggap memberi keadilan kepada massa dibandingkan sistem "pemenang mendapatkan semuanya" seperti di US, namun faktanya tidak. Dalam faktanya, sistem ini membuat wakil-wakil rakyat di DPR jauh lebih setia kepada partainya, yang dianggap memberikan kedudukan untuk mereka, daripada kepada rakyat yang seharusnya diwakilinya.
Di sisi lain juga, sistem ini menjadi bibit yang bagus untuk ajang KKN. Karena "wakil rakyat" harus setia kepada partainya, dengan kata lain, partai juga harus memberikan insentif kepada "wakil rakyat" untuk setia kepada partai tersebut dan partai juga hanya memberikan kursi kepada anggota yang dianggap setia 100% kepada partai itu. Akhirnya, yang dikatakan sebagai "wakil rakyat" sering menjadi "wakil partai" dalam gedung DPR karena tanggung jawab para wakil tersebut lebih ke partai. Salah satu kasus yang saya rasa pasti masih diingat adalah buron kita yang flamboyan, Tommy Suharto, yang pada tahun 1998 adalah "wakil rakyat" untuk Bengkulu (kalau tak salah, padahal Tommy sendiri seingat saya belum pernah tinggal di Bengkulu selain untuk merampok daerah itu.) Lalu, apakah Tommy memang merupakan "wakil rakyat" Bengkulu? Golkar akan berkata ya, tapi saya ragu sekali kalau rakyat Bengkulu merasa suara mereka terwakili.
Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia dianggap mewakili rakyat, namun dalam faktanya hampir tak ada yang terwakili, karena memang elit politik sendiri masih belum memiliki kesadaran untuk hal itu. Para pembaca, saya ingin membagi satu pengalaman kerja saya di Amerika Serikat. Saya beberapa tahun yang lalu pernah bekerja sebagai 'intern' (atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata) di salah satu senator US yang bernama Russel D. Feingold. Saya terus terang bisa melihat perbedaan yang mencolok antara bagaimana senator ini mewakili rakyatnya dengan bagaimana wakil rakyat kita mewakili partainya.
Setiap hari saya mendengar telepon terus berdering, di mana banyak orang yang menelepon untuk memberikan dukungan atau penolakan mereka kepada undang-undang yang sedang di susun. Banyak juga surat yang datang untuk meminta pertolongan, dukungan, dan ada juga surat-surat dari ibu-ibu rumah tangga yang meminta senator menulis surat penghargaan bagi anak-anak mereka yang mendapat medali di Pramuka, dan semua itu ditanggapi oleh senator (saya salah satu yang menulis surat penghargaan itu yang kemudian ditanda-tangani oleh senator dan dikirim ke mereka). Banyak juga yang menulis keluh kesah mereka, masalah dengan birokrasi, dsb. Hal ini menunjukkan bagaimana senator ini dianggap rakyat sebagai wakil mereka yang bisa dipercaya, bukan sebagai elit politik yang tinggal di awang-awang jauh di atas dunia nyata.
Apakah hal seperti ini bisa diterapkan di Indonesia? Saya rasa bisa. Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia (representative) berbeda daripada di Amerika (Distrik), namun partai-partai seharusnya bisa menerapkan ide bahwa mereka adalah wakil dari rakyat bukan wakil dari partai. Ketidakdewasaan wakil rakyat kita menyebabkan hal ini sering terlupakan dan hasilnya adalah gontok-gontokan di Jakarta dan gedung-gedung DPRD selama rakyat semakin terpuruk lebih dalam di jurang kemiskinan.
Tapi menariknya, isinya masih terus relevan dan kalau saya kirim ke surat kabar mana pun, dengan sedikit perubahan, ada kemungkinan akan dimuat karena dianggap relevan.
YS
________
Siapakah wakilku? Mempertanyakan wakil rakyat di DPR/DPRD
April 1, 2001
"Banyak anggota DPR/DPRD yang bergaya hidup layaknya kaum eksekutif kelas atas. Padahal, pendapatan resmi mereka pas-pasan."
Kalimat di atas adalah kalimat pembuka dari sebuah artikel di majalah Forum, di mana inti dari artikel ini adalah banyak anggota DPR berkelakuan tidak sepantasnya dan berlaku seperti dalam pepatah "besar pasak daripada tiang" di tengah-tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. Hal ini memberi pertanyaan baru: seberapa besarkah rasa tanggung jawab anggota DPR kepada rakyat yang diwakilinya.
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, saya ingin memberi pertanyaan kepada pembaca.
Berhubung artikel ini muncul di koran Jawa Pos, maka saya assume sebagian pembaca pasti tinggal di Surabaya. Nah, pertanyaan saya adalah siapa wakil saudara di DPR yang mewakili Surabaya? Pembaca yang budiman mungkin juga berkata bahwa anda diwakili bukan oleh individu, tapi oleh partai. Kalau begitu, pertanyaan saya adalah tahukah kantor pusat partai anda di Surabaya? Jika ya, apakah saudara pernah mengontak atau dikontak kantor tersebut untuk meminta pendapat atau pertolongan?Apakah ada "personal touch" dari partai tersebut kepada pembaca? Saya ragu kalau ada 5% dari pembaca yang menjawab ya untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.
Kelemahan terbesar sistem pemilihan umum di Indonesia adalah rakyat memilih wakilnya secara tidak langsung. Seperti yang kita ketahui, dalam pemilu kita memilih partai yang dianggap mewakili kita, dan dari suara-suara yang terkumpul, partai itu kemudian dialokasikan jumlah kursi di DPR. Walaupun sistem ini dianggap memberi keadilan kepada massa dibandingkan sistem "pemenang mendapatkan semuanya" seperti di US, namun faktanya tidak. Dalam faktanya, sistem ini membuat wakil-wakil rakyat di DPR jauh lebih setia kepada partainya, yang dianggap memberikan kedudukan untuk mereka, daripada kepada rakyat yang seharusnya diwakilinya.
Di sisi lain juga, sistem ini menjadi bibit yang bagus untuk ajang KKN. Karena "wakil rakyat" harus setia kepada partainya, dengan kata lain, partai juga harus memberikan insentif kepada "wakil rakyat" untuk setia kepada partai tersebut dan partai juga hanya memberikan kursi kepada anggota yang dianggap setia 100% kepada partai itu. Akhirnya, yang dikatakan sebagai "wakil rakyat" sering menjadi "wakil partai" dalam gedung DPR karena tanggung jawab para wakil tersebut lebih ke partai. Salah satu kasus yang saya rasa pasti masih diingat adalah buron kita yang flamboyan, Tommy Suharto, yang pada tahun 1998 adalah "wakil rakyat" untuk Bengkulu (kalau tak salah, padahal Tommy sendiri seingat saya belum pernah tinggal di Bengkulu selain untuk merampok daerah itu.) Lalu, apakah Tommy memang merupakan "wakil rakyat" Bengkulu? Golkar akan berkata ya, tapi saya ragu sekali kalau rakyat Bengkulu merasa suara mereka terwakili.
Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia dianggap mewakili rakyat, namun dalam faktanya hampir tak ada yang terwakili, karena memang elit politik sendiri masih belum memiliki kesadaran untuk hal itu. Para pembaca, saya ingin membagi satu pengalaman kerja saya di Amerika Serikat. Saya beberapa tahun yang lalu pernah bekerja sebagai 'intern' (atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata) di salah satu senator US yang bernama Russel D. Feingold. Saya terus terang bisa melihat perbedaan yang mencolok antara bagaimana senator ini mewakili rakyatnya dengan bagaimana wakil rakyat kita mewakili partainya.
Setiap hari saya mendengar telepon terus berdering, di mana banyak orang yang menelepon untuk memberikan dukungan atau penolakan mereka kepada undang-undang yang sedang di susun. Banyak juga surat yang datang untuk meminta pertolongan, dukungan, dan ada juga surat-surat dari ibu-ibu rumah tangga yang meminta senator menulis surat penghargaan bagi anak-anak mereka yang mendapat medali di Pramuka, dan semua itu ditanggapi oleh senator (saya salah satu yang menulis surat penghargaan itu yang kemudian ditanda-tangani oleh senator dan dikirim ke mereka). Banyak juga yang menulis keluh kesah mereka, masalah dengan birokrasi, dsb. Hal ini menunjukkan bagaimana senator ini dianggap rakyat sebagai wakil mereka yang bisa dipercaya, bukan sebagai elit politik yang tinggal di awang-awang jauh di atas dunia nyata.
Apakah hal seperti ini bisa diterapkan di Indonesia? Saya rasa bisa. Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia (representative) berbeda daripada di Amerika (Distrik), namun partai-partai seharusnya bisa menerapkan ide bahwa mereka adalah wakil dari rakyat bukan wakil dari partai. Ketidakdewasaan wakil rakyat kita menyebabkan hal ini sering terlupakan dan hasilnya adalah gontok-gontokan di Jakarta dan gedung-gedung DPRD selama rakyat semakin terpuruk lebih dalam di jurang kemiskinan.
Wednesday, July 27, 2011
Mencegah Indonesia Jadi Mobocracy
Ini adalah artikel kedua yang diterbitkan oleh Jawa Pos (Thanks, Pak Pohan!). Mungkin saya terlalu Pede, tapi rasanya ini pertama kalinya kata "Mobokrasi" dipakai. Tapi tanpa bukti, ya tak bisa claim hak cipta nih.... Hehehe.
Satu kondisi yang dulu pernah saya identifikasi tapi tak pernah saya coba untuk kembangkan adalah konsep bagaimana mobokrasi bisa dimanipulasi elit, seperti yang selalu terjadi akhir-akhir ini, di mana Jakarta dan kota-kota besar lainnya dipenuhi oleh demonstran bayaran.
Dalam retrospek, sebetulnya tak ada itu namanya aksi spontan massa ala revolusi. Semuanya itu merpuakan permainan sebuah kelompok kecil yang berdedikasi yang bisa memainkan opini publik. Revolusi Russia misalnya dilakukan oleh kurang dari 1000 orang. Mungkin memang saja akan terjadi reaksi spontan massa yang berukuran banyak, ala Tahir Square di Mesir, tapi setelah beberapa lama, massa tersebut akan dipecah dan dikntrol oleh sekelompok kecil elit yang berdedikasi, seperti yang sekarang terjadi juga di Mesir.
YS
-----------
Mencegah Indonesia Jadi Mobocracy
(Jawa Pos, Opini, 23 Maret 2001)
Pada bulan Oktober tahun lalu (2000), saya menghadiri Kongres Permias yang diselenggarakan oleh Permias Chicago. Pada saat itu saya bertanya kepada Mr. Jeffrey Winters, yang dikenal sebagai salah satu pakar Indonesia, tentang apakah mungkin lebih baik kalau Indonesia kembali ke sistem kediktatoran. Dia menentangnya, dan dia justru meyatakan bahwa jauh lebih baik jika terjadi lagi kejadian seperti Mei 1998 kemarin di mana para mahasiswa kembali turun ke jalan dan menggulingkan semua elit penguasa yang korup dan membentuk pemerintahan baru yang benar-benar bersih. Intinya adalah revolusi total.
Ide Mr. Jeffrey Winters adalah ide Marxist, di mana salah satu intinya adalah kaum proletar (mahasiswa, buruh, rakyat kecil) melakukan revolusi dan menggulingkan elit yang korup untuk membentuk pemerintah baru yang jujur, bersih, dan sosialis. Waktu itu saya meng-counter dengan menyatakan bahwa secara teoritis/idealis, ide ini memang menarik, tapi secara praktek ide ini memiliki kelemahan besar, salah satunya adalah banyaknya darah yang tertumpah. Jawaban Mr. Winters adalah sekarang saja darah sudah banyak tumpah (e.g. di Maluku, Kalimantan, dsb), jadi apa bedanya?
Jawaban Mr. Winters terus terang menjadi bahan pikiran saya selama berbulan-bulan. Apakah memang lebih baik kita mengulang lagi peristiwa Mei kemarin dengan catatan bahwa kita benar-benar menyapu bersih semua antek KKN di pemerintah dan membentuk pemerintah baru yang bersih dan stabil? Namun semakin saya pikirkan ide ini, saya justru semakin skeptikal mengingat bahaya yang kurang diperhitungkan Mr. Winters, yakni mobocracy.
Apa itu mobocracy? Tak seperti demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat, mobocracy adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan emosi rakyat. (mob: massa yang mengamuk, cracy: pemerintahan).
Mobocracy timbul karena kaum-kaum elit menggunakan emosi rakyat sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka. Mobocracy sering terjadi dalam negara-negara yang pemerintahan pusatnya kurang stabil, contohnya adalah negara-negara yang baru lepas dari sistem authoritarian dan menuju sistem demokrasi.
Kejatuhan sistem authoritarian menyebabkan kekuasaan jatuh ke tangan segelintir kelompok-kelompok politik atau ke tangan elit-elit politik yang memiliki dukungan golongan.
Namun seperti biasanya, dalam pemerintahan akan terjadi pertentangan antara kaum-kaum elit ini, dan sering kali satu kelompok akan terdesak dan merasa kedudukannya terancam seperti karena skandal, kurangnya legitimasi atau melemahnya posisi mereka, walau bisa juga bahwa salah satu atau beberapa kaum elit memang ingin mendapat dukungan lebih banyak dari rakyat demi legitimasi. Cara termudah untuk lebih banyak mendapatkan dukungan, segelintir kaum elit ini berusaha membangkitkan emosi rakyat dengan berusaha membuat rakyat atau kelompoknya merasa kepentingan mereka terancam.
Ada beberapa faktor yang bisa "membantu" kaum elit yang ingin membakar emosi rakyat. Pertama: adanya rasa ketakutan dalam diri rakyat sendiri, seperti jikalau rakyat merasa kepentingan mereka terancam oleh karena unsur yang mereka anggap dari luar. Kedua: adanya faktor satu target atau musuh dari rakyat yang sedang berusaha dibangkitkan emosinya itu. Ketiga: kondisi di mana posisi pemerintahan sedang labil yang disebabkan kekalahan perang, kerusakan ekonomi, atau pada masa pergantian pemerintahan dari autocracy ke oligarchy atau democracy.
Faktor pertama dan kedua di atas sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tak dapat dihindarkan misalnya karena adanya pertentangan yang sudah mendarah daging antar suku dan rezim authoritarian bisa menekan keributan itu dengan kekerasan militer. Namun fakta dilapangan sering kali tak mendukung. Jack Snyder dalam bukunya "From Voting to Violence" menekankan bahwa justru akibat demokratisasilah maka keributan-keributan ini bisa pecah di lapangan. Snyder berpendapat bahwa sebelum demokratisasi, faktor pertama dan kedua tak terlalu terlihat atau berpengaruh. Namun setelah demokratisasi, kaum elit menggunakan alasan-alasan ini demi menempatkan kekuasaan di tangan mereka tanpa perlunya rasa tanggung jawab kepada seluruh rakyat.
Banyak contoh-contoh mobocracy dalam sejarah seperti Revolusi Prancis, Revolusi Russia, Cultural Revolution di China, pembantaian di Rwanda, dan lain sebagainya. Dalam contoh-contoh ini, kaum elit menyatakan bahwa terjadi ancaman kepada kepentingan negara/kelompok, dan mereka menyerukan kepada rakyat untuk bangkit dan bersatu dibawah kaum elit ini. Setelah itu, kaum elit tersebut menyerukan agar rakyat melawan bahaya tersebut.
Salah satu contoh yang paling tragis adalah pembantaian di Rwanda. Seperti yang diketahui, pembantaian di Rwanda meletus bersamaan dengan terbunuhnya Presiden Rwanda yang berasal dari kaum Hutu. Elit-elit yang merupakan kelompok Presiden Rwanda kemudian menyatakan bahwa kaum Tutsi merupakan bahaya laten dan menyerukan agar orang-orang Hutu 'membela diri' dengan menyerbu kaum Tutsi. Hasilnya adalah pembantaian besar-besaran atas kaum Tutsi.
Contoh di atas memberikan gambaran bahwa betapa berbahayanya mobocracy ini bagi kaum yang merupakan 'target'-nya. Namun, di sisi lain, sering kali pada akhirnya mobocracy ini justru tak terkendali dan bahkan membahayakan posisi kaum elit yang memulainya.
Alasannya adalah, sering kali mobocracy ini adalah sebagai 'quick fix' bagi kaum elit untuk jangka pendek. Namun untuk jangka panjang, sering kali mobocracy ini menjadi terlalu ekstrim dan tak sesuai lagi dengan arah yang diinginkan kaum elit tersebut. Untuk mengganti arah ke tujuan yang diingini menjadi sulit. Rakyat yang sudah bangkit emosinya akan merasa terhianati jika kaum elit mendadak berganti arah.
Pada akhirnya, justru mobocracy tak bisa dikendalikan, dan kaum elit sendiri yang sudah menanamkan ide ini kepada rakyat tak sanggup mengendalikannya dan justru terpaksa mengikuti 'arus,' dan kehilangan kontrol untuk membuat kebijaksanaan yang rasional. Massa yang sudah tak bisa dikendalikan akan merusak segala aspek sosial seperti ekonomi. Lebih buruk lagi kalau massa kemudian melakukan tindakan penghancuran atau pembunuhan massal yang pasti lebih mengerikan daripada tragedi Rwanda.
Sering kali akhir dari mobocracy adalah kehancuran negara dan kembalinya negara tersebut ke sistem kediktatoran atau lebih buruk lagi adalah ketakstabilan secara regional. Prancis merupakan salah satu contohnya. Jatuhnya Louis XVI disusul dengan Rezim Teror Robespiere yang mengakibatkan matinya ribuan orang. Prancis menjadi tak stabil dan pemerintahnya berusaha menggalang dukugan rakyat dengan menyerbu negara-negara tetangga. Keadaan ini diselesaikan dengan naiknya Napoleon I sebagai kaisar.
Pembaca mungkin akan menyatakan bahwa contoh Prancis ini terlalu sederhana, karena banyak faktor yang tak saya sebutkan seperti terbentuknya koalisi anti revolusi yang menentang Prancis. Namun jika kita meneliti sejarah lebih dalam lagi, koalisi ini terbentuk justru karena pemerintah-pemerintah negara-negara disekitar Prancis takut revolusi ini akan merusak stabilitas mereka. Contohnya, Inggris waktu itu merupakan negara yang paling demokratis, namun mereka tetap menentang Revolusi Prancis.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Maluku dan Sampit merupakan bentuk mobocracy? Saya yakin ya. Faktor-faktornya ada. Pemerintah yang tak berwibawa dan ketakutan akan SARA. Di daerah-daerah lain ada juga faktor-faktor ini, namun perbedaannya adalah di dua tempat ini ada kaum elit yang membakar api keributan. Walaupun mobocracy di tempat-tempat ini meningkatkan keraguan rakyat kepada jaminan dari pemerintah, namun saya ragu kalau pemerintah bisa jatuh karena dua keributan ini, sehingga saya katakan bahwa mobocracy ini dalam skala "kecil." Selain itu, dalam mobocracy di tempat-tempat ini, skala elit yang terlibat tak banyak dan tak sampai bisa sangat berpengaruh untuk menjatuhkan pemerintah. Namun seperti korek api yang bisa membakar hutan, mobocracy ini jika tak terkontrol bisa berkembang menjadi lebih besar jikalau golongan elit yang lebih banyak memiliki pengaruh memicu keributan di tempat lain yang lebih vital.
Bagaimana cara agar kita bisa terhindar dari mobocracy? Jalan pertama adalah agar kaum elit tidak mengambil jalur ini. Hal ini memerlukan kedewasaan dari kaum elit politik sendiri.
Jalan kedua lebih drastis, yakni meningkatkan kewibawaan negara, atau Indonesia mengurangi kecepatan demokratisasi; yakni dengan cara memperkuat militer dan memasang keadaan darurat militer di daerah-daerah yang mengalami mobocracy. Intinya adalah mungkinkah lebih baik mundur selangkah untuk maju 10 langkah? Samuel Huntington menyatakan bahwa untuk mengurangi kemungkinan instabilitasi sosial, institusi negara perlu diperkuat. Namun jalur kedua ini akan kurang populer karena siapakah yang bisa menjamin bahwa langkah mundur ini akan diteruskan dengan langkah maju ke arah demokrasi?
Kita memang menginginkan demokrasi yang benar-benar bersih sebagai tujuan akhir kita. Tapi sulit sekali melangkah ke arah demokrasi tanpa terjebak dalam mobocracy.
Kembali kepada saat saya di Chicago, sewaktu saya berpisah dengan M. Winters, saya meminta autograph dia di atas paper yang dia telah sajikan ke kongres. Dia menuliskan dibawah tanda tangannya: jangan sampai ada diktator lagi.
Namun mungkinkah authoritarian lebih baik daripada demokrasi, apalagi kalau demokrasi yang terbentuk adalah mobocracy? Tidak. Authoritarian dan mobocracy adalah sistem yang terjadi akibat gagalnya proses demokratisasi.
Saya harap tulisan ini bisa menjadi bahan pikiran bagi para pembaca dan saya juga berharap segelintir kaum elit politik yang berusaha memanas-manasi rakyat sadar akan bahaya ini, karena yang akan terjadi adalah kehancuran Indonesia dan salah satu solusinya adalah menuju ke arah pemerintahan diktator.
Satu kondisi yang dulu pernah saya identifikasi tapi tak pernah saya coba untuk kembangkan adalah konsep bagaimana mobokrasi bisa dimanipulasi elit, seperti yang selalu terjadi akhir-akhir ini, di mana Jakarta dan kota-kota besar lainnya dipenuhi oleh demonstran bayaran.
Dalam retrospek, sebetulnya tak ada itu namanya aksi spontan massa ala revolusi. Semuanya itu merpuakan permainan sebuah kelompok kecil yang berdedikasi yang bisa memainkan opini publik. Revolusi Russia misalnya dilakukan oleh kurang dari 1000 orang. Mungkin memang saja akan terjadi reaksi spontan massa yang berukuran banyak, ala Tahir Square di Mesir, tapi setelah beberapa lama, massa tersebut akan dipecah dan dikntrol oleh sekelompok kecil elit yang berdedikasi, seperti yang sekarang terjadi juga di Mesir.
YS
-----------
Mencegah Indonesia Jadi Mobocracy
(Jawa Pos, Opini, 23 Maret 2001)
Pada bulan Oktober tahun lalu (2000), saya menghadiri Kongres Permias yang diselenggarakan oleh Permias Chicago. Pada saat itu saya bertanya kepada Mr. Jeffrey Winters, yang dikenal sebagai salah satu pakar Indonesia, tentang apakah mungkin lebih baik kalau Indonesia kembali ke sistem kediktatoran. Dia menentangnya, dan dia justru meyatakan bahwa jauh lebih baik jika terjadi lagi kejadian seperti Mei 1998 kemarin di mana para mahasiswa kembali turun ke jalan dan menggulingkan semua elit penguasa yang korup dan membentuk pemerintahan baru yang benar-benar bersih. Intinya adalah revolusi total.
Ide Mr. Jeffrey Winters adalah ide Marxist, di mana salah satu intinya adalah kaum proletar (mahasiswa, buruh, rakyat kecil) melakukan revolusi dan menggulingkan elit yang korup untuk membentuk pemerintah baru yang jujur, bersih, dan sosialis. Waktu itu saya meng-counter dengan menyatakan bahwa secara teoritis/idealis, ide ini memang menarik, tapi secara praktek ide ini memiliki kelemahan besar, salah satunya adalah banyaknya darah yang tertumpah. Jawaban Mr. Winters adalah sekarang saja darah sudah banyak tumpah (e.g. di Maluku, Kalimantan, dsb), jadi apa bedanya?
Jawaban Mr. Winters terus terang menjadi bahan pikiran saya selama berbulan-bulan. Apakah memang lebih baik kita mengulang lagi peristiwa Mei kemarin dengan catatan bahwa kita benar-benar menyapu bersih semua antek KKN di pemerintah dan membentuk pemerintah baru yang bersih dan stabil? Namun semakin saya pikirkan ide ini, saya justru semakin skeptikal mengingat bahaya yang kurang diperhitungkan Mr. Winters, yakni mobocracy.
Apa itu mobocracy? Tak seperti demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat, mobocracy adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan emosi rakyat. (mob: massa yang mengamuk, cracy: pemerintahan).
Mobocracy timbul karena kaum-kaum elit menggunakan emosi rakyat sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka. Mobocracy sering terjadi dalam negara-negara yang pemerintahan pusatnya kurang stabil, contohnya adalah negara-negara yang baru lepas dari sistem authoritarian dan menuju sistem demokrasi.
Kejatuhan sistem authoritarian menyebabkan kekuasaan jatuh ke tangan segelintir kelompok-kelompok politik atau ke tangan elit-elit politik yang memiliki dukungan golongan.
Namun seperti biasanya, dalam pemerintahan akan terjadi pertentangan antara kaum-kaum elit ini, dan sering kali satu kelompok akan terdesak dan merasa kedudukannya terancam seperti karena skandal, kurangnya legitimasi atau melemahnya posisi mereka, walau bisa juga bahwa salah satu atau beberapa kaum elit memang ingin mendapat dukungan lebih banyak dari rakyat demi legitimasi. Cara termudah untuk lebih banyak mendapatkan dukungan, segelintir kaum elit ini berusaha membangkitkan emosi rakyat dengan berusaha membuat rakyat atau kelompoknya merasa kepentingan mereka terancam.
Ada beberapa faktor yang bisa "membantu" kaum elit yang ingin membakar emosi rakyat. Pertama: adanya rasa ketakutan dalam diri rakyat sendiri, seperti jikalau rakyat merasa kepentingan mereka terancam oleh karena unsur yang mereka anggap dari luar. Kedua: adanya faktor satu target atau musuh dari rakyat yang sedang berusaha dibangkitkan emosinya itu. Ketiga: kondisi di mana posisi pemerintahan sedang labil yang disebabkan kekalahan perang, kerusakan ekonomi, atau pada masa pergantian pemerintahan dari autocracy ke oligarchy atau democracy.
Faktor pertama dan kedua di atas sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tak dapat dihindarkan misalnya karena adanya pertentangan yang sudah mendarah daging antar suku dan rezim authoritarian bisa menekan keributan itu dengan kekerasan militer. Namun fakta dilapangan sering kali tak mendukung. Jack Snyder dalam bukunya "From Voting to Violence" menekankan bahwa justru akibat demokratisasilah maka keributan-keributan ini bisa pecah di lapangan. Snyder berpendapat bahwa sebelum demokratisasi, faktor pertama dan kedua tak terlalu terlihat atau berpengaruh. Namun setelah demokratisasi, kaum elit menggunakan alasan-alasan ini demi menempatkan kekuasaan di tangan mereka tanpa perlunya rasa tanggung jawab kepada seluruh rakyat.
Banyak contoh-contoh mobocracy dalam sejarah seperti Revolusi Prancis, Revolusi Russia, Cultural Revolution di China, pembantaian di Rwanda, dan lain sebagainya. Dalam contoh-contoh ini, kaum elit menyatakan bahwa terjadi ancaman kepada kepentingan negara/kelompok, dan mereka menyerukan kepada rakyat untuk bangkit dan bersatu dibawah kaum elit ini. Setelah itu, kaum elit tersebut menyerukan agar rakyat melawan bahaya tersebut.
Salah satu contoh yang paling tragis adalah pembantaian di Rwanda. Seperti yang diketahui, pembantaian di Rwanda meletus bersamaan dengan terbunuhnya Presiden Rwanda yang berasal dari kaum Hutu. Elit-elit yang merupakan kelompok Presiden Rwanda kemudian menyatakan bahwa kaum Tutsi merupakan bahaya laten dan menyerukan agar orang-orang Hutu 'membela diri' dengan menyerbu kaum Tutsi. Hasilnya adalah pembantaian besar-besaran atas kaum Tutsi.
Contoh di atas memberikan gambaran bahwa betapa berbahayanya mobocracy ini bagi kaum yang merupakan 'target'-nya. Namun, di sisi lain, sering kali pada akhirnya mobocracy ini justru tak terkendali dan bahkan membahayakan posisi kaum elit yang memulainya.
Alasannya adalah, sering kali mobocracy ini adalah sebagai 'quick fix' bagi kaum elit untuk jangka pendek. Namun untuk jangka panjang, sering kali mobocracy ini menjadi terlalu ekstrim dan tak sesuai lagi dengan arah yang diinginkan kaum elit tersebut. Untuk mengganti arah ke tujuan yang diingini menjadi sulit. Rakyat yang sudah bangkit emosinya akan merasa terhianati jika kaum elit mendadak berganti arah.
Pada akhirnya, justru mobocracy tak bisa dikendalikan, dan kaum elit sendiri yang sudah menanamkan ide ini kepada rakyat tak sanggup mengendalikannya dan justru terpaksa mengikuti 'arus,' dan kehilangan kontrol untuk membuat kebijaksanaan yang rasional. Massa yang sudah tak bisa dikendalikan akan merusak segala aspek sosial seperti ekonomi. Lebih buruk lagi kalau massa kemudian melakukan tindakan penghancuran atau pembunuhan massal yang pasti lebih mengerikan daripada tragedi Rwanda.
Sering kali akhir dari mobocracy adalah kehancuran negara dan kembalinya negara tersebut ke sistem kediktatoran atau lebih buruk lagi adalah ketakstabilan secara regional. Prancis merupakan salah satu contohnya. Jatuhnya Louis XVI disusul dengan Rezim Teror Robespiere yang mengakibatkan matinya ribuan orang. Prancis menjadi tak stabil dan pemerintahnya berusaha menggalang dukugan rakyat dengan menyerbu negara-negara tetangga. Keadaan ini diselesaikan dengan naiknya Napoleon I sebagai kaisar.
Pembaca mungkin akan menyatakan bahwa contoh Prancis ini terlalu sederhana, karena banyak faktor yang tak saya sebutkan seperti terbentuknya koalisi anti revolusi yang menentang Prancis. Namun jika kita meneliti sejarah lebih dalam lagi, koalisi ini terbentuk justru karena pemerintah-pemerintah negara-negara disekitar Prancis takut revolusi ini akan merusak stabilitas mereka. Contohnya, Inggris waktu itu merupakan negara yang paling demokratis, namun mereka tetap menentang Revolusi Prancis.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Maluku dan Sampit merupakan bentuk mobocracy? Saya yakin ya. Faktor-faktornya ada. Pemerintah yang tak berwibawa dan ketakutan akan SARA. Di daerah-daerah lain ada juga faktor-faktor ini, namun perbedaannya adalah di dua tempat ini ada kaum elit yang membakar api keributan. Walaupun mobocracy di tempat-tempat ini meningkatkan keraguan rakyat kepada jaminan dari pemerintah, namun saya ragu kalau pemerintah bisa jatuh karena dua keributan ini, sehingga saya katakan bahwa mobocracy ini dalam skala "kecil." Selain itu, dalam mobocracy di tempat-tempat ini, skala elit yang terlibat tak banyak dan tak sampai bisa sangat berpengaruh untuk menjatuhkan pemerintah. Namun seperti korek api yang bisa membakar hutan, mobocracy ini jika tak terkontrol bisa berkembang menjadi lebih besar jikalau golongan elit yang lebih banyak memiliki pengaruh memicu keributan di tempat lain yang lebih vital.
Bagaimana cara agar kita bisa terhindar dari mobocracy? Jalan pertama adalah agar kaum elit tidak mengambil jalur ini. Hal ini memerlukan kedewasaan dari kaum elit politik sendiri.
Jalan kedua lebih drastis, yakni meningkatkan kewibawaan negara, atau Indonesia mengurangi kecepatan demokratisasi; yakni dengan cara memperkuat militer dan memasang keadaan darurat militer di daerah-daerah yang mengalami mobocracy. Intinya adalah mungkinkah lebih baik mundur selangkah untuk maju 10 langkah? Samuel Huntington menyatakan bahwa untuk mengurangi kemungkinan instabilitasi sosial, institusi negara perlu diperkuat. Namun jalur kedua ini akan kurang populer karena siapakah yang bisa menjamin bahwa langkah mundur ini akan diteruskan dengan langkah maju ke arah demokrasi?
Kita memang menginginkan demokrasi yang benar-benar bersih sebagai tujuan akhir kita. Tapi sulit sekali melangkah ke arah demokrasi tanpa terjebak dalam mobocracy.
Kembali kepada saat saya di Chicago, sewaktu saya berpisah dengan M. Winters, saya meminta autograph dia di atas paper yang dia telah sajikan ke kongres. Dia menuliskan dibawah tanda tangannya: jangan sampai ada diktator lagi.
Namun mungkinkah authoritarian lebih baik daripada demokrasi, apalagi kalau demokrasi yang terbentuk adalah mobocracy? Tidak. Authoritarian dan mobocracy adalah sistem yang terjadi akibat gagalnya proses demokratisasi.
Saya harap tulisan ini bisa menjadi bahan pikiran bagi para pembaca dan saya juga berharap segelintir kaum elit politik yang berusaha memanas-manasi rakyat sadar akan bahaya ini, karena yang akan terjadi adalah kehancuran Indonesia dan salah satu solusinya adalah menuju ke arah pemerintahan diktator.
Diskusi tentang Kastil Pasir
Tulisan ini adalah tulisan pertama saya yang diterbitkan ke surat kabar. Seperti biasanya dalam dunia akademik, orang yang mau naik pentas akan berusaha masuk lewat menggunakan tulisan orang lain, dan itu yang saya lakukan. Karena itu, tulisan "inspirasinya" yang ditulis oleh Notrida Mandica (tak tahu dimana ia sekarang) saya taruh paling pertama, dan tulisan tanggapan saya dituliskan setelahnya.
Sebetulnya kalau sekarang saya baca, perbedaannya sangat sepele, yakni penekanan saya yang begitu besar kepada hukum sebagai sebuah "fondasi" dari istana, bukan hanya sebuah "pilar pendukung." Tapi ya tak terlalu signifikan sebetulnya.
Sebuah tambahan factoid yang menarik: yang berjasa memasukkan tulisan saya ini ke koran Jawa Pos waktu itu adalah Ramadhan Pohan yang saat ini sedang dirundung masalah di Partai Demokrat. Dulunya ia adalah responden Jawa Pos di Washington, D.C. Makanya, betapa kecilnya dunia ini....
Seingat saya, saya pernah bertemu dia, dan dulu, dia itu orangnya benar-benar sangat baik. Makanya, saya sangat bersimpati dengan penderitaannya sekarang ini akibat kasus Nazaruddin.
YS
-------------
Sabtu, 10/02/2001 - 22:46 WIB
Kastil Pasir Politik Indonesia
Oleh Notrida Mandica
Melihat kondisi politik Indonesia saat ini persis seperti melihat sebuah kastil pasir. Awalnya, dilihat sepintas, politik Indonesia tampak seperti sangat kukuh. Namun, begitu bersentuhan dengan gelombang kebebasan dan demokrasi, bangunan politik Indonesia itu ternyata amat rapuh.
Ada sejumlah penyebab mengapa bangunan politik Indonesia sedemikian rapuh seperti kastil pasir. Pertama, politik Indonesia tidak memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang fundamental yang mampu merespons gejolak-gejolak sosial dan politik.
Kedua, konsep bernegara terlalu terfokus pada satu material, yakni pemerintah sebagai satu-satunya aktor dan arena yang memainkan peran penting dalam proses pemerintahan.
Ketiga, struktur politik dan pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas dalam prinsip division of labor dan delegation of authority.
Keempat, para elite politik, seperti kastil pasir, dibentuk oleh tangan-tangan arsiteknya. Mereka tidak hadir sebagai natural leaders dengan konsepsi ideologi yang jelas dan permanen.
Dan, kelima, rakyat Indonesia kebanyakan lahir dan berdiri di luar kastil pasir karena tak ada tempat hunian bagi mereka meskipun mereka ikut membangunnya. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu di jalan.
Mimpi Kastil akan Revolusi dan Reformasi
Orang-orang yang berdiri di luar kastil mengerti bahwa kastil itu tidak akan bertahan lama. Sebentar saja akan rapuh dan hancur. Oleh karena itu, sebagian orang berusaha mengajukan konsep-konsep revolusioner untuk membangun kastil yang permanen. Misalnya, Moh. Hatta mengusulkan konsep ekonomi kerakyatan dan desentralisasi yang ditolak oleh Presiden Soekarno.
Pada zaman Orba, beberapa aktivis politik dan sosial mengusulkan perubahan sistem pemerintahan, desentralisasi, redistribusi income, dan sumber-sumber ekonomi kepada Presiden Soeharto, tetapi tidak ada respons yang baik. Bahkan, pemilik ide dijawab dengan sanksi penjara.
Saat ini Presiden Abdurrahman Wahid dipercaya akan membawa pesan-pesan reformasi sebagai landasan pemerintahannya. Konsep-konsep reformasi tersebut diharapkan akan membangun kerangka kastil yang fundamental sehingga tidak mudah roboh. Meski demikian, Presiden Gus Dur, tampaknya, belum membangun pilar-pilar beton untuk kastil Indonesia di tempat yang lebih kukuh.
Tahun pertama masa jabatannya tidak digunakan untuk menjelajahi tanah tempat kastil itu dibangun atau mencari tahu jenis material yang dipergunakan, atau sekadar mengenal orang-orang yang hidup di sekitarnya. Sebagai gantinya, Presiden Gus Dur keliling dunia. Sudah cukup banyak jumlah negara yang dikunjungi Presiden Gus Dur selama setahun masa pemerintahannya. Ironisnya, publik belum banyak melihat hasil dari kunjungan ke luar negeri itu. Presiden Gus Dur, tampaknya, juga tidak membawa pulang material baru yang baik dari kunjungannya itu untuk kastil tersebut.
Membangun Kastil Baru
Seperti pembuat kastil pasir, ketika bangunannya roboh, yang disalahkan adalah ombak yang menerjang atau angin yang meniup terlalu kencang. Sangat sedikit pembuat kastil pasir itu mengevaluasi bahwa hancurnya bangunan tersebut karena kecerobohan pembuatnya. Padahal, adalah suatu langkah yang sangat arif jika pembuat kastil mau introspeksi diri, mau mengevaluasi mengapa kastil yang dibangunnya itu mudah roboh. Mereka tidak seharusnya hanya menyalahkan ombak atau angin yang menerjang dan merobohkan kastil itu. Sikap menyalahkan pihak lain memang perbuatan yang paling mudah untuk dilakukan. Apalagi dengan mengambinghitamkan orang lain. Namun, sekali lagi, sikap seperti ini sangat tidak arif. Sikap itu hanya mengindikasikan mau cuci tangan dan lepas dari tanggung jawab.
Karena orang-orang yang dipercaya merenovasi kastil itu tidak mampu berbuat apa-apa, ebaiknya kita yang berada di luar kastil pasir menginisiatifkan kerangka yang lebih kuat. Caranya, pertama, mengembalikan prinsip-prinsip hukum pada interaksi sosial dan politik. Misalnya, setiap demonstrasi tidak selayaknya dibawa pada penghancuran dan kekerasan, tetapi dibawa ke badan hukum demi menegakkan pilar kastil.Kedua, tidak menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya unsur dalam pemerintahan akan tetapi memaksimalkan upaya-upaya administrasi, legal, birokrasi, dan keamanan dalam menjalin hubungan pemerintah dengan masyarakat dan hubungan antaranggota masyarakat.
Ketiga, rakyat Indonesia patut memberikan pelajaran kepada pemerintah dan wakil rakyat bagaimana memahami konsep kerja sama dan pembagian kerja yang terorganisasi. Keempat, setiap individu layak membawa dan membangun ideologi politiknya secara independen melalui kepekaan-kepekaan sosial dan politik sehingga tidak mudah terbawa oleh gelombang ikatan emosional yang menghancurkan kastilnya sendiri. Dan, kelima, setiap orang berhak lahir dan hadir di dalam kastil yang mereka bangun dengan susah payah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut moral kemanusiaan dan tata perekonomian.
Untuk membangun kastil baru politik Indonesia yang kukuh, harus ada sejumlah kesadaran yang dimiliki bangsa ini. Antara lain, pertama, bahwa kastil yang akan dibangun nanti membutuhkan arsitek yang memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi terhadap orang-orang yang membutuhkan kastil tersebut sebagai lahan hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, harus ada kesadaran bahwa Kastil Indonesia nanti adalah milik semua insan yang lahir dan hadir di sana. Oleh karena itu, tidak ada individu atau kelompok yang berhak mendominasi dan menghancurkan kastil yang dibangun bersama dengan peluh, darah, dan air mata.
* Notrida Mandica adalah mahasiswa program doktor Northern Illinois University, DeKalb, IL
---
Yohanes Sulaiman:
Menanggapi kastil pasir
(Jawa Pos, February 10, 2001)
Tulisan Ms. Mandica tentang 'kastil pasir' sangatlah menarik. Ia memang secara tepat menggambarkan bagaimana kondisi negara kita yang rapuh, yang sekali diterpa gelombang demokrasi langsung hancur karena kerapuhan kerangka kastil pasir ini. Walaupun analoginya tentang kastil pasir adalah tepat, namun, ada satu kesalahan logika pada tulisannya ini yakni tak adanya fokus pada fondasi kastil.
Para pembaca yang menguasai tekhnik sipil pasti tahu bahwa untuk membuat suatu bangunan, kita tak boleh hanya bergantung kepada kerangka beton, namun harus juga membangun pondasi yang benar-benar kuat dan stabil. Contohnya untuk membangun gedung puluhan tingkat, kita harus lebih dulu menggali sampai beberapa puluh meter ke dalam tanah sampai menusuk pondasi batu dan kemudian baru meletakkan dasar untuk bangunan itu. Hal ini yang sama sekali tak disentuh Ms. Mandica dalam kolom opininya itu.
Fondasi politik kita merupakan hal yang sangat vital bagi keutuhan dan kestabilan negara kita, karena tanpa fondasi yang kuat, sehebat apapun kerangka yang menyangga kastil kita, begitu ada gempa, kastil itu akan rubuh. Kita sudah mengalami gempa: yakni kejatuhan Presiden Suharto dan krisis ekonomi yang berkelanjutan, dan kedua gempa itu membuktikan bahwa fondasi negara kita sangatlah lemah karena fondasi negara kita didirikan di atas pemerintahan authoritarian yang diwarnai KKN. Intinya, kelemahan terbesar dari fondasi pemerintahan Orde Baru adalah tidak ditegakkannya hukum secara absolut.
Hukum merupakan fondasi yang teramat penting bagi kastil baru kita. Ms. Mandica saya rasa melakukan kesalahan besar karena menganggap hukum adalah pilar dari negara. Justru saya menekankan bahwa hukum adalah fondasi yang paling fundamental bagi negara kita. Kesadaran hukum dan pelaksanaannya dengan konsekwen akan membuat rakyat merasa diperlakukan dengan adil.
Namun Indonesia di era reformasi tetap mendirikan kastilnya di atas fondasi bangunan Orde Baru yang terbukti tak kuat melawan gempa. Kita bisa melihat dengan jelas buktinya: KKN yang terus terjadi, konflik ethnis yang berkelanjutan, dan gerakan terror yang terjadi di mana-mana. Jikalau dasar bangunan kita (hukum) memang kuat, seharusnya semua yang telah disebutkan diatas tak akan terjadi atau paling tidak tak akan membahayakan kestabilan nasional. Namun, karena memang dasarnya tidak kuat, maka bangunan yang sekarang kita bentuk akan terus dalam kondisi rapuh.
Untuk memperoleh kestabilan politik di masa depan, yang perlu kita lakukan adalah merombak fondasi 'bangunan' kita yang sekarang. Kita tak bisa mendirikan bangunan yang baru dan kuat di atas fondasi yang cacat. Indonesia harus lebih jujur dalam memandang dirinya, yakni bersedia membongkar bagian-bagian yang fondasinya lemah atau bobrok.
Bukanlah usaha yang mudah untuk membongkar bagian-bagian yang bobrok. Dalam membongkar fondasi yang bobrok, kita pasti akan terus berhadapan elit politik yang memiliki vested interests untuk menghentikan pembongkaran ini. Contoh mudahnya adalah penyelidikan pada penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Apakah hasil yang kita dapatkan sekarang? Harta kekayaan yang dikorupsi penguasa dari rakyat tetap tak dikembalikan. Penyelidikan terhadap kasus KKN juga tak terdengar lagi, atau lebih tepat terhenti. Apakah yang 'diajarkan' kasus ini kepada rakyat? Penguasa yang korup berkedudukan di atas hukum dan tak bisa dijangkau oleh pedang dari dewi keadilan.
Dampak dari hukum yang tak bisa dijalankan secara tegas sangatlah mengerikan. Karena sebagian golongan bisa tak terjangkau tangan hukum, maka rakyat merasa buat apa lagi patuh kepada hukum dan pemerintah? Rasa percaya kepada hukum yang sudah luntur akhirnya menyebabkan dua hal: main hakim sendiri dan skepticism kepada pemerintah. Jika rakyat sudah tak percaya lagi kepada pemerintah, sekuat apapun pilar negara, negara itu akan hancur. Kepercayaan rakyat kepada fondasi negara yang kuatlah yang menentukan apakah sebuah kastil akan tetap berdiri atau jatuh.
Konflik ethnis, golongan, gerakan terror, dsb merupakan pertanda bahwa hukum tak lagi dianggap serius. Jika hukum dianggap serius, rakyat akan takut untuk melanggarnya. Peneror tak akan berani untuk melakukan aksi terornya. Konflik etnis tak akan terjadi karena tangan hukum akan segera menangkap kaum provokator dan menghukum mereka dengan tegas. Pemerintah yang berwibawa dengan dasar hukum akan ditakuti dan sekaligus dicintai rakyatnya. Namun kerapuhan hukum di negara kita menyebabkan gerakan-gerakan terorisme tersebut tak bisa diatasi dan hasilnya Indonesia semakin rapuh dihantam gelombang.
Terakhir, tulisan Ms. Mandica memang tepat dalam menuliskan kesadaran-kesadaran yang diperlukan untuk membangun kastil yang indah. Memang Indonesia sekarang ini butuh pilar-pilar yang kuat dan kerangka bangunan yang kukuh untuk menuju ke era yang baru. Namun, jikalau fondasi kastil ini tak dalam, maka sekuat apapun pilar kita, kastil kita akan tetap rubuh jika melawan gelombang.
Sebetulnya kalau sekarang saya baca, perbedaannya sangat sepele, yakni penekanan saya yang begitu besar kepada hukum sebagai sebuah "fondasi" dari istana, bukan hanya sebuah "pilar pendukung." Tapi ya tak terlalu signifikan sebetulnya.
Sebuah tambahan factoid yang menarik: yang berjasa memasukkan tulisan saya ini ke koran Jawa Pos waktu itu adalah Ramadhan Pohan yang saat ini sedang dirundung masalah di Partai Demokrat. Dulunya ia adalah responden Jawa Pos di Washington, D.C. Makanya, betapa kecilnya dunia ini....
Seingat saya, saya pernah bertemu dia, dan dulu, dia itu orangnya benar-benar sangat baik. Makanya, saya sangat bersimpati dengan penderitaannya sekarang ini akibat kasus Nazaruddin.
YS
-------------
Sabtu, 10/02/2001 - 22:46 WIB
Kastil Pasir Politik Indonesia
Oleh Notrida Mandica
Melihat kondisi politik Indonesia saat ini persis seperti melihat sebuah kastil pasir. Awalnya, dilihat sepintas, politik Indonesia tampak seperti sangat kukuh. Namun, begitu bersentuhan dengan gelombang kebebasan dan demokrasi, bangunan politik Indonesia itu ternyata amat rapuh.
Ada sejumlah penyebab mengapa bangunan politik Indonesia sedemikian rapuh seperti kastil pasir. Pertama, politik Indonesia tidak memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang fundamental yang mampu merespons gejolak-gejolak sosial dan politik.
Kedua, konsep bernegara terlalu terfokus pada satu material, yakni pemerintah sebagai satu-satunya aktor dan arena yang memainkan peran penting dalam proses pemerintahan.
Ketiga, struktur politik dan pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas dalam prinsip division of labor dan delegation of authority.
Keempat, para elite politik, seperti kastil pasir, dibentuk oleh tangan-tangan arsiteknya. Mereka tidak hadir sebagai natural leaders dengan konsepsi ideologi yang jelas dan permanen.
Dan, kelima, rakyat Indonesia kebanyakan lahir dan berdiri di luar kastil pasir karena tak ada tempat hunian bagi mereka meskipun mereka ikut membangunnya. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu di jalan.
Mimpi Kastil akan Revolusi dan Reformasi
Orang-orang yang berdiri di luar kastil mengerti bahwa kastil itu tidak akan bertahan lama. Sebentar saja akan rapuh dan hancur. Oleh karena itu, sebagian orang berusaha mengajukan konsep-konsep revolusioner untuk membangun kastil yang permanen. Misalnya, Moh. Hatta mengusulkan konsep ekonomi kerakyatan dan desentralisasi yang ditolak oleh Presiden Soekarno.
Pada zaman Orba, beberapa aktivis politik dan sosial mengusulkan perubahan sistem pemerintahan, desentralisasi, redistribusi income, dan sumber-sumber ekonomi kepada Presiden Soeharto, tetapi tidak ada respons yang baik. Bahkan, pemilik ide dijawab dengan sanksi penjara.
Saat ini Presiden Abdurrahman Wahid dipercaya akan membawa pesan-pesan reformasi sebagai landasan pemerintahannya. Konsep-konsep reformasi tersebut diharapkan akan membangun kerangka kastil yang fundamental sehingga tidak mudah roboh. Meski demikian, Presiden Gus Dur, tampaknya, belum membangun pilar-pilar beton untuk kastil Indonesia di tempat yang lebih kukuh.
Tahun pertama masa jabatannya tidak digunakan untuk menjelajahi tanah tempat kastil itu dibangun atau mencari tahu jenis material yang dipergunakan, atau sekadar mengenal orang-orang yang hidup di sekitarnya. Sebagai gantinya, Presiden Gus Dur keliling dunia. Sudah cukup banyak jumlah negara yang dikunjungi Presiden Gus Dur selama setahun masa pemerintahannya. Ironisnya, publik belum banyak melihat hasil dari kunjungan ke luar negeri itu. Presiden Gus Dur, tampaknya, juga tidak membawa pulang material baru yang baik dari kunjungannya itu untuk kastil tersebut.
Membangun Kastil Baru
Seperti pembuat kastil pasir, ketika bangunannya roboh, yang disalahkan adalah ombak yang menerjang atau angin yang meniup terlalu kencang. Sangat sedikit pembuat kastil pasir itu mengevaluasi bahwa hancurnya bangunan tersebut karena kecerobohan pembuatnya. Padahal, adalah suatu langkah yang sangat arif jika pembuat kastil mau introspeksi diri, mau mengevaluasi mengapa kastil yang dibangunnya itu mudah roboh. Mereka tidak seharusnya hanya menyalahkan ombak atau angin yang menerjang dan merobohkan kastil itu. Sikap menyalahkan pihak lain memang perbuatan yang paling mudah untuk dilakukan. Apalagi dengan mengambinghitamkan orang lain. Namun, sekali lagi, sikap seperti ini sangat tidak arif. Sikap itu hanya mengindikasikan mau cuci tangan dan lepas dari tanggung jawab.
Karena orang-orang yang dipercaya merenovasi kastil itu tidak mampu berbuat apa-apa, ebaiknya kita yang berada di luar kastil pasir menginisiatifkan kerangka yang lebih kuat. Caranya, pertama, mengembalikan prinsip-prinsip hukum pada interaksi sosial dan politik. Misalnya, setiap demonstrasi tidak selayaknya dibawa pada penghancuran dan kekerasan, tetapi dibawa ke badan hukum demi menegakkan pilar kastil.Kedua, tidak menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya unsur dalam pemerintahan akan tetapi memaksimalkan upaya-upaya administrasi, legal, birokrasi, dan keamanan dalam menjalin hubungan pemerintah dengan masyarakat dan hubungan antaranggota masyarakat.
Ketiga, rakyat Indonesia patut memberikan pelajaran kepada pemerintah dan wakil rakyat bagaimana memahami konsep kerja sama dan pembagian kerja yang terorganisasi. Keempat, setiap individu layak membawa dan membangun ideologi politiknya secara independen melalui kepekaan-kepekaan sosial dan politik sehingga tidak mudah terbawa oleh gelombang ikatan emosional yang menghancurkan kastilnya sendiri. Dan, kelima, setiap orang berhak lahir dan hadir di dalam kastil yang mereka bangun dengan susah payah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut moral kemanusiaan dan tata perekonomian.
Untuk membangun kastil baru politik Indonesia yang kukuh, harus ada sejumlah kesadaran yang dimiliki bangsa ini. Antara lain, pertama, bahwa kastil yang akan dibangun nanti membutuhkan arsitek yang memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi terhadap orang-orang yang membutuhkan kastil tersebut sebagai lahan hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, harus ada kesadaran bahwa Kastil Indonesia nanti adalah milik semua insan yang lahir dan hadir di sana. Oleh karena itu, tidak ada individu atau kelompok yang berhak mendominasi dan menghancurkan kastil yang dibangun bersama dengan peluh, darah, dan air mata.
* Notrida Mandica adalah mahasiswa program doktor Northern Illinois University, DeKalb, IL
---
Yohanes Sulaiman:
Menanggapi kastil pasir
(Jawa Pos, February 10, 2001)
Tulisan Ms. Mandica tentang 'kastil pasir' sangatlah menarik. Ia memang secara tepat menggambarkan bagaimana kondisi negara kita yang rapuh, yang sekali diterpa gelombang demokrasi langsung hancur karena kerapuhan kerangka kastil pasir ini. Walaupun analoginya tentang kastil pasir adalah tepat, namun, ada satu kesalahan logika pada tulisannya ini yakni tak adanya fokus pada fondasi kastil.
Para pembaca yang menguasai tekhnik sipil pasti tahu bahwa untuk membuat suatu bangunan, kita tak boleh hanya bergantung kepada kerangka beton, namun harus juga membangun pondasi yang benar-benar kuat dan stabil. Contohnya untuk membangun gedung puluhan tingkat, kita harus lebih dulu menggali sampai beberapa puluh meter ke dalam tanah sampai menusuk pondasi batu dan kemudian baru meletakkan dasar untuk bangunan itu. Hal ini yang sama sekali tak disentuh Ms. Mandica dalam kolom opininya itu.
Fondasi politik kita merupakan hal yang sangat vital bagi keutuhan dan kestabilan negara kita, karena tanpa fondasi yang kuat, sehebat apapun kerangka yang menyangga kastil kita, begitu ada gempa, kastil itu akan rubuh. Kita sudah mengalami gempa: yakni kejatuhan Presiden Suharto dan krisis ekonomi yang berkelanjutan, dan kedua gempa itu membuktikan bahwa fondasi negara kita sangatlah lemah karena fondasi negara kita didirikan di atas pemerintahan authoritarian yang diwarnai KKN. Intinya, kelemahan terbesar dari fondasi pemerintahan Orde Baru adalah tidak ditegakkannya hukum secara absolut.
Hukum merupakan fondasi yang teramat penting bagi kastil baru kita. Ms. Mandica saya rasa melakukan kesalahan besar karena menganggap hukum adalah pilar dari negara. Justru saya menekankan bahwa hukum adalah fondasi yang paling fundamental bagi negara kita. Kesadaran hukum dan pelaksanaannya dengan konsekwen akan membuat rakyat merasa diperlakukan dengan adil.
Namun Indonesia di era reformasi tetap mendirikan kastilnya di atas fondasi bangunan Orde Baru yang terbukti tak kuat melawan gempa. Kita bisa melihat dengan jelas buktinya: KKN yang terus terjadi, konflik ethnis yang berkelanjutan, dan gerakan terror yang terjadi di mana-mana. Jikalau dasar bangunan kita (hukum) memang kuat, seharusnya semua yang telah disebutkan diatas tak akan terjadi atau paling tidak tak akan membahayakan kestabilan nasional. Namun, karena memang dasarnya tidak kuat, maka bangunan yang sekarang kita bentuk akan terus dalam kondisi rapuh.
Untuk memperoleh kestabilan politik di masa depan, yang perlu kita lakukan adalah merombak fondasi 'bangunan' kita yang sekarang. Kita tak bisa mendirikan bangunan yang baru dan kuat di atas fondasi yang cacat. Indonesia harus lebih jujur dalam memandang dirinya, yakni bersedia membongkar bagian-bagian yang fondasinya lemah atau bobrok.
Bukanlah usaha yang mudah untuk membongkar bagian-bagian yang bobrok. Dalam membongkar fondasi yang bobrok, kita pasti akan terus berhadapan elit politik yang memiliki vested interests untuk menghentikan pembongkaran ini. Contoh mudahnya adalah penyelidikan pada penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Apakah hasil yang kita dapatkan sekarang? Harta kekayaan yang dikorupsi penguasa dari rakyat tetap tak dikembalikan. Penyelidikan terhadap kasus KKN juga tak terdengar lagi, atau lebih tepat terhenti. Apakah yang 'diajarkan' kasus ini kepada rakyat? Penguasa yang korup berkedudukan di atas hukum dan tak bisa dijangkau oleh pedang dari dewi keadilan.
Dampak dari hukum yang tak bisa dijalankan secara tegas sangatlah mengerikan. Karena sebagian golongan bisa tak terjangkau tangan hukum, maka rakyat merasa buat apa lagi patuh kepada hukum dan pemerintah? Rasa percaya kepada hukum yang sudah luntur akhirnya menyebabkan dua hal: main hakim sendiri dan skepticism kepada pemerintah. Jika rakyat sudah tak percaya lagi kepada pemerintah, sekuat apapun pilar negara, negara itu akan hancur. Kepercayaan rakyat kepada fondasi negara yang kuatlah yang menentukan apakah sebuah kastil akan tetap berdiri atau jatuh.
Konflik ethnis, golongan, gerakan terror, dsb merupakan pertanda bahwa hukum tak lagi dianggap serius. Jika hukum dianggap serius, rakyat akan takut untuk melanggarnya. Peneror tak akan berani untuk melakukan aksi terornya. Konflik etnis tak akan terjadi karena tangan hukum akan segera menangkap kaum provokator dan menghukum mereka dengan tegas. Pemerintah yang berwibawa dengan dasar hukum akan ditakuti dan sekaligus dicintai rakyatnya. Namun kerapuhan hukum di negara kita menyebabkan gerakan-gerakan terorisme tersebut tak bisa diatasi dan hasilnya Indonesia semakin rapuh dihantam gelombang.
Terakhir, tulisan Ms. Mandica memang tepat dalam menuliskan kesadaran-kesadaran yang diperlukan untuk membangun kastil yang indah. Memang Indonesia sekarang ini butuh pilar-pilar yang kuat dan kerangka bangunan yang kukuh untuk menuju ke era yang baru. Namun, jikalau fondasi kastil ini tak dalam, maka sekuat apapun pilar kita, kastil kita akan tetap rubuh jika melawan gelombang.
Tuesday, July 26, 2011
Berpolitik 'Different but the Same'
Tulisan ini dibuat khusus untuk sebuah mailing list Kristen, karena itu memang lebih terarah untuk menyadarkan orang-orang Kristen agar lebih mau berpolitik.
---
Berpolitik 'Different but the Same'
26 January 2001
Pagi ini saya membaca surat kabar New York Times dimana salah satu artikelnya berjudul: "Wariness and Optimism Vie as Gays View New President." Di sini diceritakan bagaimana pandangan kaum homosexual dari both republicans and democrats memandang Presiden Bush, yang republican lebih optimis dan yang democrats lebih pesimis. Tapi bukan ini yang ingin saya diskusikan di e-mail ini, walaupun topik yang ingin saya diskusikan sedikit banyak berkaitan dengan kaum homosex. Yang saya ingin diskusikan adalah politiknya.
Satu hal yang paling menarik dari gerakan kaum homosexual di Amerika adalah bagaimana mereka bisa memutarbalikkan fakta atau kalau bahasa post-modernism-nya adalah 'reinterpret' the fact untuk their own benefit. Apakah bedanya kaum homosex dan normal kalau kita bertemu mereka di jalan? Hampir tak ada. Sangat jauh lebih mudah membedakan orang Jawa dari orang Sunda, atau orang Madura dan Maluku, dsb. Namun, dengan proses gradual yang lambat tapi pasti, orang-orang ini bisa menanamkan 'value' di publik bahwa orang-orang homosex adalah 'different' dan 'minoritas' secara politik, dan 'sama' secara real.
Apa maksud 'different but the same'?
Different in this case adalah orang-orang ini membentuk satu koalisi/kelompok yang kuat sebagai satu 'voting block' yang perlu diperhatikan oleh kaum politikus. Apa yang membuat mereka berbeda? Hanya sexual orientationnya.
Tapi itu cukup buat mereka karena mereka bisa membuat sesuatu yang 'identify' themselves. Di sisi lain however, mereka melakukan Public Relation war bahwa mereka itu sama, sederajat, dsb dengan orang-orang lain. Caranya juga hebat: menempatkan mindset bahwa grup ini selalu dikejar-kejar, disiksa, dsb; sehingga orang-orang harus lebih toleran.
Faktanya dalam sejarah, jumlah kasus anti-semitism JAUH LEBIH BANYAK (mungkin bisa sampai jutaan kali lebih banyak) daripada kasus anti-homosexual.
Selama 2000 tahun sejarah dari jaman Yesus, kelompok ini justru tak tersentuh. Satu-satunya kasus anti-homosexual yang 'besar' adalah jaman Hitler dimana orang-orang itu dilempar ke kamp konsentrasi. Tapi historically, orang-orang sudah cukup toleran dengan grup ini; especially mengingat banyak penguasa-penguasa jaman dulu adalah bisexual. Namun, dengan membentuk value 'we different but the same' di pikiran massa, maka grup ini bisa meraih goal politik.
Bagaimana dengan orang-orang Kristen di US?
Kehebatan media liberal yang mendukung homosex itu adalah orang-orang Kristen menjadi kambing hitam dan mendapat cap (dan sayangnya terkadang benar) adalah orang-orang Kristen itu berbeda dan memang maunya berbeda dan intoleran yang disebabkan karena 'constant preaching', dsb.Bandingkan artikel-artikel di koran-koran liberal tentang homosexual dan Kristen. The former tiap kali isinya 'acceptance' dsb; sedangkan the latter isinya pasti 'condemn.' (e.g. "neighbors were wary as Christians moved in" (NYT)). Cukup membaca San Francisco Chronicle atau Salon.com untuk menaikkan 'tensi darah anda.' (Mengutip salah satu pengomentar).
Ini adalah permainan media yang menyedihkan sekaligus menyudutkan, tapi di pihak lain juga membuat kita harus berpikir tentang strategi kita berpolitik sebagai orang Kristen di Indonesia. Seorang penulis jaman lampau menyarankan agar kita mempelajari strategi musuh dan berusaha menerapkannya terutama yang positif. Saya rasa strategi kelompok ini bisa juga kita gunakan.
Namun ada beberapa hal yang perlu kita bina sebelum bisa melakukan strategi ini.
Satu: persatuan di kalangan orang Kristen. Dalam kelompok Kristen bisa saja ada yang Baptist, Reformed, dsb; namun semua harus bersatu sebagai satu voting bloc yang kuat.
Dua: Aktif politik: Orang-orang Kristen harus lebih berpengaruh mendekati wakil-wakil rakyat atau penguasa. Ingat: mereka yang membuat hukum-hukum yang bisa mempermudah atau mempersulit kita.
Tiga: Media: Orang-orang Kristen tak boleh hanya berpusat di media-media Kristen, tapi juga harus outreach ke media-media yang relatively anti Kristen. Kita harus menyumbangkan tulisan-tulisan yang netral, bermutu, dan tak menyudutkan.
Empat: Outreach ke masyarakat. Seperti kaum homosex di atas, kita harus berusaha mengubah pola pikir rakyat. Salah satunya dengan dapur umum, sumbangan, dsb dan make sure orang-orang tahu siapa yang menyumbang dan sumbangan ini masuk ke orang-orang yang memang membutuhkannya.
Lima: Outreach ke diri kita sendiri: sebelum mengeritik orang lain, kita harus sadar kekurangan/kelebihan kita.
Enam: Sadar lingkungan: kita harus mengerti bahwa banyak orang turned-off dari orang Kristen karena kita terlalu banyak menggurui. Pola ini perlu kita ubah. Actions speak louder than words.
Tulisan ini saya tutup dengan tulisan dari Voltaire:'what you said are really good, but let's tend our garden.'
---
Berpolitik 'Different but the Same'
26 January 2001
Pagi ini saya membaca surat kabar New York Times dimana salah satu artikelnya berjudul: "Wariness and Optimism Vie as Gays View New President." Di sini diceritakan bagaimana pandangan kaum homosexual dari both republicans and democrats memandang Presiden Bush, yang republican lebih optimis dan yang democrats lebih pesimis. Tapi bukan ini yang ingin saya diskusikan di e-mail ini, walaupun topik yang ingin saya diskusikan sedikit banyak berkaitan dengan kaum homosex. Yang saya ingin diskusikan adalah politiknya.
Satu hal yang paling menarik dari gerakan kaum homosexual di Amerika adalah bagaimana mereka bisa memutarbalikkan fakta atau kalau bahasa post-modernism-nya adalah 'reinterpret' the fact untuk their own benefit. Apakah bedanya kaum homosex dan normal kalau kita bertemu mereka di jalan? Hampir tak ada. Sangat jauh lebih mudah membedakan orang Jawa dari orang Sunda, atau orang Madura dan Maluku, dsb. Namun, dengan proses gradual yang lambat tapi pasti, orang-orang ini bisa menanamkan 'value' di publik bahwa orang-orang homosex adalah 'different' dan 'minoritas' secara politik, dan 'sama' secara real.
Apa maksud 'different but the same'?
Different in this case adalah orang-orang ini membentuk satu koalisi/kelompok yang kuat sebagai satu 'voting block' yang perlu diperhatikan oleh kaum politikus. Apa yang membuat mereka berbeda? Hanya sexual orientationnya.
Tapi itu cukup buat mereka karena mereka bisa membuat sesuatu yang 'identify' themselves. Di sisi lain however, mereka melakukan Public Relation war bahwa mereka itu sama, sederajat, dsb dengan orang-orang lain. Caranya juga hebat: menempatkan mindset bahwa grup ini selalu dikejar-kejar, disiksa, dsb; sehingga orang-orang harus lebih toleran.
Faktanya dalam sejarah, jumlah kasus anti-semitism JAUH LEBIH BANYAK (mungkin bisa sampai jutaan kali lebih banyak) daripada kasus anti-homosexual.
Selama 2000 tahun sejarah dari jaman Yesus, kelompok ini justru tak tersentuh. Satu-satunya kasus anti-homosexual yang 'besar' adalah jaman Hitler dimana orang-orang itu dilempar ke kamp konsentrasi. Tapi historically, orang-orang sudah cukup toleran dengan grup ini; especially mengingat banyak penguasa-penguasa jaman dulu adalah bisexual. Namun, dengan membentuk value 'we different but the same' di pikiran massa, maka grup ini bisa meraih goal politik.
Bagaimana dengan orang-orang Kristen di US?
Kehebatan media liberal yang mendukung homosex itu adalah orang-orang Kristen menjadi kambing hitam dan mendapat cap (dan sayangnya terkadang benar) adalah orang-orang Kristen itu berbeda dan memang maunya berbeda dan intoleran yang disebabkan karena 'constant preaching', dsb.Bandingkan artikel-artikel di koran-koran liberal tentang homosexual dan Kristen. The former tiap kali isinya 'acceptance' dsb; sedangkan the latter isinya pasti 'condemn.' (e.g. "neighbors were wary as Christians moved in" (NYT)). Cukup membaca San Francisco Chronicle atau Salon.com untuk menaikkan 'tensi darah anda.' (Mengutip salah satu pengomentar).
Ini adalah permainan media yang menyedihkan sekaligus menyudutkan, tapi di pihak lain juga membuat kita harus berpikir tentang strategi kita berpolitik sebagai orang Kristen di Indonesia. Seorang penulis jaman lampau menyarankan agar kita mempelajari strategi musuh dan berusaha menerapkannya terutama yang positif. Saya rasa strategi kelompok ini bisa juga kita gunakan.
Namun ada beberapa hal yang perlu kita bina sebelum bisa melakukan strategi ini.
Satu: persatuan di kalangan orang Kristen. Dalam kelompok Kristen bisa saja ada yang Baptist, Reformed, dsb; namun semua harus bersatu sebagai satu voting bloc yang kuat.
Dua: Aktif politik: Orang-orang Kristen harus lebih berpengaruh mendekati wakil-wakil rakyat atau penguasa. Ingat: mereka yang membuat hukum-hukum yang bisa mempermudah atau mempersulit kita.
Tiga: Media: Orang-orang Kristen tak boleh hanya berpusat di media-media Kristen, tapi juga harus outreach ke media-media yang relatively anti Kristen. Kita harus menyumbangkan tulisan-tulisan yang netral, bermutu, dan tak menyudutkan.
Empat: Outreach ke masyarakat. Seperti kaum homosex di atas, kita harus berusaha mengubah pola pikir rakyat. Salah satunya dengan dapur umum, sumbangan, dsb dan make sure orang-orang tahu siapa yang menyumbang dan sumbangan ini masuk ke orang-orang yang memang membutuhkannya.
Lima: Outreach ke diri kita sendiri: sebelum mengeritik orang lain, kita harus sadar kekurangan/kelebihan kita.
Enam: Sadar lingkungan: kita harus mengerti bahwa banyak orang turned-off dari orang Kristen karena kita terlalu banyak menggurui. Pola ini perlu kita ubah. Actions speak louder than words.
Tulisan ini saya tutup dengan tulisan dari Voltaire:'what you said are really good, but let's tend our garden.'
Anarchy Indonesia
Artikel yang rupanya masih relevan! Dulu kita ribut-ribut mau jatuhin Gus Dur. Sekarang ribut-ribut mau jatuhin SBY. Kenapa?
YS
-------------
Date: Thu, 05 Oct 2000 18:32:39 -0400
Subject: Anarchy Indonesia
Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah tragedi!
Mengapa sebuah tragedi? Bukankah kejatuhannya merupakan akhir dari pemerintahan otoriter yang berkuasa selama tiga puluh tahun-an?
Tragedi untuk Indonesia adalah Indonesia saat itu kehilangan pegangan setelah selama tiga puluh sembilan tahun dipaksa 'berpegangan' kepada sistem otoriter.
Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid sudah berumur hampir dua tahun, dan sementara ini rasa percaya masyarakat kepada pemerintah justru terlihat semakin berkurang. Apakah ini merupakan salah Gus Dur? Saya rasa mungkin Gus Dur sebagai manusia memiliki banyak kesalahan, namun saya terus terang sangsi bahwa hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan kesalahan Gus Dur.
Justru hilangnya kepercayaan rakyat merupakan suatu proses yang memang sejak dulu sudah terjadi, dan Gus Dur kalau saya gambarkan sebetulnya adalah 'flight instructor' yang mendadak mendapat posisi sebagai pilot Boeing 747 yang 'out of control,' habis bensin, dan sementara beberapa kilometer di depannya ada gunung dan dibawah tak ada apa-apa selain hutan rimba sehingga sulit sekali mendaratkan kapal. 'Mission Impossible'-nya Gus Dur adalah berusaha mendaratkan kapal tersebut sementara dibelakangnya para penumpang berusaha mendobrak pintu kokpit karena mereka merasa mereka adalah pilot yang lebih baik, walaupun mereka tak memiliki sertifikat, let alone ijin terbang.
Melihat gambaran di atas, saya sebetulnya argue bahwa Presiden Suharto-lah yang membawa kapal dalam posisi tersebut dengan KKN-nya dan karena ia tak melakukan perombakan politik/transisi selama ia masih berkuasa.
Akibatnya, pegangan yang rakyat Indonesia tahu sampai sekarang adalah pemerintahan yang otoriter, di mana rakyat tak bisa memilih yang terbaik, dan akhirnya kita mendirikan 'Republik Beo' karena rakyat hanya menuruti mereka yang di atas, mudah dihasut, dan tak bisa mengeritik pemerintah dengan baik. Rakyat akhirnya hanya mengetahui sistem kekerasan yang memang ditanamkan oleh rezim yang lama; karena rakyat belajar bahwa dengan power kamu bisa mendapatkan segalanya. Akhirnya, rakyat Indonesia merupakan cermin dari pemerintahan yang lama yang otoriter, dan inilah yang diinginkan penguasa lama: rakyat yang memang membeo dan bergantung kepada dia yang di atas. Begitu pemerintah lama jatuh, rakyat tak lagi punya jaminan dan pegangan, dan timbul kerusuhan sosial.
Di jaman Suharto, walau aparat bertindak sewenang-wenang, tapi at least masih ada sedikit jaminan hukum, akibat rezim otoriter yang memang memberikan rasa aman kepada mereka yang tak menentangnya (atau tepatnya rasa takut kepada rakyat). Namun, di era 'reformasi,' aparat tak lagi memiliki 'aura of invicibility' seperti di masa lalu, sehingga rakyat tak lagi memiliki rasa takut (let alone rasa percaya) kepada aparat negara. Hasilnya adalah Indonesia kehilangan jaminan keamanan atau bisa dikatakan sebagai anarki/anarchy. Dapat dikatakan bahwa ini sebetulnya akar masalah pertikaian SARA di Indonesia.
Apakah anarchy itu? Anarchy adalah kurangnya keteraturan dalam masyarakat, dimana secara intinya tak ada satu unit yang bisa menjadi tempat bertumpu dalam masalah keamanan dan ketertiban. Pada jaman Suharto, tempat bertumpu masyarakat adalah rezimnya dan juga kredibilitas yang dimiliki sang mantan presiden.
Mengapa pada jaman Suharto sedikit sekali terjadi konflik SARA? Hal ini bukan hanya karena kediktatoran Suharto menekan rasa benci antar suku, bukan juga karena perusuh takut atas kekuatan TNI. Namun di masa Suharto, kelompok-kelompok yang bertikai memiliki 'arbiter' yakni pemerintah Suharto, sehingga walaupun sering kali keputusan sang arbiter kontroversial, tapi setiap itikad kelompok mendapatkan kredibilitas karena 'digaransi' pemerintah. (Ditambah lagi rekonsiliasi paksaan).
Kejatuhan Suharto merusak sistem 'arbiter' dari pemerintahan Suharto. Keadaan anarkis di Indonesia menyebabkan rasa 'uncertainty' diantara rakyatnya, sehingga tak ada yang bisa memberikan komitmen yang kredible karena tak adanya lagi 'guarantator' yakni pemerintah.
Hobbes menyatakan 'homo homini lupus,' manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan karena itu orang-orang untuk mencari keamanan dan keselamatan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintah, dan pemerintah wajib melindungi rakyatnya. Jadi menurut definisi ini, kewajiban utama pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Karena itu rakyatpun dengan senang hati akan menyerahkan haknya di segi hukum dan pajak untuk negara. Namun faktanya adalah Indonesia tak sanggup memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya.
Dengan mengikuti definisi di atas, maka sebetulnya dapat dikatakan walaupun Indonesia sebetulnya memiliki negara (walau skeptik akan menyatakan ini pemerintahan buta-bisu-tuli), tapi secara realitas Indonesia sendiri sebetulnya tak memiliki pemerintah, karena pemerintahnya tak bisa memenuhi kewajibannya yakni memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya.
Fakta lapangannya sendiri adalah kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah sedemikian parahnya, terutama dalam masalah keamanan-ketertiban atau bahasa 'beken'-nya ORDER. Tak adanya rasa percaya rakyat kepada jaminan kepercayaan kepada pemerintah menyebabkan terjadinya kebiasaan main hakim sendiri. Memang kebiasaan main hakim sendiri sudah merupakan tradisi bahkan sejak jaman Orde Lama, tapi tak pernah kegiatan ini seekstrim saat ini, dimana seseorang dapat dibakar di depan massa di tengah ibukota (Jakarta, obviously) hanya karena DITUDUH mencuri.
Belum lagi keributan bersifat SARA di daerah-daerah, yang sebetulnya sebagian berasal dari masalah yang 'relatif' sepele. Contohnya, pemicu kerusuhan di Maluku adalah seseorang yang ribut dengan supir bis, suatu hal yang sebetulnya bisa diselesaikan dalam waktu semalam, kalau saja kedua pihak bisa menahan diri dan percaya kepada pihak yang lain. Namun, seperti yang saya ungkapkan di atas, kehilangan jaminan 'arbiter' menyebabkan rasa percaya antar golongan hilang, belum lagi karena dampak kerusuhan Mei.
Saya terus terang merasa bahwa Peristiwa Mei 1998 yang penyelesaiannya sampai sekarang tak ada dari segi hukum merupakan bukti bagi golongan lain bahwa pemerintah sebetulnya berpihak dan tak melindungi SELURUH rakyatnya. Sebetulnya biarlah korban kerusuhan Mei tak mendapat keadilan, anggaplah mereka sebagai martir, namun pemerintah WAJIB menjadikan peristiwa Mei sebagai pelajaran bahwa satu kesalahan bisa berakibat hancurnya kestabilan sosial di Indonesia sehingga tak heran bahwa rakyat lebih merasa tertarik untuk main hakim sendiri daripada bergantung kepada pemerintah yang tak jelas posisinya.
Confucius menyatakan bahwa jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah hilang, maka hancurlah pemerintah itu. Saat ini saya rasa rakyat masih memiliki SEDIKIT rasa percaya kepada pemerintah. Namun kaum politis sekarang perlu sadar bahwa rasa percaya rakyat sudah hampir hilang.
Konflik antara legislatif-eksekutif-yudikatif yang terjadi di Indonesia saat ini juga bukanlah membantu rakyat, malahan konflik ini membuat rakyat lebih kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Dampaknya adalah rakyat menginginkan kestabilan lama, order yang lama yang telah dijatuhkan pada tahun 1998 karena mereka sudah bosan atas keributan dan sengketa ini. Akhirnya saya berani meramalkan bahwa Indonesia akan jatuh di rejim otoriter kedua. Di saat itu, tak akan ada yang menyesali kehancuran demokrasi di Indonesia.
Sebuah ramalan Jayabaya yang terkenal adalah tentang 'NoTo NoGoRo.' Mungkinkah semuanya adalah nama para pemerintah otoriter di Indonesia, sebelum datangnya Ratu Adil?
YS
YS
-------------
Date: Thu, 05 Oct 2000 18:32:39 -0400
Subject: Anarchy Indonesia
Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah tragedi!
Mengapa sebuah tragedi? Bukankah kejatuhannya merupakan akhir dari pemerintahan otoriter yang berkuasa selama tiga puluh tahun-an?
Tragedi untuk Indonesia adalah Indonesia saat itu kehilangan pegangan setelah selama tiga puluh sembilan tahun dipaksa 'berpegangan' kepada sistem otoriter.
Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid sudah berumur hampir dua tahun, dan sementara ini rasa percaya masyarakat kepada pemerintah justru terlihat semakin berkurang. Apakah ini merupakan salah Gus Dur? Saya rasa mungkin Gus Dur sebagai manusia memiliki banyak kesalahan, namun saya terus terang sangsi bahwa hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan kesalahan Gus Dur.
Justru hilangnya kepercayaan rakyat merupakan suatu proses yang memang sejak dulu sudah terjadi, dan Gus Dur kalau saya gambarkan sebetulnya adalah 'flight instructor' yang mendadak mendapat posisi sebagai pilot Boeing 747 yang 'out of control,' habis bensin, dan sementara beberapa kilometer di depannya ada gunung dan dibawah tak ada apa-apa selain hutan rimba sehingga sulit sekali mendaratkan kapal. 'Mission Impossible'-nya Gus Dur adalah berusaha mendaratkan kapal tersebut sementara dibelakangnya para penumpang berusaha mendobrak pintu kokpit karena mereka merasa mereka adalah pilot yang lebih baik, walaupun mereka tak memiliki sertifikat, let alone ijin terbang.
Melihat gambaran di atas, saya sebetulnya argue bahwa Presiden Suharto-lah yang membawa kapal dalam posisi tersebut dengan KKN-nya dan karena ia tak melakukan perombakan politik/transisi selama ia masih berkuasa.
Akibatnya, pegangan yang rakyat Indonesia tahu sampai sekarang adalah pemerintahan yang otoriter, di mana rakyat tak bisa memilih yang terbaik, dan akhirnya kita mendirikan 'Republik Beo' karena rakyat hanya menuruti mereka yang di atas, mudah dihasut, dan tak bisa mengeritik pemerintah dengan baik. Rakyat akhirnya hanya mengetahui sistem kekerasan yang memang ditanamkan oleh rezim yang lama; karena rakyat belajar bahwa dengan power kamu bisa mendapatkan segalanya. Akhirnya, rakyat Indonesia merupakan cermin dari pemerintahan yang lama yang otoriter, dan inilah yang diinginkan penguasa lama: rakyat yang memang membeo dan bergantung kepada dia yang di atas. Begitu pemerintah lama jatuh, rakyat tak lagi punya jaminan dan pegangan, dan timbul kerusuhan sosial.
Di jaman Suharto, walau aparat bertindak sewenang-wenang, tapi at least masih ada sedikit jaminan hukum, akibat rezim otoriter yang memang memberikan rasa aman kepada mereka yang tak menentangnya (atau tepatnya rasa takut kepada rakyat). Namun, di era 'reformasi,' aparat tak lagi memiliki 'aura of invicibility' seperti di masa lalu, sehingga rakyat tak lagi memiliki rasa takut (let alone rasa percaya) kepada aparat negara. Hasilnya adalah Indonesia kehilangan jaminan keamanan atau bisa dikatakan sebagai anarki/anarchy. Dapat dikatakan bahwa ini sebetulnya akar masalah pertikaian SARA di Indonesia.
Apakah anarchy itu? Anarchy adalah kurangnya keteraturan dalam masyarakat, dimana secara intinya tak ada satu unit yang bisa menjadi tempat bertumpu dalam masalah keamanan dan ketertiban. Pada jaman Suharto, tempat bertumpu masyarakat adalah rezimnya dan juga kredibilitas yang dimiliki sang mantan presiden.
Mengapa pada jaman Suharto sedikit sekali terjadi konflik SARA? Hal ini bukan hanya karena kediktatoran Suharto menekan rasa benci antar suku, bukan juga karena perusuh takut atas kekuatan TNI. Namun di masa Suharto, kelompok-kelompok yang bertikai memiliki 'arbiter' yakni pemerintah Suharto, sehingga walaupun sering kali keputusan sang arbiter kontroversial, tapi setiap itikad kelompok mendapatkan kredibilitas karena 'digaransi' pemerintah. (Ditambah lagi rekonsiliasi paksaan).
Kejatuhan Suharto merusak sistem 'arbiter' dari pemerintahan Suharto. Keadaan anarkis di Indonesia menyebabkan rasa 'uncertainty' diantara rakyatnya, sehingga tak ada yang bisa memberikan komitmen yang kredible karena tak adanya lagi 'guarantator' yakni pemerintah.
Hobbes menyatakan 'homo homini lupus,' manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan karena itu orang-orang untuk mencari keamanan dan keselamatan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintah, dan pemerintah wajib melindungi rakyatnya. Jadi menurut definisi ini, kewajiban utama pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Karena itu rakyatpun dengan senang hati akan menyerahkan haknya di segi hukum dan pajak untuk negara. Namun faktanya adalah Indonesia tak sanggup memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya.
Dengan mengikuti definisi di atas, maka sebetulnya dapat dikatakan walaupun Indonesia sebetulnya memiliki negara (walau skeptik akan menyatakan ini pemerintahan buta-bisu-tuli), tapi secara realitas Indonesia sendiri sebetulnya tak memiliki pemerintah, karena pemerintahnya tak bisa memenuhi kewajibannya yakni memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya.
Fakta lapangannya sendiri adalah kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah sedemikian parahnya, terutama dalam masalah keamanan-ketertiban atau bahasa 'beken'-nya ORDER. Tak adanya rasa percaya rakyat kepada jaminan kepercayaan kepada pemerintah menyebabkan terjadinya kebiasaan main hakim sendiri. Memang kebiasaan main hakim sendiri sudah merupakan tradisi bahkan sejak jaman Orde Lama, tapi tak pernah kegiatan ini seekstrim saat ini, dimana seseorang dapat dibakar di depan massa di tengah ibukota (Jakarta, obviously) hanya karena DITUDUH mencuri.
Belum lagi keributan bersifat SARA di daerah-daerah, yang sebetulnya sebagian berasal dari masalah yang 'relatif' sepele. Contohnya, pemicu kerusuhan di Maluku adalah seseorang yang ribut dengan supir bis, suatu hal yang sebetulnya bisa diselesaikan dalam waktu semalam, kalau saja kedua pihak bisa menahan diri dan percaya kepada pihak yang lain. Namun, seperti yang saya ungkapkan di atas, kehilangan jaminan 'arbiter' menyebabkan rasa percaya antar golongan hilang, belum lagi karena dampak kerusuhan Mei.
Saya terus terang merasa bahwa Peristiwa Mei 1998 yang penyelesaiannya sampai sekarang tak ada dari segi hukum merupakan bukti bagi golongan lain bahwa pemerintah sebetulnya berpihak dan tak melindungi SELURUH rakyatnya. Sebetulnya biarlah korban kerusuhan Mei tak mendapat keadilan, anggaplah mereka sebagai martir, namun pemerintah WAJIB menjadikan peristiwa Mei sebagai pelajaran bahwa satu kesalahan bisa berakibat hancurnya kestabilan sosial di Indonesia sehingga tak heran bahwa rakyat lebih merasa tertarik untuk main hakim sendiri daripada bergantung kepada pemerintah yang tak jelas posisinya.
Confucius menyatakan bahwa jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah hilang, maka hancurlah pemerintah itu. Saat ini saya rasa rakyat masih memiliki SEDIKIT rasa percaya kepada pemerintah. Namun kaum politis sekarang perlu sadar bahwa rasa percaya rakyat sudah hampir hilang.
Konflik antara legislatif-eksekutif-yudikatif yang terjadi di Indonesia saat ini juga bukanlah membantu rakyat, malahan konflik ini membuat rakyat lebih kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Dampaknya adalah rakyat menginginkan kestabilan lama, order yang lama yang telah dijatuhkan pada tahun 1998 karena mereka sudah bosan atas keributan dan sengketa ini. Akhirnya saya berani meramalkan bahwa Indonesia akan jatuh di rejim otoriter kedua. Di saat itu, tak akan ada yang menyesali kehancuran demokrasi di Indonesia.
Sebuah ramalan Jayabaya yang terkenal adalah tentang 'NoTo NoGoRo.' Mungkinkah semuanya adalah nama para pemerintah otoriter di Indonesia, sebelum datangnya Ratu Adil?
YS
Monday, July 25, 2011
Perpecahan dalam PDI-P
Artikel ini ditulis menjelang jatuhnya Gus Dur. Menarik, amalisa tentang PDI-P ini bisa diterapkan pada Partai Demokrat saat ini, dan ini juga salah satu "ramalan" saya yang banyak terbukti dengan kalahnya PDI-P di tahun 2004, walau naiknya SBY sama sekali tak diperhitungkan.
YS
---------
Perpecahan dalam PDI-P
Date: Thu Apr 20 2000 - 12:54:22 CDT
Beberapa minggu belakangan ini, Indonesia dibanjiri berita tentang kemungkinan diturunkannya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Artikel hari Minggu tanggal 16 April dari detik.com mengimplisitkan bahwa Amien Rais sendiri kelihatannya 'bernapsu' untuk mengganyang Gus Dur di sidang umum MPR pada pertengahan tahun ini.
Dari kancah keributan politik di Indonesia, ada satu pihak yang anehnya absen: yakni PDI-P. PDI-P harusnya sangat waspada dengan pertentangan politik akhir-akhir ini karena ini menyangkut posisi dia sendiri sebagai partai dan juga posisi Megawati sebagai wakil presiden.
Walau ini bukan kali pertama rumor tentang akan diturunkannya Gus Dur beredar, namun perkembangan situasi akhir-akhir ini merupakan tanda-tanda yang cukup serius. Lebih menarik lagi melihat perkembangan situasi di mana ada kemungkinan Megawati sendiri bisa keluar dari keributan ini dengan posisi yang lebih kuat. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kita harus melihat dari faktor-faktor internal partai PDI-P dan kemudian menganalisa faktor-faktor external yang sangat berpengaruh.
------
PDI-P yang 'memenangkan' pemilu terakhir dengan pendapatan 34% mengalami pukulan-pukulan telak belakangan ini. Calon-calon walikota yang didukung partai ini kalah di banyak pemilihan umum.
Ironisnya, penyebab kekalahan-kekalahan ini adalah caleg-caleg PDI-P sendiri yang diwarnai KKN, sebuah cacat yang menimpa partai yang seharusnya 'bersih' dan anti Orde Baru. Akhir-akhir ini juga sudah cukup banyak rumor yang beredar yang meramalkan bahwa Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi akan ditendang dan Megawati sendiri bisa kehilangan posisi sebagai wakil presiden.
Jatuhnya bintang PDI-P selama beberapa bulan terakhir ini sebetulnya tak terlalu mengejutkan. Walau PDI-P keluar dari pemilu dengan kursi terbanyak, tapi infrastruktur partainya justru tak mendukung.
Selama jaman Orde Baru, PDI sudah dilanda keributan, perpecahan, dan efek sebagai partai terkecil sehingga tak memiliki infrastruktur memadai sebagai partai. Otomatis begitu PDI-P mendapat suara terbanyak, partai ini kelabakan mencari anggota yang bermutu untuk mengisi kursinya di DPR ataupun DPRD. Tak heran kalau banyak yang berkomentar bahwa PDI-P itu partai yang jago gelut tapi kalau sudah menang tak tahu apa yang harus ia lakukan. Untuk itu, prioritas terbesar bagi PDI-P adalah untuk mempertinggi profesionalitas partainya dan berusaha memanfaatkan posisi in powernya sekarang untuk lebih membina infrastruktur partainya.
Di lain pihak, PDI-P sendiri dirumorkan mengalami perpecahan. Harian SIAR (http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp) menuliskan bahwa di dalam kubu PDI-P terjadi pertentangan antara kaum moderat di bawah Kwik Kian Gie dan Laksamana melawan kubu konservatif dibawah Taufik Keimas. Kubu moderat PDI-P memang selama beberapa bulan mendatang mengalami banyak pukulan akibat rumor-rumor tentang kemungkinan akan dipecatnya Kwik dan Laksamana karena dianggap tak becus menjalankan tugas sebagai menteri. Selain itu juga, ketidakmampuan PDI-P untuk membuat pemilu dalam partainya sendiri lebih demokratis justru merupakan tanda mulai kuatnya konservatisme dalam PDI-P sendiri.
Namun apakah Gus Dur akan 'membantu' kaum konservatif dalam PDI-P dengan memecat Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi? Saya rasa Gus Dur tak akan memecat Kwik dan Laksamana. Ada kemungkinan kabinet akan direshuffle, tapi saya ragu kalau kedua orang tersebut akan benar-benar diturunkan dari kabinet.
Beberapa faktor yang saya anggap membuat Gus Dur berpikir dua kali sebelum memecat Kwik dan Laksamana:
1. Kwik Kian Gie adalah etnis Chinese. Etnis Chinese sampai sekarang masih merasa trauma atas kejadian Mei. Dipecatnya Kwik akan membuat panik banyak pengusaha, dan mereka akan memindahkan kembali aset mereka ke luar negeri.
2. Dengan memecat kedua orang itu, Gus Dur akan memperkuat kubu konservatif dalam partai PDI-P yang akhirnya akan membuat partai PDI-P lebih bergerak ke arah so-called 'Poros Tengah' dan ke arah partai-partai Islam seperti Partai Bulan Bintang atau PPP dan bahkan ada kemungkinan aliansi penuh dengan PAN.
Jikalau kubu moderat PDI-P jatuh, anggota Poros Tengah akan bertambah kuat, dan kemungkinan besar terjadi aliansi antara PAN dan PDI-P yang bisa menggolkan Amien Rais sebagai presiden berikut. Untuk Megawati sendiri, aliansi Taufik Keimas (suami Megawati, kubu konservatif) dengan Amien Rais akan berdampak positif sehingga Megawati bisa tetap mempertahankan posisinya atau bahkan dia bisa menjadi presiden.
Dengan bergabungnya PDI-P dan PAN serta partai-partai lain, Amien Rais akan memiliki cukup kekuatan untuk mengubah Sidang Umum MPR pertengahan tahun ini menjadi Sidang Istimewa dan berarti kejatuhan kepresidenan Gus Dur. Saya rasa faktor-faktor ini tak akan luput dari pengamatan Gus Dur.
Namun apakah semudah itu menjatuhkan Gus Dur? Gus Dur adalah faktor yang paling sulit dianalisa mengingat faktor-faktor kejutannya yang cukup memukau. Contohnya saja, banyak analisa meramalkan bahwa Wiranto tak mungkin dipecat,ternyata Gus Dur berhasil out-manuever sang Jendral. Namun persatuan Poros Tengah sekarang ini cukup membahayakan posisi Gus Dur. Jika PDI-P masuk pentas, kemungkinan besar yang terjadi adalah kejatuhan kepresidenan Gus Dur.
Pertanyaannya: siapakah yang paling akan beruntung dari keributan politik ini? Saya bertaruh pihak yang paling diuntungkan dengan perkembangan situasi ini adalah Megawati yang selalu diam. Dengan tidak mengambil posisi kepada pihak manapun, Megawati akan beruntung dengan jatuhnya Gus Dur. Namun tetap ada kemungkinan bahwa Gus Dur kembali memainkan kartunya dan membalikkan meja, seperti yang telah dilakukannya kepada Wiranto. Jikalau hal ini yang terjadi, Megawati kembali beruntung. Posisinya sebagai Wakil Presiden lebih kurang tak akan terganggu gugat. Keuntungan terbesar baginya adalah hilangnya faktor Amien Rais sebagai pengganggu.
Namun ada faktor tambahan yang harus membuat partai PDI-P lebih berhati-hati. Dengan ditendangnya kaum moderat dari PDI-P dan berkuasanya 'kediktatoran Mega' dalam partai PDI-P, apakah di Pemilu mendatang PDI-P bisa mempertahankan perolehan suaranya yang berkisar 34%? Hal ini sulit untuk ditebak mengingat jarak antara tulisan ini dengan pemilu mendatang dan juga mengingat nama Sukarno yang masih berkharismatik apalagi untuk masyarakat Jawa. Namun kembali ke dilema terbesar: seberapa kuatkah nama Sukarno bisa mempertahankan posisi Megawati? Jika kaum moderat tertendang dari partai dan PDI-P tak bisa bersikap lebih profesional, saya agak skeptik kalau nama 'Sukarno' masih bisa dimanfaatkan untuk memperoleh suara 34%. Ditambah lagi, rakyat Indonesia sudah mulai muak atas permainan power politics. Untuk itu Megawati dan PDI-P pada umumnya perlu memikirkan kembali visi dan tujuan partai dan berusaha mengambil keputusan terbaik dalam keributan politik belakangan ini.
Penutup
Seperti layaknya semua tulisan, saya tak ragu kalau tulisan ini juga memiliki banyak kelemahan. Karena itu sumbang saran dan kritik akan saya terima dengan senang hati. Selain itu, saya juga ingin menghimbau para pembaca jika berminat, untuk menganalisa partai-partai lain di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran berpolitik di Indonesia.
Salam,
YS
YS
---------
Perpecahan dalam PDI-P
Date: Thu Apr 20 2000 - 12:54:22 CDT
Beberapa minggu belakangan ini, Indonesia dibanjiri berita tentang kemungkinan diturunkannya Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Artikel hari Minggu tanggal 16 April dari detik.com mengimplisitkan bahwa Amien Rais sendiri kelihatannya 'bernapsu' untuk mengganyang Gus Dur di sidang umum MPR pada pertengahan tahun ini.
Dari kancah keributan politik di Indonesia, ada satu pihak yang anehnya absen: yakni PDI-P. PDI-P harusnya sangat waspada dengan pertentangan politik akhir-akhir ini karena ini menyangkut posisi dia sendiri sebagai partai dan juga posisi Megawati sebagai wakil presiden.
Walau ini bukan kali pertama rumor tentang akan diturunkannya Gus Dur beredar, namun perkembangan situasi akhir-akhir ini merupakan tanda-tanda yang cukup serius. Lebih menarik lagi melihat perkembangan situasi di mana ada kemungkinan Megawati sendiri bisa keluar dari keributan ini dengan posisi yang lebih kuat. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kita harus melihat dari faktor-faktor internal partai PDI-P dan kemudian menganalisa faktor-faktor external yang sangat berpengaruh.
------
PDI-P yang 'memenangkan' pemilu terakhir dengan pendapatan 34% mengalami pukulan-pukulan telak belakangan ini. Calon-calon walikota yang didukung partai ini kalah di banyak pemilihan umum.
Ironisnya, penyebab kekalahan-kekalahan ini adalah caleg-caleg PDI-P sendiri yang diwarnai KKN, sebuah cacat yang menimpa partai yang seharusnya 'bersih' dan anti Orde Baru. Akhir-akhir ini juga sudah cukup banyak rumor yang beredar yang meramalkan bahwa Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi akan ditendang dan Megawati sendiri bisa kehilangan posisi sebagai wakil presiden.
Jatuhnya bintang PDI-P selama beberapa bulan terakhir ini sebetulnya tak terlalu mengejutkan. Walau PDI-P keluar dari pemilu dengan kursi terbanyak, tapi infrastruktur partainya justru tak mendukung.
Selama jaman Orde Baru, PDI sudah dilanda keributan, perpecahan, dan efek sebagai partai terkecil sehingga tak memiliki infrastruktur memadai sebagai partai. Otomatis begitu PDI-P mendapat suara terbanyak, partai ini kelabakan mencari anggota yang bermutu untuk mengisi kursinya di DPR ataupun DPRD. Tak heran kalau banyak yang berkomentar bahwa PDI-P itu partai yang jago gelut tapi kalau sudah menang tak tahu apa yang harus ia lakukan. Untuk itu, prioritas terbesar bagi PDI-P adalah untuk mempertinggi profesionalitas partainya dan berusaha memanfaatkan posisi in powernya sekarang untuk lebih membina infrastruktur partainya.
Di lain pihak, PDI-P sendiri dirumorkan mengalami perpecahan. Harian SIAR (http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp) menuliskan bahwa di dalam kubu PDI-P terjadi pertentangan antara kaum moderat di bawah Kwik Kian Gie dan Laksamana melawan kubu konservatif dibawah Taufik Keimas. Kubu moderat PDI-P memang selama beberapa bulan mendatang mengalami banyak pukulan akibat rumor-rumor tentang kemungkinan akan dipecatnya Kwik dan Laksamana karena dianggap tak becus menjalankan tugas sebagai menteri. Selain itu juga, ketidakmampuan PDI-P untuk membuat pemilu dalam partainya sendiri lebih demokratis justru merupakan tanda mulai kuatnya konservatisme dalam PDI-P sendiri.
Namun apakah Gus Dur akan 'membantu' kaum konservatif dalam PDI-P dengan memecat Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi? Saya rasa Gus Dur tak akan memecat Kwik dan Laksamana. Ada kemungkinan kabinet akan direshuffle, tapi saya ragu kalau kedua orang tersebut akan benar-benar diturunkan dari kabinet.
Beberapa faktor yang saya anggap membuat Gus Dur berpikir dua kali sebelum memecat Kwik dan Laksamana:
1. Kwik Kian Gie adalah etnis Chinese. Etnis Chinese sampai sekarang masih merasa trauma atas kejadian Mei. Dipecatnya Kwik akan membuat panik banyak pengusaha, dan mereka akan memindahkan kembali aset mereka ke luar negeri.
2. Dengan memecat kedua orang itu, Gus Dur akan memperkuat kubu konservatif dalam partai PDI-P yang akhirnya akan membuat partai PDI-P lebih bergerak ke arah so-called 'Poros Tengah' dan ke arah partai-partai Islam seperti Partai Bulan Bintang atau PPP dan bahkan ada kemungkinan aliansi penuh dengan PAN.
Jikalau kubu moderat PDI-P jatuh, anggota Poros Tengah akan bertambah kuat, dan kemungkinan besar terjadi aliansi antara PAN dan PDI-P yang bisa menggolkan Amien Rais sebagai presiden berikut. Untuk Megawati sendiri, aliansi Taufik Keimas (suami Megawati, kubu konservatif) dengan Amien Rais akan berdampak positif sehingga Megawati bisa tetap mempertahankan posisinya atau bahkan dia bisa menjadi presiden.
Dengan bergabungnya PDI-P dan PAN serta partai-partai lain, Amien Rais akan memiliki cukup kekuatan untuk mengubah Sidang Umum MPR pertengahan tahun ini menjadi Sidang Istimewa dan berarti kejatuhan kepresidenan Gus Dur. Saya rasa faktor-faktor ini tak akan luput dari pengamatan Gus Dur.
Namun apakah semudah itu menjatuhkan Gus Dur? Gus Dur adalah faktor yang paling sulit dianalisa mengingat faktor-faktor kejutannya yang cukup memukau. Contohnya saja, banyak analisa meramalkan bahwa Wiranto tak mungkin dipecat,ternyata Gus Dur berhasil out-manuever sang Jendral. Namun persatuan Poros Tengah sekarang ini cukup membahayakan posisi Gus Dur. Jika PDI-P masuk pentas, kemungkinan besar yang terjadi adalah kejatuhan kepresidenan Gus Dur.
Pertanyaannya: siapakah yang paling akan beruntung dari keributan politik ini? Saya bertaruh pihak yang paling diuntungkan dengan perkembangan situasi ini adalah Megawati yang selalu diam. Dengan tidak mengambil posisi kepada pihak manapun, Megawati akan beruntung dengan jatuhnya Gus Dur. Namun tetap ada kemungkinan bahwa Gus Dur kembali memainkan kartunya dan membalikkan meja, seperti yang telah dilakukannya kepada Wiranto. Jikalau hal ini yang terjadi, Megawati kembali beruntung. Posisinya sebagai Wakil Presiden lebih kurang tak akan terganggu gugat. Keuntungan terbesar baginya adalah hilangnya faktor Amien Rais sebagai pengganggu.
Namun ada faktor tambahan yang harus membuat partai PDI-P lebih berhati-hati. Dengan ditendangnya kaum moderat dari PDI-P dan berkuasanya 'kediktatoran Mega' dalam partai PDI-P, apakah di Pemilu mendatang PDI-P bisa mempertahankan perolehan suaranya yang berkisar 34%? Hal ini sulit untuk ditebak mengingat jarak antara tulisan ini dengan pemilu mendatang dan juga mengingat nama Sukarno yang masih berkharismatik apalagi untuk masyarakat Jawa. Namun kembali ke dilema terbesar: seberapa kuatkah nama Sukarno bisa mempertahankan posisi Megawati? Jika kaum moderat tertendang dari partai dan PDI-P tak bisa bersikap lebih profesional, saya agak skeptik kalau nama 'Sukarno' masih bisa dimanfaatkan untuk memperoleh suara 34%. Ditambah lagi, rakyat Indonesia sudah mulai muak atas permainan power politics. Untuk itu Megawati dan PDI-P pada umumnya perlu memikirkan kembali visi dan tujuan partai dan berusaha mengambil keputusan terbaik dalam keributan politik belakangan ini.
Penutup
Seperti layaknya semua tulisan, saya tak ragu kalau tulisan ini juga memiliki banyak kelemahan. Karena itu sumbang saran dan kritik akan saya terima dengan senang hati. Selain itu, saya juga ingin menghimbau para pembaca jika berminat, untuk menganalisa partai-partai lain di Indonesia. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk kesadaran berpolitik di Indonesia.
Salam,
YS
Saturday, July 23, 2011
Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P
Menarik membaca ulang analisa tua ini. Pertama-tama, ini mungkin analisa yang saya bisa bilang paling akurat dan paling banyak "terbukti" karena waktu itu informasi yang saya dapatkan sangat banyak, baik dari para aktivis PDI-P di Amerika, maupun percapakan dengan politisi-politisi Indonesia yang waktu itu berkunjung ke Amerika untuk berkampanye.
Yang menyedihkan adalah sampai sekarang kelihatannya PDI-P pun masih tetap memiliki kesalahan yang sama, yakni terlalu mengandalkan Megawati dan terlalu percaya diri. Apakah itu kenaifan atau wishful thinking, kita tak tahu. Tapi yang pasti, ini berlaku juga kepada semua partai politik di Indonesia, bahwa partai yang dibangun berdasarkan karisma satu tokoh tak akan bisa bertahan lama dalam kemenangannya.
YS
-----------
Date: Sat, 09 Oct 1999
Subject: Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P
Roma, Ides of March, 44 BC....
Para penggemar sejarah akan tahu hari itu: yakni hari di mana Julius Caesar dibunuh oleh senat Roma.
Jikalau Julius Caesar seorang jendral gagal atau memalukan nama Roma, mungkin tak akan ada yang peduli. Namun Julius Caesar merupakan salah satu jendral terbesar Roma yang berhasil memperluas kekuasaan Republik Romawi dan menghancurkan semua pemberontakan. Ditambah lagi, Caesar banyak dianugrahi penghargaan oleh senat sendiri.
Mengapa seorang jendral sukses yang menyebarkan kekuasaan Roma mendapat nasib sedemikian naas?
Salah satu jawabannya: musuh-musuhnya merasa sangat terancam kekuasaan mereka sehingga senat Roma yang biasanya terpecah memutuskan untuk mempersatukan diri dan melawan Caesar. Kemenangan Julius Caesar yang berturut-turut, kehancuran Trium Trivate, serta popularitas Caesar yang terlalu tinggi ditambah lagi Senat sendiri pada masa itu mulai tak populer karena korupsi dan kekalahan perang yang bertubi-tubi. Dengan kekuatiran tambahan bahwa ada kemungkinan Julius Caesar akan mengumumkan dirinya sebagai diktator (kekuatiran yang bukan tanpa alasan), maka Senat mengambil langkah untuk menghabisi Caesar sebelum dia menjadikan dirinya sebagai diktator.
Singkatnya, Julius Caesar secara tak langsung menimbun kekuasaan dengan kemenangan-kemenangan perangnya. Senat kuatir, dan akhirnya semua faksi memutuskan untuk bersatu menghabisi pengancamnya.
Fenomena perebutan kekuasaan ini kembali terulang di Indonesia....
Cerita di atas mungkin dianggap pembaca bahwa tak ada relevansinya dengan Indonesia. Perbedaannya terus terang sangat banyak; dari perbedaan tahun (2000 tahun-an), situasi, kondisi, dan juga tokoh. Tapi saya melihat ada satu thema yang terus terulang-ulang dalam sejarah, yakni di mana pun juga, keinginan terbesar manusia adalah memperbesar power dan security dia. Karena itulah terjadi penimbunan harta kekayaan dan kekuasaan. Namun jika satu faksi terlalu kuat, maka faksi lain memiliki 2 pilihan: bergabung dengan faksi kuat itu untuk bisa berbagi kekuasaan, dengan resiko kalau semua faksi lain sudah hancur, faksi besar itu akan memakan faksi kecil itu; atau bergabung dengan faksi-faksi lain untuk menentang faksi besar itu. Tapi pergumulan kekuasaan seperti ini, tak ada yang berhak menyatakan bahwa dia yang benar atau pihak lain yang salah. Itulah peraturannya, kalau ilmiahnya itu 'survival of the fittest.' Itulah kenyataan dunia yang ada sekarang, dan kalau saya lihat sampai sekarang, PDI-P tidak belajar dari sejarah ini.
PDI-P: Bukan pemenang pemilu
Berlawanan dengan yang biasa dinyatakan oleh PDI-P, pemilu kemarin dimana PDI-P mendapatkan suara dibawah 40%, sebetulnya lebih mencerminkan kekalahan untuk PDI-P. Kenapa saya anggap PDI-P kalah? Karena walaupun PDI-P tidak mendapat suara mayoritas diatas 50%, tapi PDI-P sudah bersikap seperti pemenang besar pemilu.
Kesalahan-kesalahan PDI-P cukup banyak namun yang terbesar adalah PDI-P terlalu menganggap bahwa perolehan tertinggi dalam pemilu kemarin merupakan kemenangan mutlak. Memang benar bahwa PDI-P meraih suara terbesar, namun 40% itu bukan absolut mutlak bahwa PDI-P akan bisa mendikte keinginannya dalam MPR.
Yang terjadi adalah seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, PDI-P terlalu kuat dan ditakuti, sehingga tak heran partai-partai lain langsung bersedia bekerja sama dengan musuh terbesar mereka, yakni Golkar dengan asumsi bahwa Golkar sudah tak sekuat dulu dan juga prinsip 'Musuh besar dari musuhku adalah sekutuku.'
Di sini sebetulnya dipertanyakan apakah PDI-P sebetulnya terlalu confident bahwa semua partai akan berebutan mendukung Megawati mengingat kharisma dari Bung Karno dan juga perolehan suara di pemilu lalu, atau mungkinkah PDI-P terlalu naif dengan berasumsi bahwa partai-partai lain tak mungkin bisa bekerja sama dan tak merasa terancam oleh PDI-P. Pidato-pidato Megawati dan PDI-P sendiri tak bisa memberikan sesuatu yang bisa menghilangkan kekuatiran partai-partai lain.
Kenyataan di sidang umum MPR memberikan tamparan kepada PDI-P bahwa semua partai lain in fact bersekutu dalam melawan PDI-P dengan tujuan agar PDI-P tak akan bisa mendominasi total kehidupan politik di Indonesia.
Pendapatan suara terbesar ini yang walaupun merupakan pendapatan suara terbesar di Indonesia, membuat PDI-P lengah dan tak berusaha melakukan 'outreach' kepada partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai lain justru bergabung untuk mencegah PDI-P mendominasi pentas politik. Lain halnya kalau PDI-P mendapatkan 45-50% suara, mungkin partai-partai lain lebih ragu untuk menentang PDI-P. 50% lebih, dan semua partai akan berbondong-bondong bergabung dengan PDI-P. Namun perolehan yang dibawah 40% masih bisa dihadapi oleh partai-partai lain jika mereka mau bergabung.
Walaupun Indonesia mengikuti pemilu langsung seperti US, tetap PDI-P tak bisa langsung menyatakan bahwa dia menang, dan semuanya selesai, karena jika lawan politiknya semua bergabung, PDI-P tidak akan menang. Kita bisa melihat fenomena ini di sidang umum kemarin dimana Amien Rais terpilih menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR. Terlihat bahwa partai-partai lain kuatir melihat perolehan suara PDI-P yang tinggi dan akhirnya malah bergabung dengan sesamanya.
Et tu, Gus Dur?
Pencalonan Gus Dur menjadi presiden menimbulkan permasalahan baru untuk PDI-P. Sering sekali diberitakan bahwa Gus Dur mendukung Megawati sebagai presiden. Yang menarik itu kebanyakan orang, terutama dari kalangan PDI-P berpendapat bahwa ini sudah pasti merupakan dukungan langsung dari Gus Dur kepada Mega untuk menjadi presiden. Namun apa kapasitas Gus Dur dalam mendukung Megawati? Tidak lain Gus Dur berlaku sebagai 'patriach' dalam politik Indonesia. Untuk contoh mudahnya, kita anggap satu keluarga di mana seorang ayah memiliki 2 anak yang mau jadi lurah. Waktu si sulung minta dukungan ayah, sang ayah mendukung ambisi si sulung. Namun waktu si bungsu minta juga, sang ayah juga mendukung si bungsu.
Apakah sang ayah bermuka dua? Tidak. Sang ayah justru menyemangati kedua anaknya agar mau meraih ambisi mereka. Dia mendukung ambisi kedua anaknya, dan di sini mendukung bukan berarti bahwa sang ayah akan memilih si sulung atau si bungsu dalam pemilihan lurah nanti. Sang ayah hanya mau agar kedua anaknya serius dalam meraih ambisi dan cita-cita mereka.
Di sini kesalahan PDI-P adalah menganggap dukungan Gus Dur sebagai dukungan yang pasti, bahwa mereka akan bisa mengandalkan bahwa Gus Dur akan memilih Megawati sebagai presiden berikut. Akibatnya PDI-P menjadi lengah dalam menarik dukungan PKB karena dianggapnya jika Gus Dur mendukung Mega bahwa artinya semua akan memilih Megawati. Namun walaupun Gus Dur adalah patriach dalam politik, tak berarti bahwa PKB akan menyetujui Megawati mentah-mentah. Di sini kapasitas PKB adalah sebagai anak kedua dari sang ayah. Karena keduanya memiliki ambisi, tak mungkin yang satu mendukung yang lain semudah itu.
Satu pertanyaan lain adalah: Jika sang ayah malah dicalonkan menjadi lurah, apakah kedua anaknya akan melawan ayahnya? PKB otomatis memang sejak dulu mendukung Gus Dur. Tapi bagaimana dengan Mega? Mega memang bukan anak Gus Dur, tapi status Gus Dur sebagai patriach politik Indonesia membuat statusnya sebagai powerbroker tak bisa dianggap remeh.
PDI-P = Megawati-P?
Kelemahan lain yang tak kalah penting adalah PDI-P terlalu mengandalkan Megawati. Dari pemilu kemarin, semua orang menganggap PDI-P = Sukarno-P. Walau kharisma dari Sukarno penting untuk memikat dukungan rakyat, namun pada akhirnya visi partailah yang menentukan. Sebuah partai yang hanya kuat akibat pemimpin tak akan bertahan lama dan pasti jatuh begitu sang pemimpin tak bisa memimpin lagi. Partai harus juga memberikan visi, yakni apa fungsi partai ini, apa guna partai ini, dan apa yang partai ini cita-citakan. Sejak pemilu kemarin saya merasa bahwa PDI-P dan juga partai-partai lain tidak mengembangkan bagian yang ini. Di sini justru Golkar yang lebih lihai karena berhasil membuang predikat lamanya sebagai bujang ex-prez Suharto menjadi partai reformasi. Dalam pertemuan antar partai di Berkeley yang disponsori oleh permias lokal, terlihat bahwa M. Eki selaku wakil dari Golkar berusaha memutarbalikkan citra partai yang dari jelek menjadi bisa dipercaya. Walau Golkar masih memiliki orang-orang dari dinasti lama, tapi Golkar bisa memberikan visi kepada intelektual bahwa Golkar akan menjadi partai baru yang beritikat untuk reformasi. Ditambah kelihaian dalam melakukan politik dan kompromi, tak heran bahwa ketua DPR yang baru berasal dari Golkar.
Kelihaian Golkar dalam membentuk visi dan tujuan partai baru perlu ditiru oleh partai-partai politik lain. Jika partai-partai lain hanya menyatakan diri sebagai partai reformasi tapi tak punya visi lain, mereka hanya akan jadi bulan-bulanan dalam politik. Karena sekarang semua partai menyatakan diri sebagai partai reformasi, apa perbedaannya? Aliansi dengan Golkar pun bisa dihalalkan sekarang karena Golkar sudah dianggap sebagai partai reformasi. Di sini PDI-P mengalami tantangan berat untuk membedakan image partainya dengan partai lain, dan yang paling penting adalah melepaskan asumsi bahwa PDI-P hanya tergantung Megawati, tanpa Megawati PDI-P akan hancur. Karena itu serangan termudah dari partai-partai lain adalah dengan menyerang pribadi Megawati. Jikalau PDI-P memang memiliki visi dan dasar yang bagus serta program kerja yang konkrit, maka partai-partai lain akan mengalami kesulitan besar untuk menggoyahkan PDI-P.
Orang Kristen dalam PDI-P
Di sisi lain, kita juga perlu melihat diri kita sebagai orang Kristen dalam PDI-P. Tak diragukan bahwa cukup banyak orang Kristen yang memilih PDI-P dalam pemilu kemarin. Ketika PDI-P kalah dalam SU-MPR kemarin, apakah artinya orang-orang Kristen menaruh harapan yang salah di partai ini? Tidak juga.
Sebagai orang Kristen justru kita perlu mengadakan intropeksi diri, apakah kesalahan-kesalahan dalam partai ini. Kita juga perlu memikirkan apakah yang perlu kita lakukan agar bisa lebih berperan dalam kehidupan politik di Indonesia. Walau kita tak perlu membuat partai, namun kita harus bisa menggunakan partai yang ada untuk menyebarkan ide-ide kita yang berguna untuk bangsa. Kita harus berani mengeritik diri sendiri dan bahkan partai yang kita dukung. Mendukung secara membabi buta bukanlah ciri orang Kristen yang baik.
Adeu, PDI-P?
Dari semua ulasan diatas, apakah artinya saya menyatakan bahwa kemungkinan Megawati untuk menjadi presiden sudah tak ada? Tidak.Kemungkinan Megawati menjadi presiden masih cukup besar. Namun jikalau Megawati menganggap kedudukan sebagai presiden sebagai 'taken for granted,' (pasti terpilih), terus terang saya merasa bahwa Mega tak akan bisa menjadi presiden. Kalaupun terpilih, saya ragu kalau dia akan menjadi presiden dengan sikap seperti itu. Nama Sukarno memang pasti bergaung diantara masyarakat kecil, tapi nama itu juga akan menjadi 'liability' kalau Megawati menjadi presiden karena rakyat akan membandingkan apa yang Megawati lakukan dengan ayahnya, Sukarno. Suara 'Sukarno' juga akan membuat kuatir partai-partai lain, dan yang bisa terjadi adalah keributan antara MPR dan presiden jikalau PDI-P memaksakan suaranya karena dianggap memegang mandat akibat pendapatan suaranya yang sekitar 35% itu.
Megawati harus berusaha membebaskan dirinya dari bayang-bayang nama Sukarno - juga perlu mencari dukungan yang cukup stabil dari partai-partai lain. Walaupun PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilu lalu, tapi kemenangan ini bukan kemenangan mutlak karena PDI-P gagal bahkan untuk meraih mayoritas. Berhubung sekarang Indonesia mulai mengikuti sistem voting, PDI-P justru akan mengalami kerugian besar jika menganggap bahwa ukuran suaranya bisa mempengaruhi hasil pemilihan presiden, karena 60% suara bisa mengganjal PDI-P. JIka PDI-P meraih 50.1% dalam pemilu kemarin, mungkin PDI-P tak perlu kuatir tentang sikap partai lain. Namun sayangnya PDI-P tidak memiliki suara mayoritas.
PDI-P harus sadar akan kelemahan posisinya serta 'balance of power' di Indonesia. Walaupun waktunya hanya singkat karena pemilihan presiden tinggallah sebentar lagi, tapi jikalau PDI-P tanggap menghadapi perkembangan situasi politik belakangan ini dan juga berusaha bekerja sama dengan partai lain dalam membentuk pemerintahan reformasi yang bersih dan dinamis, maka Megawati belum tentu gagal menjadi presiden. SU kemarin perlulah menjadi pelajaran pahit bagi PDI-P bahwa peraih suara terbesar di pemilu bukan berarti pemenang pemilu. Jika PDI-P tak bisa belajar dari kenyataan ini, maka PDI-P tidak memiliki qualifikasi sebagai pemerintah yang baik.
Yohanes Sulaiman
Yang menyedihkan adalah sampai sekarang kelihatannya PDI-P pun masih tetap memiliki kesalahan yang sama, yakni terlalu mengandalkan Megawati dan terlalu percaya diri. Apakah itu kenaifan atau wishful thinking, kita tak tahu. Tapi yang pasti, ini berlaku juga kepada semua partai politik di Indonesia, bahwa partai yang dibangun berdasarkan karisma satu tokoh tak akan bisa bertahan lama dalam kemenangannya.
YS
-----------
Date: Sat, 09 Oct 1999
Subject: Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P
Roma, Ides of March, 44 BC....
Para penggemar sejarah akan tahu hari itu: yakni hari di mana Julius Caesar dibunuh oleh senat Roma.
Jikalau Julius Caesar seorang jendral gagal atau memalukan nama Roma, mungkin tak akan ada yang peduli. Namun Julius Caesar merupakan salah satu jendral terbesar Roma yang berhasil memperluas kekuasaan Republik Romawi dan menghancurkan semua pemberontakan. Ditambah lagi, Caesar banyak dianugrahi penghargaan oleh senat sendiri.
Mengapa seorang jendral sukses yang menyebarkan kekuasaan Roma mendapat nasib sedemikian naas?
Salah satu jawabannya: musuh-musuhnya merasa sangat terancam kekuasaan mereka sehingga senat Roma yang biasanya terpecah memutuskan untuk mempersatukan diri dan melawan Caesar. Kemenangan Julius Caesar yang berturut-turut, kehancuran Trium Trivate, serta popularitas Caesar yang terlalu tinggi ditambah lagi Senat sendiri pada masa itu mulai tak populer karena korupsi dan kekalahan perang yang bertubi-tubi. Dengan kekuatiran tambahan bahwa ada kemungkinan Julius Caesar akan mengumumkan dirinya sebagai diktator (kekuatiran yang bukan tanpa alasan), maka Senat mengambil langkah untuk menghabisi Caesar sebelum dia menjadikan dirinya sebagai diktator.
Singkatnya, Julius Caesar secara tak langsung menimbun kekuasaan dengan kemenangan-kemenangan perangnya. Senat kuatir, dan akhirnya semua faksi memutuskan untuk bersatu menghabisi pengancamnya.
Fenomena perebutan kekuasaan ini kembali terulang di Indonesia....
Cerita di atas mungkin dianggap pembaca bahwa tak ada relevansinya dengan Indonesia. Perbedaannya terus terang sangat banyak; dari perbedaan tahun (2000 tahun-an), situasi, kondisi, dan juga tokoh. Tapi saya melihat ada satu thema yang terus terulang-ulang dalam sejarah, yakni di mana pun juga, keinginan terbesar manusia adalah memperbesar power dan security dia. Karena itulah terjadi penimbunan harta kekayaan dan kekuasaan. Namun jika satu faksi terlalu kuat, maka faksi lain memiliki 2 pilihan: bergabung dengan faksi kuat itu untuk bisa berbagi kekuasaan, dengan resiko kalau semua faksi lain sudah hancur, faksi besar itu akan memakan faksi kecil itu; atau bergabung dengan faksi-faksi lain untuk menentang faksi besar itu. Tapi pergumulan kekuasaan seperti ini, tak ada yang berhak menyatakan bahwa dia yang benar atau pihak lain yang salah. Itulah peraturannya, kalau ilmiahnya itu 'survival of the fittest.' Itulah kenyataan dunia yang ada sekarang, dan kalau saya lihat sampai sekarang, PDI-P tidak belajar dari sejarah ini.
PDI-P: Bukan pemenang pemilu
Berlawanan dengan yang biasa dinyatakan oleh PDI-P, pemilu kemarin dimana PDI-P mendapatkan suara dibawah 40%, sebetulnya lebih mencerminkan kekalahan untuk PDI-P. Kenapa saya anggap PDI-P kalah? Karena walaupun PDI-P tidak mendapat suara mayoritas diatas 50%, tapi PDI-P sudah bersikap seperti pemenang besar pemilu.
Kesalahan-kesalahan PDI-P cukup banyak namun yang terbesar adalah PDI-P terlalu menganggap bahwa perolehan tertinggi dalam pemilu kemarin merupakan kemenangan mutlak. Memang benar bahwa PDI-P meraih suara terbesar, namun 40% itu bukan absolut mutlak bahwa PDI-P akan bisa mendikte keinginannya dalam MPR.
Yang terjadi adalah seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, PDI-P terlalu kuat dan ditakuti, sehingga tak heran partai-partai lain langsung bersedia bekerja sama dengan musuh terbesar mereka, yakni Golkar dengan asumsi bahwa Golkar sudah tak sekuat dulu dan juga prinsip 'Musuh besar dari musuhku adalah sekutuku.'
Di sini sebetulnya dipertanyakan apakah PDI-P sebetulnya terlalu confident bahwa semua partai akan berebutan mendukung Megawati mengingat kharisma dari Bung Karno dan juga perolehan suara di pemilu lalu, atau mungkinkah PDI-P terlalu naif dengan berasumsi bahwa partai-partai lain tak mungkin bisa bekerja sama dan tak merasa terancam oleh PDI-P. Pidato-pidato Megawati dan PDI-P sendiri tak bisa memberikan sesuatu yang bisa menghilangkan kekuatiran partai-partai lain.
Kenyataan di sidang umum MPR memberikan tamparan kepada PDI-P bahwa semua partai lain in fact bersekutu dalam melawan PDI-P dengan tujuan agar PDI-P tak akan bisa mendominasi total kehidupan politik di Indonesia.
Pendapatan suara terbesar ini yang walaupun merupakan pendapatan suara terbesar di Indonesia, membuat PDI-P lengah dan tak berusaha melakukan 'outreach' kepada partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai lain justru bergabung untuk mencegah PDI-P mendominasi pentas politik. Lain halnya kalau PDI-P mendapatkan 45-50% suara, mungkin partai-partai lain lebih ragu untuk menentang PDI-P. 50% lebih, dan semua partai akan berbondong-bondong bergabung dengan PDI-P. Namun perolehan yang dibawah 40% masih bisa dihadapi oleh partai-partai lain jika mereka mau bergabung.
Walaupun Indonesia mengikuti pemilu langsung seperti US, tetap PDI-P tak bisa langsung menyatakan bahwa dia menang, dan semuanya selesai, karena jika lawan politiknya semua bergabung, PDI-P tidak akan menang. Kita bisa melihat fenomena ini di sidang umum kemarin dimana Amien Rais terpilih menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR. Terlihat bahwa partai-partai lain kuatir melihat perolehan suara PDI-P yang tinggi dan akhirnya malah bergabung dengan sesamanya.
Et tu, Gus Dur?
Pencalonan Gus Dur menjadi presiden menimbulkan permasalahan baru untuk PDI-P. Sering sekali diberitakan bahwa Gus Dur mendukung Megawati sebagai presiden. Yang menarik itu kebanyakan orang, terutama dari kalangan PDI-P berpendapat bahwa ini sudah pasti merupakan dukungan langsung dari Gus Dur kepada Mega untuk menjadi presiden. Namun apa kapasitas Gus Dur dalam mendukung Megawati? Tidak lain Gus Dur berlaku sebagai 'patriach' dalam politik Indonesia. Untuk contoh mudahnya, kita anggap satu keluarga di mana seorang ayah memiliki 2 anak yang mau jadi lurah. Waktu si sulung minta dukungan ayah, sang ayah mendukung ambisi si sulung. Namun waktu si bungsu minta juga, sang ayah juga mendukung si bungsu.
Apakah sang ayah bermuka dua? Tidak. Sang ayah justru menyemangati kedua anaknya agar mau meraih ambisi mereka. Dia mendukung ambisi kedua anaknya, dan di sini mendukung bukan berarti bahwa sang ayah akan memilih si sulung atau si bungsu dalam pemilihan lurah nanti. Sang ayah hanya mau agar kedua anaknya serius dalam meraih ambisi dan cita-cita mereka.
Di sini kesalahan PDI-P adalah menganggap dukungan Gus Dur sebagai dukungan yang pasti, bahwa mereka akan bisa mengandalkan bahwa Gus Dur akan memilih Megawati sebagai presiden berikut. Akibatnya PDI-P menjadi lengah dalam menarik dukungan PKB karena dianggapnya jika Gus Dur mendukung Mega bahwa artinya semua akan memilih Megawati. Namun walaupun Gus Dur adalah patriach dalam politik, tak berarti bahwa PKB akan menyetujui Megawati mentah-mentah. Di sini kapasitas PKB adalah sebagai anak kedua dari sang ayah. Karena keduanya memiliki ambisi, tak mungkin yang satu mendukung yang lain semudah itu.
Satu pertanyaan lain adalah: Jika sang ayah malah dicalonkan menjadi lurah, apakah kedua anaknya akan melawan ayahnya? PKB otomatis memang sejak dulu mendukung Gus Dur. Tapi bagaimana dengan Mega? Mega memang bukan anak Gus Dur, tapi status Gus Dur sebagai patriach politik Indonesia membuat statusnya sebagai powerbroker tak bisa dianggap remeh.
PDI-P = Megawati-P?
Kelemahan lain yang tak kalah penting adalah PDI-P terlalu mengandalkan Megawati. Dari pemilu kemarin, semua orang menganggap PDI-P = Sukarno-P. Walau kharisma dari Sukarno penting untuk memikat dukungan rakyat, namun pada akhirnya visi partailah yang menentukan. Sebuah partai yang hanya kuat akibat pemimpin tak akan bertahan lama dan pasti jatuh begitu sang pemimpin tak bisa memimpin lagi. Partai harus juga memberikan visi, yakni apa fungsi partai ini, apa guna partai ini, dan apa yang partai ini cita-citakan. Sejak pemilu kemarin saya merasa bahwa PDI-P dan juga partai-partai lain tidak mengembangkan bagian yang ini. Di sini justru Golkar yang lebih lihai karena berhasil membuang predikat lamanya sebagai bujang ex-prez Suharto menjadi partai reformasi. Dalam pertemuan antar partai di Berkeley yang disponsori oleh permias lokal, terlihat bahwa M. Eki selaku wakil dari Golkar berusaha memutarbalikkan citra partai yang dari jelek menjadi bisa dipercaya. Walau Golkar masih memiliki orang-orang dari dinasti lama, tapi Golkar bisa memberikan visi kepada intelektual bahwa Golkar akan menjadi partai baru yang beritikat untuk reformasi. Ditambah kelihaian dalam melakukan politik dan kompromi, tak heran bahwa ketua DPR yang baru berasal dari Golkar.
Kelihaian Golkar dalam membentuk visi dan tujuan partai baru perlu ditiru oleh partai-partai politik lain. Jika partai-partai lain hanya menyatakan diri sebagai partai reformasi tapi tak punya visi lain, mereka hanya akan jadi bulan-bulanan dalam politik. Karena sekarang semua partai menyatakan diri sebagai partai reformasi, apa perbedaannya? Aliansi dengan Golkar pun bisa dihalalkan sekarang karena Golkar sudah dianggap sebagai partai reformasi. Di sini PDI-P mengalami tantangan berat untuk membedakan image partainya dengan partai lain, dan yang paling penting adalah melepaskan asumsi bahwa PDI-P hanya tergantung Megawati, tanpa Megawati PDI-P akan hancur. Karena itu serangan termudah dari partai-partai lain adalah dengan menyerang pribadi Megawati. Jikalau PDI-P memang memiliki visi dan dasar yang bagus serta program kerja yang konkrit, maka partai-partai lain akan mengalami kesulitan besar untuk menggoyahkan PDI-P.
Orang Kristen dalam PDI-P
Di sisi lain, kita juga perlu melihat diri kita sebagai orang Kristen dalam PDI-P. Tak diragukan bahwa cukup banyak orang Kristen yang memilih PDI-P dalam pemilu kemarin. Ketika PDI-P kalah dalam SU-MPR kemarin, apakah artinya orang-orang Kristen menaruh harapan yang salah di partai ini? Tidak juga.
Sebagai orang Kristen justru kita perlu mengadakan intropeksi diri, apakah kesalahan-kesalahan dalam partai ini. Kita juga perlu memikirkan apakah yang perlu kita lakukan agar bisa lebih berperan dalam kehidupan politik di Indonesia. Walau kita tak perlu membuat partai, namun kita harus bisa menggunakan partai yang ada untuk menyebarkan ide-ide kita yang berguna untuk bangsa. Kita harus berani mengeritik diri sendiri dan bahkan partai yang kita dukung. Mendukung secara membabi buta bukanlah ciri orang Kristen yang baik.
Adeu, PDI-P?
Dari semua ulasan diatas, apakah artinya saya menyatakan bahwa kemungkinan Megawati untuk menjadi presiden sudah tak ada? Tidak.Kemungkinan Megawati menjadi presiden masih cukup besar. Namun jikalau Megawati menganggap kedudukan sebagai presiden sebagai 'taken for granted,' (pasti terpilih), terus terang saya merasa bahwa Mega tak akan bisa menjadi presiden. Kalaupun terpilih, saya ragu kalau dia akan menjadi presiden dengan sikap seperti itu. Nama Sukarno memang pasti bergaung diantara masyarakat kecil, tapi nama itu juga akan menjadi 'liability' kalau Megawati menjadi presiden karena rakyat akan membandingkan apa yang Megawati lakukan dengan ayahnya, Sukarno. Suara 'Sukarno' juga akan membuat kuatir partai-partai lain, dan yang bisa terjadi adalah keributan antara MPR dan presiden jikalau PDI-P memaksakan suaranya karena dianggap memegang mandat akibat pendapatan suaranya yang sekitar 35% itu.
Megawati harus berusaha membebaskan dirinya dari bayang-bayang nama Sukarno - juga perlu mencari dukungan yang cukup stabil dari partai-partai lain. Walaupun PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilu lalu, tapi kemenangan ini bukan kemenangan mutlak karena PDI-P gagal bahkan untuk meraih mayoritas. Berhubung sekarang Indonesia mulai mengikuti sistem voting, PDI-P justru akan mengalami kerugian besar jika menganggap bahwa ukuran suaranya bisa mempengaruhi hasil pemilihan presiden, karena 60% suara bisa mengganjal PDI-P. JIka PDI-P meraih 50.1% dalam pemilu kemarin, mungkin PDI-P tak perlu kuatir tentang sikap partai lain. Namun sayangnya PDI-P tidak memiliki suara mayoritas.
PDI-P harus sadar akan kelemahan posisinya serta 'balance of power' di Indonesia. Walaupun waktunya hanya singkat karena pemilihan presiden tinggallah sebentar lagi, tapi jikalau PDI-P tanggap menghadapi perkembangan situasi politik belakangan ini dan juga berusaha bekerja sama dengan partai lain dalam membentuk pemerintahan reformasi yang bersih dan dinamis, maka Megawati belum tentu gagal menjadi presiden. SU kemarin perlulah menjadi pelajaran pahit bagi PDI-P bahwa peraih suara terbesar di pemilu bukan berarti pemenang pemilu. Jika PDI-P tak bisa belajar dari kenyataan ini, maka PDI-P tidak memiliki qualifikasi sebagai pemerintah yang baik.
Yohanes Sulaiman
Analisa: Apakah Krisis Ekonomi Asia sudah selesai?
Tulisan yang dibuat tahun 1999. Setengah benar setengah salah. Benar karena mengerti alur logika ekonomi dan prediksinya pun bisa dipertanggung jawabkan, tapi salah karena kurangnya data dan data yang kurang bagus menyebabkan prediksi pun salah.
YS
.
-----
Date: Thu, 08 Jul 1999 10:54:42 -0700
Subject: Analisa: Apakah Krisis Ekonomi Asia sudah selesai?
Analisa dalam memperingati ulang tahun kedua jatuhnya nilai Thai Baht tanggal 2 Juli 1997.
--------
Tanggal 2 Juli lalu kita memperingati ulang tahun kedua dari jatuhnya nilai Thai Baht yang dianggap awal dari Asian Financial Crisis. Satu ulang tahun yang mungkin hanya sedikit yang masih ingat menilai ekonomi yang sudah ke arah perbaikan ini.
Francis Fukuyama, yang menulis 'The End of History,' pada masa-masa kritis dalam 'Asian Financial Crisis' menyatakan bahwa krisis ini hanyalah sebuah 'hiccup' dalam sejarah. Ini disebabkan oleh situasi dunia yang sudah lebih terbuka dimana free market sudah berkembang meliputi seluruh dunia dan akhirnya krisis ini hanya akan berlalu dan ekonomi akan kembali 'booming.' Waktu itu pada saat saya membaca wawancara dengan dia, saya terus terang sangat skeptik dan menganggap dia terlalu optimis.
Sekarang kita melihat juga bahwa 'Bull Market' terus 'bullish' dan ekonomi Asia mulai membaik. Thailand sudah mendekati 'level'-nya sebelum krisis ini terjadi dan Korea Selatan sendiri sudah mendekati level semulanya. Di Philipina, Presiden Estrada optimis tentang masa depan ekonomi dan di Taiwan sibuk menghadapi demand untuk barang-barang elektronik untuk diexport ke Amerika. Jepang menyatakan bahwa mereka sudah mencapai titik terdalam dari resersi mereka dan ekonomi mereka mulai maju kembali. Singapore melakukan deregulasi besar-besaran kepada sistem perbankannya dan menyatakan goal mereka sebagai pusat financial di Asia. Nilai Rupiah sendiri sudah berangsur-angsur menguat dan BEJ naik sekitar 120% dalam 6 bulan terakhir. Suku bunga perbankan sudah turun dan reformasi politik sudah mulai. Semua bukti ini mendukung thesis bahwa Fukuyama ternyata benar dan the 'Global Contagion' sudah berakhir dengan baik.
Namun saya sendiri masih meragukan bahwa 'Asian Crisis' dan 'Global Contagion' sudah berakhir. Walau kita memang sudah melewati masa-masa terburuk dari krisis ini, tapi saya rasa masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ini sudah selesai, terutama untuk Indonesia sendiri.
Ada banyak faktor domestik dan internasional yang menyebabkan krisis ini justru bisa muncul kembali dan berkembang lebih parah dari sebelumnya. Pertama-tama dari segi internasional, sudah hilangnya rasa optimis kaum investor kepada 'Asian Miracle.' Walau ini hanya bentuk psikologis, tapi seperti pepatah 'keledai tak mungkin jatuh ke lubang yang sama,' investor tak akan se-confident masa lalu dalam melakukan investasi. Pada masa 'Asian Miracle,' investor tak merasa terlalu kuatir dan yakin bahwa Asia memang terus berkembang, karena itu mereka juga tak menghiraukan tanda-tanda bahaya dari bidang politik dan ekonomi. Tapi 'the Crash' menghancurkan psikologis ini, dan kaum investor pasti akan langsung menarik kembali uang mereka begitu muncul tanda-tanda buruk seperti kondisi politik.
Permasalahan kedua dari segi internasional muncul dalam segi demand. Ketika 'Asia Miracle' terus berlangsung, demand kepada barang-barang terus tinggi. Kehancuran ekonomi setelah 'the Crash' menghilangkan banyak demand, sehingga sekarang di dunia demand tertinggi hanya ada di Amerika dan Eropa. Melemahnya demand dari 2 region tersebut akan mengganggu kembali usaha rekonstruksi Asia. Karena itu akhir dari krisis ini terus dipengaruhi oleh bagaimana situasi ekonomi di Amerika dan Eropa. Begitu terjadi slowdown di Amerika, Asia bisa kembali ke jaman resersi.
Permasalahan ketiga dari segi internasional adalah dari China yang sangat unpredictable. Walau China sampai sekarang masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tapi dalam kenyataannya, mereka sudah mengalami 'slow down in demand' karena saingan dari negara-negara Asia lain yang baru recover dan memiliki nilai mata uang yang terdepresiasi dan menyebabkan harga barang mereka menjadi murah. Sedangkan China sampai sekarang berusaha untuk tidak mendevaluasi mata uang mereka.
Masalahnya, slow down dalam ekonomi China menyebabkan kenaikan angka pengangguran yang sekarang saja sudah mencapai 100 juta orang. Kenaikan lagi akan menyebabkan terjadi krisis politik di China, karena itu para pemimpin partai China akan terus berusaha meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi mereka.
Namun dengan mata uang Yuan yang cukup kuat, sulit sekali mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka; karena itu ada kemungkinan China akan mendevaluasi mata uang mereka. Masalahnya, devaluasi China akan menyebabkan 'Chain Reaction' kepada negara-negara lain yang bisa menyebabkan negara-negara lain juga melakukan devaluasi. Di sini yang terjadi adalah Contagion II yang jauh lebih parah.
Permasalahan internasional ini jika digabungkan dengan permasalahan domestik akan menjadi cocktail yang parah karena permasalahan domestik ini sangat menentukan survival dari perekonomian Asia. Dari segi domestik, hampir semua negara-negara yang terkena krisis mengalami guncangan struktural. Kondisi politik sangat tidak stabil seperti di Russia dan Indonesia. (Saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada Indonesia).
Walau Indonesia baru menghadapi pemilu yang cukup aman (dibuktikan dengan naiknya confidence kaum investor dan menyebabkan Rupiah menguat), tapi masalah SARA dan koalisi politik yang belum selesai menyebabkan kita tak bisa sangat optimis dalam melihat masa depan Indonesia. Ini ditambah lagi dengan posisi militer di Indonesia yang masih merupakan 'king maker.' Walau banyak yang menyatakan militer sudah habis, tapi jika kondisi politik di Indonesia tidak membaik, ada kemungkinan militer akan melakukan kudeta dan membentuk pemerintahan seperti di Turki.
Dari segi ekonomi, banyak negara Asia yang sudah kehabisan cadangan devisa yang bisa digunakan untuk mempertahankan nilai mata uang. IMF sendiri keadaannya kurang bagus dan sangat diragukan kalau IMF bisa 'bail out' negara-negara Asia jika terjadi contagion kedua dalam waktu dekat ini.
Reformasi perbankan di Indonesia juga masih belum seefektif yang diduga. Bank-bank di Indonesia walau sudah mulai pulih, namun kondisinya masih lemah. Ini juga disebabkan oleh hukum bisnis dan perbankan Indonesia yang belum efektif. Kondisi makro ekonomi ini jika diikuti kondisi mikro ekonomi seperti tingginya angka pengangguran (di Indonesia sekitar 30-50 juta orang) menyebabkan stabilitas politik dan ekonomi sangatlah rawan. Selain itu juga, walau confidence di Indonesia mulai menguat, tapi orang-orang masih menguatirkan jika terjadi kembali keributan seperti peristiwa Mei tahun lalu. Jika peristiwa Mei terjadi kembali, saya terus terang ragu kalau Indonesia masih bisa bertahan.
Dari enam masalah yang saya bahas diatas, terlihat bahwa walau ekonomi Asia sudah mulai pulih di kertas, namun dalam kenyataannya kita masih dalam kondisi yang kurang bagus. Karena itu masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ekonomi Asia sudah selesai dan Indonesia akan pulih dengan cepat. Fukuyama mungkin benar bahwa krisis ekonomi ini hanyalah sebuah 'hiccup' dan saya ingin memiliki 'confidence' yang sama. Tapi hanya waktu yang bisa membuktikan apakah cegukan ini sudah selesai atau akankah terjadi 'hiccup' kedua.
YS
YS
.
-----
Date: Thu, 08 Jul 1999 10:54:42 -0700
Subject: Analisa: Apakah Krisis Ekonomi Asia sudah selesai?
Analisa dalam memperingati ulang tahun kedua jatuhnya nilai Thai Baht tanggal 2 Juli 1997.
--------
Tanggal 2 Juli lalu kita memperingati ulang tahun kedua dari jatuhnya nilai Thai Baht yang dianggap awal dari Asian Financial Crisis. Satu ulang tahun yang mungkin hanya sedikit yang masih ingat menilai ekonomi yang sudah ke arah perbaikan ini.
Francis Fukuyama, yang menulis 'The End of History,' pada masa-masa kritis dalam 'Asian Financial Crisis' menyatakan bahwa krisis ini hanyalah sebuah 'hiccup' dalam sejarah. Ini disebabkan oleh situasi dunia yang sudah lebih terbuka dimana free market sudah berkembang meliputi seluruh dunia dan akhirnya krisis ini hanya akan berlalu dan ekonomi akan kembali 'booming.' Waktu itu pada saat saya membaca wawancara dengan dia, saya terus terang sangat skeptik dan menganggap dia terlalu optimis.
Sekarang kita melihat juga bahwa 'Bull Market' terus 'bullish' dan ekonomi Asia mulai membaik. Thailand sudah mendekati 'level'-nya sebelum krisis ini terjadi dan Korea Selatan sendiri sudah mendekati level semulanya. Di Philipina, Presiden Estrada optimis tentang masa depan ekonomi dan di Taiwan sibuk menghadapi demand untuk barang-barang elektronik untuk diexport ke Amerika. Jepang menyatakan bahwa mereka sudah mencapai titik terdalam dari resersi mereka dan ekonomi mereka mulai maju kembali. Singapore melakukan deregulasi besar-besaran kepada sistem perbankannya dan menyatakan goal mereka sebagai pusat financial di Asia. Nilai Rupiah sendiri sudah berangsur-angsur menguat dan BEJ naik sekitar 120% dalam 6 bulan terakhir. Suku bunga perbankan sudah turun dan reformasi politik sudah mulai. Semua bukti ini mendukung thesis bahwa Fukuyama ternyata benar dan the 'Global Contagion' sudah berakhir dengan baik.
Namun saya sendiri masih meragukan bahwa 'Asian Crisis' dan 'Global Contagion' sudah berakhir. Walau kita memang sudah melewati masa-masa terburuk dari krisis ini, tapi saya rasa masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ini sudah selesai, terutama untuk Indonesia sendiri.
Ada banyak faktor domestik dan internasional yang menyebabkan krisis ini justru bisa muncul kembali dan berkembang lebih parah dari sebelumnya. Pertama-tama dari segi internasional, sudah hilangnya rasa optimis kaum investor kepada 'Asian Miracle.' Walau ini hanya bentuk psikologis, tapi seperti pepatah 'keledai tak mungkin jatuh ke lubang yang sama,' investor tak akan se-confident masa lalu dalam melakukan investasi. Pada masa 'Asian Miracle,' investor tak merasa terlalu kuatir dan yakin bahwa Asia memang terus berkembang, karena itu mereka juga tak menghiraukan tanda-tanda bahaya dari bidang politik dan ekonomi. Tapi 'the Crash' menghancurkan psikologis ini, dan kaum investor pasti akan langsung menarik kembali uang mereka begitu muncul tanda-tanda buruk seperti kondisi politik.
Permasalahan kedua dari segi internasional muncul dalam segi demand. Ketika 'Asia Miracle' terus berlangsung, demand kepada barang-barang terus tinggi. Kehancuran ekonomi setelah 'the Crash' menghilangkan banyak demand, sehingga sekarang di dunia demand tertinggi hanya ada di Amerika dan Eropa. Melemahnya demand dari 2 region tersebut akan mengganggu kembali usaha rekonstruksi Asia. Karena itu akhir dari krisis ini terus dipengaruhi oleh bagaimana situasi ekonomi di Amerika dan Eropa. Begitu terjadi slowdown di Amerika, Asia bisa kembali ke jaman resersi.
Permasalahan ketiga dari segi internasional adalah dari China yang sangat unpredictable. Walau China sampai sekarang masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tapi dalam kenyataannya, mereka sudah mengalami 'slow down in demand' karena saingan dari negara-negara Asia lain yang baru recover dan memiliki nilai mata uang yang terdepresiasi dan menyebabkan harga barang mereka menjadi murah. Sedangkan China sampai sekarang berusaha untuk tidak mendevaluasi mata uang mereka.
Masalahnya, slow down dalam ekonomi China menyebabkan kenaikan angka pengangguran yang sekarang saja sudah mencapai 100 juta orang. Kenaikan lagi akan menyebabkan terjadi krisis politik di China, karena itu para pemimpin partai China akan terus berusaha meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi mereka.
Namun dengan mata uang Yuan yang cukup kuat, sulit sekali mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka; karena itu ada kemungkinan China akan mendevaluasi mata uang mereka. Masalahnya, devaluasi China akan menyebabkan 'Chain Reaction' kepada negara-negara lain yang bisa menyebabkan negara-negara lain juga melakukan devaluasi. Di sini yang terjadi adalah Contagion II yang jauh lebih parah.
Permasalahan internasional ini jika digabungkan dengan permasalahan domestik akan menjadi cocktail yang parah karena permasalahan domestik ini sangat menentukan survival dari perekonomian Asia. Dari segi domestik, hampir semua negara-negara yang terkena krisis mengalami guncangan struktural. Kondisi politik sangat tidak stabil seperti di Russia dan Indonesia. (Saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada Indonesia).
Walau Indonesia baru menghadapi pemilu yang cukup aman (dibuktikan dengan naiknya confidence kaum investor dan menyebabkan Rupiah menguat), tapi masalah SARA dan koalisi politik yang belum selesai menyebabkan kita tak bisa sangat optimis dalam melihat masa depan Indonesia. Ini ditambah lagi dengan posisi militer di Indonesia yang masih merupakan 'king maker.' Walau banyak yang menyatakan militer sudah habis, tapi jika kondisi politik di Indonesia tidak membaik, ada kemungkinan militer akan melakukan kudeta dan membentuk pemerintahan seperti di Turki.
Dari segi ekonomi, banyak negara Asia yang sudah kehabisan cadangan devisa yang bisa digunakan untuk mempertahankan nilai mata uang. IMF sendiri keadaannya kurang bagus dan sangat diragukan kalau IMF bisa 'bail out' negara-negara Asia jika terjadi contagion kedua dalam waktu dekat ini.
Reformasi perbankan di Indonesia juga masih belum seefektif yang diduga. Bank-bank di Indonesia walau sudah mulai pulih, namun kondisinya masih lemah. Ini juga disebabkan oleh hukum bisnis dan perbankan Indonesia yang belum efektif. Kondisi makro ekonomi ini jika diikuti kondisi mikro ekonomi seperti tingginya angka pengangguran (di Indonesia sekitar 30-50 juta orang) menyebabkan stabilitas politik dan ekonomi sangatlah rawan. Selain itu juga, walau confidence di Indonesia mulai menguat, tapi orang-orang masih menguatirkan jika terjadi kembali keributan seperti peristiwa Mei tahun lalu. Jika peristiwa Mei terjadi kembali, saya terus terang ragu kalau Indonesia masih bisa bertahan.
Dari enam masalah yang saya bahas diatas, terlihat bahwa walau ekonomi Asia sudah mulai pulih di kertas, namun dalam kenyataannya kita masih dalam kondisi yang kurang bagus. Karena itu masih terlalu pagi untuk menyatakan bahwa krisis ekonomi Asia sudah selesai dan Indonesia akan pulih dengan cepat. Fukuyama mungkin benar bahwa krisis ekonomi ini hanyalah sebuah 'hiccup' dan saya ingin memiliki 'confidence' yang sama. Tapi hanya waktu yang bisa membuktikan apakah cegukan ini sudah selesai atau akankah terjadi 'hiccup' kedua.
YS
Friday, July 22, 2011
Subject: Persatuan Indonesia di mata Pramoedya Ananta Toer
Laporan tentang diskusi buku dengan Pramoedya Ananta Toer dalam turnya di Amerika Serikat tahun 1999. Tak banyak komentar, kecuali kalau seakrang ini, saya akan lebih "sinis" membaca uraian dan tanggapannya, mengingat Pramoedya Ananta Toer itu sangat "kiri" dan diwarnai nostalgia terhadap Sukarno. Namun tetap saya akui bahwa Pramoedya Ananta Toer memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dan saya pasti akan tetap belajar banyak kalau saya sekarang ini bisa berdiskusi dengan beliau.
YS
----
Subject: Persatuan Indonesia di mata Pramoedya Ananta Toer
Date: 22-May-99
Minggu lalu saya hadir di San Francisco mengikuti acara penandatanganan buku oleh Pramoedya Ananta Toer. Tadinya saya ke sana hanya untuk meminta beliau menandatangani buku-buku saya. Namun, dalam acara tanya jawab, ada yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik, yakni apakah Indonesia bisa terus bersatu dan bagaimana hubungan Chinese di Indonesia.
Tulisan berikut ini merupakan penyusunan ulang dari tanya jawab dengan Toer dan ada sedikit perubahan untuk memperjelas dan mempermudah pembacaan tanpa mengubah arti secara total. (ditambah lagi saya sudah mulai lupa akibat berjalannya waktu). Saya minta kalau ada yang pernah mendengar M. Toer mendiskusikan soal ini, tolong ditambah atau diralat agar tulisan ini menjadi lebih sempurna. Atau kalau ada yang memiliki segment-segment percakapan, tolong ditambah juga.
Yohanes Sulaiman
-----
Inti pertama dari pertanyaan-pertanyaan kepada M. Toer adalah kenapa di Indonesia bisa terus terjadi kerusuhan dan perpecahan seperti ini. M. Toer percaya bahwa sebetulnya Indonesia bisa bersatu, dan sebetulnya gerakan kemerdekaan Aceh itu merupakan 'backlash' dari Orde Baru. Apakah ada buktinya? Ada, yakni Presiden Sukarno sendiri. Tahun 1945, waktu Indonesia baru merdeka, orang Aceh merupakan satu daerah pertama yang mengirim delegasi ke Bung Karno membawa puisi yang memuji kebesaran Bung Karno dan keinginan Aceh untuk berjuang bagi Indonesia. Namun sejak jaman Belanda, ide persatuan terus dipecah karena 2 hal; yakni 'Jawa Centrism' dan 'Kemalasan mempelajari sejarah.'
Kemalasan mempelajari sejarah itu merupakan penyakit kronis di Indonesia. Menurut Toer, untuk mengetahui masa sekarang justru perlu mempelajari masa lalu. Sayangnya banyak dari ilmuwan yang tak mengerti soal ini.
Kalau kita mempelajari sejarah, justru kejadian perpecahan sekarang sudah pernah juga terjadi di masa lalu. Sejak dulu Belanda melakukan 'Jawa Centrism' untuk memecah Indonesia. Caranya adalah Belanda bawa 'pembunuh' dari Jawa ke laur Jawa dan membawa harta kembali ke Jawa. Intinya adalah semuanya dipusatkan di pulau Jawa, yakni di Batavia. Hal ini sayangnya terus terjadi sampai sekarang. Sukarno berusaha menghentikan masalah ini dengan merencanakan untuk memindahkan ibukota Indonesia ke Palangkaraya berhubung lokasinya yang ditengah Indonesia. Hal ini juga memberikan dampak positif lain, yakni penduduk tak lagi terpusat di Jawa dan pemindahan ibukota bisa dibiayai oleh kayu Kalimantan. Namun terjadi G30S/PKI dan rencana dibatalkan. Orde Baru melakukan kembali politik Jawa Centrism dan hasilnya kayu Kalimantan habis tapi ibukota batal pindah.
Hal yang sama juga terjadi untuk kaum Chinese di Indonesia. Orang-orang Chinese sudah lama ditindas dan 'dikerjai' di Indonesia. Di jaman VOC, tahun 1640 orang-orang Chinese diculiki untuk dipaksa membuat benteng Batavia. Pada tahun 1740, ribuan orang Chinese dibunuh di Batavia dan dalangnya adalah VOC.
Puluhan tahun kemuidan, salah satu minister Kristen menyebutkan bahwa waktu itu yang mati belasan ribu orang. Pada tahun 1912, SI di Solo ribut melawan orang Chinese. Menurut Toer, keributan itu adalah SI dimanfaatkan Belanda untuk menekan Chinese karena Belanda takut SI terlalu radikal dan menjadi anti Belanda. Tahun 1916 terjadi lagi gerakan anti Chinese dengan alasan yang relatif sama.
Kenapa kaum Chinese selalu menjadi korban kerusuhan di Indonesia? Kalau menurut Toer, itu bukan karena hanya akibat perbedaan sosial. Namun, Toer menyatakan sebab utamanya adalah orang-orang Chinese tak suka politik dan karena itu tak punya juru bicara. Dia menekankan bahwa minoritas perlu ikut berorganisasi dan politik; dan tanpa itu kerusuhan anti Chinese akan terus terjadi di Indonesia.
Namun, ada satu hal terutama yang perlu dilakukan untuk mempersatukan Indonesia kembali. Untuk memotong lingkaran setan sejarah itu, perlu kita mempelajari sejarah agar kesalahan yang lama tak terulang dan ini perlu ditanamkan ke intelektual Indonesia yang baru. Dia percaya bahwa generasi muda sekarang ini bisa memotong lingkaran setan itu. Namun, yang perlu dilakukan terutama adalah belajar dari sejarah dan dari sini kita bisa melihat masa depan Indonesia yang bersatu dan makmur.
Yohanes Sulaiman
Tambahan:
Satu pengalaman sangat menarik dari teman saya yang di Madison. Saya kutip ini tanpa ijin dia sayangnya....
---------
Saya ingin membagi sedikit percakapan saya dgn Pak PRAM. Saya bertanya kpd beliau, "Apa yg bisa dilakukan mahasiswa di luar negeri secara konkrete, bila ingin lebih ikut andil memperbaiki keadaan bangsa dan negara saat ini?" Tanpa pikir panjang beliau bilang," Berani kamu kasih alamat kamu ke PRD (Partai Rakyat Demokrat, salah satu partai yg ikut pemilu)?"
Saya bingung, kenapa Pak Pram ini mendukung PRD?? Apa hubungannya beliau terhadap partai tersebut, saya sempat berpikir, jgn-2 malah Pram ini kaki-tangan-nya PRD? Saya tanyakan sama Pram kenapa Bapak berkata begitu?? Lalu dgn tenang beliau menjawab,... Partai itu adalah partai Generasi Muda, generasi Penerus Bangsa, masih bersih,.. tidak ada kepentingan pribadi.."
Saya terkesima mendengar jawaban yg simpel dan to the point tsb. Pramoedya berkata gitu bukan demi kepentingan pribadi, sama sekali dia tak pernah bermain dalam politik menjabat suatu jabatan. Beliau berkata begitu tak lain dan tak bukan hanya untuk memberi dukungan bagi generasi muda, generasi yg akan menentukan nasib bangsa Indonesia.
-----
YS
----
Subject: Persatuan Indonesia di mata Pramoedya Ananta Toer
Date: 22-May-99
Minggu lalu saya hadir di San Francisco mengikuti acara penandatanganan buku oleh Pramoedya Ananta Toer. Tadinya saya ke sana hanya untuk meminta beliau menandatangani buku-buku saya. Namun, dalam acara tanya jawab, ada yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik, yakni apakah Indonesia bisa terus bersatu dan bagaimana hubungan Chinese di Indonesia.
Tulisan berikut ini merupakan penyusunan ulang dari tanya jawab dengan Toer dan ada sedikit perubahan untuk memperjelas dan mempermudah pembacaan tanpa mengubah arti secara total. (ditambah lagi saya sudah mulai lupa akibat berjalannya waktu). Saya minta kalau ada yang pernah mendengar M. Toer mendiskusikan soal ini, tolong ditambah atau diralat agar tulisan ini menjadi lebih sempurna. Atau kalau ada yang memiliki segment-segment percakapan, tolong ditambah juga.
Yohanes Sulaiman
-----
Inti pertama dari pertanyaan-pertanyaan kepada M. Toer adalah kenapa di Indonesia bisa terus terjadi kerusuhan dan perpecahan seperti ini. M. Toer percaya bahwa sebetulnya Indonesia bisa bersatu, dan sebetulnya gerakan kemerdekaan Aceh itu merupakan 'backlash' dari Orde Baru. Apakah ada buktinya? Ada, yakni Presiden Sukarno sendiri. Tahun 1945, waktu Indonesia baru merdeka, orang Aceh merupakan satu daerah pertama yang mengirim delegasi ke Bung Karno membawa puisi yang memuji kebesaran Bung Karno dan keinginan Aceh untuk berjuang bagi Indonesia. Namun sejak jaman Belanda, ide persatuan terus dipecah karena 2 hal; yakni 'Jawa Centrism' dan 'Kemalasan mempelajari sejarah.'
Kemalasan mempelajari sejarah itu merupakan penyakit kronis di Indonesia. Menurut Toer, untuk mengetahui masa sekarang justru perlu mempelajari masa lalu. Sayangnya banyak dari ilmuwan yang tak mengerti soal ini.
Kalau kita mempelajari sejarah, justru kejadian perpecahan sekarang sudah pernah juga terjadi di masa lalu. Sejak dulu Belanda melakukan 'Jawa Centrism' untuk memecah Indonesia. Caranya adalah Belanda bawa 'pembunuh' dari Jawa ke laur Jawa dan membawa harta kembali ke Jawa. Intinya adalah semuanya dipusatkan di pulau Jawa, yakni di Batavia. Hal ini sayangnya terus terjadi sampai sekarang. Sukarno berusaha menghentikan masalah ini dengan merencanakan untuk memindahkan ibukota Indonesia ke Palangkaraya berhubung lokasinya yang ditengah Indonesia. Hal ini juga memberikan dampak positif lain, yakni penduduk tak lagi terpusat di Jawa dan pemindahan ibukota bisa dibiayai oleh kayu Kalimantan. Namun terjadi G30S/PKI dan rencana dibatalkan. Orde Baru melakukan kembali politik Jawa Centrism dan hasilnya kayu Kalimantan habis tapi ibukota batal pindah.
Hal yang sama juga terjadi untuk kaum Chinese di Indonesia. Orang-orang Chinese sudah lama ditindas dan 'dikerjai' di Indonesia. Di jaman VOC, tahun 1640 orang-orang Chinese diculiki untuk dipaksa membuat benteng Batavia. Pada tahun 1740, ribuan orang Chinese dibunuh di Batavia dan dalangnya adalah VOC.
Puluhan tahun kemuidan, salah satu minister Kristen menyebutkan bahwa waktu itu yang mati belasan ribu orang. Pada tahun 1912, SI di Solo ribut melawan orang Chinese. Menurut Toer, keributan itu adalah SI dimanfaatkan Belanda untuk menekan Chinese karena Belanda takut SI terlalu radikal dan menjadi anti Belanda. Tahun 1916 terjadi lagi gerakan anti Chinese dengan alasan yang relatif sama.
Kenapa kaum Chinese selalu menjadi korban kerusuhan di Indonesia? Kalau menurut Toer, itu bukan karena hanya akibat perbedaan sosial. Namun, Toer menyatakan sebab utamanya adalah orang-orang Chinese tak suka politik dan karena itu tak punya juru bicara. Dia menekankan bahwa minoritas perlu ikut berorganisasi dan politik; dan tanpa itu kerusuhan anti Chinese akan terus terjadi di Indonesia.
Namun, ada satu hal terutama yang perlu dilakukan untuk mempersatukan Indonesia kembali. Untuk memotong lingkaran setan sejarah itu, perlu kita mempelajari sejarah agar kesalahan yang lama tak terulang dan ini perlu ditanamkan ke intelektual Indonesia yang baru. Dia percaya bahwa generasi muda sekarang ini bisa memotong lingkaran setan itu. Namun, yang perlu dilakukan terutama adalah belajar dari sejarah dan dari sini kita bisa melihat masa depan Indonesia yang bersatu dan makmur.
Yohanes Sulaiman
Tambahan:
Satu pengalaman sangat menarik dari teman saya yang di Madison. Saya kutip ini tanpa ijin dia sayangnya....
---------
Saya ingin membagi sedikit percakapan saya dgn Pak PRAM. Saya bertanya kpd beliau, "Apa yg bisa dilakukan mahasiswa di luar negeri secara konkrete, bila ingin lebih ikut andil memperbaiki keadaan bangsa dan negara saat ini?" Tanpa pikir panjang beliau bilang," Berani kamu kasih alamat kamu ke PRD (Partai Rakyat Demokrat, salah satu partai yg ikut pemilu)?"
Saya bingung, kenapa Pak Pram ini mendukung PRD?? Apa hubungannya beliau terhadap partai tersebut, saya sempat berpikir, jgn-2 malah Pram ini kaki-tangan-nya PRD? Saya tanyakan sama Pram kenapa Bapak berkata begitu?? Lalu dgn tenang beliau menjawab,... Partai itu adalah partai Generasi Muda, generasi Penerus Bangsa, masih bersih,.. tidak ada kepentingan pribadi.."
Saya terkesima mendengar jawaban yg simpel dan to the point tsb. Pramoedya berkata gitu bukan demi kepentingan pribadi, sama sekali dia tak pernah bermain dalam politik menjabat suatu jabatan. Beliau berkata begitu tak lain dan tak bukan hanya untuk memberi dukungan bagi generasi muda, generasi yg akan menentukan nasib bangsa Indonesia.
-----
Thursday, July 21, 2011
Fanatisme VS Ketidakacuhan
Tahun 1999, tapi sampai sekarang kok masih relevan. Memang sampai sekarang juga partai-partai Indonesia masih belum berakar, masih hanya berwacana di kalangan elit dan tak mendasar, serta rakyat pun memilih hanya berdasarkan elit politik saja. Kayaknya kalau tulisan ini didaur ulang dan dikirim ulang tak akan ketahuan bahwa umurnya sudah belasan tahun.
YS
---
Date: Fri, 21 May 1999
Subject: Fanatisme VS Ketidakacuhan
Beberapa hari yang lalu saya bercakap-cakap dengan 2 teman saya dimana intinya adalah perbandingan antara partai-partai. Yang satu itu adalah pendukung setia PDI-P, dan yang lain lebih baik tak saya sebut nama partainya. Dalam percakapan itu, si B (yang mendukung partai lain) menyatakan keberatannya tentang Megawati yang dianggapnya terlalu mengandalkan nama Bung Karno saja. Si A (pendukung PDI-P) otomatis membela diri.
Singkat kata, dari diskusi yang santai mendadak menjadi perang mulut, dimana si B sampai menyatakan, 'Jadi kalau Megawati masuk sumur, kamu juga masuk sumur?' Hasilnya anda bisa tebak sendiri, yakni diskusi ini mendadak berubah menjadi perdebatan sengit dan jadi debat kusir dan kalau saja tak ditahan, bisa-bisa mereka berdua jadi juru masak dengan keahlian membuat ketupat bengkulu.
Yang menarik itu, waktu sudah selesai dan saya pulang bersama-sama si A, saya tanya dia kenapa dia mendukung PDI-P. Dasarnya ternyata dia memang suka dan kagum kepada Megawati dan hanya itu. Dia tak tahu dan tak peduli dasar-dasar atau fondasi atau juga asas PDI-P, namun yang penting adalah Megawati.
Di pihak lain, waktu saya bercakap-cakap dengan teman saya yang lain lagi, pengalaman yang ini sangat berbeda. Waktu itu saya tanya partai apa yang dia mau pilih. Dia bilang sampai sekarang dia tak pernah mengikuti soal ini (walau sudah mendaftar buat pemilu). Herannya, dia bahkan kaget waktu saya bilang kali ini kita punya 48 partai. Dia pikir dia hanya perlu memilih paling banyak 10 partai. Singkat kata, dia bilang, 'Kalau begitu, gue pilih nomor yang asal saja.... coba tolong lihat, partai nomor 33 itu partai apa?' Kalian tentu tahu bahwa ini Golkar.... Waktu saya nyatakan bahwa ini partai Golkar, dia langsung bilang enteng 'ya sudah, pilih Golkar saja, habis nomornya pas begitu, baru sekali pilih sudah langsung dapat pas begitu; pasti ini jodoh gua....'
Sebelum ada yang dari pendukung PDI-P yang 'menyerbu' saya, saya tekankan dulu bahwa tak ada maksud dan niat saya menjelek-jelekkan PDI-P. Namun, kalau ada dari pembaca yang mempertanyakan keaslian kedua cerita di atas, saya hanya bisa menyatakan bahwa sayangnya keduanya itu cerita asli..., dimana inti yang saya dapatkan dari pengalaman saya di atas adalah ketidakpedulian dan kefanatikan yang tanpa dasar.
Pertama-tama, mari kita ulas tentang kefanatikan tanpa dasar.Sekarang coba kita ambil sensus terhadap para peserta milis-milis di sini atau juga mayoritas rakyat Indonesia. Pertanyaannya hanya satu: Apakah mereka tahu tentang dasar, ide, dan fondasi semua partai pemilu ini?
Walau tak didukung bukti kongkrit sekarang, saya terus terang pesimis kalau mayoritas rakyat tahu tentang program kerja dan dasar semua partai (48 partai.... menghapal namanya saja saya sudah kewalahan, wong menghapal namanya enggak dapat duit lagi.... :-) )
Hasilnya, apa yang rakyat ikuti? Hanya figur-figur di partai tersebut, seperti Abdulrahman Wahid, Amien Rais, Megawati, dst. Kalau saya lihat, ini namanya adalah kesetiaan buta yang mengandalkan kharisma satu orang tertentu saja, atau kalau kita mau ambil nama dari legenda Jawa adalah 'Ratu Adil.' Mungkin di sini sebagian pembaca mulai mempertanyakan, 'so what?' Justru kalau menurut saya, ini adalah satu titik gawat, dimana kesetiaan buta justru akan menimbulkan perpecahan.
Sejauh yang saya lihat sekarang, partai-partai 'besar' seperti PKB, PDI-P, dan PAN hanya mengandalkan para pemimpinnya sebagai madu untuk menarik massa. Partai-partai lain mengandalkan agama atau fanatisme untuk mengumpulkan suara. Dari semua partai di atas, tak terlihat adanya 'ide' atau visi untuk Indonesia dimasa depan. Lebih buruk lagi, tak ada yang menyatakan secara jelas akan apa yang akan dilakukan jikalau terpilih.
Di sini unsur kedua yang berbahaya juga keluar, yakni ketidakacuhan. Akibat banyaknya partai dan para pemimpin partai yang didewakan, orang tak peduli lagi kepada ide dasar partai; yakni apa yang mempersatukan partai tersebut SELAIN pemimpinnya. Di sini orang tak lagi melihat ide, mana ide yang bagus dan sesuai nurani atau ide-ide yang berlawanan dan tak cocok untuk Indonesia. Semuanya dibuang hanya untuk mengikuti sang pemimpin yang ada di depan.
Di sini bibit-bibit perpecahan tersebar dimana para pemimpin yang mulai didewakan tak mau bekerja sama atau bekerja dibawah yang lain tanpa mau memberikan konsesi ataupun kerja sama yang didasarkan persamaan ide. Jika saya merenungkan hal ini, tak heran teman saya itu dengan santainya menyebutkan satu nomor dan menaruh masa depan Indonesia di tangan nasib.... Jadi ingat SDSB....
Sampai sekarang persatuan oposisi hanya berdasarkan 2 hal: ketakutan atas naiknya kembali ex-prez Suharto dan instabilitas nasional yang akhirnya akan menghancurkan semua partai yang baru berdiri dan terutama Indonesia. Atas dasar itu saya lihat bahwa mulai timbul koalisi-koalisi partai yang dimulai SETELAH pemilu. Kata SETELAH ini saya tekankan berhubung banyaknya kekuatiran dari semua pihak bahwa ada yang pada akhirnya tak puas atas perolehan suara dari pemilu dan meneriakkan senjata konta 'PEMILU CURANG!'
Walau persekutuan antar partai membantu memberi kestabilan, tapi tetap saja senjata konta itu akan terus membuntuti Gatot Kaca, apalagi kalau sudah dalam saat menentukan siapa yang menjadi 'senior' atau 'junior' dalam persekutuan tersebut.
Melalui tulisan ini, saya menyerukan kepada para pendukung partai untuk memikirkan kembali posisi kalian, apakah kalian mendukung satu partai hanya untuk pemimpinnya saja, atau memang idenya itu sesuai nurani kalian. Jikalau pendukung partai bisa mengemukakan ide dasar dari partai tersebut yang memang patut didukung, saya optimis bahwa mereka yang tak peduli bisa menjadi peduli dan mendukung partai yang idenya memang patut didukung. Janganlah mengandalkan pemimpin saja, dan jangan juga untuk pengeritik partai untuk mengeritik satu partai karena pemimpinnya saja. Tapi kita perlu hilangkan sikap ketidakpedulian terhadap ide dan menghilangkan rasa fanatisme yang berlebihan untuk bisa bekerja sama agar Indonesia yang sudah masuk ICU tak bernasib seburuk Russia sekarang.
YS
YS
---
Date: Fri, 21 May 1999
Subject: Fanatisme VS Ketidakacuhan
Beberapa hari yang lalu saya bercakap-cakap dengan 2 teman saya dimana intinya adalah perbandingan antara partai-partai. Yang satu itu adalah pendukung setia PDI-P, dan yang lain lebih baik tak saya sebut nama partainya. Dalam percakapan itu, si B (yang mendukung partai lain) menyatakan keberatannya tentang Megawati yang dianggapnya terlalu mengandalkan nama Bung Karno saja. Si A (pendukung PDI-P) otomatis membela diri.
Singkat kata, dari diskusi yang santai mendadak menjadi perang mulut, dimana si B sampai menyatakan, 'Jadi kalau Megawati masuk sumur, kamu juga masuk sumur?' Hasilnya anda bisa tebak sendiri, yakni diskusi ini mendadak berubah menjadi perdebatan sengit dan jadi debat kusir dan kalau saja tak ditahan, bisa-bisa mereka berdua jadi juru masak dengan keahlian membuat ketupat bengkulu.
Yang menarik itu, waktu sudah selesai dan saya pulang bersama-sama si A, saya tanya dia kenapa dia mendukung PDI-P. Dasarnya ternyata dia memang suka dan kagum kepada Megawati dan hanya itu. Dia tak tahu dan tak peduli dasar-dasar atau fondasi atau juga asas PDI-P, namun yang penting adalah Megawati.
Di pihak lain, waktu saya bercakap-cakap dengan teman saya yang lain lagi, pengalaman yang ini sangat berbeda. Waktu itu saya tanya partai apa yang dia mau pilih. Dia bilang sampai sekarang dia tak pernah mengikuti soal ini (walau sudah mendaftar buat pemilu). Herannya, dia bahkan kaget waktu saya bilang kali ini kita punya 48 partai. Dia pikir dia hanya perlu memilih paling banyak 10 partai. Singkat kata, dia bilang, 'Kalau begitu, gue pilih nomor yang asal saja.... coba tolong lihat, partai nomor 33 itu partai apa?' Kalian tentu tahu bahwa ini Golkar.... Waktu saya nyatakan bahwa ini partai Golkar, dia langsung bilang enteng 'ya sudah, pilih Golkar saja, habis nomornya pas begitu, baru sekali pilih sudah langsung dapat pas begitu; pasti ini jodoh gua....'
Sebelum ada yang dari pendukung PDI-P yang 'menyerbu' saya, saya tekankan dulu bahwa tak ada maksud dan niat saya menjelek-jelekkan PDI-P. Namun, kalau ada dari pembaca yang mempertanyakan keaslian kedua cerita di atas, saya hanya bisa menyatakan bahwa sayangnya keduanya itu cerita asli..., dimana inti yang saya dapatkan dari pengalaman saya di atas adalah ketidakpedulian dan kefanatikan yang tanpa dasar.
Pertama-tama, mari kita ulas tentang kefanatikan tanpa dasar.Sekarang coba kita ambil sensus terhadap para peserta milis-milis di sini atau juga mayoritas rakyat Indonesia. Pertanyaannya hanya satu: Apakah mereka tahu tentang dasar, ide, dan fondasi semua partai pemilu ini?
Walau tak didukung bukti kongkrit sekarang, saya terus terang pesimis kalau mayoritas rakyat tahu tentang program kerja dan dasar semua partai (48 partai.... menghapal namanya saja saya sudah kewalahan, wong menghapal namanya enggak dapat duit lagi.... :-) )
Hasilnya, apa yang rakyat ikuti? Hanya figur-figur di partai tersebut, seperti Abdulrahman Wahid, Amien Rais, Megawati, dst. Kalau saya lihat, ini namanya adalah kesetiaan buta yang mengandalkan kharisma satu orang tertentu saja, atau kalau kita mau ambil nama dari legenda Jawa adalah 'Ratu Adil.' Mungkin di sini sebagian pembaca mulai mempertanyakan, 'so what?' Justru kalau menurut saya, ini adalah satu titik gawat, dimana kesetiaan buta justru akan menimbulkan perpecahan.
Sejauh yang saya lihat sekarang, partai-partai 'besar' seperti PKB, PDI-P, dan PAN hanya mengandalkan para pemimpinnya sebagai madu untuk menarik massa. Partai-partai lain mengandalkan agama atau fanatisme untuk mengumpulkan suara. Dari semua partai di atas, tak terlihat adanya 'ide' atau visi untuk Indonesia dimasa depan. Lebih buruk lagi, tak ada yang menyatakan secara jelas akan apa yang akan dilakukan jikalau terpilih.
Di sini unsur kedua yang berbahaya juga keluar, yakni ketidakacuhan. Akibat banyaknya partai dan para pemimpin partai yang didewakan, orang tak peduli lagi kepada ide dasar partai; yakni apa yang mempersatukan partai tersebut SELAIN pemimpinnya. Di sini orang tak lagi melihat ide, mana ide yang bagus dan sesuai nurani atau ide-ide yang berlawanan dan tak cocok untuk Indonesia. Semuanya dibuang hanya untuk mengikuti sang pemimpin yang ada di depan.
Di sini bibit-bibit perpecahan tersebar dimana para pemimpin yang mulai didewakan tak mau bekerja sama atau bekerja dibawah yang lain tanpa mau memberikan konsesi ataupun kerja sama yang didasarkan persamaan ide. Jika saya merenungkan hal ini, tak heran teman saya itu dengan santainya menyebutkan satu nomor dan menaruh masa depan Indonesia di tangan nasib.... Jadi ingat SDSB....
Sampai sekarang persatuan oposisi hanya berdasarkan 2 hal: ketakutan atas naiknya kembali ex-prez Suharto dan instabilitas nasional yang akhirnya akan menghancurkan semua partai yang baru berdiri dan terutama Indonesia. Atas dasar itu saya lihat bahwa mulai timbul koalisi-koalisi partai yang dimulai SETELAH pemilu. Kata SETELAH ini saya tekankan berhubung banyaknya kekuatiran dari semua pihak bahwa ada yang pada akhirnya tak puas atas perolehan suara dari pemilu dan meneriakkan senjata konta 'PEMILU CURANG!'
Walau persekutuan antar partai membantu memberi kestabilan, tapi tetap saja senjata konta itu akan terus membuntuti Gatot Kaca, apalagi kalau sudah dalam saat menentukan siapa yang menjadi 'senior' atau 'junior' dalam persekutuan tersebut.
Melalui tulisan ini, saya menyerukan kepada para pendukung partai untuk memikirkan kembali posisi kalian, apakah kalian mendukung satu partai hanya untuk pemimpinnya saja, atau memang idenya itu sesuai nurani kalian. Jikalau pendukung partai bisa mengemukakan ide dasar dari partai tersebut yang memang patut didukung, saya optimis bahwa mereka yang tak peduli bisa menjadi peduli dan mendukung partai yang idenya memang patut didukung. Janganlah mengandalkan pemimpin saja, dan jangan juga untuk pengeritik partai untuk mengeritik satu partai karena pemimpinnya saja. Tapi kita perlu hilangkan sikap ketidakpedulian terhadap ide dan menghilangkan rasa fanatisme yang berlebihan untuk bisa bekerja sama agar Indonesia yang sudah masuk ICU tak bernasib seburuk Russia sekarang.
YS
Subscribe to:
Posts (Atom)