Tulisan ini adalah tulisan pertama saya yang diterbitkan ke surat kabar. Seperti biasanya dalam dunia akademik, orang yang mau naik pentas akan berusaha masuk lewat menggunakan tulisan orang lain, dan itu yang saya lakukan. Karena itu, tulisan "inspirasinya" yang ditulis oleh Notrida Mandica (tak tahu dimana ia sekarang) saya taruh paling pertama, dan tulisan tanggapan saya dituliskan setelahnya.
Sebetulnya kalau sekarang saya baca, perbedaannya sangat sepele, yakni penekanan saya yang begitu besar kepada hukum sebagai sebuah "fondasi" dari istana, bukan hanya sebuah "pilar pendukung." Tapi ya tak terlalu signifikan sebetulnya.
Sebuah tambahan factoid yang menarik: yang berjasa memasukkan tulisan saya ini ke koran Jawa Pos waktu itu adalah Ramadhan Pohan yang saat ini sedang dirundung masalah di Partai Demokrat. Dulunya ia adalah responden Jawa Pos di Washington, D.C. Makanya, betapa kecilnya dunia ini....
Seingat saya, saya pernah bertemu dia, dan dulu, dia itu orangnya benar-benar sangat baik. Makanya, saya sangat bersimpati dengan penderitaannya sekarang ini akibat kasus Nazaruddin.
YS
-------------
Sabtu, 10/02/2001 - 22:46 WIB
Kastil Pasir Politik Indonesia
Oleh Notrida Mandica
Melihat kondisi politik Indonesia saat ini persis seperti melihat sebuah kastil pasir. Awalnya, dilihat sepintas, politik Indonesia tampak seperti sangat kukuh. Namun, begitu bersentuhan dengan gelombang kebebasan dan demokrasi, bangunan politik Indonesia itu ternyata amat rapuh.
Ada sejumlah penyebab mengapa bangunan politik Indonesia sedemikian rapuh seperti kastil pasir. Pertama, politik Indonesia tidak memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang fundamental yang mampu merespons gejolak-gejolak sosial dan politik.
Kedua, konsep bernegara terlalu terfokus pada satu material, yakni pemerintah sebagai satu-satunya aktor dan arena yang memainkan peran penting dalam proses pemerintahan.
Ketiga, struktur politik dan pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas dalam prinsip division of labor dan delegation of authority.
Keempat, para elite politik, seperti kastil pasir, dibentuk oleh tangan-tangan arsiteknya. Mereka tidak hadir sebagai natural leaders dengan konsepsi ideologi yang jelas dan permanen.
Dan, kelima, rakyat Indonesia kebanyakan lahir dan berdiri di luar kastil pasir karena tak ada tempat hunian bagi mereka meskipun mereka ikut membangunnya. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu di jalan.
Mimpi Kastil akan Revolusi dan Reformasi
Orang-orang yang berdiri di luar kastil mengerti bahwa kastil itu tidak akan bertahan lama. Sebentar saja akan rapuh dan hancur. Oleh karena itu, sebagian orang berusaha mengajukan konsep-konsep revolusioner untuk membangun kastil yang permanen. Misalnya, Moh. Hatta mengusulkan konsep ekonomi kerakyatan dan desentralisasi yang ditolak oleh Presiden Soekarno.
Pada zaman Orba, beberapa aktivis politik dan sosial mengusulkan perubahan sistem pemerintahan, desentralisasi, redistribusi income, dan sumber-sumber ekonomi kepada Presiden Soeharto, tetapi tidak ada respons yang baik. Bahkan, pemilik ide dijawab dengan sanksi penjara.
Saat ini Presiden Abdurrahman Wahid dipercaya akan membawa pesan-pesan reformasi sebagai landasan pemerintahannya. Konsep-konsep reformasi tersebut diharapkan akan membangun kerangka kastil yang fundamental sehingga tidak mudah roboh. Meski demikian, Presiden Gus Dur, tampaknya, belum membangun pilar-pilar beton untuk kastil Indonesia di tempat yang lebih kukuh.
Tahun pertama masa jabatannya tidak digunakan untuk menjelajahi tanah tempat kastil itu dibangun atau mencari tahu jenis material yang dipergunakan, atau sekadar mengenal orang-orang yang hidup di sekitarnya. Sebagai gantinya, Presiden Gus Dur keliling dunia. Sudah cukup banyak jumlah negara yang dikunjungi Presiden Gus Dur selama setahun masa pemerintahannya. Ironisnya, publik belum banyak melihat hasil dari kunjungan ke luar negeri itu. Presiden Gus Dur, tampaknya, juga tidak membawa pulang material baru yang baik dari kunjungannya itu untuk kastil tersebut.
Membangun Kastil Baru
Seperti pembuat kastil pasir, ketika bangunannya roboh, yang disalahkan adalah ombak yang menerjang atau angin yang meniup terlalu kencang. Sangat sedikit pembuat kastil pasir itu mengevaluasi bahwa hancurnya bangunan tersebut karena kecerobohan pembuatnya. Padahal, adalah suatu langkah yang sangat arif jika pembuat kastil mau introspeksi diri, mau mengevaluasi mengapa kastil yang dibangunnya itu mudah roboh. Mereka tidak seharusnya hanya menyalahkan ombak atau angin yang menerjang dan merobohkan kastil itu. Sikap menyalahkan pihak lain memang perbuatan yang paling mudah untuk dilakukan. Apalagi dengan mengambinghitamkan orang lain. Namun, sekali lagi, sikap seperti ini sangat tidak arif. Sikap itu hanya mengindikasikan mau cuci tangan dan lepas dari tanggung jawab.
Karena orang-orang yang dipercaya merenovasi kastil itu tidak mampu berbuat apa-apa, ebaiknya kita yang berada di luar kastil pasir menginisiatifkan kerangka yang lebih kuat. Caranya, pertama, mengembalikan prinsip-prinsip hukum pada interaksi sosial dan politik. Misalnya, setiap demonstrasi tidak selayaknya dibawa pada penghancuran dan kekerasan, tetapi dibawa ke badan hukum demi menegakkan pilar kastil.Kedua, tidak menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya unsur dalam pemerintahan akan tetapi memaksimalkan upaya-upaya administrasi, legal, birokrasi, dan keamanan dalam menjalin hubungan pemerintah dengan masyarakat dan hubungan antaranggota masyarakat.
Ketiga, rakyat Indonesia patut memberikan pelajaran kepada pemerintah dan wakil rakyat bagaimana memahami konsep kerja sama dan pembagian kerja yang terorganisasi. Keempat, setiap individu layak membawa dan membangun ideologi politiknya secara independen melalui kepekaan-kepekaan sosial dan politik sehingga tidak mudah terbawa oleh gelombang ikatan emosional yang menghancurkan kastilnya sendiri. Dan, kelima, setiap orang berhak lahir dan hadir di dalam kastil yang mereka bangun dengan susah payah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut moral kemanusiaan dan tata perekonomian.
Untuk membangun kastil baru politik Indonesia yang kukuh, harus ada sejumlah kesadaran yang dimiliki bangsa ini. Antara lain, pertama, bahwa kastil yang akan dibangun nanti membutuhkan arsitek yang memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi terhadap orang-orang yang membutuhkan kastil tersebut sebagai lahan hidup berbangsa dan bernegara. Kedua, harus ada kesadaran bahwa Kastil Indonesia nanti adalah milik semua insan yang lahir dan hadir di sana. Oleh karena itu, tidak ada individu atau kelompok yang berhak mendominasi dan menghancurkan kastil yang dibangun bersama dengan peluh, darah, dan air mata.
* Notrida Mandica adalah mahasiswa program doktor Northern Illinois University, DeKalb, IL
---
Yohanes Sulaiman:
Menanggapi kastil pasir
(Jawa Pos, February 10, 2001)
Tulisan Ms. Mandica tentang 'kastil pasir' sangatlah menarik. Ia memang secara tepat menggambarkan bagaimana kondisi negara kita yang rapuh, yang sekali diterpa gelombang demokrasi langsung hancur karena kerapuhan kerangka kastil pasir ini. Walaupun analoginya tentang kastil pasir adalah tepat, namun, ada satu kesalahan logika pada tulisannya ini yakni tak adanya fokus pada fondasi kastil.
Para pembaca yang menguasai tekhnik sipil pasti tahu bahwa untuk membuat suatu bangunan, kita tak boleh hanya bergantung kepada kerangka beton, namun harus juga membangun pondasi yang benar-benar kuat dan stabil. Contohnya untuk membangun gedung puluhan tingkat, kita harus lebih dulu menggali sampai beberapa puluh meter ke dalam tanah sampai menusuk pondasi batu dan kemudian baru meletakkan dasar untuk bangunan itu. Hal ini yang sama sekali tak disentuh Ms. Mandica dalam kolom opininya itu.
Fondasi politik kita merupakan hal yang sangat vital bagi keutuhan dan kestabilan negara kita, karena tanpa fondasi yang kuat, sehebat apapun kerangka yang menyangga kastil kita, begitu ada gempa, kastil itu akan rubuh. Kita sudah mengalami gempa: yakni kejatuhan Presiden Suharto dan krisis ekonomi yang berkelanjutan, dan kedua gempa itu membuktikan bahwa fondasi negara kita sangatlah lemah karena fondasi negara kita didirikan di atas pemerintahan authoritarian yang diwarnai KKN. Intinya, kelemahan terbesar dari fondasi pemerintahan Orde Baru adalah tidak ditegakkannya hukum secara absolut.
Hukum merupakan fondasi yang teramat penting bagi kastil baru kita. Ms. Mandica saya rasa melakukan kesalahan besar karena menganggap hukum adalah pilar dari negara. Justru saya menekankan bahwa hukum adalah fondasi yang paling fundamental bagi negara kita. Kesadaran hukum dan pelaksanaannya dengan konsekwen akan membuat rakyat merasa diperlakukan dengan adil.
Namun Indonesia di era reformasi tetap mendirikan kastilnya di atas fondasi bangunan Orde Baru yang terbukti tak kuat melawan gempa. Kita bisa melihat dengan jelas buktinya: KKN yang terus terjadi, konflik ethnis yang berkelanjutan, dan gerakan terror yang terjadi di mana-mana. Jikalau dasar bangunan kita (hukum) memang kuat, seharusnya semua yang telah disebutkan diatas tak akan terjadi atau paling tidak tak akan membahayakan kestabilan nasional. Namun, karena memang dasarnya tidak kuat, maka bangunan yang sekarang kita bentuk akan terus dalam kondisi rapuh.
Untuk memperoleh kestabilan politik di masa depan, yang perlu kita lakukan adalah merombak fondasi 'bangunan' kita yang sekarang. Kita tak bisa mendirikan bangunan yang baru dan kuat di atas fondasi yang cacat. Indonesia harus lebih jujur dalam memandang dirinya, yakni bersedia membongkar bagian-bagian yang fondasinya lemah atau bobrok.
Bukanlah usaha yang mudah untuk membongkar bagian-bagian yang bobrok. Dalam membongkar fondasi yang bobrok, kita pasti akan terus berhadapan elit politik yang memiliki vested interests untuk menghentikan pembongkaran ini. Contoh mudahnya adalah penyelidikan pada penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Baru. Apakah hasil yang kita dapatkan sekarang? Harta kekayaan yang dikorupsi penguasa dari rakyat tetap tak dikembalikan. Penyelidikan terhadap kasus KKN juga tak terdengar lagi, atau lebih tepat terhenti. Apakah yang 'diajarkan' kasus ini kepada rakyat? Penguasa yang korup berkedudukan di atas hukum dan tak bisa dijangkau oleh pedang dari dewi keadilan.
Dampak dari hukum yang tak bisa dijalankan secara tegas sangatlah mengerikan. Karena sebagian golongan bisa tak terjangkau tangan hukum, maka rakyat merasa buat apa lagi patuh kepada hukum dan pemerintah? Rasa percaya kepada hukum yang sudah luntur akhirnya menyebabkan dua hal: main hakim sendiri dan skepticism kepada pemerintah. Jika rakyat sudah tak percaya lagi kepada pemerintah, sekuat apapun pilar negara, negara itu akan hancur. Kepercayaan rakyat kepada fondasi negara yang kuatlah yang menentukan apakah sebuah kastil akan tetap berdiri atau jatuh.
Konflik ethnis, golongan, gerakan terror, dsb merupakan pertanda bahwa hukum tak lagi dianggap serius. Jika hukum dianggap serius, rakyat akan takut untuk melanggarnya. Peneror tak akan berani untuk melakukan aksi terornya. Konflik etnis tak akan terjadi karena tangan hukum akan segera menangkap kaum provokator dan menghukum mereka dengan tegas. Pemerintah yang berwibawa dengan dasar hukum akan ditakuti dan sekaligus dicintai rakyatnya. Namun kerapuhan hukum di negara kita menyebabkan gerakan-gerakan terorisme tersebut tak bisa diatasi dan hasilnya Indonesia semakin rapuh dihantam gelombang.
Terakhir, tulisan Ms. Mandica memang tepat dalam menuliskan kesadaran-kesadaran yang diperlukan untuk membangun kastil yang indah. Memang Indonesia sekarang ini butuh pilar-pilar yang kuat dan kerangka bangunan yang kukuh untuk menuju ke era yang baru. Namun, jikalau fondasi kastil ini tak dalam, maka sekuat apapun pilar kita, kastil kita akan tetap rubuh jika melawan gelombang.
No comments:
Post a Comment