Akhirnya ditemukan, artikel paling pertama yang saya tulis. Ini masuk ke beberapa milis, dan kelihatannya sudah tak jelas nasibnya.
Menarik kalau saya membaca ulang artikel ini. Tentu saja, banyak nuansa di jalanan yang waktu itu tak saya ketahui, mengingat saya ada di Madison, Wisconsin pada saat demonstrasi, jadi tulisan ini mungkin kurang mendalam. Tapi saya kok masih percaya, kalau saja waktu itu tak ada Mei 1998, Mungkin Suharto masih bisa memecah mahasiswa - terlihat sewaktu Pak Habibie naik, mahasiswa langsung terpecah dan pendudukan di MPR/DPR berakhir.
Di sisi lain, tulisan ini mungkin bisa lebih relevan untuk 2014, di mana tak ada "single figure" yang mewakili pemerintahan yang dianggal "zalim." Demonstran, kebanyakan dibayar, hanya melawan hantu bernama "neolib" dan "kolonialisme." Pemerintah SBY yang dikecam pun sebetulnya tak seburuk itu. Sehingga akhir demonstrasi mahasiswa pun cenderung tak terorganisir.
Yah, saya tak tahu siapa yang membaca arsip ini, tapi komentar akan dengan senang hati diterima, dan mengingat sudah 13 tahun sejak saya menulis tulisan ini, pasti banyak sekali kelemahannya, apalagi setelah melawan fakta bahwa Suharto jatuh pada Mei 1998.
YS
-------------------
Demonstrasi Indonesia 1998 = Paris 1968?
Fri, 03 Apr 1998
A prince must endeavour to win the reputation of being a great man of outstanding ability. A prince also wins prestigete for being a true friend or a true enemy. Everyone imagines he is competent, and hitherto no one has had the competence to dominate the others.
-Niccolo Machiavelli
Pada tahun 1968, di Paris, pemerintahan Presiden Charles de Gaulle diguncang oleh demonstrasi raksasa. Ribuan mahasiswa turun ke jalan-jalan memaksa reformasi dan meminta Presiden Charles de Gaulle untuk turun tahta. Selain itu para mahasiswa juga menginginkan untuk perubahan sosial secara menyeluruh, terutama pemerintahan 'kaum borjuis.' Para mahasiswa dengan sukses meminta dukungan dari kaum buruh melalui media massa, dan kaum buruh yang bersimpati mendukung demonstrasi itu dengan mengadakan aksi mogok besar-besaran. Pemerintah Perancis sudah siap jatuh, dan bahkan waktu itu de Gaulle sendiri pergi ke Jerman untuk 'make sure' bahwa pasukan Perancis dalam NATO masih setia kepadanya dan siap menyerbu Paris dengan perintahnya. Namun, mendadak ditengah masa-masa krisis tersebut, demonstrasi itu gagal total, dan pemerintah de Gaulle pun tetap terpilih lagi dalam pemilihan umum berikut.
Ada beberapa penyebab dari kegagalan demonstrasi itu, dan salah satunya adalah datangnya hari libur. Ini mungkin memang agak aneh, tapi liburan musim panas berpengaruh besar kepada gagalnya demonstrasi itu untuk menjatuhkan Presiden de Gaulle. Para mahasiswa, yang sudah capek, langsung pergi berlibur ke pinggir pantai dan meninggalkan demonstrasi itu. Begitu musim panas berakhir, mereka kehilangan momentum, karena mereka kehilangan dukungan dari:
-Kaum buruh, yang sejak pertama memang sudah agak sinis dengan mahasiswa yang dianggap ingin Revolusi sosialis, sedangkan kaum buruh sendiri hanya ingin perbaikan upah dan kondisi kerja. Dengan perginya mahasiswa, Presiden de Gaulle memecah buruh dengan membuat perjanjian dengan mereka yang isinya memenuhi sebagian tuntutan mereka.
-Kaum middle class, yang ingin ketenangan. Mereka tidak suka dengan instabilitas yang ditimbulkan mahasiswa, dan Presiden de Gaulle menggunakan sikap tersebut dengan membentuk demonstrasi tandingan yang beranggotakan kaum middle class.
Sebagian pembaca mungkin ada yang menganggap bahwa demonstrasi di atas tak memiliki relevansi atau kurang sesuai dengan demonstrasi di Indonesia sekarang ini. Namun, saya menganggap keduanya memiliki kemiripan yang unik: Mahasiswa yang tak menyukai status quo dan ingin perubahan, pemerintah yang statik, dan kaum
buruh yang bergolak, serta kaum middle dan upper class yang sangatconcern kepada stabilitas negara kita, karena sekali ada kerusuhan besar, rupiah bisa anjlok kembali dan kejatuhan rupiah akan lebih menghancurkan keadaan ekonomi kita. Hal ini sangat ditakuti kaum middle dan upper class karena 'they have everything to lose in this demonstration.'
Hal-hal di atas wajib dipikirkan dalam demonstrasi yang akhir-akhir ini melanda negeri kita. Apakah demonstrasi mahasiswa Indonesia akan berakhir dengan sia-sia? Ataukah ada alternatif yang bisa mereka beri? Selain itu, bagaimana caranya supaya mereka bisa tetap mempertahankan momentum demonstrasi mereka sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan.
Belajar dari pengalaman mahasiswa Paris 1968, kelemahan demonstrasi mereka dan demonstrasi mahasiswa Indonesia sekarang adalah kurangnya persatuan. Mahasiswa Perancis tersebut tidak menggalang habis-habisan persatuan mereka dengan kaum buruh, apalagi kaum middle class. Walaupun memang banyak pihak yang menaruh simpati kepada demonstrasi tersebut, namun gerakan itu tak memiliki alternatif yang sama dan selaras dengan gerakan-gerakan oposisi lain di Indonesia. Mahasiswa ingin mengganti total pemerintahan, namun, apa alternatif mereka? Di sini mereka kehilangan dukungan middle class. Selain itu tidak adanya agenda yang sama antara gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia mengakibatkan kurangnya persatuan antara gerakan-gerakan
mahasiswa itu sendiri. Semua memiliki tujuan yaang sama: yakni turunnya pemerintah. Namun, semua orang masih bertanya-tanya:setelah itu apa? Sedangkan, kaum buruh hanya mau perbaikan standar hidup. Itu saja sudah cukup. Perbedaan dari tujuan akhir menyebabkan mereka dapat dipecah dengan mudah, apalagi ditambah
dengan liburan musim panas/semester ini yang akan menyebabkan hilangnya momentum demonstrasi ini.
Sekarang semangat mahasiswa sedang terbakar untuk meminta reformasi besar-besaran. Namun, sebentar lagi sekolah akan mengalami recess musim panas. Apakah momentum mereka masih tetap sama? Apakah mereka akan tetap mengadakan demonstrasi? Sebagian pembaca akan menyatakan mereka pasti akan terus demonstrasi. Namun, harus diingat juga para mahasiswa sekarang sudah kecapaian, oleh kerja semester ditambah lagi demonstrasi ini. Ingat, sekarang sudah akhir Maret, dan sekitar Mei/Juni, universitas pasti sudah mulai diliburkan. Walaupun tidak semua mahasiswa Indonesia akan meninggalkan ibukota dan berlibur, namun, di dukung dengan keadaan 'libur,' otomatis semangat mahasiswa akan berkurang dan pada akhirnya akan kehilangan momentum. Seperti di sekolah saja, siapa yang mau terus bekerja dan belajar sementara di sekeliling mereka situasi sudah dalam keadaan libur dan semua siswa bersantai.
Selain itu juga, apakah tuntutan mahasiswa? Apakah alternatif yang disampaikan oleh mahasiswa yang bisa diterima oleh semua orang? Sekarang mahasiswa menuntut ganti pemerintah. Diganti oleh siapa? Siapakah yang bisa mempersatukan Indonesia yang sekarang sedang bergolak? Terus terang, saya tak bisa melihat alternatif lain
selain dari pihak militer lagi. Sipil sudah terpecah karena tak ada persatuan agenda dari pihak mereka, dan ditambah lagi tak adanya 'united front' untuk melakukan perubahan. Dari diskusi dan berita yang saya baca, sayangnya hanya inilah yang bisa saya simpulkan. Untuk kaum middle class, saya rasa tak ada lagi option lain. Semua pasti berpikiran bahwa dari pada mengalami anarki yang tak jelas akhirnya, lebih baik diperintah lagi oleh birokrat yang lama. Sangat ditakutkankan kalau anarki yang menjadi akhir dari demonstrasi mahasiswa karena kurangnya rasa persatuan dan tak adanya agenda yang sama. Hal ini menyebabkan kurangnya dukungan middle dan upper class kepada gerakan mahasiswa sekarang ini.
Terlihat dari berita-berita belakangan ini bahwa pemerintah kita sangatlah cemas dengan perkembangan politik sekarang ini. Untuk mencegah merambatnya kerusuhan, Menteri Sosial kita mengadakan warung tegal gratis, membagikan makan siang ke para pekerja di ibukota. Perlu di ingat, bahwa walaupun tindakan itu sangat
bagus, tapi pada akhirnya hanya ada satu tujuan: mencegah demonstrasi mahasiswa merembet ke kaum buruh dan pada akhirnya memperburuk situasi keadaan di Indonesia dan Jakarta pada khususnya. Berhubung situasi Jakartalah yang paling kritikal, karena itu aksi sosial ini dilakukan seluruhnya di Jakarta. Saya jadi ingat film
Pemberontakan G30S/PKI, dimana Aidit menyatakan bahwa PRRI/Permesta gagal karena mereka tak menguasai Jawa. Jawa adalah inti dari kekuatan Indonesia, dan terutama Jakarta adalah urat nadi Indonesia. Karena itu, tak heran pemerintah menganggap Jakarta sangat vital dan perlu dipertahankan. Untuk itu, perlu ketenangan buruh di Jakarta.
Jikalau mahasiswa benar-benar ingin suatu perubahan, mahasiswa perlu memikirkan beberapa hal ini:
-Sejauh mana mereka ingin perubahan? Sampai pemerintah sekarang jatuh, atau sampai Bapak Suharto merombak kabinetnya?
-Jika mereka memang ingin pemerintah jatuh, siapa alternatif yang bisa mereka beri?
-Apakah hasil dari kejatuhan itu adalah anarki total, atau ada alternatif yang bisa diterima oleh golongan menengah dan pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia?
Permasalahan kaum reformis di Indonesia baik yang radikal maupun yang non radikal sekarang ini adalah dari segi siapakah yang menjadi pemimpin utama. Sekarang ini, demonstrasi di Indonesia sangat lemah dan tak akan mampu mengguncang pemerintah karena tak adanya konsensus untuk siapa yang akan menjadi pemersatu
Indonesia. Perlu satu konsensus yang bisa memaksa pemerintah untuk melakukan perubahan. Saya ambil contoh dari gerakan Mussolini di Italia pada tahun 1920-an. Saya bukan pendukung fasis Italia, tapi saya rasa kita bisa menarik pelajaran dari gerakan 'Black Shirt'-nya. Waktu itu sebetulnya Partai Fasis tidak memiliki kekuatan besar, tapi Mussolini berhasil menggerakkan pendukung Fasis untuk melakukan 'March to Rome' yang berhasil menakuti Raja Victor Emmanuel dan menyebabkan dia memberi posisi 'Il Duce' padanya. Jikalau mahasis-
wa berhasil membuat united front dibawah satu tokoh yang bisa mewakili semua kepentingan, gerakan demokrasi di Indonesia bisa memiliki efek yang hebat.
Jikalaupun ada satu orang yang bisa mempersatukan gerakan reformasi di Indonesia, bagaimana seharusnya cara yang diambil? Dengan kekerasan? Dengan pembakaran, keributan besar-besaran, dsb? Tidak. Reformasi di Indonesia perlu dilakukan dengan dasar:
-reformasi sosial : Reformasi di bidang sosial sangatlah diperlukan di Indonesia. Walaupun tak ada kasta di Indonesia, tapi di Indonesia terdapat budaya 'petinggi,' 'perbedaan agama,' 'perbedaan suku.' Pokoknya yang bersifat SARA. Perlu ada reformasi sosial dari rakyat dan mahasiswa sebelum kita benar-benar bisa bersatu padu. Selama ini hanya militer yang dianggap bisa mempersatukan Indonesia, dan hal itu sudah lama dianggap sebagai fakta yang benar dan tak bisa dibantah. Jika Indonesia mau saja melakukan reformasi sosial, tak
perlu lagi militer untuk mempersatukan kita. Reformasi sosial perlu waktu yang lama, tapi jikalau mahasiswa Indonesia dalam agendanya juga mengumumkan sikap idealis ini sebagai dasar mereka, ini akan menarik simpati golongan yang sampai saat ini skeptik akan gerakan reformasi sekarang ini. Sangat disayangkan bahwa sebagian besar gerakan-gerakan reformasi di Indonesia sekarang ini bernafaskan sikap per golongan saja yang pada akhirnya mencegah terbentuknya united front kepada pemerintah sekarang.. Contohnya di India, Gandhi
berusaha melakukan reformasi sosial dalam gerakan dia, sehingga gerakannya itu di dukung oleh semua kasta India. Bahkan sebagian umat Islam pun mendukung gerakannya karena sikapnya yang ingin reformasi sosial.
-tanpa kekerasan. Dalam banyak peristiwa, kekerasan hanya akan dibalas dengan kekerasan, lagipula kekerasan sendiri tak berdasarkan moral, dan menghapuskan dukungan kepada gerakan mahasiswa sekarang. Dengan gerakan tanpa kekerasan, justru pemerintah yang akan di kecam kalau membubarkan demonstrasi damai dengan cara kekerasan. Hal ini dilaksanakan oleh Martin Luther King, Jr. dalam kampanye reformasi dia di Amerika Serikat. Dengan car
No comments:
Post a Comment