Laporan tentang diskusi buku dengan Pramoedya Ananta Toer dalam turnya di Amerika Serikat tahun 1999. Tak banyak komentar, kecuali kalau seakrang ini, saya akan lebih "sinis" membaca uraian dan tanggapannya, mengingat Pramoedya Ananta Toer itu sangat "kiri" dan diwarnai nostalgia terhadap Sukarno. Namun tetap saya akui bahwa Pramoedya Ananta Toer memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dan saya pasti akan tetap belajar banyak kalau saya sekarang ini bisa berdiskusi dengan beliau.
YS
----
Subject: Persatuan Indonesia di mata Pramoedya Ananta Toer
Date: 22-May-99
Minggu lalu saya hadir di San Francisco mengikuti acara penandatanganan buku oleh Pramoedya Ananta Toer. Tadinya saya ke sana hanya untuk meminta beliau menandatangani buku-buku saya. Namun, dalam acara tanya jawab, ada yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik, yakni apakah Indonesia bisa terus bersatu dan bagaimana hubungan Chinese di Indonesia.
Tulisan berikut ini merupakan penyusunan ulang dari tanya jawab dengan Toer dan ada sedikit perubahan untuk memperjelas dan mempermudah pembacaan tanpa mengubah arti secara total. (ditambah lagi saya sudah mulai lupa akibat berjalannya waktu). Saya minta kalau ada yang pernah mendengar M. Toer mendiskusikan soal ini, tolong ditambah atau diralat agar tulisan ini menjadi lebih sempurna. Atau kalau ada yang memiliki segment-segment percakapan, tolong ditambah juga.
Yohanes Sulaiman
-----
Inti pertama dari pertanyaan-pertanyaan kepada M. Toer adalah kenapa di Indonesia bisa terus terjadi kerusuhan dan perpecahan seperti ini. M. Toer percaya bahwa sebetulnya Indonesia bisa bersatu, dan sebetulnya gerakan kemerdekaan Aceh itu merupakan 'backlash' dari Orde Baru. Apakah ada buktinya? Ada, yakni Presiden Sukarno sendiri. Tahun 1945, waktu Indonesia baru merdeka, orang Aceh merupakan satu daerah pertama yang mengirim delegasi ke Bung Karno membawa puisi yang memuji kebesaran Bung Karno dan keinginan Aceh untuk berjuang bagi Indonesia. Namun sejak jaman Belanda, ide persatuan terus dipecah karena 2 hal; yakni 'Jawa Centrism' dan 'Kemalasan mempelajari sejarah.'
Kemalasan mempelajari sejarah itu merupakan penyakit kronis di Indonesia. Menurut Toer, untuk mengetahui masa sekarang justru perlu mempelajari masa lalu. Sayangnya banyak dari ilmuwan yang tak mengerti soal ini.
Kalau kita mempelajari sejarah, justru kejadian perpecahan sekarang sudah pernah juga terjadi di masa lalu. Sejak dulu Belanda melakukan 'Jawa Centrism' untuk memecah Indonesia. Caranya adalah Belanda bawa 'pembunuh' dari Jawa ke laur Jawa dan membawa harta kembali ke Jawa. Intinya adalah semuanya dipusatkan di pulau Jawa, yakni di Batavia. Hal ini sayangnya terus terjadi sampai sekarang. Sukarno berusaha menghentikan masalah ini dengan merencanakan untuk memindahkan ibukota Indonesia ke Palangkaraya berhubung lokasinya yang ditengah Indonesia. Hal ini juga memberikan dampak positif lain, yakni penduduk tak lagi terpusat di Jawa dan pemindahan ibukota bisa dibiayai oleh kayu Kalimantan. Namun terjadi G30S/PKI dan rencana dibatalkan. Orde Baru melakukan kembali politik Jawa Centrism dan hasilnya kayu Kalimantan habis tapi ibukota batal pindah.
Hal yang sama juga terjadi untuk kaum Chinese di Indonesia. Orang-orang Chinese sudah lama ditindas dan 'dikerjai' di Indonesia. Di jaman VOC, tahun 1640 orang-orang Chinese diculiki untuk dipaksa membuat benteng Batavia. Pada tahun 1740, ribuan orang Chinese dibunuh di Batavia dan dalangnya adalah VOC.
Puluhan tahun kemuidan, salah satu minister Kristen menyebutkan bahwa waktu itu yang mati belasan ribu orang. Pada tahun 1912, SI di Solo ribut melawan orang Chinese. Menurut Toer, keributan itu adalah SI dimanfaatkan Belanda untuk menekan Chinese karena Belanda takut SI terlalu radikal dan menjadi anti Belanda. Tahun 1916 terjadi lagi gerakan anti Chinese dengan alasan yang relatif sama.
Kenapa kaum Chinese selalu menjadi korban kerusuhan di Indonesia? Kalau menurut Toer, itu bukan karena hanya akibat perbedaan sosial. Namun, Toer menyatakan sebab utamanya adalah orang-orang Chinese tak suka politik dan karena itu tak punya juru bicara. Dia menekankan bahwa minoritas perlu ikut berorganisasi dan politik; dan tanpa itu kerusuhan anti Chinese akan terus terjadi di Indonesia.
Namun, ada satu hal terutama yang perlu dilakukan untuk mempersatukan Indonesia kembali. Untuk memotong lingkaran setan sejarah itu, perlu kita mempelajari sejarah agar kesalahan yang lama tak terulang dan ini perlu ditanamkan ke intelektual Indonesia yang baru. Dia percaya bahwa generasi muda sekarang ini bisa memotong lingkaran setan itu. Namun, yang perlu dilakukan terutama adalah belajar dari sejarah dan dari sini kita bisa melihat masa depan Indonesia yang bersatu dan makmur.
Yohanes Sulaiman
Tambahan:
Satu pengalaman sangat menarik dari teman saya yang di Madison. Saya kutip ini tanpa ijin dia sayangnya....
---------
Saya ingin membagi sedikit percakapan saya dgn Pak PRAM. Saya bertanya kpd beliau, "Apa yg bisa dilakukan mahasiswa di luar negeri secara konkrete, bila ingin lebih ikut andil memperbaiki keadaan bangsa dan negara saat ini?" Tanpa pikir panjang beliau bilang," Berani kamu kasih alamat kamu ke PRD (Partai Rakyat Demokrat, salah satu partai yg ikut pemilu)?"
Saya bingung, kenapa Pak Pram ini mendukung PRD?? Apa hubungannya beliau terhadap partai tersebut, saya sempat berpikir, jgn-2 malah Pram ini kaki-tangan-nya PRD? Saya tanyakan sama Pram kenapa Bapak berkata begitu?? Lalu dgn tenang beliau menjawab,... Partai itu adalah partai Generasi Muda, generasi Penerus Bangsa, masih bersih,.. tidak ada kepentingan pribadi.."
Saya terkesima mendengar jawaban yg simpel dan to the point tsb. Pramoedya berkata gitu bukan demi kepentingan pribadi, sama sekali dia tak pernah bermain dalam politik menjabat suatu jabatan. Beliau berkata begitu tak lain dan tak bukan hanya untuk memberi dukungan bagi generasi muda, generasi yg akan menentukan nasib bangsa Indonesia.
-----
No comments:
Post a Comment