Artikel yang rupanya masih relevan! Dulu kita ribut-ribut mau jatuhin Gus Dur. Sekarang ribut-ribut mau jatuhin SBY. Kenapa?
YS
-------------
Date: Thu, 05 Oct 2000 18:32:39 -0400
Subject: Anarchy Indonesia
Kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998 adalah tragedi!
Mengapa sebuah tragedi? Bukankah kejatuhannya merupakan akhir dari pemerintahan otoriter yang berkuasa selama tiga puluh tahun-an?
Tragedi untuk Indonesia adalah Indonesia saat itu kehilangan pegangan setelah selama tiga puluh sembilan tahun dipaksa 'berpegangan' kepada sistem otoriter.
Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid sudah berumur hampir dua tahun, dan sementara ini rasa percaya masyarakat kepada pemerintah justru terlihat semakin berkurang. Apakah ini merupakan salah Gus Dur? Saya rasa mungkin Gus Dur sebagai manusia memiliki banyak kesalahan, namun saya terus terang sangsi bahwa hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah merupakan kesalahan Gus Dur.
Justru hilangnya kepercayaan rakyat merupakan suatu proses yang memang sejak dulu sudah terjadi, dan Gus Dur kalau saya gambarkan sebetulnya adalah 'flight instructor' yang mendadak mendapat posisi sebagai pilot Boeing 747 yang 'out of control,' habis bensin, dan sementara beberapa kilometer di depannya ada gunung dan dibawah tak ada apa-apa selain hutan rimba sehingga sulit sekali mendaratkan kapal. 'Mission Impossible'-nya Gus Dur adalah berusaha mendaratkan kapal tersebut sementara dibelakangnya para penumpang berusaha mendobrak pintu kokpit karena mereka merasa mereka adalah pilot yang lebih baik, walaupun mereka tak memiliki sertifikat, let alone ijin terbang.
Melihat gambaran di atas, saya sebetulnya argue bahwa Presiden Suharto-lah yang membawa kapal dalam posisi tersebut dengan KKN-nya dan karena ia tak melakukan perombakan politik/transisi selama ia masih berkuasa.
Akibatnya, pegangan yang rakyat Indonesia tahu sampai sekarang adalah pemerintahan yang otoriter, di mana rakyat tak bisa memilih yang terbaik, dan akhirnya kita mendirikan 'Republik Beo' karena rakyat hanya menuruti mereka yang di atas, mudah dihasut, dan tak bisa mengeritik pemerintah dengan baik. Rakyat akhirnya hanya mengetahui sistem kekerasan yang memang ditanamkan oleh rezim yang lama; karena rakyat belajar bahwa dengan power kamu bisa mendapatkan segalanya. Akhirnya, rakyat Indonesia merupakan cermin dari pemerintahan yang lama yang otoriter, dan inilah yang diinginkan penguasa lama: rakyat yang memang membeo dan bergantung kepada dia yang di atas. Begitu pemerintah lama jatuh, rakyat tak lagi punya jaminan dan pegangan, dan timbul kerusuhan sosial.
Di jaman Suharto, walau aparat bertindak sewenang-wenang, tapi at least masih ada sedikit jaminan hukum, akibat rezim otoriter yang memang memberikan rasa aman kepada mereka yang tak menentangnya (atau tepatnya rasa takut kepada rakyat). Namun, di era 'reformasi,' aparat tak lagi memiliki 'aura of invicibility' seperti di masa lalu, sehingga rakyat tak lagi memiliki rasa takut (let alone rasa percaya) kepada aparat negara. Hasilnya adalah Indonesia kehilangan jaminan keamanan atau bisa dikatakan sebagai anarki/anarchy. Dapat dikatakan bahwa ini sebetulnya akar masalah pertikaian SARA di Indonesia.
Apakah anarchy itu? Anarchy adalah kurangnya keteraturan dalam masyarakat, dimana secara intinya tak ada satu unit yang bisa menjadi tempat bertumpu dalam masalah keamanan dan ketertiban. Pada jaman Suharto, tempat bertumpu masyarakat adalah rezimnya dan juga kredibilitas yang dimiliki sang mantan presiden.
Mengapa pada jaman Suharto sedikit sekali terjadi konflik SARA? Hal ini bukan hanya karena kediktatoran Suharto menekan rasa benci antar suku, bukan juga karena perusuh takut atas kekuatan TNI. Namun di masa Suharto, kelompok-kelompok yang bertikai memiliki 'arbiter' yakni pemerintah Suharto, sehingga walaupun sering kali keputusan sang arbiter kontroversial, tapi setiap itikad kelompok mendapatkan kredibilitas karena 'digaransi' pemerintah. (Ditambah lagi rekonsiliasi paksaan).
Kejatuhan Suharto merusak sistem 'arbiter' dari pemerintahan Suharto. Keadaan anarkis di Indonesia menyebabkan rasa 'uncertainty' diantara rakyatnya, sehingga tak ada yang bisa memberikan komitmen yang kredible karena tak adanya lagi 'guarantator' yakni pemerintah.
Hobbes menyatakan 'homo homini lupus,' manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan karena itu orang-orang untuk mencari keamanan dan keselamatan bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada pemerintah, dan pemerintah wajib melindungi rakyatnya. Jadi menurut definisi ini, kewajiban utama pemerintah adalah memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya. Karena itu rakyatpun dengan senang hati akan menyerahkan haknya di segi hukum dan pajak untuk negara. Namun faktanya adalah Indonesia tak sanggup memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya.
Dengan mengikuti definisi di atas, maka sebetulnya dapat dikatakan walaupun Indonesia sebetulnya memiliki negara (walau skeptik akan menyatakan ini pemerintahan buta-bisu-tuli), tapi secara realitas Indonesia sendiri sebetulnya tak memiliki pemerintah, karena pemerintahnya tak bisa memenuhi kewajibannya yakni memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya.
Fakta lapangannya sendiri adalah kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah sedemikian parahnya, terutama dalam masalah keamanan-ketertiban atau bahasa 'beken'-nya ORDER. Tak adanya rasa percaya rakyat kepada jaminan kepercayaan kepada pemerintah menyebabkan terjadinya kebiasaan main hakim sendiri. Memang kebiasaan main hakim sendiri sudah merupakan tradisi bahkan sejak jaman Orde Lama, tapi tak pernah kegiatan ini seekstrim saat ini, dimana seseorang dapat dibakar di depan massa di tengah ibukota (Jakarta, obviously) hanya karena DITUDUH mencuri.
Belum lagi keributan bersifat SARA di daerah-daerah, yang sebetulnya sebagian berasal dari masalah yang 'relatif' sepele. Contohnya, pemicu kerusuhan di Maluku adalah seseorang yang ribut dengan supir bis, suatu hal yang sebetulnya bisa diselesaikan dalam waktu semalam, kalau saja kedua pihak bisa menahan diri dan percaya kepada pihak yang lain. Namun, seperti yang saya ungkapkan di atas, kehilangan jaminan 'arbiter' menyebabkan rasa percaya antar golongan hilang, belum lagi karena dampak kerusuhan Mei.
Saya terus terang merasa bahwa Peristiwa Mei 1998 yang penyelesaiannya sampai sekarang tak ada dari segi hukum merupakan bukti bagi golongan lain bahwa pemerintah sebetulnya berpihak dan tak melindungi SELURUH rakyatnya. Sebetulnya biarlah korban kerusuhan Mei tak mendapat keadilan, anggaplah mereka sebagai martir, namun pemerintah WAJIB menjadikan peristiwa Mei sebagai pelajaran bahwa satu kesalahan bisa berakibat hancurnya kestabilan sosial di Indonesia sehingga tak heran bahwa rakyat lebih merasa tertarik untuk main hakim sendiri daripada bergantung kepada pemerintah yang tak jelas posisinya.
Confucius menyatakan bahwa jika kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah hilang, maka hancurlah pemerintah itu. Saat ini saya rasa rakyat masih memiliki SEDIKIT rasa percaya kepada pemerintah. Namun kaum politis sekarang perlu sadar bahwa rasa percaya rakyat sudah hampir hilang.
Konflik antara legislatif-eksekutif-yudikatif yang terjadi di Indonesia saat ini juga bukanlah membantu rakyat, malahan konflik ini membuat rakyat lebih kehilangan kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Dampaknya adalah rakyat menginginkan kestabilan lama, order yang lama yang telah dijatuhkan pada tahun 1998 karena mereka sudah bosan atas keributan dan sengketa ini. Akhirnya saya berani meramalkan bahwa Indonesia akan jatuh di rejim otoriter kedua. Di saat itu, tak akan ada yang menyesali kehancuran demokrasi di Indonesia.
Sebuah ramalan Jayabaya yang terkenal adalah tentang 'NoTo NoGoRo.' Mungkinkah semuanya adalah nama para pemerintah otoriter di Indonesia, sebelum datangnya Ratu Adil?
YS
No comments:
Post a Comment