Menarik membaca ulang analisa tua ini. Pertama-tama, ini mungkin analisa yang saya bisa bilang paling akurat dan paling banyak "terbukti" karena waktu itu informasi yang saya dapatkan sangat banyak, baik dari para aktivis PDI-P di Amerika, maupun percapakan dengan politisi-politisi Indonesia yang waktu itu berkunjung ke Amerika untuk berkampanye.
Yang menyedihkan adalah sampai sekarang kelihatannya PDI-P pun masih tetap memiliki kesalahan yang sama, yakni terlalu mengandalkan Megawati dan terlalu percaya diri. Apakah itu kenaifan atau wishful thinking, kita tak tahu. Tapi yang pasti, ini berlaku juga kepada semua partai politik di Indonesia, bahwa partai yang dibangun berdasarkan karisma satu tokoh tak akan bisa bertahan lama dalam kemenangannya.
YS
-----------
Date: Sat, 09 Oct 1999
Subject: Power politics di Indonesia atau kesalahan besar PDI-P
Roma, Ides of March, 44 BC....
Para penggemar sejarah akan tahu hari itu: yakni hari di mana Julius Caesar dibunuh oleh senat Roma.
Jikalau Julius Caesar seorang jendral gagal atau memalukan nama Roma, mungkin tak akan ada yang peduli. Namun Julius Caesar merupakan salah satu jendral terbesar Roma yang berhasil memperluas kekuasaan Republik Romawi dan menghancurkan semua pemberontakan. Ditambah lagi, Caesar banyak dianugrahi penghargaan oleh senat sendiri.
Mengapa seorang jendral sukses yang menyebarkan kekuasaan Roma mendapat nasib sedemikian naas?
Salah satu jawabannya: musuh-musuhnya merasa sangat terancam kekuasaan mereka sehingga senat Roma yang biasanya terpecah memutuskan untuk mempersatukan diri dan melawan Caesar. Kemenangan Julius Caesar yang berturut-turut, kehancuran Trium Trivate, serta popularitas Caesar yang terlalu tinggi ditambah lagi Senat sendiri pada masa itu mulai tak populer karena korupsi dan kekalahan perang yang bertubi-tubi. Dengan kekuatiran tambahan bahwa ada kemungkinan Julius Caesar akan mengumumkan dirinya sebagai diktator (kekuatiran yang bukan tanpa alasan), maka Senat mengambil langkah untuk menghabisi Caesar sebelum dia menjadikan dirinya sebagai diktator.
Singkatnya, Julius Caesar secara tak langsung menimbun kekuasaan dengan kemenangan-kemenangan perangnya. Senat kuatir, dan akhirnya semua faksi memutuskan untuk bersatu menghabisi pengancamnya.
Fenomena perebutan kekuasaan ini kembali terulang di Indonesia....
Cerita di atas mungkin dianggap pembaca bahwa tak ada relevansinya dengan Indonesia. Perbedaannya terus terang sangat banyak; dari perbedaan tahun (2000 tahun-an), situasi, kondisi, dan juga tokoh. Tapi saya melihat ada satu thema yang terus terulang-ulang dalam sejarah, yakni di mana pun juga, keinginan terbesar manusia adalah memperbesar power dan security dia. Karena itulah terjadi penimbunan harta kekayaan dan kekuasaan. Namun jika satu faksi terlalu kuat, maka faksi lain memiliki 2 pilihan: bergabung dengan faksi kuat itu untuk bisa berbagi kekuasaan, dengan resiko kalau semua faksi lain sudah hancur, faksi besar itu akan memakan faksi kecil itu; atau bergabung dengan faksi-faksi lain untuk menentang faksi besar itu. Tapi pergumulan kekuasaan seperti ini, tak ada yang berhak menyatakan bahwa dia yang benar atau pihak lain yang salah. Itulah peraturannya, kalau ilmiahnya itu 'survival of the fittest.' Itulah kenyataan dunia yang ada sekarang, dan kalau saya lihat sampai sekarang, PDI-P tidak belajar dari sejarah ini.
PDI-P: Bukan pemenang pemilu
Berlawanan dengan yang biasa dinyatakan oleh PDI-P, pemilu kemarin dimana PDI-P mendapatkan suara dibawah 40%, sebetulnya lebih mencerminkan kekalahan untuk PDI-P. Kenapa saya anggap PDI-P kalah? Karena walaupun PDI-P tidak mendapat suara mayoritas diatas 50%, tapi PDI-P sudah bersikap seperti pemenang besar pemilu.
Kesalahan-kesalahan PDI-P cukup banyak namun yang terbesar adalah PDI-P terlalu menganggap bahwa perolehan tertinggi dalam pemilu kemarin merupakan kemenangan mutlak. Memang benar bahwa PDI-P meraih suara terbesar, namun 40% itu bukan absolut mutlak bahwa PDI-P akan bisa mendikte keinginannya dalam MPR.
Yang terjadi adalah seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, PDI-P terlalu kuat dan ditakuti, sehingga tak heran partai-partai lain langsung bersedia bekerja sama dengan musuh terbesar mereka, yakni Golkar dengan asumsi bahwa Golkar sudah tak sekuat dulu dan juga prinsip 'Musuh besar dari musuhku adalah sekutuku.'
Di sini sebetulnya dipertanyakan apakah PDI-P sebetulnya terlalu confident bahwa semua partai akan berebutan mendukung Megawati mengingat kharisma dari Bung Karno dan juga perolehan suara di pemilu lalu, atau mungkinkah PDI-P terlalu naif dengan berasumsi bahwa partai-partai lain tak mungkin bisa bekerja sama dan tak merasa terancam oleh PDI-P. Pidato-pidato Megawati dan PDI-P sendiri tak bisa memberikan sesuatu yang bisa menghilangkan kekuatiran partai-partai lain.
Kenyataan di sidang umum MPR memberikan tamparan kepada PDI-P bahwa semua partai lain in fact bersekutu dalam melawan PDI-P dengan tujuan agar PDI-P tak akan bisa mendominasi total kehidupan politik di Indonesia.
Pendapatan suara terbesar ini yang walaupun merupakan pendapatan suara terbesar di Indonesia, membuat PDI-P lengah dan tak berusaha melakukan 'outreach' kepada partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai lain justru bergabung untuk mencegah PDI-P mendominasi pentas politik. Lain halnya kalau PDI-P mendapatkan 45-50% suara, mungkin partai-partai lain lebih ragu untuk menentang PDI-P. 50% lebih, dan semua partai akan berbondong-bondong bergabung dengan PDI-P. Namun perolehan yang dibawah 40% masih bisa dihadapi oleh partai-partai lain jika mereka mau bergabung.
Walaupun Indonesia mengikuti pemilu langsung seperti US, tetap PDI-P tak bisa langsung menyatakan bahwa dia menang, dan semuanya selesai, karena jika lawan politiknya semua bergabung, PDI-P tidak akan menang. Kita bisa melihat fenomena ini di sidang umum kemarin dimana Amien Rais terpilih menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR. Terlihat bahwa partai-partai lain kuatir melihat perolehan suara PDI-P yang tinggi dan akhirnya malah bergabung dengan sesamanya.
Et tu, Gus Dur?
Pencalonan Gus Dur menjadi presiden menimbulkan permasalahan baru untuk PDI-P. Sering sekali diberitakan bahwa Gus Dur mendukung Megawati sebagai presiden. Yang menarik itu kebanyakan orang, terutama dari kalangan PDI-P berpendapat bahwa ini sudah pasti merupakan dukungan langsung dari Gus Dur kepada Mega untuk menjadi presiden. Namun apa kapasitas Gus Dur dalam mendukung Megawati? Tidak lain Gus Dur berlaku sebagai 'patriach' dalam politik Indonesia. Untuk contoh mudahnya, kita anggap satu keluarga di mana seorang ayah memiliki 2 anak yang mau jadi lurah. Waktu si sulung minta dukungan ayah, sang ayah mendukung ambisi si sulung. Namun waktu si bungsu minta juga, sang ayah juga mendukung si bungsu.
Apakah sang ayah bermuka dua? Tidak. Sang ayah justru menyemangati kedua anaknya agar mau meraih ambisi mereka. Dia mendukung ambisi kedua anaknya, dan di sini mendukung bukan berarti bahwa sang ayah akan memilih si sulung atau si bungsu dalam pemilihan lurah nanti. Sang ayah hanya mau agar kedua anaknya serius dalam meraih ambisi dan cita-cita mereka.
Di sini kesalahan PDI-P adalah menganggap dukungan Gus Dur sebagai dukungan yang pasti, bahwa mereka akan bisa mengandalkan bahwa Gus Dur akan memilih Megawati sebagai presiden berikut. Akibatnya PDI-P menjadi lengah dalam menarik dukungan PKB karena dianggapnya jika Gus Dur mendukung Mega bahwa artinya semua akan memilih Megawati. Namun walaupun Gus Dur adalah patriach dalam politik, tak berarti bahwa PKB akan menyetujui Megawati mentah-mentah. Di sini kapasitas PKB adalah sebagai anak kedua dari sang ayah. Karena keduanya memiliki ambisi, tak mungkin yang satu mendukung yang lain semudah itu.
Satu pertanyaan lain adalah: Jika sang ayah malah dicalonkan menjadi lurah, apakah kedua anaknya akan melawan ayahnya? PKB otomatis memang sejak dulu mendukung Gus Dur. Tapi bagaimana dengan Mega? Mega memang bukan anak Gus Dur, tapi status Gus Dur sebagai patriach politik Indonesia membuat statusnya sebagai powerbroker tak bisa dianggap remeh.
PDI-P = Megawati-P?
Kelemahan lain yang tak kalah penting adalah PDI-P terlalu mengandalkan Megawati. Dari pemilu kemarin, semua orang menganggap PDI-P = Sukarno-P. Walau kharisma dari Sukarno penting untuk memikat dukungan rakyat, namun pada akhirnya visi partailah yang menentukan. Sebuah partai yang hanya kuat akibat pemimpin tak akan bertahan lama dan pasti jatuh begitu sang pemimpin tak bisa memimpin lagi. Partai harus juga memberikan visi, yakni apa fungsi partai ini, apa guna partai ini, dan apa yang partai ini cita-citakan. Sejak pemilu kemarin saya merasa bahwa PDI-P dan juga partai-partai lain tidak mengembangkan bagian yang ini. Di sini justru Golkar yang lebih lihai karena berhasil membuang predikat lamanya sebagai bujang ex-prez Suharto menjadi partai reformasi. Dalam pertemuan antar partai di Berkeley yang disponsori oleh permias lokal, terlihat bahwa M. Eki selaku wakil dari Golkar berusaha memutarbalikkan citra partai yang dari jelek menjadi bisa dipercaya. Walau Golkar masih memiliki orang-orang dari dinasti lama, tapi Golkar bisa memberikan visi kepada intelektual bahwa Golkar akan menjadi partai baru yang beritikat untuk reformasi. Ditambah kelihaian dalam melakukan politik dan kompromi, tak heran bahwa ketua DPR yang baru berasal dari Golkar.
Kelihaian Golkar dalam membentuk visi dan tujuan partai baru perlu ditiru oleh partai-partai politik lain. Jika partai-partai lain hanya menyatakan diri sebagai partai reformasi tapi tak punya visi lain, mereka hanya akan jadi bulan-bulanan dalam politik. Karena sekarang semua partai menyatakan diri sebagai partai reformasi, apa perbedaannya? Aliansi dengan Golkar pun bisa dihalalkan sekarang karena Golkar sudah dianggap sebagai partai reformasi. Di sini PDI-P mengalami tantangan berat untuk membedakan image partainya dengan partai lain, dan yang paling penting adalah melepaskan asumsi bahwa PDI-P hanya tergantung Megawati, tanpa Megawati PDI-P akan hancur. Karena itu serangan termudah dari partai-partai lain adalah dengan menyerang pribadi Megawati. Jikalau PDI-P memang memiliki visi dan dasar yang bagus serta program kerja yang konkrit, maka partai-partai lain akan mengalami kesulitan besar untuk menggoyahkan PDI-P.
Orang Kristen dalam PDI-P
Di sisi lain, kita juga perlu melihat diri kita sebagai orang Kristen dalam PDI-P. Tak diragukan bahwa cukup banyak orang Kristen yang memilih PDI-P dalam pemilu kemarin. Ketika PDI-P kalah dalam SU-MPR kemarin, apakah artinya orang-orang Kristen menaruh harapan yang salah di partai ini? Tidak juga.
Sebagai orang Kristen justru kita perlu mengadakan intropeksi diri, apakah kesalahan-kesalahan dalam partai ini. Kita juga perlu memikirkan apakah yang perlu kita lakukan agar bisa lebih berperan dalam kehidupan politik di Indonesia. Walau kita tak perlu membuat partai, namun kita harus bisa menggunakan partai yang ada untuk menyebarkan ide-ide kita yang berguna untuk bangsa. Kita harus berani mengeritik diri sendiri dan bahkan partai yang kita dukung. Mendukung secara membabi buta bukanlah ciri orang Kristen yang baik.
Adeu, PDI-P?
Dari semua ulasan diatas, apakah artinya saya menyatakan bahwa kemungkinan Megawati untuk menjadi presiden sudah tak ada? Tidak.Kemungkinan Megawati menjadi presiden masih cukup besar. Namun jikalau Megawati menganggap kedudukan sebagai presiden sebagai 'taken for granted,' (pasti terpilih), terus terang saya merasa bahwa Mega tak akan bisa menjadi presiden. Kalaupun terpilih, saya ragu kalau dia akan menjadi presiden dengan sikap seperti itu. Nama Sukarno memang pasti bergaung diantara masyarakat kecil, tapi nama itu juga akan menjadi 'liability' kalau Megawati menjadi presiden karena rakyat akan membandingkan apa yang Megawati lakukan dengan ayahnya, Sukarno. Suara 'Sukarno' juga akan membuat kuatir partai-partai lain, dan yang bisa terjadi adalah keributan antara MPR dan presiden jikalau PDI-P memaksakan suaranya karena dianggap memegang mandat akibat pendapatan suaranya yang sekitar 35% itu.
Megawati harus berusaha membebaskan dirinya dari bayang-bayang nama Sukarno - juga perlu mencari dukungan yang cukup stabil dari partai-partai lain. Walaupun PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilu lalu, tapi kemenangan ini bukan kemenangan mutlak karena PDI-P gagal bahkan untuk meraih mayoritas. Berhubung sekarang Indonesia mulai mengikuti sistem voting, PDI-P justru akan mengalami kerugian besar jika menganggap bahwa ukuran suaranya bisa mempengaruhi hasil pemilihan presiden, karena 60% suara bisa mengganjal PDI-P. JIka PDI-P meraih 50.1% dalam pemilu kemarin, mungkin PDI-P tak perlu kuatir tentang sikap partai lain. Namun sayangnya PDI-P tidak memiliki suara mayoritas.
PDI-P harus sadar akan kelemahan posisinya serta 'balance of power' di Indonesia. Walaupun waktunya hanya singkat karena pemilihan presiden tinggallah sebentar lagi, tapi jikalau PDI-P tanggap menghadapi perkembangan situasi politik belakangan ini dan juga berusaha bekerja sama dengan partai lain dalam membentuk pemerintahan reformasi yang bersih dan dinamis, maka Megawati belum tentu gagal menjadi presiden. SU kemarin perlulah menjadi pelajaran pahit bagi PDI-P bahwa peraih suara terbesar di pemilu bukan berarti pemenang pemilu. Jika PDI-P tak bisa belajar dari kenyataan ini, maka PDI-P tidak memiliki qualifikasi sebagai pemerintah yang baik.
Yohanes Sulaiman
No comments:
Post a Comment