Nah, ini menarik. Terus terang, saya lupa apakah artikel ini dimuat di Jawa Pos atau draft artikel yang terlupakan, mengingat pada bulan April 2001 itu saya mengalami banyak sekali kesibukan di department saya. Kalau melihat dari artikel ini, kelihatannya ini adalah draft karena penutupnya yang begitu tiba-tiba. Anggap saja ini artikel yang ditolak karena kurang mutu, biar kita sama-sama puas. Hehehe.
Tapi menariknya, isinya masih terus relevan dan kalau saya kirim ke surat kabar mana pun, dengan sedikit perubahan, ada kemungkinan akan dimuat karena dianggap relevan.
YS
________
Siapakah wakilku? Mempertanyakan wakil rakyat di DPR/DPRD
April 1, 2001
"Banyak anggota DPR/DPRD yang bergaya hidup layaknya kaum eksekutif kelas atas. Padahal, pendapatan resmi mereka pas-pasan."
Kalimat di atas adalah kalimat pembuka dari sebuah artikel di majalah Forum, di mana inti dari artikel ini adalah banyak anggota DPR berkelakuan tidak sepantasnya dan berlaku seperti dalam pepatah "besar pasak daripada tiang" di tengah-tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. Hal ini memberi pertanyaan baru: seberapa besarkah rasa tanggung jawab anggota DPR kepada rakyat yang diwakilinya.
Sebelum saya melanjutkan artikel ini, saya ingin memberi pertanyaan kepada pembaca.
Berhubung artikel ini muncul di koran Jawa Pos, maka saya assume sebagian pembaca pasti tinggal di Surabaya. Nah, pertanyaan saya adalah siapa wakil saudara di DPR yang mewakili Surabaya? Pembaca yang budiman mungkin juga berkata bahwa anda diwakili bukan oleh individu, tapi oleh partai. Kalau begitu, pertanyaan saya adalah tahukah kantor pusat partai anda di Surabaya? Jika ya, apakah saudara pernah mengontak atau dikontak kantor tersebut untuk meminta pendapat atau pertolongan?Apakah ada "personal touch" dari partai tersebut kepada pembaca? Saya ragu kalau ada 5% dari pembaca yang menjawab ya untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.
Kelemahan terbesar sistem pemilihan umum di Indonesia adalah rakyat memilih wakilnya secara tidak langsung. Seperti yang kita ketahui, dalam pemilu kita memilih partai yang dianggap mewakili kita, dan dari suara-suara yang terkumpul, partai itu kemudian dialokasikan jumlah kursi di DPR. Walaupun sistem ini dianggap memberi keadilan kepada massa dibandingkan sistem "pemenang mendapatkan semuanya" seperti di US, namun faktanya tidak. Dalam faktanya, sistem ini membuat wakil-wakil rakyat di DPR jauh lebih setia kepada partainya, yang dianggap memberikan kedudukan untuk mereka, daripada kepada rakyat yang seharusnya diwakilinya.
Di sisi lain juga, sistem ini menjadi bibit yang bagus untuk ajang KKN. Karena "wakil rakyat" harus setia kepada partainya, dengan kata lain, partai juga harus memberikan insentif kepada "wakil rakyat" untuk setia kepada partai tersebut dan partai juga hanya memberikan kursi kepada anggota yang dianggap setia 100% kepada partai itu. Akhirnya, yang dikatakan sebagai "wakil rakyat" sering menjadi "wakil partai" dalam gedung DPR karena tanggung jawab para wakil tersebut lebih ke partai. Salah satu kasus yang saya rasa pasti masih diingat adalah buron kita yang flamboyan, Tommy Suharto, yang pada tahun 1998 adalah "wakil rakyat" untuk Bengkulu (kalau tak salah, padahal Tommy sendiri seingat saya belum pernah tinggal di Bengkulu selain untuk merampok daerah itu.) Lalu, apakah Tommy memang merupakan "wakil rakyat" Bengkulu? Golkar akan berkata ya, tapi saya ragu sekali kalau rakyat Bengkulu merasa suara mereka terwakili.
Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia dianggap mewakili rakyat, namun dalam faktanya hampir tak ada yang terwakili, karena memang elit politik sendiri masih belum memiliki kesadaran untuk hal itu. Para pembaca, saya ingin membagi satu pengalaman kerja saya di Amerika Serikat. Saya beberapa tahun yang lalu pernah bekerja sebagai 'intern' (atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Kuliah Kerja Nyata) di salah satu senator US yang bernama Russel D. Feingold. Saya terus terang bisa melihat perbedaan yang mencolok antara bagaimana senator ini mewakili rakyatnya dengan bagaimana wakil rakyat kita mewakili partainya.
Setiap hari saya mendengar telepon terus berdering, di mana banyak orang yang menelepon untuk memberikan dukungan atau penolakan mereka kepada undang-undang yang sedang di susun. Banyak juga surat yang datang untuk meminta pertolongan, dukungan, dan ada juga surat-surat dari ibu-ibu rumah tangga yang meminta senator menulis surat penghargaan bagi anak-anak mereka yang mendapat medali di Pramuka, dan semua itu ditanggapi oleh senator (saya salah satu yang menulis surat penghargaan itu yang kemudian ditanda-tangani oleh senator dan dikirim ke mereka). Banyak juga yang menulis keluh kesah mereka, masalah dengan birokrasi, dsb. Hal ini menunjukkan bagaimana senator ini dianggap rakyat sebagai wakil mereka yang bisa dipercaya, bukan sebagai elit politik yang tinggal di awang-awang jauh di atas dunia nyata.
Apakah hal seperti ini bisa diterapkan di Indonesia? Saya rasa bisa. Walaupun sistem pemilihan umum di Indonesia (representative) berbeda daripada di Amerika (Distrik), namun partai-partai seharusnya bisa menerapkan ide bahwa mereka adalah wakil dari rakyat bukan wakil dari partai. Ketidakdewasaan wakil rakyat kita menyebabkan hal ini sering terlupakan dan hasilnya adalah gontok-gontokan di Jakarta dan gedung-gedung DPRD selama rakyat semakin terpuruk lebih dalam di jurang kemiskinan.
No comments:
Post a Comment