Jika saya menyusun koleksi tulisan saya secara kronologis, maka tulisan berikut yang muncul adalah "Krisis Identitas Indonesia" yang pertama kali disebarkan tanngal 20 Februari 1999. Tulisan itu saudah di-repost kemarin tanggal 13 Juli 2011. Karena itu sekarang kita masuk ke tulisan berikutnya.
Tulisan ini bukan tentang Zhu Rongji yang bawa-bawa peti mati itu dan siap ditembak karena korupsi, tapi tentang politik luar negeri China yang berani berkata tidak kepada Amerika Serikat. Secara kualitas, tulisan ini sangat buruk. Tapi secara isi, yah seperti biasa tetap menyedihkan bahwa masalah Indonesia sampai sekarang masih sama-sama saja. Di sini yang terlihat adalah tak adanya kebijakan luar negeri yang memiliki kredibilitas....
YS
---------
Pelajaran dari Zhu Rongji
Fri, 23 Apr 1999
MInggu lalu, Perdana Menteri Zhu Rongji dari People Republic of China menyelesaikan tournya di Amerika Serikat. Berlawanan dari 'conventional wisdom' yang ada, tour yang diduga akan gagal ini ternyata sukses besar dan bahkan melakukan sesuatu yang Ken Starr gagal untuk lakukan: yakni memaksa William Jefferson Clinton untuk 'meminta maaf' secara tak langsung atas keteledorannya tentang masalah hubungan dengan China yang dinomorduakan dibawah Kosovo dengan memberikan 'support for China's entry to WTO.' Sebuah coup besar bagi China yang pada tahun ini ekonominya dianggap akan memburuk.... Apalagi kalau ditambah dengan tuduhan spionase dan condemnation kepada 'human rights record'-nya yang sudah menyebabkan para analis skeptic tentang prospek dukungan US kepada China.
Kasus ini sangat menarik untuk dianalisa. Walau China memiliki banyak kredit macet, laporan HAM yang hancur-hancuran, dan sistem kediktatoran, tapi mereka cukup hebat di bidang public relationnya. Dalam tournya Zhu Rongji, dia menekankan kepada KAUM BISNIS US bahwa China sudah memberikan banyak sekali konsesi dan dia menjelaskan apa saja konsesinya itu.
Mengenai soal HAM, Zhu Rongji justru mengelak (dengan alasan bahwa dia lebih tahu duit daripada hak asasi manusia) atau memberikan sedikit bantahan tanpa memerahkan muka sang tuan rumah. Dalam tournya itu yang dia permalukan hanyalah Presiden Clinton yang disebutnya tak bertanggung jawab dan tak mau ikut berdansa dengan China. Mengenai trade deficit, Zhu Rongji menekankan bahwa dia ingin tekhnologi US yang bersifat 'green' dan dia memenangkan dukungan dari kaum environmentalist yang concern akibat kehancuran ekosistem dan angka polusi yang tinggi di China.Hasilnya, kaum bisnis US melobi habis-habisan sang presiden, dan Prez Clinton memberikan dukungan sebesarnya atas masuknya China ke WTO. Keberhasilannya melobi pun karena didukung oleh situasi politik China yang memang stabil dan Zhu Rongji dalam isi tawarannya juga memperlihatkan komitment pemerintah China untuk melakukan reformasi besar-besaran di bidang ekonomi.
Dari deskripsi di atas, kita bisa menarik kesimpulan kenapa China bisa sukses mendapatkan konsesi besar dari Amerika. Pertama-tama, China memiliki kredibilitas. China sudah berulang-ulang menyatakan satu hal dan tetap berdiri dibelakangnya; dari soal devaluasi, politik, Taiwan, sampai ke hal-hal seperti HAM. Niccolo Machiavelli yang terkenal dengan 'ide setan'-nya menulis bahwa 'A prince also wins prestigete for being a true friend or a true enemy.' Dari ketegasan sikap China, tak heran bahwa kaum bisnis walaupun merasa kuatir tentang perkembangan sosial politik di China, tapi mereka tak terlalu kuatir tentang kredibilitas China. Ditambah lagi, sampai sekarang kondisi politik di China walaupun menguatirkan tetap relatif stabil sehingga hal ini ikut memberi sedikit bantuan kepada kredibilitas China.
Keunggulan kedua China terletak di sini kehebatan Zhu Rongji untuk melobi kaum bisnis. Dia 100% committed bahwa tugas dia hanya satu; yakni berusaha agar China diterima ke WTO dan karir politik dia bergantung dengan hal ini. Hasilnya, tak ada waktu untuk berleha-leha dan seperti di New York, dia memanggil semua businessmen yang dia kenal, tak peduli kelasnya (dari kakap ke teri) dan menjelaskan posisi dan konsesi China. Hasilnya, dia mendapat banyak bantuan suara yang mencaci maki kebijakan Presiden Clinton.
Yang ketiga adalah bahwa China juga memberi untuk menerima. Zhu Rongji tidak hanya mengemis-ngemis dan mengancam US agar bisa masuk WTO, China juga menawarkan sesuatu kepada US. Jadi intinya, China memberikan 'carrot and stick,' hadiah dan hukuman; hadiah di bagian konsesi ekonomi, 'hukuman' yakni China tak akan tunduk lagi dan memberikan konsesi lebih banyak lagi kepada US. Hal ini membuat kita berpaling kepada politik luar negeri Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia waktu mengadakan tournya keliling negara-negara maju untuk meminta bantuan? Di Jepang, permintaan Prez. Habibie ditolak mentah-mentah bahkan beberapa laporan menyebutkan bahwa dia membuat emosi para birokrat di Tokyo Mitsubishi Bank yang menyebabkan Jepang menolak memberikan bantuan. Di US sendiri, Indonesia tak mendapat dukungan yang cukup solid dari kalangan akademis dan politikus. Di beberapa perdebatan, banyak politikus yang menyatakan bahwa diperlukan reformasi dulu baru bantuan, dan sampai kejatuhan Ex-Prez Suharto reformasi tak ada (walau sekarang pun masih diragukan bahwa apakah ada reformasi di Indonesia).
Ditambah lagi, instabilitas politik di Indonesia membuat orang-orang concern apakah bagus menginvest di Indonesia. Sampai sekarang pun, orang-orang masih takut untuk invest di Indonesia mengingat kita akan mengadakan pemilu sebentar lagi dan tak diragukan kalau pemilu ini juga akan diwarnai kerusuhan. Yang lebih menyedihkan lagi, Indonesia seakan-akan meminta bantuan tanpa memberi konsesi; seperti penolakan Indonesia tahun lalu untuk melakukan perombakan di bidang perbankan. Hal ini sudah sangat buruk bagi kredibilitas dan citra Indonesia.
Seperti China, Indonesia bisa berkata tidak. Indonesia tak perlu tunduk kepada semua kehendak US, dan Indonesia pun bisa berdiri sendiri. Tapi sayangnya hanya ada satu unsur yang Indonesia tak miliki yang menyebabkan Indonesia tetap tak bisa mengambil garis politik yang independent; yakni kurangnya kredibilitas Indonesia. Seberapa besar kredibilitas Indonesia di mata dunia?
China memberi kita pelajaran bahwa sebuah negara bisa berkata 'tidak' kepada US, tapi perkataan 'tidak' itu perlu didukung sesuatu yang konkrit dan juga ada masa di mana kita perlu berkata 'ya' dan 'tidak.' Sangat idiotik kalau kita menutup negara kita dan selalu menyatakan 'tidak' kepada negara lain karena tiap negara tetap perlu bergantung kepada negara lain. Tapi pelajaran sekarang dari China adalah Indonesia perlu merombak cara memandang ke dunia luar dan sangatlah memerlukan tiga unsur agar bisa berkata 'tidak' kepada negara-negara asing, yakni kredibilitas, kemampuan public relations dan diplomacy, dan kemampuan untuk berani memberi konsesi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar.
YS
No comments:
Post a Comment