Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Thursday, July 21, 2011

Fanatisme VS Ketidakacuhan

Tahun 1999, tapi sampai sekarang kok masih relevan. Memang sampai sekarang juga partai-partai Indonesia masih belum berakar, masih hanya berwacana di kalangan elit dan tak mendasar, serta rakyat pun memilih hanya berdasarkan elit politik saja. Kayaknya kalau tulisan ini didaur ulang dan dikirim ulang tak akan ketahuan bahwa umurnya sudah belasan tahun.

YS
---
Date:         Fri, 21 May 1999
Subject:      Fanatisme VS Ketidakacuhan

Beberapa hari yang lalu saya bercakap-cakap dengan 2 teman saya dimana intinya adalah perbandingan antara partai-partai. Yang satu itu adalah pendukung setia PDI-P, dan yang lain lebih baik tak saya sebut nama partainya. Dalam percakapan itu, si B (yang mendukung partai lain) menyatakan keberatannya tentang Megawati yang dianggapnya terlalu mengandalkan nama Bung Karno saja. Si A (pendukung PDI-P) otomatis membela diri.

Singkat kata, dari diskusi yang santai mendadak menjadi perang mulut, dimana si B sampai menyatakan, 'Jadi kalau Megawati masuk sumur, kamu juga masuk sumur?' Hasilnya anda bisa tebak sendiri, yakni diskusi ini mendadak berubah menjadi perdebatan sengit dan jadi debat kusir dan kalau saja tak ditahan, bisa-bisa mereka berdua jadi juru masak dengan keahlian membuat ketupat bengkulu.

Yang menarik itu, waktu sudah selesai dan saya pulang bersama-sama si A, saya tanya dia kenapa dia mendukung PDI-P. Dasarnya ternyata dia memang suka dan kagum kepada Megawati dan hanya itu. Dia tak tahu dan tak peduli dasar-dasar atau fondasi atau juga asas PDI-P, namun yang penting adalah Megawati.

Di pihak lain, waktu saya bercakap-cakap dengan teman saya yang lain lagi, pengalaman yang ini sangat berbeda. Waktu itu saya tanya partai apa yang dia mau pilih. Dia bilang sampai sekarang dia tak pernah mengikuti soal ini (walau sudah mendaftar buat pemilu). Herannya, dia bahkan kaget waktu saya bilang kali ini kita punya 48 partai. Dia pikir dia hanya perlu memilih paling banyak 10 partai. Singkat kata, dia bilang, 'Kalau begitu, gue pilih nomor yang asal saja.... coba tolong lihat, partai nomor 33 itu partai apa?' Kalian tentu tahu bahwa ini Golkar.... Waktu saya nyatakan bahwa ini partai Golkar, dia langsung bilang enteng 'ya sudah, pilih Golkar saja, habis nomornya pas begitu, baru sekali pilih sudah langsung dapat pas begitu; pasti ini jodoh gua....'

Sebelum ada yang dari pendukung PDI-P yang 'menyerbu' saya, saya tekankan dulu bahwa tak ada maksud dan niat saya menjelek-jelekkan PDI-P. Namun, kalau ada dari pembaca yang mempertanyakan keaslian kedua cerita di atas, saya hanya bisa menyatakan bahwa sayangnya keduanya itu cerita asli..., dimana inti yang saya dapatkan dari pengalaman saya di atas adalah ketidakpedulian dan kefanatikan yang tanpa dasar.

Pertama-tama, mari kita ulas tentang kefanatikan tanpa dasar.Sekarang coba kita ambil sensus terhadap para peserta milis-milis di sini atau juga mayoritas rakyat Indonesia. Pertanyaannya hanya satu: Apakah mereka tahu tentang dasar, ide, dan fondasi semua partai pemilu ini?

Walau tak didukung bukti kongkrit sekarang, saya terus terang pesimis kalau mayoritas rakyat tahu tentang program kerja dan dasar semua partai (48 partai.... menghapal namanya saja saya sudah kewalahan, wong menghapal namanya enggak dapat duit lagi.... :-)   )

Hasilnya, apa yang rakyat ikuti? Hanya figur-figur di partai tersebut, seperti Abdulrahman Wahid, Amien Rais, Megawati, dst. Kalau saya lihat, ini namanya adalah kesetiaan buta yang mengandalkan kharisma satu orang tertentu saja, atau kalau kita mau ambil nama dari legenda Jawa adalah 'Ratu Adil.' Mungkin di sini sebagian pembaca mulai mempertanyakan, 'so what?' Justru kalau menurut saya, ini adalah satu titik gawat, dimana kesetiaan buta justru akan menimbulkan perpecahan.

Sejauh yang saya lihat sekarang, partai-partai 'besar' seperti PKB, PDI-P, dan PAN hanya mengandalkan para pemimpinnya sebagai madu untuk menarik massa. Partai-partai lain mengandalkan agama atau fanatisme untuk mengumpulkan suara. Dari semua partai di atas, tak terlihat adanya 'ide' atau visi untuk Indonesia dimasa depan. Lebih buruk lagi, tak ada yang menyatakan secara jelas akan apa yang akan dilakukan jikalau terpilih.

Di sini unsur kedua yang berbahaya juga keluar, yakni ketidakacuhan. Akibat banyaknya partai dan para pemimpin partai yang didewakan, orang tak peduli lagi kepada ide dasar partai; yakni apa yang mempersatukan partai tersebut SELAIN pemimpinnya. Di sini orang tak lagi melihat ide, mana ide yang bagus dan sesuai nurani atau ide-ide yang berlawanan dan tak cocok untuk Indonesia. Semuanya dibuang hanya untuk mengikuti sang pemimpin yang ada di depan.

Di sini bibit-bibit perpecahan tersebar dimana para pemimpin yang mulai didewakan tak mau bekerja sama atau bekerja dibawah yang lain tanpa mau memberikan konsesi ataupun kerja sama yang didasarkan persamaan ide. Jika saya merenungkan hal ini, tak heran teman saya itu dengan santainya menyebutkan satu nomor dan menaruh masa depan Indonesia di tangan nasib.... Jadi ingat SDSB....

Sampai sekarang persatuan oposisi hanya berdasarkan 2 hal: ketakutan atas naiknya kembali ex-prez Suharto dan instabilitas nasional yang akhirnya akan menghancurkan semua partai yang baru berdiri dan terutama Indonesia. Atas dasar itu saya lihat bahwa mulai timbul koalisi-koalisi partai yang dimulai SETELAH pemilu. Kata SETELAH ini saya tekankan berhubung banyaknya kekuatiran dari semua pihak bahwa ada yang pada akhirnya tak puas atas perolehan suara dari pemilu dan meneriakkan senjata konta 'PEMILU CURANG!'

Walau persekutuan antar partai membantu memberi kestabilan, tapi tetap saja senjata konta itu akan terus membuntuti Gatot Kaca, apalagi kalau sudah dalam saat menentukan siapa yang menjadi 'senior' atau 'junior' dalam persekutuan tersebut.

Melalui tulisan ini, saya menyerukan kepada para pendukung partai untuk memikirkan kembali posisi kalian, apakah kalian mendukung satu partai hanya untuk pemimpinnya saja, atau memang idenya itu sesuai nurani kalian. Jikalau pendukung partai bisa mengemukakan ide dasar dari partai tersebut yang memang patut didukung, saya optimis bahwa mereka yang tak peduli bisa menjadi peduli dan mendukung partai yang idenya memang patut didukung. Janganlah mengandalkan pemimpin saja, dan jangan juga untuk pengeritik partai untuk mengeritik satu partai karena pemimpinnya saja. Tapi kita perlu hilangkan sikap ketidakpedulian terhadap ide dan menghilangkan rasa fanatisme yang berlebihan untuk bisa bekerja sama agar Indonesia yang sudah masuk ICU tak bernasib seburuk Russia sekarang.


YS

No comments:

Post a Comment