Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, July 17, 2011

Politik di balik pembunuhan Ita

Rasanya kok lucu, dari dulu sampai sekarang polisi selalu dipertanyakan. 13 tahun reformasi kok tetap saja pertanyaannya sama.... Apa kabar juga dengan Marsinah? Rasanya belum beres juga, terhantam kasus "pembunuhan di udara"....

YS

----
Politik di balik pembunuhan Ita
Mon, 12 Oct 1998

Pembunuhan Ita yang dilakukan hari Sabtu benar-benar sadis dan menusuk hati nurani kita semua. Sungguh keji kalau kita pikirkan, seorang anak yang berusia 18 tahun dibunuh dengan sadis karena ia mau mengungkapkan kebenaran. Kepolisian dalam 24 jam dengan sigap menangkap pembunuhnya, suatu prestasi yang 'hebat' dari ketegasan polisi kita, kalau kita pikirkan bahwa bagaimana mereka menanggapi kasus-kasus lain seperti Marsinah, kerusuhan Mei, kasus Ria Irawan, dsb yang sampai sekarang belum terpecahkan. Ini juga memberikan suatu concern baru untuk kita, tentang sebagaimana rusaknya reputasi aparat keamanan di negara kita, dan otomatis juga pemerintah kita.

Asumsi masyarakat soal sistem politik kita adalah kebiasaan aparat pemerintah untuk mencari kambing hitam setiap kali terjadi masalah yang mengganggu kredibilitasnya. Walau ini merupakan 'soal biasa,' tapi ini juga membuktikan seberapa parahnya kredibilitas aparat hukum dan pemerintah di negara kita.

Di negara-negara lain, tak ada orang yang meragukan kalau polisi menangkap satu orang. Di beberapa negara, bahkan ditangkapnya satu orang sudah berarti ia pasti bersalah berhubung sangat berwibawanya aparat keamanan di negara tersebut. Di Indonesia, cara kerja dari aparat kepolisian yang relatif terikat oleh politik benar-benar mengganggu kewibawaan dan kebersihan dari aparat keamanan kita. Ditambah dengan seringnya ketidaktepatan pernyataan dari aparat hukum, pertanyaan tentang kebersihan kepolisian, dan juga seringnya terjadi penyiksaan kepada tersangka untuk mendapat pengakuan menyebabkan kredibilitas kepolisian sangat menguatirkan.

Kenapa saya bilang bahwa kelihatannya ada nuansa politik di belakang pembunuhan ini? Ini terjadi dari beberapa 'coincidence' yang benar-benar terjadi dalam kasus unik ini. Sekarang di Indonesia, kalaupun itu benar bahwa motif pembunuhan itu merupakan kriminalitas biasa, tapi suatu 'kebetulan' yang benar-benar pas, ditambah lagi dengan keanehan dari type dan motif pelaku pembunuhan itu.

Pertama-tama, salah satu keanehan berada dari korban itu sendiri. Kita lihat latar belakang korban: tim relawan tentang kasus Mei. Ini sudah mengganggu pikiran kita bahwa adanya niat untuk 'obstruction of justice' di balik pembunuhan ini. Sudah merupakan rahasia umum bahwa usaha untuk membongkar kasus Mei akan berdampak dengan terinjaknya banyak kaki orang-orang yang memiliki vested interests dari kerusuhan itu.

Fenomena lain yang terjadi adalah seakan-akan adanya usaha dari beberapa pihak untuk mendiskreditkan korban perkosaan DAN Ita sendiri secara keseluruhan. Di Kompas Minggu, bahkan disodorkan teori bahwa Ita kecanduan obat terlarang dan secara kasarnya itu adalah pelacur. Suatu keanehan yang sangat conflicting, dari latar belakang korban dan disodorkannya teori ini dalam kasus mengerikan ini.

Unsur politik lain dalam pembunuhan ini terletak dalam motif. Seakan-akan ada usaha untuk mendiskreditkan PDI dengan motif pelaku yakni 'bingung karena mau ikut kongres Partai PDI di Medan dan bingung soal biayanya.' Walaupun kesannya biasa, tapi dengan motif 'ingin ikut kongres Partai PDI di Denpasar' yang disodorkan kepolisian sebagai alasan melakukan kejahatan itu sangatlah mengganggu.

Di satu pihak, kalau ternyata terbukti bahwa tersangka itu tak bersalah, ini juga sudah cukup mengganggu karena ini berarti adanya niat dari kepolisian untuk mendiskreditkan anggota Partai PDI. Asumsinya: anggota PDI sendiri membunuh, karena itu partainya juga enggak beres. Ini jelas-jelas usaha untuk mendiskreditkan salah satu partai politik di Indonesia.

Kejanggalan lain dari pembunuhan itu berada dari pihak cara kerja pelaku. Kalau itu berdasarkan kriminalitas murni, kenapa pembunuhnya itu tak mengambili perhiasan korban dst. Sangat aneh kalau hal ini terjadi, karena asumsinya sekarang kamu sudah masuk sungai, kenapa tidak sekalian berenang? Dari banyak kasus yang kita sering lihat, seperti kasus pembunuhan Basuki Abdullah, pelaku yang sudah membunuh biasanya tetap mengambili barang korban, dan bukan langsung lari, apalagi kalau memang benar dia sudah nekad. Apalagi kalau kita pikir pelaku sudah 'pusing' karena tak ada biaya untuk pergi ikut kongres, bukankah sebaiknya dia mempreteli perhiasan korban? Kejanggalan ini membuat motif 'kriminalitas' menjadi diragukan.

Motif-motif di atas, ditambah lagi tak adanya respons polisi dalam menanggapi ancaman teror kepada tim HAM di Indonesia sangatlah mengganggu pikiran kita. Di masa reformasi ini, terlihat bahwa kepolisian sendiri ternyata 'kebal' kepada kasus mengenai ancaman kepada kaum reformis. Namun, untuk kasus pembunuhan ini, terlihat bahwa terjadi usaha untuk cover up dari pihak-pihak tertentu, yang saya rasa para pembaca tahu kepada usaha untuk mencari kebenaran.

Ini membawa kita ke Pemilu November ini. Pemilu November ini akan sangat menguatirkan sekali (saya tahu kesalahan tata bahasa ini, dan saya melakukannya untuk menekankan ini). Dari cover up ini, akan terlihat kelemahan dari kredibilitas pemerintah, dan otomatis akan adanya pernyataan dari peserta Pemilu nanti bahwa ada kejanggalan-kejanggalan tertentu dalam Pemilu. Mungkin peringatan ini terlalu prematur, tapi hal ini sudah jadi fenomena di banyak negara, dan saya tak ragu Indonesia juga akan terjadi. Apalagi kalau kita ingat di pemilu-pemilu lalu dimana banyak lembar yang diterima partai-partai PDI dan PPP ditemukan terhanyut di sungai-sungai. Kita semua tahu, kombinasi dari unsur irregularitas Pemilu, ditambah usaha cover-up, pengangguran yang tinggi, dan kekurangan pangan akan menimbulkan campuran yang menarik....

Kredibilitas aparat hukum yang begitu rendah, dimana tiap kasus yang mereka selesaikan selalu mendapat pandangan sebelah mata dari masyarakat, korupsi di kepolisian, ketidak beresan hukum, ditambah lagi kredibilitas pemerintah kita yang walaupun jago puisi (ingat pidato Agustus) tapi sangat menguatirkan; menjadi bahan pemikiran untuk kita semua. Ini adalah campuran bahan kimia yang terlalu berbahaya. Untuk itu, pemerintah harus bersikap lebih transparan dalam penyelesaian kasus ini ditambah lagi pemerintah harus beritikad untuk melaksanakan Pemilu dengan bebas dan tak diwarnai oleh kejanggalan. November ini adalah kesempatan terakhir pemerintah Presiden Habibie untuk memperlihatkan itikadnya dalam bereformasi. Kalau kesempatan ini dilewatkan,  Indonesia bisa mengalami bahaya yang sangat menguatirkan....

Yohanes Sulaiman

No comments:

Post a Comment