Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Saturday, July 30, 2011

SARA atau R atau A?

Ini dulu disebarkan di mailing list Kristen, menanggapi perdebatan tentang kemelut di Ambon dan Poso, yang kemudian beranjak masuk ke diskusi soal kerusuhan Mei.

Inti dari tulisan ini ujung-ujungnya adalah yang paling penting adalah justru persepsi dari tiap kelompok yang berbeda. Persepsi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan begitu semua pihak bisa berdialog dengan baik, dan mempersatukan persepsi, maka mereka akan melihat kenyataan, bahwa semua ya sama saja.

Salah satu obat yang sudah lama tak diminum oleh masyarakat di  era reformasi ini adalah hidup sederhana. Rasanya, semakin lama kita semakin tertarik menunjukkan kemewahan dan kekayaan, bukan lagi hidup sederhana. Mungkin ini nilai lama yang harus diingat kembali.

YS

-----
SARA atau R atau A?
May 7, 2001
Edited version: 11/1/2002

Tak dapat kita hiraukan bahwa selama beberapa tahun Orde Reformasi ini berlangsung, kerusuhan A (agama) dan R (ras) sering sekali terjadi. Sangat disayangkan bahwa diskusi yang terbentuk akhirnya terfokus dalam isu agama atau ras saja, sedangkan pada kenyataannya, saya merasa bahwa sering sekali kita melupakan bahwa bukan hanya dua faktor itu saja yang penting, namun semua faktor SARA sangat menentukan terjadinya keributan sosial.

Karena tiap perdebatan tentang kerusuhan sosial hanya memiliki satu variable yakni R atau A, akhirnya sangat sulit untuk menganalisa secara tepat mengapa keributan sosial bisa terjadi atau kenapa masih sulit terjadi pembauran, atau mengapa pembauran bisa terjadi. Namun dari cerita-cerita yang ada, kita bisa mengambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA disebabkan oleh keempat faktor (suku, agama, ras, antar  golongan) atau paling sedikit 3 faktor.

Contoh: dalam cerita salah satu rekan dituliskan bahwa ia berada di sebuah kampung waktu kecil, di mana ia dapat bergaul dengan nyaman dengan teman-temannya yang lain yang memiliki ras yang berbeda (Pribumi vs non-pribumi). Dapat diasumsikan bahwa ada perbedaan agama dan ras di kampung itu, tapi perbedaan golongan (kekayaan) relatif  rendah. Akhirnya pembauran masih bisa dilakukan.

Cerita yang lain: ada 2 faktor tersebut, dan ditambah kekayaan, akhirnya terjadi keributan.

Dapat diambil hipotesis awal bahwa pertentangan SARA akan terjadi dan semakin meningkat dengan bertingkatnya perbedaan kekayaan. Namun ada satu faktor yang saya rasa perlu dilihat lebih lanjut yakni suku. Apakah suku juga memiliki peran yang menentukan dalam SARA? Faktor ini sangat jarang disinggung dalam diskusi. Apakah suku X lebih toleran, atau suku Y, atau apakah ada yang lain?

Selain keempat faktor ini, saya ingin menambahkan satu faktor lain yang jarang sekali dianalisa dan sebetulnya relevan, yakni faktor P (Pengenalan/persepsi).

Saya percaya bahwa lack of understanding dan pengenalan atas golongan lain menyebabkan kita memiliki persepsi yang kurang baik, dan akhirnya membentuk "a self-fulfilling prophecy." Hal ini implicitly terlihat dalam cerita-cerita yang telah disajikan dalam milis. Namun saya ingin lebih elaborate dengan sebuah kasus fiktif:

Contoh: kita memiliki pandangan buruk kepada suku A karena ada orang dari suku A pernah merampok kita. Kemudian kita membaca di koran bahwa ada koruptor besar dari suku A. Proses cognitive kita langsung mengaitkan bahwa memang suku A ini berengsek. Kemudian kita berpandangan demikian dan dikenalkan dengan Z dari suku A di sekolah.

Karena pandangan kita dari pertama sudah buruk, maka waktu telihat di muka kita rasa kurang senang. Z, melihat kita mukanya agak aneh, langsung berpikir bahwa kita memang enggak mau berteman, lalu akhirnya menjauhi kita. Melihat Z menjauhi kita, kita langsung berasumsi bahwa si Z memang berengsek dan semua suku A sama-sama berengsek. Lebih parah lagi: ketika kita melihat si Z menolong si X dari suku B, asumsi kita akan menjadi, "hmm... pasti ia menolong X karena ada maunya." Akhirnya kita selalu menganggap suku A itu memang berengsek. Saya label contoh ini sebagai lingkaran setan persepsi.

Perbedaan SARA yang menyolok (terutama di bidang golongan) akan membuat unsur P menjadi lebih menentukan. Saya melihat bahwa kedudukan kelas yang relatif linear dalam latar belakang kehidupan perkampungan menyebabkan persepsinya dan juga persepsi orang-orang sekampung di sekitarnya bisa relatif stabil. Relatif kecilnya kesenjangan sosial menyebabkan orang-orang sekampungnya bisa bergaul dengan lebih baik dan bisa menangkal unsur negatif dari perbedaan ras dan agama.

Hal ini sangat kontras dengan kaum Chinese di perkotaan, di mana kesenjangan sosial sangatlah menyolok. Kesenjangan sosial menyebabkan yang lebih makmur merasa insecure dan membangun dinding tinggi dan merasa buat apa bergaul kalau orang-orang lain hanyalah ingin untungnya saja. Hal ini dilihat negatif oleh penduduk sekitar dan terjadi persepsi bahwa kaum Chinese hanya ingin berpisah. Akhirnya terjadi lingkaran setan yang saya sebutkan di atas.

Bagaimana dengan gereja? Gereja sayangnya kurang sensitif menghadapi isu kesenjangan sosial. Secara kasarnya, gereja lebih banyak menjilat ke atas dan menginjak kaki; yakni hanya cater kepada high class, bukan kepada low class. Saya akui tak semua gereja demikian, tapi minoritas ini membuat gereja secara keseluruhan mendapat cap buruk. Jemaat sendiri dengan berusaha menjilat ke pendeta tak memperbaiki keadaan. Gereja harus lebih berusaha memasyarakat.

Salam,
YS

No comments:

Post a Comment