Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Friday, July 15, 2011

Pemerkosaan dan Emansipasi

Ini adalah tulisan pertama saya yang paling banyak menuai reaksi sangat negatif. Hampir semua komentar menyatakan bahwa saya rupanya mendukung pemerkosaan terhadap wanita dan menanggap rendah status wanita karena saya "berkeyakinan" bahwa korban perkosaan itu disebabkan oleh diri sendri yang berpakaian seronok.

Kalau saya baca baca ulang tulisan ini, kelihatannya semua terlalu terpaku pada paragraf 8, bahwa wanita berkeyakinan "blah blah blah." Menarik bahwa mereka tak membaca ini tulisan ini secara keseluruhan, bahwa adanya budaya paternalistik yang didominasi lelaki menyebabkan wanita dianggap sebagai objek saja, dan banyak juga wanita yang "mendukung" kepada ide ini dengan gaya dandanannya, baik dengan burqa yang melambangkan dominasi laki-laki secara penuh, ataupun dengan pakaian seronok, yang melambangkan keinginan lelaki kepada wanita sebagai objek sexual.

Inti tulisan ini justru sangat "feminis," yakni Indonesia harus menanggalkan budaya paternalistiknya yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek yang harus diatur. Pemerkosaan sendiri adalah hasil dari budaya paternalistik yang mengobjekkan perempuan. Perlu ada pemikiran bahwa wanita itu harus dianggap sebagai setara, sebagai subjek dari perdebatan nasional, bukan hanya sekedar calon penghuni harem pribadi.

Intinya, berhentilah menggunakan tradisi dan kepercayaan agama sebagai sarana menginjak-injak kebebasan HAM wanita, yang melegalisirkan sistim barbar seperti penyunatan dan pemerkosaan sebagai alat dominasi pria.

YS



--------------
Pemerkosaan dan Emansipasi
Tue, 09 Jun 1998

Akhir-akhir ini kita seakan-akan dikejutkan oleh laporan yang berisi tentang banyaknya kasus pemerkosaan yang menimpa wanita di Jakarta akibat kerusuhan tersebut. Tak perlu diragukan lagi bahwa tindakan itu adalah tindakan biadab yang perlu dikutuk, dan menyamakan para pelaku pemerkosaan itu lebih rendah dari hewan (get out from the gene pool!). Namun dibalik semua itu, kita masih perlu memikirkan bahwa kenapa hal ini bisa terjadi?

Sebuah kasus menarik adalah: kenapa pemerkosaan selalu terjadi di Indonesia? Sekarang coba robek lembaran hitam Jakarta itu, dan lihat: apakah pemerkosaan tak pernah terjadi? Pemerkosaan selalu terjadi di Indonesia, walaupun tanpa gembar gembor dari media massa. Hanya kali ini saja kita seakan-akan tersentak akibat besarnya angka kasus ini secara massal dan banyaknya pemberitaan dari media massa. Padahal, pemerkosaan selalu terjadi TIAP HARI di Indonesia. Kali ini saja kita seakan-akan tersentak dengan hal ini.

Kembali ke pertanyaan semula: kenapa hal ini terjadi? Kenapa pemerkosaan terjadi? Kita selalu melihat dari sudut pandang pelaku dan korban. Korban banyak yang disebutkan 'meminta untuk diperkosa' dengan berpakaian yang kurang pantas. Pertanyaannya: kalau begitu kenapa terjadi juga pemerkosaan kepada perempuan yang berjilbab dan berpakaian serba tertutup?

Sebagian lagi melihat dari sudut pelaku: bahwa pelaku memang memiliki nafsu bejat untuk memperkosa dan menganggap perempuan adalah objek pemuasnya. Pertanyaannya: apa yang menyebabkan pelaku itu berpikiran seperti itu? Hormon dan emosi adalah penjelasan yang mudah. Tapi saya ragu kalau itu adalah jawabannya. Saya rasa jawabannya berasal dari pandangan masyarakat sendiri yang menempatkan perempuan sebagai objek dan
berstatus dibawah laki-laki. Pandangan masyarakat itu secara tak langsung di-share juga oleh laki-laki DAN perempuan, sehingga tak heran sampai sekarang status wanita di Indonesia tetap pada kondisi yang memprihatinkan.

Sejak dulu kita dipengaruhi oleh pandangan masyarakat dan agama yang menyatakan bahwa perempuan adalah objek, makhluk lemah yang perlu dilindungi, dipingit, gampang dipengaruhi, dan tak bisa berpikir sendiri. Dari segi agama sendiri, semua orang pasti sudah tahu cerita tentang perempuan yang membuat manusia diusir dari taman Eden. Kalau kita ditanyakan tentang kitab suci, hal itulah yang pasti kita selalu ingat tentang perempuan, bahwa perempuan mudah dipengaruhi. Dari legenda dan tradisi juga memiliki pandangan yang sama. Legenda selalu menyatakan wanita yang membawa kehancuran. Tradisi banyak daerah menyatakan anak laki lebih bagus dari anak perempuan, anak perempuan perlu dipingit, dsb.

Tradisi itu memang tak berlaku lagi sekarang, tapi secara tak langsung, itu juga TETAP mempengaruhi pemikiran dari seluruh masyarakat. Tak heran bahwa pandangan dari masyarakat adalah perempuan sebagai nomor dua dan pada akhirnya menjadi objek dominasi.

Semua pandangan itu terus terbawa di masyarakat, bahwa perempuan adalah objek, dan berstatus dibawah laki-laki. Saya rasa pasti banyak dari pembaca yang membantah hal ini. Banyak yang akan menyatakan bahwa sekarang sudah ada 'emansipasi,' 'sexual discrimination itu hal dimasa purba,' dsb. Tapi apakah hal ini yang benar-benar terjadi? Emansipasi yang digembar gemborkan tidak memberikan hasil yang meyakinkan. Perempuan sendiri seakan-akan tak merasa bahwa emansipasi merupakan hal yang sangat penting, dan perlu diperjuangkan.

Dalam beberapa percakapan, kaum perempuan sendiri berpikir bahwa dalam perkawinan, status mereka perlu dibawah laki-laki. Sebagian menyatakan bahwa mereka perlu berdandan tiap hari supaya enak dipandang mata. Secara tak langsung, perempuan sudah menyatakan bahwa mereka hidup sebagai objek. Berdandan itu tidak salah, karena semua orang pasti tak suka melihat orang yang keluar rumah dalam keadaan kacau balau. Tapi tujuannya itulah yang perlu dilihat. Kalau tujuan mereka adalah untuk berpenampilan baik, itu bukan masalah.
Tapi kalau mereka berdandan dengan berpakaian kurang pantas, ini baru menjadi pertanyaan. Apakah berdandan itu untuk menjadi sexy atau untuk memberi penampilan yang baik? Kalau hanya untuk menjadi sexy, mereka sama saja mau menjadi objek, lalu apakah emansipasi itu?

Dari pandangan laki-lakipun, masih banyak yang menyatakan bahwa perempuan lebih enak soalnya tak perlu rajin atau capek bekerja, tinggal kawin saja, gampang. Pandangan ini juga merupakan pandangan yang merendahkan status wanita. Dari pandangan ini, terlihat bahwa wanita dianggap tak perlu berdikari, berusaha, dan secara otomatis dipaksa menempati posisi kedua dalam masyarakat.Pandangan ini mempengaruhi kaum Adam, bahwa wanita hanyalah sebagai penghias saja, tanpa ada kontribusi, sehingga tak heran angka pelecehan sexual di Indonesia sangatlah memprihatinkan.

Untuk mencegah tulisan ini menjadi terlalu panjang, singkatnya adalah sampai sekarang, seorang 'wanita' di Indonesia itu ada bukan karena dia adalah wanita. Namun "kewanitaannya" itu tidak datang secara natural, dari alam, melainkan dibentuk oleh tradisi yang didominasi oleh laki-laki. Karena status mereka yang dibentuk oleh laki-laki, tak heran bahwa pelecehan sexual di Indonesia adalah hal yang tidak langka. Pemerkosaan terjadi dengan mudahnya karena sampai sekarang wanita dianggap sebagai objek, bukan sebagai subjek yang sama tinggi dengan laki-laki. Pemerkosaan terjadi hanya kepada kaum yang lemah dari kaum yang kuat. Posisi wanita di Indonesia sekarang ini di posisi yang lemah. Melalui 'public uproar' yang terjadi sekarang ini, kaum wanita perlu menyatakan keprihatinan mereka atas lemahnya status mereka di Indonesia dan perlu memperjuangkan persamaan status mereka. Kaum wanita perlu menyatakan bahwa mereka bukan lagi sebuah objek. Mereka perlu menyakan tekad untuk berdikari dan mandiri tanpa dikekang oleh pandangan sosial yang menempatkan mereka pada posisi kedua.

Kata terakhir saya kutip dari 'the Second Sex" karangan Simone de Beauvoir yang menyatakan:

"....To emancipate woman is to refuse to confine her to the relations she bears to man, not to deny them to her; let her have her independent exitence and she will continue nonetheless to exist for him also; mutually recongnizing each other as subject, each will yet remain for the other an other. The reciprocity of their relations will not do away with the miracles- desire, possession, love, dream, adventure- worked by the division of human beings into two separate categories; and the words that move us- giving, conquering, uniting- will not lose their meaning. On the contrary, when we abolish the slavery of half of humanity, together with the whole system of hypocrisy that it implies, the the "division" of humanity will reveal its geniue significance, and the human couple will find its true form...."

Saya harap tulisan ini bisa menjadi bahan pemikiran untuk kita semua.

Yohanes Sulaiman

No comments:

Post a Comment