Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Wednesday, July 27, 2011

Mencegah Indonesia Jadi Mobocracy

Ini adalah artikel kedua yang diterbitkan oleh Jawa Pos (Thanks, Pak Pohan!). Mungkin saya terlalu Pede, tapi rasanya ini pertama kalinya kata "Mobokrasi" dipakai. Tapi tanpa bukti, ya tak bisa claim hak cipta nih.... Hehehe.

Satu kondisi yang dulu pernah saya identifikasi tapi tak pernah saya coba untuk kembangkan adalah konsep bagaimana mobokrasi bisa dimanipulasi elit, seperti yang selalu terjadi akhir-akhir ini, di mana Jakarta dan kota-kota besar lainnya dipenuhi oleh demonstran bayaran.

Dalam retrospek, sebetulnya tak ada itu namanya aksi spontan massa ala revolusi. Semuanya itu merpuakan permainan sebuah kelompok kecil yang berdedikasi yang bisa memainkan opini publik. Revolusi Russia misalnya dilakukan oleh kurang dari 1000 orang. Mungkin memang saja akan terjadi reaksi spontan massa yang berukuran banyak, ala Tahir Square di Mesir, tapi setelah beberapa lama, massa tersebut akan dipecah dan dikntrol oleh sekelompok kecil elit yang berdedikasi, seperti yang sekarang terjadi juga di Mesir.

YS
-----------

Mencegah Indonesia Jadi Mobocracy
(Jawa Pos, Opini, 23 Maret 2001)

Pada bulan Oktober tahun lalu (2000), saya menghadiri Kongres Permias yang diselenggarakan oleh Permias Chicago. Pada saat itu saya bertanya kepada Mr. Jeffrey Winters, yang dikenal sebagai salah satu pakar Indonesia, tentang apakah mungkin lebih baik kalau Indonesia kembali ke sistem kediktatoran. Dia menentangnya, dan dia justru meyatakan bahwa jauh lebih baik jika terjadi lagi kejadian seperti Mei 1998 kemarin di mana para mahasiswa kembali turun ke jalan dan menggulingkan semua elit penguasa yang korup dan membentuk pemerintahan baru yang benar-benar bersih. Intinya adalah revolusi total.

Ide Mr. Jeffrey Winters adalah ide Marxist, di mana salah satu intinya adalah kaum proletar (mahasiswa, buruh, rakyat kecil) melakukan revolusi dan menggulingkan elit yang korup untuk membentuk pemerintah baru yang jujur, bersih, dan sosialis. Waktu itu saya meng-counter dengan menyatakan bahwa secara teoritis/idealis, ide ini memang menarik, tapi secara praktek ide ini memiliki kelemahan besar, salah satunya adalah banyaknya darah yang tertumpah. Jawaban Mr. Winters adalah sekarang saja darah sudah banyak tumpah (e.g. di Maluku, Kalimantan, dsb), jadi apa bedanya?

Jawaban Mr. Winters terus terang menjadi bahan pikiran saya selama berbulan-bulan. Apakah memang lebih baik kita mengulang lagi peristiwa Mei kemarin dengan catatan bahwa kita benar-benar menyapu bersih semua antek KKN di pemerintah dan membentuk pemerintah baru yang bersih dan stabil? Namun semakin saya pikirkan ide ini, saya justru semakin skeptikal mengingat bahaya yang kurang diperhitungkan Mr. Winters, yakni mobocracy.

Apa itu mobocracy? Tak seperti demokrasi yang merupakan pemerintahan oleh rakyat, mobocracy adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan emosi rakyat. (mob: massa yang mengamuk, cracy: pemerintahan).

Mobocracy timbul karena kaum-kaum elit menggunakan emosi rakyat sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka. Mobocracy sering terjadi dalam negara-negara yang pemerintahan pusatnya kurang stabil, contohnya adalah negara-negara yang baru lepas dari sistem authoritarian dan menuju sistem demokrasi.

Kejatuhan sistem authoritarian menyebabkan kekuasaan jatuh ke tangan segelintir kelompok-kelompok politik atau ke tangan elit-elit politik yang memiliki dukungan golongan.

Namun seperti biasanya, dalam pemerintahan akan terjadi pertentangan antara kaum-kaum elit ini, dan sering kali satu kelompok akan terdesak dan merasa kedudukannya terancam seperti karena skandal, kurangnya legitimasi atau melemahnya posisi mereka, walau bisa juga bahwa salah satu atau beberapa kaum elit memang ingin mendapat dukungan lebih banyak dari rakyat demi legitimasi. Cara termudah untuk lebih banyak mendapatkan dukungan, segelintir kaum elit ini berusaha membangkitkan emosi rakyat dengan berusaha membuat rakyat atau kelompoknya merasa kepentingan mereka terancam.

Ada beberapa faktor yang bisa "membantu" kaum elit yang ingin membakar emosi rakyat. Pertama: adanya rasa ketakutan dalam diri rakyat sendiri, seperti jikalau rakyat merasa kepentingan mereka terancam oleh karena unsur yang mereka anggap dari luar. Kedua: adanya faktor satu target atau musuh dari rakyat yang sedang berusaha dibangkitkan emosinya itu. Ketiga: kondisi di mana posisi pemerintahan sedang labil yang disebabkan kekalahan perang, kerusakan ekonomi, atau pada masa pergantian pemerintahan dari autocracy ke oligarchy atau democracy.

Faktor pertama dan kedua di atas sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tak dapat dihindarkan misalnya karena adanya pertentangan yang sudah mendarah daging antar suku dan rezim authoritarian bisa menekan keributan itu dengan kekerasan militer. Namun fakta dilapangan sering kali tak mendukung. Jack Snyder dalam bukunya "From Voting to Violence" menekankan bahwa justru akibat demokratisasilah maka keributan-keributan ini bisa pecah di lapangan. Snyder berpendapat bahwa sebelum demokratisasi, faktor pertama dan kedua tak terlalu terlihat atau berpengaruh. Namun setelah demokratisasi, kaum elit menggunakan alasan-alasan ini demi menempatkan kekuasaan di tangan mereka tanpa perlunya rasa tanggung jawab kepada seluruh rakyat.

Banyak contoh-contoh mobocracy dalam sejarah seperti Revolusi Prancis, Revolusi Russia, Cultural Revolution di China, pembantaian di Rwanda, dan lain sebagainya. Dalam contoh-contoh ini, kaum elit menyatakan bahwa terjadi ancaman kepada kepentingan negara/kelompok, dan mereka menyerukan kepada rakyat untuk bangkit dan bersatu dibawah kaum elit ini. Setelah itu, kaum elit tersebut menyerukan agar rakyat melawan bahaya tersebut.

Salah satu contoh yang paling tragis adalah pembantaian di Rwanda. Seperti yang diketahui, pembantaian di Rwanda meletus bersamaan dengan terbunuhnya Presiden Rwanda yang berasal dari kaum Hutu. Elit-elit yang merupakan kelompok Presiden Rwanda kemudian menyatakan bahwa kaum Tutsi merupakan bahaya laten dan menyerukan agar orang-orang Hutu 'membela diri' dengan menyerbu kaum Tutsi. Hasilnya adalah pembantaian besar-besaran atas kaum Tutsi.

Contoh di atas memberikan gambaran bahwa betapa berbahayanya mobocracy ini bagi kaum yang merupakan 'target'-nya. Namun, di sisi lain, sering kali pada akhirnya mobocracy ini justru tak terkendali dan bahkan membahayakan posisi kaum elit yang memulainya.

Alasannya adalah, sering kali mobocracy ini adalah sebagai 'quick fix' bagi kaum elit untuk jangka pendek. Namun untuk jangka panjang, sering kali mobocracy ini menjadi terlalu ekstrim dan tak sesuai lagi dengan arah yang diinginkan kaum elit tersebut. Untuk mengganti arah ke tujuan yang diingini menjadi sulit. Rakyat yang sudah bangkit emosinya akan merasa terhianati jika kaum elit mendadak berganti arah.

Pada akhirnya, justru mobocracy tak bisa dikendalikan, dan kaum elit sendiri yang sudah menanamkan ide ini kepada rakyat tak sanggup mengendalikannya dan justru terpaksa mengikuti 'arus,' dan kehilangan kontrol untuk membuat kebijaksanaan yang rasional. Massa yang sudah tak bisa dikendalikan akan merusak segala aspek sosial seperti ekonomi. Lebih buruk lagi kalau massa kemudian melakukan tindakan penghancuran atau pembunuhan massal yang pasti lebih mengerikan daripada tragedi Rwanda.

Sering kali akhir dari mobocracy adalah kehancuran negara dan kembalinya negara tersebut ke sistem kediktatoran atau lebih buruk lagi adalah ketakstabilan secara regional. Prancis merupakan salah satu contohnya. Jatuhnya Louis XVI disusul dengan Rezim Teror Robespiere yang mengakibatkan matinya ribuan orang. Prancis menjadi tak stabil dan pemerintahnya berusaha menggalang dukugan rakyat dengan menyerbu negara-negara tetangga. Keadaan ini diselesaikan dengan naiknya Napoleon I sebagai kaisar.

Pembaca mungkin akan menyatakan bahwa contoh Prancis ini terlalu sederhana, karena banyak faktor yang tak saya sebutkan seperti terbentuknya koalisi anti revolusi yang menentang Prancis. Namun jika kita meneliti sejarah lebih dalam lagi, koalisi ini terbentuk justru karena pemerintah-pemerintah negara-negara disekitar Prancis takut revolusi ini akan merusak stabilitas mereka. Contohnya, Inggris waktu itu merupakan negara yang paling demokratis, namun mereka tetap menentang Revolusi Prancis.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Maluku dan Sampit merupakan bentuk mobocracy? Saya yakin ya. Faktor-faktornya ada. Pemerintah yang tak berwibawa dan ketakutan akan SARA. Di daerah-daerah lain ada juga faktor-faktor ini, namun perbedaannya adalah di dua tempat ini ada kaum elit yang membakar api keributan. Walaupun mobocracy di tempat-tempat ini meningkatkan keraguan rakyat kepada jaminan dari pemerintah, namun saya ragu kalau pemerintah bisa jatuh karena dua keributan ini, sehingga saya katakan bahwa mobocracy ini dalam skala "kecil." Selain itu, dalam mobocracy di tempat-tempat ini, skala elit yang terlibat tak banyak dan tak sampai bisa sangat berpengaruh untuk menjatuhkan pemerintah. Namun seperti korek api yang bisa membakar hutan, mobocracy ini jika tak terkontrol bisa berkembang menjadi lebih besar jikalau golongan elit yang lebih banyak memiliki pengaruh memicu keributan di tempat lain yang lebih vital.

Bagaimana cara agar kita bisa terhindar dari mobocracy? Jalan pertama adalah agar kaum elit tidak mengambil jalur ini. Hal ini memerlukan kedewasaan dari kaum elit politik sendiri.

Jalan kedua lebih drastis, yakni meningkatkan kewibawaan negara, atau Indonesia mengurangi kecepatan demokratisasi; yakni dengan cara memperkuat militer dan memasang keadaan darurat militer di daerah-daerah yang mengalami mobocracy. Intinya adalah mungkinkah lebih baik mundur selangkah untuk maju 10 langkah? Samuel Huntington menyatakan bahwa untuk mengurangi kemungkinan instabilitasi sosial, institusi negara perlu diperkuat. Namun jalur kedua ini akan kurang populer karena siapakah yang bisa menjamin bahwa langkah mundur ini akan diteruskan dengan langkah maju ke arah demokrasi?

Kita memang menginginkan demokrasi yang benar-benar bersih sebagai tujuan akhir kita. Tapi sulit sekali melangkah ke arah demokrasi tanpa terjebak dalam mobocracy.

Kembali kepada saat saya di Chicago, sewaktu saya berpisah dengan M. Winters, saya meminta autograph dia di atas paper yang dia telah sajikan ke kongres. Dia menuliskan dibawah tanda tangannya: jangan sampai ada diktator lagi.

Namun mungkinkah authoritarian lebih baik daripada demokrasi, apalagi kalau demokrasi yang terbentuk adalah mobocracy? Tidak. Authoritarian dan mobocracy adalah sistem yang terjadi akibat gagalnya proses demokratisasi.

Saya harap tulisan ini bisa menjadi bahan pikiran bagi para pembaca dan saya juga berharap segelintir kaum elit politik yang berusaha memanas-manasi rakyat sadar akan bahaya ini, karena yang akan terjadi adalah kehancuran Indonesia dan salah satu solusinya adalah menuju ke arah pemerintahan diktator.

No comments:

Post a Comment