Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Friday, September 9, 2011

Antara rasionalitas dan representasi masalah

Kepala kita isinya....
------------

Date: Sat, 06 Sep 2003 04:39:09 -0400
Subject: Antara rasionalitas dan representasi masalah

Rasionalitas atau kemampuan manusia untuk berpikir secara rasional adalah sebuah karakteristik yang sangat dianggap penting, terutama di bidang ilmu pengetahuan. Begitu tingginya kita menganggap pentingnya rasionalitas sampai kita menggunakan istilah "irrasional" untuk menyerang orang-orang yang kita anggap tak sesuai dengan pandangan kita. Coba para pembaca perhatikan, dari pengalaman kita membaca surat-surat kabar atau e-mail-e-mail yang beredar dalam mailing list, mungkin hampir setiap hari kita mendengar atau berkomentar "ini orang bisa mikir enggak, sih?" atau "kok geblek banget, enggak tahu ya bahwa memang si anu bersalah," "dasar memang otaknya enggak jalan," dsb. Perhatikan, di balik seruan-seruan tersebut, tertanam bahwa kita melihat orang-orang yang kita cerca tak bisa menggunakan rasio mereka untuk berpikir atau dengan kata lain "irrasional."

Pendidikan dianggap sebagai salah satu "short cut" untuk mendapatkan kemampuan rasionalitas yang baik, dan kita pun menggunakan kalimat "dasar enggak berpendidikan," "enggak lulus SD kayaknya," dsb untuk "mengutuk" orang-orang yang tak sesuai dengan pemikiran kita - dan cara ini sering sekali digunakan oleh orang-orang yang memang memiliki pendidikan relatif tinggi dibandingkan orang-orang lain yang tak ia setujui. Selain itu sendiri, sudah tertanam di benak kita semua, bahwa semakin tinggi pendidikan kita, semakin baguslah orang tersebut. Tak ada seorang pun yang bisa menyangkal pentingnya pendidikan untuk melatih seseorang berpikir dengan baik (memperbaiki mutu manusia), mengukur level dan tingkat kecerdasan secara positif maupun sebagai alat untuk menyokong ego dan membanggakan diri secara negatif (menaruh gelar PhD, M.A, M.S., dsb dibelakang atau di depan nama dan menyatakan diri sebagai "ahli" sehingga berhak untuk merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel).

Namun dibalik asumsi-asumsi kita bahwa "orang itu irrasional," sebetulnya tertaman juga asumsi atau kepercayaan bahwa logika dan rasional kita yang terbaik, dan itu yang akan saya permasalahkan dalam tulisan ini. Satu hal yang kita selalu lupakan sewaktu kita meragukan kemampuan orang lain berpikir adalah asumsi dan kepercayaan yang menyebabkan kita menyatakan bahwa orang tersebut irrasional. Faktor itulah yang biasa kita sebut dengan istilah "representasi masalah (problem representation)" dan faktor itu bergantung kepada bagaimana kita sebagai manusia mengerti tentang dunia ini. Dengan kata lain, "representasi masalah" adalah bagaimana kita sebagai mahluk yang terbatas, berusaha mengerti sesuatu yang tak terbatas, dan cara kita adalah kita berusaha menyederhanakan dunia ke "gambaran-gambaran" yang menjadi titik tolak kita dalam berpikir dan kita gunakan sebagai penyaring (filter) untuk mengerti apa yang terjadi di dunia.

Tak ada seorang pun yang bisa meyakinkan orang lain bahwa kemampuannya tak terbatas. Sewaktu saya menyatakan diri saya sebagai seorang yang mempelajari politik, perlu juga dipertanyakan, politik apa yang saya pelajari dan apa fokus saya. Misalnya saja, saya yang mempelajari politik luar negeri akan kewalahan sewaktu saya ditanyai bagaimana atau apa cara kerja parlemen Malaysia, karena memang itu bukan fokus saya. Saya pun akan kewalahan sewaktu saya ditanya tentang hubungan internasional di Afrika, karena fokus saya adalah konflik dan perang di Eropa dan Asia. Ditambah lagi, kalau saya ditanya tentang perang antara India dan Pakistan, mungkin saya harus mati-matian mencari bahan yang cukup sebelum saya bisa memberikan jawaban secara mendetil.

Namun, saya bisa menjawab sebagian pertanyaan tersebut secara umum, secara garis besarnya, apa yang terjadi dan apa dampaknya. Mengapa? Karena sewaktu saya mempelajari hal-hal yang merupakan keahlian saya, saya secara tak sadar membuat semacam model bagaimana mekanisme politik internasional.

Misalnya, sewaktu saya mempelajari hubungan antara negara A dan B, kemudian hubungan antara negara C dan D, saya akan mencoba menarik sebuah persamaan antara kedua hubungan tersebut, apa karakteristik yang sama antara dua contoh tersebut. Andai kata, saya melihat persamaan dari dua contoh tersebut adalah: keputusan yang diambil negara A dan C terhadap B dan D dipengaruhi oleh partai sosialis yang menjadi oposisi, maka dari sana saya membuat model "pengaruh partai oposisi," dan isinya adalah politik luar negeri dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya oposisi. Dari model tersebut, saya asumsikan hubungan luar negeri di Afrika juga berdasarkan model yang sama, sehingga sewaktu pembaca bertanya kepada saya bahwa apa yang akan dilakukan Mozambique menghadapi krisis yang disebabkan hubungannya dengan tetangganya, maka saya akan ekstrapolasi dari model tersebut dan menerapkannya kepada politik luar negeri Mozambique.

Tentunya saya tak bisa langsung menyatakan kepada umum bahwa saya memiliki sebuah model. Itulah gunanya referensi: saya menggunakan hasil karya saya yang lama atau tulisan-tulisan orang-orang yang saya anggap bisa mendukung argumen saya sebagai "backing" yang memperkuat argumen atau model saya. Saya tuliskan asumsi-asumsi dibelakangnya, mengapa saya anggap model lama saya bisa relevan di kasus baru ini. Dari sini, jika model saya kurang sesuai untuk menggambarkan politik luar negeri Mozambique, maka model tersebut bisa diperbaiki atau mungkin akhirnya diganti jika memang tak bisa relevan sama sekali.

Masalah dapat timbul jikalau saya tahu (atau mungkin tak tahu) bahwa model saya buruk, tapi dengan menggunakan banyak sekali sumber-sumber yang mungkin orang lain kurang kuasai, maka saya seakan-akan memperlihatkan model saya adalah model terbaik yang paling "rasional." Hal yang sama terjadi tak hanya di bidang ilmu politik, melainkan juga di hampir semua bidang ilmu pengetahuan, terutama ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang mempelajari manusia. Satu hal yang perlu kita ingat adalah manusia sendiri merupakan mahluk yang sangat kompleks dan sulit diklasifikasi ke dalam hanya satu atau dua kategori tertentu atau disederhanakan. Masalah muncul begitu orang-orang dari ilmu pasti atau ilmu-ilmu yang menggembar-gemborkan "rasionalitas" menyatakan bahwa hanya ada satu model yang benar yang bisa menjelaskan segalanya.

Kaum ekonom misalnya, melihat manusia yang sangat kompleks tersebut, memilih untuk menyederhanakan manusia menjadi "homo economicus," manusia yang berusaha memaksimumkan keuntungan (expected utility) yang bisa mereka dapatkan dari sebuah hal. Karena model ini begitu sederhana dan elegan, tak heran sering dipakai juga untuk menggambarkan manusia. Namun masalahnya, seperti yang dikemukakan oleh Kahnemann dan Tversky, model ini sering sekali menghadapi kesulitan sewaktu menjelaskan pilihan orang-orang dalam kondisi untung/rugi. Misalnya saja, kebanyakan orang sewaktu ditanya apakah ia lebih suka memilih mendapatkan langsung $800 atau 90% kesempatan mendapatkan $1000 akan memilih "langsung $800," karena ia kuatir atas 10% kemungkinan tak akan mendapatkan $1000. Hal ini berlawanan sekali dengan pandangan kaum "rasional" yang menyatakan bahwa pilihan terbaik harusnya yang kedua, karena expected utilitynya adalah $900 (90% dari $1000).

Inti dari contoh diatas adalah sebagaimana pun seseorang menganggap dirinya "rasional," dan sebagaimana pun ia menyatakan bahwa teori yang dipakainya adalah teori yang paling "rasional," tetap ada asumsi-asumsi dibelakangnya yang mendasari mengapa ia menganggap teorinya "rasional." Contoh di atas menggambarkan bagaimana kaum ekonom yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut aliran "pilihan rasional" tetap memiliki asumsi-asumsi di belakang "rasionalitas" mereka, sehingga sewaktu menghadapi contoh yang saya gambarkan di atas, teori mereka ternyata menjadi "irrasional." Intinya, rasionalitas yang kita bentuk tergantung kepada bagaimana kita merepresentasikan sebuah masalah: jika kita merepresentasikan manusia sebagai "homo economicus," maka hasilnya demikian. Namun jika kita merepresentasikan manusia sebagai "takut resiko," maka hasil yang lain dapat muncul.

Bidang-bidang lain seperti filsafat juga demikian. Sewaktu kita menyatakan bahwa filsafat si anu itu yang terbaik, pertanyaan yang perlu kita tanyakan adalah: kok bisa kamu tahu filsafat dia yang terbaik? Apa asumsi-asumsi dibelakang pikiranmu sehingga kamu yakin bahwa Plato, Kant, Descartes, dsb yang terbaik? Sebagai seorang pencari kebenaran, kita melakukan kesalahan fatal sewaktu kita memvonis bahwa hanya ada satu solusi atau satu rasionalitas yang bisa menjelaskan segalanya. Rasionalitas dibuat oleh manusia yang tak sempurna dengan asumsi yang tak sempurna untuk menjelaskan manusia atau masalah-masalah yang sangat kompleks, sehingga sangat diragukan kalau seorang bisa berteriak bahwa ia menemukan "the ultimate answer" (jawaban paling bagus) untuk masalah-masalah yang ada.

Kelemahan ini sering sekali dilakukan oleh orang-orang yang mendalami ilmu pasti dan kemudian "banting stir" ke bidang kemanusiaan seperti filsafat, karena orang-orang eksata tersebut, sudah berpola pikir kaku yang menyatakan bahwa hanya ada satu jawaban utama, menerapkan metode mereka yang sama sekali tak cocok untuk menjelaskan manusia. Tak heran, kalau kita perhatikan dari 19 pembajak yang meledakkan WTC, semuanya berlatar belakang ilmu pasti. Kaum fundamentalis juga kebanyakan berlatar belakang ilmu pasti: mereka menganggap hanya ada satu jawaban untuk menjelaskan manusia, sehingga mereka mengutuk dan meremehkan alternatif-alternatif lain, dan ini bisa menjadi sangat berbahaya.

Hal inilah yang perlu kita pikirkan bersama-sama: sewaktu kita menyatakan diri kita "mengikuti metode-metode rasional yang berdasarkan akal sehat," apa asumsi-asumsi yang melandasi pemikiran kita? Kita perlu mengingat bahwa apa yang kita anggap rasional merupakan hasil dari asumsi-asumsi yang ada di kepala kita, dan semua asumsi-asumsi itu sendiri memiliki dasar-dasar rasionalitas yang lain, dan seterusnya. Jadi, sebagai seseorang yang mencari kebenaran, kita perlu lebih merendahkan diri, melihat bahwa ada kemungkinan alternatif-alternatif lain di luar jangkauan kita, dan kita tak boleh menyombongkan diri bahwa kita memiliki sebuah jawaban inti, karena apakah "jawaban" tersebut adalah "jawaban" yang benar?

YS

No comments:

Post a Comment