Tulisan lama ini dibuat menanggapi perdebatan sengit di milis kristen mengenai kebaktian raksasa yang diadakan Peter Yougren. Entah apa kaerna masalah komunikasi, kelihatannya panitia mengundang masyarakat sekitar untuk hadir dengan motif kegiatan sosial, namun ternyata mereka malah disunguhi kebaktian.
Tentu saja hal ini menimbulkan huru hara cukup besar. Milis pun dipenuhi perdepatan para pendukung dan penentang Peter Yougren ini. Saya mengambil sikap menentang, dengan alasan etika dan juga precedent.
YS
-----
Date: Mon, 18 Aug 2003 01:23:56 -0400
Subject: Problema Kebaktian Peter Yougren
Menarik membaca berita tentang Peter Yougren yang dituliskan di berbagai media massa beberapa hari belakangan ini. Sebagian dari kalangan Kristen menganggap bahwa memang sepantasnya acara seperti ini dibredel, dengan berbagai alasan, seperti antipati terhadap kaum kharismatik, mengacaukan citra orang-orang Kristen, dsb. Di sisi lain, kaum Kharismatik menyesalkan sikap orang-orang Kristen yang dianggal "menyalahkan korban," dan tak adanya rasa solidaritas sesama umat Kristen. Di ujung satu lagi, banyak orang Islam, termasuk diantaranya tokoh media yang sedang naik daun, Aa Gym, mengecam apa yang mereka sebut sebagai "pemurtadan berkedok pengobatan."
Namun saya melihat masalah-masalah yang lebih besar dari hanya sekedar keributan intra-Kristen atau masalah pemurtadan. Tulisan ini akan membahas dua diantaranya yakni "pembuatan pola sikap (precedent)" dan "kredibilitas gereja."
Apa itu precedent? Precedent adalah sesuatu hal atau kejadian yang dianggap sebagai patokan untuk menilai peristiwa berikutnya. Banyak organisasi menggunakan sistem "precedent" atau dikenal juga dengan istilah "standard operating procedure," karena menyelesaikan masalah dengan cara ini biasanya cukup efektif dan efisien. Misalnya saja, kalau pada tanggal 2, jajaran pemimpin perusahaan X memutuskan untuk menghadapi sebuah masalah dengan cara A, maka misalnya masalah tersebut terjadi kembali pada tanggal 16, maka cara yang sama akan kembali digunakan. Alasannya sederhana: manusia ingin efisiensi. Kalau satu cara dianggap cukup untuk menyelesaikan sebuah masalah, apa salahnya kalau digunakan juga untuk masalah lain yang dianggap sama atau mirip? Namun jika ditemukan cara lain yang lebih efektif, maka cara A akan segera diganti, tapi tentunya setelah perusahaan tersebut membandingkan cara A dengan cara baru ini dan melihat cara baru ini jauh lebih efisien.
Untuk masalah hukum atau politik, "precedent" juga lazim digunakan. Alasannya kali ini lebih kepada "keadilan." Tentunya sewaktu kita di pengadilan, kita menginginkan dan menganggap pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang lain. Kalau saya dipenjara 10 tahun karena pertama kali mencuri ayam, sedangkan Pak Doni, tetangga saya, juga mencuri ayam untuk pertama kalinya, tapi hanya dipenjara 1 tahun saja, maka akan timbul di benak saya, perasaan bahwa saya diperlakukan dengan tidak adil.
Kalau saya berada di negara yang sistem hukumnya jalan (tak seperti di Indonesia), saya, melalui pembela saya, akan segera naik banding, karena menganggap keputusan hakim berbeda dari "precedent" sebelumnya, sehingga ada kesan bahwa saya tak mendapatkan keadilan karena saya mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat.
Jadi arti terpenting dari "precedent" adalah standar, sebuah standar untuk mengukur keadilan atau keefisienan sebuah tindakan.
Kembali ke masalah utama yang ingin saya bahas, yakni kasus pelarangan "kebaktian penyembuhan" Peter Yougren, yang menjadi masalah di sini adalah kasus ini membuat "precedent" bagi kebaktian-kebaktian atau KKR-KKR berikut. Di masa berikutnya, kepolisian akan lebih berhati-hati atau bahkan tidak sama sekali untuk memberikan izin untuk acara seperti ini karena mereka melihat dampaknya yang cukup memanaskan situasi. Di sisi lain, banyak pemuka Islam yang antipati kepada umat Kristen akan cenderung lebih konfrontasional karena dua hal: (1) mereka melihat pengerahan massa seperti ini efektif untuk membatalkan acara-acara umat Kristen (2) mereka merasa bahwa kepercayaan mereka, bahwa orang-orang Kristen culas dan memiliki agenda Kristenisasi dibenarkan dan mereka akan lebih konfrontasional lagi menghadapi acara-acara umat Kristen yang lain.
Masalah lain juga adalah argumen bahwa acara seperti ini perlu dilarang karena mayoritas tak setuju. Dengan sikap seperti ini, maka akan timbul precedent "kediktatoran kaum mayoritas," di mana intinya kalau mayoritas tak setuju, maka acara tak boleh berlangsung. Hal ini akan menyebabkan semakin dipersulitnya kaum minoritas untuk menyelenggarakan acara-acara seperti ini, sementara kaum "mayoritas" akan bebas menyelenggarakan acara apa saja, karena mereka "mayoritas" dan "mayoritas" tak boleh diganggu gugat. Saya memakai tanda kutip untuk kata "mayoritas," karena saya yakin sebagian besar dari "kaum mayoritas" itu sendiri sebetulnya tak peduli.
Namun ada minoritas vokal dalam kaum "mayoritas" tersebut yang menyebabkan isu ini menjadi isu tajam dan memecah. Minoritas vokal ini yang berbahaya, karena mereka memiliki agenda tertentu dan dengan pengaruh moralitasnya akibat "membela Allah," bisa memasang agenda mereka menjadi agenda masyarakat umum. Dengan "precedent" ini, kaum minoritas vokal ini mendapat kredibilitas dan mereka akan bisa lebih berpengaruh.
Kenaifan Umat Kristen
Ada segelintir umat Kristen yang dengan naifnya memberikan amunisi kepada kaum "minoritas vokal dalam mayoritas" tersebut, misalnya dengan melakukan acara ini. Koran Pikiran Rakyat misalnya memberitakan bahwa penyelenggara kebaktian tersebut menyalahgunakan ijin acara, bahwa ijin acara yang dari bertema sosial, menjadi "KKR." Tentunya koran PR sendiri tak bisa dipercaya mentah-mentah, mengingat sikap koran tersebut yang sering kali partisan terutama dalam soal agama. Namun, kalau berita yang diberikan koran PR benar, yakni penyelenggara kebaktian tersebut menyalahgunakan ijin yang diberikan, maka kita di sini tak bersikap "tulus seperti merpati, cerdik seperti ular," namun hanya menjadi "culas seperti ular" saja, dan di sini memang kita perlu menerima penjelasan dari pihak penyelenggara kebaktian tersebut.
Mengapa? Karena sikap seperti itu merusak kredibilitas gereja.
Gereja di Indonesia sudah mengalami kerusakan kredibilitas yang cukup parah, sejak dari jaman Orde Baru, di mana gereja dianggap kongkalikong dengan sang diktator, menutup mata terhadap semua tindakan represi yang dilakukan Orde Baru terhadap kelompok-kelompok di masyarakat. Belum lagi, keributan intra dan antar gereja sendiri cukup merusak reputasi gereja sebagai tubuh jemaat Kristus, karena mengapa agama sama tapi selalu bergontok-gontokan.
Di masa seperti ini, tentunya yang terbaik adalah berusaha memperbaiki citra gereja, lebih mencoba memperbaiki mutu kaum jemaat dan para pembina. Penyalahgunaan izin, walau dengan maksud baik, namun sayangnya tetap tak bisa dibenarkan, karena akhirnya hanya menambah amunisi kaum fundamentalis yang siap menerkam gereja setiap saat.
Jadi?
Yang perlu dilakukan sekarang adalah bukan saling tunding, namun perlu ada penjelasan dari pihak panitia kepada umum, kalau memang belum dilakukan. Jika memang mereka bertindak sesuai ijin, tunjukkan bukti "hitam di atas putih" bahwa memang kebaktian ini diijinkan. Di sini perlu ada sikap ksatria dari kaum panitia, pengontrolan kerusakan pandangan umum kepada umat Kristen, bahwa kita berada di posisi yang benar. Kalau memang ijin tersebut disalah gunakan, minta maaf. Jangan sampai kita terus menambahkan amunisi untuk pihak-pihak yang sudah berantipati kepada umat Kristen.
Di sisi lain, peristiwa ini menjadi pelajaran untuk segelintir oknum Kristen yang ingin membuat KKR atau acara-acara semacam itu. Mungkin sudah saatnya mereka menjadi mawas diri, lebih mengerti tentang masyarakat dan kondisi sosial di sekitarnya, dan menekankan pemahaman masyarakat dalam pembangunan jemaat. Sering kali reaksi keras masyarakat terhadap gereja lebih disebabkan oleh kesalahpahaman dan ketidak mengertian antara kedua belah pihak.
Selain itu juga, kasus ini juga kembali menjadi lampu bahaya, bahwa posisi kita lemah sekali di mata masyarakat, di dalam pemerintahan ataupun di dalam dewan perwakilan. Jika posisi kita cukup kuat,yakni gereja benar-benar berakar di masyarakat dan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dengan masyarakat sekitar yang walau berbeda suku dan agama, maka kasus seperti ini akan sulit terjadi, karena rakyat pun akan berbondong-bondong membantu membela, walaupun berbeda agama, karena azas keadilan.
YS
No comments:
Post a Comment