Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, September 4, 2011

Menempatkan Demokrasi Pada Tempatnya

Jangan menaruh harapan terlalu besar kepada demokrasi, tapi di sisi lain, demokrasi mungkin salah satu bentuk pemerintahan yang paling beres. Itu inti tulisan ini.


---------
Menempatkan Demokrasi Pada Tempatnya
9 Juni 2003

Apakah demokrasi itu baik? Ini adalah sebuah pertanyaan yang cukup sering diajukan melihat perkembangan demokrasi di Indonesia yang cenderung hancur-hancuran sampai saat penulisan essay singkat ini. Banyak orang yang kemudian menjawab bahwa demokrasi memang dasarnya baik, tapi sayangnya yang di Indonesia itu tak sempurna - misalnya masih adanya penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak, tak maunya banyak golongan untuk menyalurkan aspirasi melalui saluran yang semestinya, KKN, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi - tak semua golongan menganggap demokrasi sebagai satu-satunya arena persaingan politik. Namun, beberapa akademik justru melihat bahwa pandangan tersebut terlalu utopianistic dan demokrasi yang sempurna tak akan pernah ada, dan kalaupun ada, akan sangat berbahaya.

Karena sudah cukup banyak literatur tentang pentingnya demokrasi, maka fokus tulisan ini adalah memberikan kilasan pandangan para pemikir yang "menyerang" demokrasi. Tujuan tulisan ini memang "provokasi," yang mencoba memaksa para pembaca memikirkan ulang tentang demokrasi - tapi bukan dengan maksud bahwa kita lebih baik membuang demokrasi dan kembali ke bentuk pemerintahan diktator. Pertama-tama, tulisan ini akan membahas definisi demokrasi, dilanjutkan dengan "serangan-serangan" terhadap demokrasi, dan ditutup dengan proposal untuk perdebatan selanjutnya.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, "Demos" dan "Kratos" yang artinya pemerintahan oleh rakyat. Itu adalah makna dasar demokrasi, dan kemudian para filsuf dan akademik menggunakan lebih dari dua ribu tahun untuk mencoba mengerti konsep ini lebih lanjut terutama dalam aplikasinya, seperti dalam kaitannya dengan pemerintahan. Joseph Schumpeter kemudian menkonseptualisasikan demokrasi sebagai jenis pemerintahan di mana pemegang pemerintahan dipilih melalui pemilihan umum. Di dalam pemilihan umum tersebut terjadi persaingan untuk mendapatkan suara terbanyak dari orang-orang dewasa agar bisa terpilih sebagai pemerintah. Definisi ini juga digunakan oleh para pemikir tentang demokrasi seperti Samuel P. Huntington dan Robert Dahl.

Juan Linz, salah satu pakar terbesar tentang demokrasi, memberikan satu kriteria tambahan - yakni konsolidasi demokrasi - di mana ia menyatakan bahwa kelangsungan demokrasi tergantung kepada kesuksesan demokrasi untuk terkonsolidasi, di mana setiap golongan menganggap demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik, dan mereka sepakat untuk menggunakan arena parlementer untuk memperebutkan kekuasaan. Jadi, selain ada partisipasi rakyat, elit memang menyetujui bahwa parlemen merupakan satu-satunya arena untuk berpartisipasi dalam politik dan tak lagi bergantung kepada arena lain, seperti kekerasan di jalan-jalan.

Namun definisi Juan Linz dianggap terlalu utopianistik, tak mungkin tercapai, dan dengan menambahkan "konsolidasi," demokrasi menjadi sesuatu yang terlalu diagung-agungkan dan menyebabkan berkembangnya kondisi yang cukup berbahaya. John Mueller (1999) menyatakan bahwa demokrasi yang sempurna adalah sebuah kontradiksi, karena ketidakmungkinan sebuah negara untuk mencapai demokrasi yang sempurna, sementara rakyat (terutama kaum akademik) yang menggembar-gemborkan perlunya demokrasi yang sempurna, menyebabkan timbulnya rasa sinis, inefisiensi, kekecewaan, dan akhirnya instabilitas. Jack Snyder (2000) melihat kemungkinan proses demokratisasi yang menggembar gemborkan "free speech" menyebabkan rumor, propaganda, dan hal-hal lain tak terkontrol dan menimbulkan rasa kebencian, ketakutan, dan bahkan bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis dan nasionalisasi yang ekstrim. Fareez Zakaria (2003) melihat bahwa demokrasi yang terburu-buru akan sangat menguntungkan kaum elit dan ekstrim yang justru akan menggunakan "kemenangan" mereka dalam pemilu untuk menghancurkan demokrasi.

Argumen Mueller (1999) didasarkan oleh satu proposisi menarik: bahwa kita terlalu mengidealisasikan demokrasi, padahal demokrasi sendiri bukan sistem sempurna, namun "cukup," terutama jika kaum elit dan rakyat sependapat bahwa mereka tak perlu menggunakan kekerasan untuk mengganti pemerintah. Menurutnya, kebaikan demokrasi adalah sebagai sistem di mana publik bisa menendang para penguasa yang buruk dalam pemilu, sehingga para penguasa perlu menjadi moderat. Tapi, sebagai sistem yang sempurna? Demokrasi tak akan bisa sempurna.

Demokrasi yang sempurna memerlukan partisipan dalam demokrasi tersebut yang sempurna - seperti publik yang terinformasi, dsb. Pada kenyataannya, massa kebanyakan memiliki pengetahuan dan informasi minim tentang demokrasi dan hanya mengandalkan apa yang mereka dengar dengan kenyataan sehari-hari. Kalau ingin sedikit konyol, seorang petani yang setiap hari nonton TV dan mendengar bahwa "kita berada di era reformasi," dan ia melihat keluar, melihat harga benih dan pupuk yang mahal, hasil panen yang tak terjual, anak kelaparan dan tak bisa bersekolah, ia akan memiliki kesimpulan bahwa reformasi itu sama dengan paceklik. Selain itu, apakah orang sibuk mencari makan akan memperdulikan politik? Tak heran, George Orwell menyatakan bahwa kondisi yang berat yang menyebabkan manusia seperti budak merupakan sesuatu yang memang diinginkan kaum elit, karena manusia lapar hanya memikirkan pekerjaannya dan apa yang ia akan makan besok.

Dari sini kita menuju ke pandangan kedua, yakni Snyder (2000) yang melihat pengaruh elit terhadap demokratisasi. Snyder meneliti negara-negara yang berubah ke demokrasi, dan ia menilai bahwa kesuksesan transisi ke demokrasi bergantung kepada elit pemerintahan yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi baru dan kestabilan institusi pemerintahan yang dipercaya rakyat banyak sebagai sesuatu yang legitimate. Jadi memang elitnya menginginkan demokrasi dan rakyatnya masih percaya bahwa mereka adalah warga negara sebuah negara yang mereka masih ingin tinggali.

Konflik etnis terjadi pada situasi di mana elitnya tak mampu beradaptasi dengan demokrasi, menyerukan propaganda pro-suku atau pro agama, sedangkan rakyat kehilangan rasa percaya kepada negara sebagai satu-satunya arbiter. Konflik di Maluku misalnya, di sebabkan kelompok-kelompok yang menggunakan propaganda agama, menyerang rakyat yang memeluk agama lain - rakyat yang tak melihat pemerintah berbuat sesuatu untuk meredam konflik, kehilangan rasa percayanya kepada pemerintah, dan memilih untuk bergabung dengan kelompok bersenjata yang dianggap bisa melindungi mereka. Apa yang menyebabkan kelompok-kelompok radikal tersebut bisa berpropaganda seenaknya? Demokrasi yang menggembar-gemborkan "free speech." Di bentuk pemerintahan autokrasi, pemerintah akan langsung menindak kelompok-kelompok radikal tersebut.

Pandangan ketiga dikemukakan oleh Fareed Zakaria, yang melihat naiknya kelompok-kelompok radikal di hampir semua tempat melalui pemilu, menyatakan perlunya meredam demokrasi. Namun, argumennya didasarkan oleh satu faktor: konstitusi liberal yang melindungi hak asasi manusia. Ia menilai bahwa demokratisasi di banyak negara akhir-akhir ini adalah demokrasi yang illiberal yang menyebabkan terbentuknya pemerintahan yang populis, hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, dan menghancurkan negara dalam jangka panjang. Penyebab dari illiberalitas demokrasi ini adalah ketidakmatangan dari rakyat dan elit politik sendiri - rakyat yang memang tak memiliki nilai-nilai liberal seperti toleransi, dan elit yang propagandis dan hanya memihak satu golongan atau etnis. Solusinya adalah "delegasi," yakni mengurangi kekuasaan "wakil rakyat" dalam parlemen dan memperkuat badan-badan yang tak tergantung kepada populisme seperti kehakiman, tentunya setelah terlebih dahulu dibersihkan dan dipenuhi oleh individu-individu yang bertanggung jawab.

Tiga akademis di atas adalah suara-suara kontroversial namun logis jika kita melihat lebih lanjut tentang perkembangan demokrasi di Indonesia. Namun satu hal yang pembaca perlu ingat, ketiganya bukan anti demokrasi, mereka hanya memberikan peringatan tentang masalah-masalah yang selalu terlupakan sewaktu kita berseru "demokrasi." Mueller menyatakan bahwa kita tak boleh terlalu mengidolasikan demokrasi, Snyder mempertanyakan tentang "free speech" yang berlebihan, sedangkan Zakaria mengingatkan kita atas pentingnya konstitusi yang liberal yang melindungi hak asasi tiap individu. Apakah ketiga akademis itu memberikan masukan-masukan yang berharga tentang demokrasi, hanya pembaca yang bisa menjawabnya.

YS
----

Bibliografi:
Dahl, Robert, "Poliarchy"
Gunther, Richard, et al., "The Politics of Democracy Consolidation"
Huntington, Samuel P., "The Third Wave"
Linz, Juan, and Alfred Stepan, "Problems of Democratic Transition and Consolidation"
Mueller, John, "Capitalism, Democracy, and Ralph's Pretty Good Grocery"
Orwell, George, "Down and Out in Paris and London."
Schumpeter, Joseph, "Capitalism, Socialism, and Democracy."
Snyder, Jack, "From Voting to Violence"
Zakaria, Fareed, "The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad."

No comments:

Post a Comment