Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, September 18, 2011

Kristen dan Politik dan masalah Partai Damai Sejahtera

Date: Fri, 23 Jan 2004 15:25:10 -0500
Subject: Kristen dan Politik dan masalah Partai Damai Sejahtera

Bolehkah orang Kristen berpolitik? Sering kali jawaban yang diberikan adalah tidak. Agama Kristen dan politik sering kali dianggap sebuah kontradiksi. Di satu pihak, agama Kristen selalu menekankan nilai-nilai moralitas, seperti tidak berbohong, mencuri, pokoknya sikap-sikap yang berbudi luhur dan selalu percaya bahwa kalau percaya, pasti akan terus sukses. Di sisi lain, politik selalu dilihat sebagai sesuatu yang buruk: yakni saling menyikat dan menikam dari belakang. Akhirnya, kesimpulan yang banyak diambil adalah agama Kristen lebih baik tak ikut politik.

Dalam tulisan ini, saya akan mempertanyakan proposisi di atas dengan sebuah argumen sederhana: bahwa dengan mengambil sikap-sikap yang saya sebutkan di atas, maka kita akan terlalu mengekstrimkan atau mengidealisasikan sebuah fakta yang sebetulnya netral. Dengan menganggap politik sebagai sesuatu yang selalu kotor menyebabkan terjadinya kesalahpahaman atas apa politik itu sebetulnya: yakni sebuah proses perundingan dan kompromi untuk mengedepankan isu yang dianggap penting oleh sebuah kelompok. Sebagai caveat: saya tak akan berbicara tentang doktrin Kristen dalam tulisan ini, karena pembahasan tentang doktrin akan melecengkan tujuan tulisan ini.
Kesalahpahaman tentang Kristen dan politik berakar dari pengalaman hidup kita sendiri dan persepsi kita sendiri tentang apa itu politik. Dari banyak rekan yang saya sering ajak bicara tentang politik, jawabannya sama: yakni politik itu adalah alat untuk mencapai tujuan dan karena itu selalu kotor, terutama kalau melihat pergulatan politik di seluruh dunia. Sebagai orang Kristen, tentunya kita diharuskan untuk hidup suci, karena itu kita tak bisa membayangkan diri kita (yang kita anggap sebagai baik) untuk melibatkan diri dalam sesuatu yang kotor.

Karena itu, orang Kristen berpolitik akan menimbulkan apa yang dibenak kita sebagai "cognitive dissonance," sebuah keanehan, ketidakcocokan tentang peran seseorang (misalnya Mbak Tutut memberi bantuan pangan kepada orang miskin). Begitu kita melihat sebuah kejanggalan seperti itu, maka kita akan merasionalisasikan tindakan tersebut (tentu saja, Mbak Tutut khan berambisi, dan ini cara dia menyogok rakyat miskin).
Namun, politik itu tak selamanya kotor. Kalau politik selalu kotor, maka tak akan terjadi pemerintahan demokrasi di mana pun. Adalah sebuah tindakan irrasional untuk selalu main kotor dalam politik, karena dalam politik juga diperlukan kompromi dan perundingan, karena "political capital" (modal politik) setiap orang bukannya tidak terbatas.

Seperti kata pepatah, "sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak akan dipercaya," politikus juga mengerti bahwa terlalu sering bermain kotor akan berbahaya untuk karir politik mereka, apalagi di alam demokrasi di mana kekerasan di luar arena politik (parlemen) cukup dikecam, walau bukannya tidak ada. Bahkan Niccolo Machiavelli yang sering dijuluki sebagai "empu" politik kotor, menulis bahwa seorang politikus (a prince) wajib berusaha untuk mendapatkan reputasi sebagai seorang besar yang berkemampuan tinggi. Ia juga harus memenangkan reputasi sebagai sahabat atau musuh sejati (kredibilitas dan konsistensi).

Hal inilah yang kurang dipahami oleh orang-orang Kristen. Kebanyakan dari kita hanyalah melihat politik sebagai sesuatu yang kotor sehingga menimbulkan dua reaksi ekstrim. Ekstrim pertama adalah mengakui bahwa politik itu kotor, sehingga kita sama sekali tak boleh berpolitik dan menentang orang-orang Kristen yang berpolitik. Ekstrim kedua adalah karena politik itu kotor dan kita harus bermain politik, maka kita wajib bertindak kotor mengikuti cara-cara duniawi. Ekstrim pertama menyebabkan orang-orang Kristen terisolasi, sedangkan yang kedua menyebabkan orang-orang Kristen dianggap munafik.

Jalan keluar dari dilema ini adalah mengikuti pandangan kaum Realis seperti Reinhold Niebuhr dan Hans Morgenthau (bahkan Richelieu, yang menyatakan bahwa keselamatan jiwa sudah terjamin, namun keselamatan negara tak terjamin). Pandangan kaum realis adalah dunia ini memang jatuh dan kotor, sehingga permainan kotor dalam politik adalah sesuatu yang perlu diterima (dan diawasi). Namun sebagai orang-orang yang mengaku dirinya Kristen, mereka memiliki tanggung jawab tambahan yakni diperlukannya tindakan-tindakan yang memenuhi kaidah moral, yakni berusaha menghindari politik kotor.

Kita perlu mengerti posisi kita sebagai kaum minoritas, dan hal itu menyebabkan kredibilitas sebagai satu-satunya modal politik kita. Untuk meninggikan kredibilitas kita, kita perlu bersikap bermoral dan tegas.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita menjadi naif. Memiliki kredibilitas bukan berarti bahwa berpolitik kotor tak boleh dilakukan, karena itu bergantung kepada kondisi, seperti kesadaran bahwa hasilnya akan sangat membantu kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Intinya (dan the "take home point dari tulisan ini"): diperlukan kredibilitas yang sangat tinggi, di mana kalaupun tindakan tak bermoral perlu diambil, kelompok lain mengerti bahwa tindakan tersebut bukan untuk memajukan kepentingan kelompok, namun kepentingan negara.

Inilah yang sering dinyatakan sebagai "licik seperti ular, namun tulus seperti merpati." Licik seperti ular, yakni kita menyadari kekotoran dunia ini dan kita sadar bahwa banyak hal tak bisa dilakukan kalau tak menggunakan alat-alat dunia, namun tulus dalam hal bahwa kita bermain kotor kalau memang diperlukan sebagai jalan terakhir dan hasilnya bukan untuk hanya kepentingan kita, namun kepentingan semua orang.

Masalah Partai Damai Sejahtera

Saat ini Partai Damai Sejahtera tak terlihat sudah memenuhi apa yang saya tuliskan di atas, terutama dari masalah kredibilitas. Beberapa skandal yang sering dibicarakan di banyak milis, seperti pemalsuan ijasah caleg atau anggota bayaran, walau belum tentu benar namun sudah cukup mengganggu kredibilitas partai ini, apalagi partai yang mengaku dirinya berlambangkan Salib Yesus dan burung merparti. (Agak sedikit membelok, namun saya cukup terganggu melihat lambang burung merpati itu, kelihatannya PDS memiliki masalah dalam memilih desainer... saya kok memiliki kesan burung merpatinya itu baru menabrak tiang salib dan jatuh).
Inilah tantangan terbesar untuk PDS: bagaimana untuk memperlihatkan kredibilitasnya di Indonesia kalau di kalangan sendiri saja kredibilitas PDS sudah terganggu? Lebih sulit lagi, bagaimana menghadapi kelompok-kelompok lain terutama yang cenderung bersikap cukup anti? Padahal, dalam permainan politik, kredibilitas adalah satu-satunya mata uang yang dipakai. Tanpa kredibilitas, good bye!
Jalan keluar yang bisa PDS ambil adalah bersikap lebih terbuka, terutama menghadapi tuduhan-tuduhan yang menyerang kredibilitas partai ini. Jika memang memiliki kesalahan, PDS perlu segera menyelesaikannya. Kalau akibat pembersihan masalah itu menyebabkan PDS gagal ikut pemilu, itu lebih bagus, daripada masuk dalam gedung DPR/MPR namun dianggap bermoral seperti partai koruptor.

Masih banyak kesempatan lain dan saya terus terang sangat kecewa membaca tulisan-tulisan seperti PDS wajib memenangkan pemilu 2004, karena hal tersebut memberikan kesan bahwa hanya inilah kesempatan kita sehingga jalan kotor apapun harus diambil agar bisa ikut pemilu. Padahal, jalan kotor hanya boleh diambil kalau hal itu menyangkut kepentingan negara, bukan pribadi karena itu akan mengorbankan kredibilitas kita - apalagi kita yang mengaku sebagai anak-anak Tuhan di bumi.

Seperti kita lihat, 15% suara yang katanya bisa didapat PDS pun tak akan bisa terwujudkan, melihat berbagai perpecahan dalam kubu Kristen sendiri akibat masalah kredibilitas PDS. Ingat, tingginya popularitas PKS (Partai Keadilan Sejahtera) disebabkan kredibilitas kader-kader mereka. Walau mereka kalah dalam pemilu lalu, namun saya berani ramalkan bahwa PKS akan banyak menambah suara dalam pemilu ini, bahkan mengalahkan PBB karena saya lihat PKS adalah salah satu partai paling profesional di Indonesia sekarang.

Selain itu, PDS pun perlu mulai meraih bukan hanya kalangan Kristen, namun kalangan Islam yang pluralistik yang bisa cukup simpatik. Untuk itu tentunya, diperlukan kompromi dan perlunya PDS mengubah diri sendiri menjadi partai  yang profesional, walau perlahan-lahan namun pasti.

Kota Roma tak didirikan dalam sehari. Begitu pula partai yang benar-benar bagus dan profesional dan bisa memenangkan pemilu. Sampai sekarang saya masih meragukan feasibilitas partai Kristen dalam peta politik Indonesia, dan saya tak yakin bahwa PDS bisa menghancurkan keraguan saya. Namun, saya harap saya salah.
YS

No comments:

Post a Comment