Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Tuesday, September 27, 2011

Kampanye Negatif: Ibarat Menembak Kaki Sendiri

Ini tulisan lama yang sangat perlu di-update. Jika saya menulis artikel ini kemnbali, maka akan saya tekankan perbedaan kampanye hitam dengan kampanye negatif, di mana kampanye yang berdampak sangat buruk adalah kampanye hitam sedangkan kampanye negatif justru sangat membantu pemilih untuk mendapatkan gambaran keseluruhan terhadap calonnya tersebut.

==========

Jawapos: Sabtu, 19 Juni 2004
Kampanye Negatif: Ibarat Menembak Kaki Sendiri

Dalam sebulan terakhir, semakin mendekati pemilihan presiden, semakin banyak kampanye negatif yang diterima baik melalui SMS maupun e-mail. Hal itu tidak mengejutkan mengingat kampanye negatif merupakan salah satu alat yang paling baik untuk mengurangi perolehan suara seorang tokoh, terutama tokoh yang belum terdefinisikan dengan baik atau belum terlalu diketahui posisinya dalam dunia politik.

Dalam politik sistem demokrasi, kredibilitas merupakan modal paling penting yang dimiliki politikus. Kredibilitas adalah ukuran seberapa besar seorang politikus untuk bisa dipercaya rakyat yang kemudian mereka akan menerjemahkan kepercayaan itu dengan memilihnya sewaktu pemilu. Pada saat kredibilitas politikus hilang, karir politiknya pun akan berakhir karena tak akan ada yang sudi memilihnya.


Menghancurkan Kredibilitas

Itulah guna kampanye negatif. Kampanye negatif adalah usaha untuk menghancurkan kredibilitas politikus dengan menekankan pada kelemahan-kelemahan atau posisi-posisi sang politikus yang akan mempengaruhi kepercayaan rakyat kepadanya.

Kampanye negatif sangat efektif untuk menghancurkan politisi baru yang mungkin populer, namun belum terlalu dikenal di masyarakat. Paling sedikit, kampanye negatif bisa membuat mereka yang diserang kalang kabut dan tak bisa berkampanye dengan efektif.

Seperti kita perhatikan dalam beberapa minggu ini, SBY dan Jusuf Kalla kalang kabut berusaha melawan kampanye negatif yang diterimanya. SBY-Kalla mencoba menghadapi isu tentang dukungannya terhadap negara Islam (setelah menerima dukungan dari PBB) dan anti-Tionghoa. Ironisnya, beberapa hari lalu, SBY mengklarifikasi tuduhan bahwa dia antisyariat Islam. Kita bisa melihat hal-hal seperti itu sangat mengganggu kampanye SBY-Kalla. Hal itu mengakibatkan mereka tak bisa memfokuskan diri untuk membangun pesan kampanye dan program kerja. Sebab, mereka harus menjadi pemadam kebakaran yang mencoba memadamkan bara kampanye negatif.

Selain SBY, Wiranto juga kelabakan sewaktu borok hitamnya, yakni Kasus Mei, dibuka di muka umum melalui tuduhan Kivlan Zein bahwa Wiranto merupakan dalang kerusuhan Mei. Belum lagi VCD-VCD negatif yang beredar di daerah. Semua itu cukup membuat kalang kabut kubu Wiranto. Penulis tak akan heran kalau hasil survei memperlihatkan bahwa kampanye negatif tersebut mempengaruhi proyeksi pendapatan suara SBY dan Wiranto.

Walau kampanye negatif terlihat menguntungkan dan efektif untuk menyikat lawan politik, di sisi lain, hal itu dapat memberikan dampak negatif, baik jangka pendek maupun jangka panjang, kepada semua tokoh politik.

Dalam jangka pendek, kampanye negatif akan menimbulkan rasa apatis di kalangan pemilih yang muak melihat begitu buruknya kampanye politik. Kahn dan Kenney (1999) dalam menganalisis efek kampanye negatif terhadap publik Amerika menemukan bahwa kampanye negatif bisa memiliki dua efek.

Kalau kampanye negatif dilakukan dengan baik, yakni menekankan kelemahan tokoh politik, hasilnya akan sangat menguntungkan bagi penyerang. Namun, jik kampanye negatif dilakukan dengan buruk, yakni dengan memberikan tuduhan tanpa dasar, isu, dsb., hasilnya ada dua. Bagi mereka yang memulai kampanye negatif, rakyat akan menilai dengan buruk kepada pihak yang dianggap memulai kampanye negatif. Bahkan, suara simpati akan lebih banyak ke korban kampanye negatif tersebut. Itu yang saya sebut menembak kaki sendiri. Sebab, kampanye negatif yang buruk justru merugikan pihak yang dianggap sebagai biang keladi dari kampanye negatif itu.

Di sisi lain, efek kedua yang sangat berbahaya demi kelangsungan demokrasi di Indonesia ialah publik muak dan memilih untuk tidak ikut pemilu (Ansolabehere dan Iyengar: 1995), Germond dan Witcover (1996). Efek jangka panjang mulai terasa sewaktu rakyat merasa muak terhadap politik yang kotor dan kemudian semakin banyak yang menolak ikut pemilu. Misalnya, persentase orang-orang yang tak ikut pemilu di negara-negara maju di atas 50%, sebagian disebabkan mereka memang tak melihat pemilu akan memberikan perubahan, sebagian lagi disebabkan oleh kampanye negatif itu.

Hasilnya, mereka yang ikut pemilu adalah orang-orang yang memang memiliki kepentingan tinggi terhadap hasil pemilu dan partisan. Balot suara pun kemudian akan dimenangkan oleh tokoh-tokoh yang radikal, karena yang moderat sudah muak dan menolak ikut pemilu. Jika itu yang terjadi, maka demokrasi di Indonesia akan hancur karena tak mungkin lagi kaum elite bisa duduk dan berusaha merumuskan kesepakatan yang moderat.


Implikasinya

Implikasi untuk SBY dan Wiranto; kampanye negatif hanya berguna kalau kandidat belum dikenal dengan baik. Karena itu, kedua tokoh tersebut perlu lebih mendefinisikan diri mereka. SBY dan Wiranto perlu membentuk gambaran (image) di masyarakat, memperbanyak iklan tentang program-program apa yang mereka akan lakukan secara terperinci. Misalnya, apa yang akan dilakukan dalam seratus hari setelah mereka terpilih, apa saja yang menjadi fokus mereka, siapa saja yang akan mereka masukkan dalam kabinet. Itu juga bisa dilakukan untuk menanggulangi tuduhan-tuduhan seperti pelanggar HAM dan pro ataupun antisyariah.

Implikasi untuk Megawati, Amien Rais dan Hamzah Haz; sebagai tokoh-tokoh yang telah dikenal masyarakat, kampanye negatif bisa berguna untuk mendefinisikan SBY dan Wiranto. Namun, kampanye negatif yang berdasarkan fakta paling penting, seperti apa kelemahan tokoh-tokoh politik lain.

Selain itu, analisis-analisis memperlihatkan, sebagai tokoh masyarat, ketiga pasangan itu bisa lebih diuntungkan dengan berkampanye positif, yakni memperlihatkan apa saja yang mereka hasilkan selama di pemerintahan.

Amien Rais juga bisa memfokuskan pada kebersihan dirinya dan apa saja yang dihasilkan MPR selama dia menjadi ketua. Megawati perlu lebih memperbaiki hubungan dengan publik, memperlihatkan hasil kerja kepresidenan yang positif dan mengakui kelemahan kepresidenannya serta apa programnya sewaktu terpilih kembali.

Hamzah Haz berada dalam posisi cukup sulit karena persepsi masyarakat yang menganggap wakil presiden sebagai cadangan. Namun, dia bisa menggunakan fakta bahwa sebagai wakil presiden pun, dia bisa berpengaruh.

Sebagai penutup, kampanye negatif bukan berarti tak berguna. Karena itu, kita perlu menyadari bahwa kampanye negatif akan terus ada dan terus terjadi. Namun, yang perlu dipikirkan adalah mengurangi dampak negatifnya sehingga kampanye negatif itu tidak menghancurkan demokrasi di Indonesia.

No comments:

Post a Comment