Tulisan yang lama, tapi cukup menarik. Salah satu favorit juga.
YS
----------
Dalam menyusun konsep ini, saya berterima kasih kepada beberapa rekan yang bersedia (atau terpaksa bersedia) untuk dijadikan korban:
Columbus: Irvandi Hendratanto
Austin: Benny Michael, Yuergen & Inggrid Tjia, Yenny, Tung-tung dan Peter
Houston: Indayani Muelyo
Tulisan ini belum sempurna, masih berupa sebuah konsep saja. Karena itu, masukan akan diterma dengan senang hati.
YS
----------
Penjara Pikiran
23 April 2004
Setiap hari kita hidup dalam sebuah penjara.
Bukan, maksud saya bukan bahwa kita setiap hari dibui atau dalam penjara yang dibuat dari semen, bata, atau beton. Tapi penjara yang saya maksud adalah sebuah konsep imaginir yang mengekang pikiran kita, membuat kita tak bisa berpikir lebih kritis karena ketakutan akan melanggar "aturan" atau karena memang tak bisa berpikir diluar konsep yang memenjarakan kita ini.
Beberapa contohnya adalah tradisi, budaya, agama, dsb. Semuanya mempengaruhi cara kita bertindak dan berpikir - untuk berpikir di luar konsep-konsep yang telah diberikan oleh tradisi, budaya, dan agama adalah sesuatu yang tabu dan tak bisa dilakukan. Ini akan saya bahas lebih lanjut, tapi pertama-tama mari kita diskusikan konsep penjara pikiran lebih lanjut.
Konsep penjara pikiran bukan sebuah konsep baru. Konsep ini pertama-tama sudah dibahas oleh Plato dalam "alegori gua" yang terkenal. Dalam alegori ini, Plato menceritakan tentang kisah sekelompok orang yang sejak lahir sudah dikurung dalam gua dan mereka tak bisa meninggalkan gua tersebut karena diikat. Mereka hanya bisa mengikuti dunia luar dari bayang-bayang yang terlihat. Pada suatu waktu, ada seorang yang berhasil keluar dari gua dan melihat dunia luar. Sewaktu ia kembali ke dalam gua untuk mencoba menerangi teman-temannya, yang ia dapatkan adalah cemoohan dan rasa tak percaya. Tak mungkin dunia luar itu seperti yang ia ceritakan, karena mereka telah menkonsepsikan dunia luar berdasarkan bayang-bayang yang mereka lihat dalam gua tersebut dan apa yang ia katakan tak sesuai dengan konsepsi mereka.
Pencemooh-pencemooh tersebut adalah orang-orang yang terperangkap dalam apa yang saya maksud sebagai "penjara imaginir." Sebuah pola pikir yang menjadi aturan yang tak bisa diganggu gugat. Itu juga yang sering kita sebutkan sebagai "struktur," sebuah kekangan yang membatasi cara pikir dan tingkah laku kita.
Ada dua pandangan tentang penjara pikiran ini. Plato memandang bahwa untuk menyelesaikan masalah ini, diperlukan pencerahan, pendidikan, dsb. Di sisi lain, Foucault membahas penjara pikiran sebagai sebuah penjara yang tak memiliki jalan keluar. Begitu kamu keluar dari satu penjara, maka ada lagi penjara baru yang mengekangmu. Untuk Foucault, tak ada jalan keluar dari penjara ini.
Pandangan saya adalah ada yang terperangkap dalam penjara pikiran ini dan mereka tak tahu bahwa mereka di dalam penjara, namun ada juga orang yang tahu bahwa mereka dipenjara, mereka menyadari ada beberapa jenis penjara, dan sebagian dari mereka memilih penjara mana yang ingin mereka masuki karena mereka memang senang dalam penjara tersebut berhubung kepentingan mereka dipenuhi oleh penjara itu.
Tipe pertama bisa dibagi menjadi tiga sub-type. Subtype pertama adalah orang-orang yang tak berpendidikan, lugu, naif, dan mudah dipengaruhi. Orang-orang ini adalah tipe pengikut yang akan selalu dijadikan pion dalam keributan politis.
Subtipe kedua adalah orang-orang yang berpendidikan, namun memang tak tertarik untuk berpikir kritis dan abstrak. Untuk orang-orang tersebut, berpikir bahwa mereka ada dalam penjara dan berusaha untuk keluar adalah tak berguna. Lebih baik menggunakan waktu dan energi mereka untuk hal-hal yang konkrit, karena berpikir abstrak itu tak ada gunanya. Mereka adalah tipe praktis.
Subtipe ketiga adalah orang yang tak tahu mereka dalam penjara, tapi mereka cukup lihai untuk memanfaatkan struktur penjara tersebut untuk kepentingan mereka, dan juga mereka melihat struktur penjara ini sangat berguna untuk mereka.
Type kedua adalah orang-orang yang tahu mereka dalam penjara pikiran dan berusaha atau bisa keluar dari penjara. Mereka bisa dibagi ke dalam dua subtipe. Subtype pertama adalah mereka yang tahu dalam penjara dan berusaha terus keluar. Ini adalah filsuf-filsuf murni idealis, yang tak tertarik kepada kekuasaan dan mereka hanya memfokuskan diri untuk terus berusaha memperbaiki situasi. Mereka melihat banyak jenis penjara dan berusaha membebaskan orang-orang dari berbagai penjara tersebut.
Subtipe kedua adalah subtipe yang cukup berbahaya, karena mereka tahu mereka ada dalam penjara, mereka tahu mereka bisa keluar, tapi mereka tetap memilih dalam penjara tertentu karena untuk mereka, penjara tersebut adalah sumber kekuasaan. Sebagian orang-orang ini adalah tipe-tipe oportunistis yang mampu beradaptasi sesuai dengan trend yang terbentuk di masyarakat.
Dari sini, mari kita membicarakan tentang tradisi, budaya, agama, dan hal-hal lain yang mengekang pikiran kita. Sebelum saya melanjutkan, saya harus menklarifikasikan bahwa bukan tujuan saya untuk menyatakan semua batasan buruk. Tak ada kekangan dalam pikiran bukanlah hal yang sangat baik, karena akan merusak diri maupun masyarakat. Saya percaya bahwa banyak hal yang harus dibatasi dalam kehidupan kita. Namun, tujuan tulisan ini adalah menyatakan bahwa tak semua batasan adalah sesuatu yang baik, karena terlalu dibatasi pun akan merusak, menciptakan mental "tergantung yang di atas" dan tak bisa mengeritik apa yang sebetulnya salah.
Tradisi, budaya, dan agama adalah batasan-batasan yang pada idealnya adalah baik. Semuanya mengatur cara kita untuk bersikap dan berinteraksi dalam masyarakat. Semuanya membantu kita untuk membentuk masyarakat yang harmonis dan baik.
Namun secara realitas, tradisi, budaya, dan agama dijadikan alat kekuasaan. Agama yang seharusnya menjadi alat untuk mengerti Tuhan, di-Tuhankan. Doktrin keagamaan menjadi sesuatu yang mutlak, yang justru merusak hubungan antara Tuhan dan manusia.
Dalam agama Kristen, misalnya, ajaran paling inti Alkitab adalah kisah Tuhan Yesus yang menyatakan bahwa Ia adalah jalan kebenaran dan hidup, dan hanya melalui-Nya maka manusia bisa selamat. Namun dalam prakteknya, selalu ditambah embel-embel seperti berapa besar pemberianmu ke gereja yang menentukan kesalehanmu atau berapa banyak dosamu yang dihapuskan. Itu adalah agama yang telah di-Tuhankan. Tuhan yang dipaksa mengikuti kerangka agama yang dipaksakan masyarakat.
Fyodor Dostoyevski dalam bukunya, "Brothers Karamazov" menulis satu cerita tentang Tuhan Yesus yang datang di Spanyol pada masa inquisisi. Di sana, Tuhan Yesus tak disambut, melainkan dilempar dalam penjara. Elit gereja dalam percakapannya dengan Tuhan Yesus menyatakan bahwa mereka tahu bahwa Ia adalah Tuhan, tapi kedatangan-Nya itu mengganggu struktur kekuasaan mereka. Tuhan itu harus menjadi sebuah konsep abstrak yang hanya bisa diterjemahkan oleh gereja, dan tak boleh massa mengerti Tuhan Yesus, karena itu akan mengganggu monopoli elit gereja dan merusak fondasi kekuasaan gereja.
Itulah yang selalu kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Tradisi, agama, dan budaya di-Tuhankan, dan digunakan sebagai alat politik. Mengambil satu posisi langsung dicap sebagai anti-Kristus, anti-Islam, dsb. Mengeritik tokoh dianggap mengeritik agama dan Tuhan. Menyerang satu aspek tradisi dianggap sebagai penyerangan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Elit menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengerti bagaimana berbicara dengan Tuhan dan Tuhan hanya memberikan wahyu kepada mereka, bukan kepada semua orang. Itu dipercaya oleh banyak orang sebagai sebuah kebenaran, padahal kitab suci manapun tak pernah menyatakan bahwa Tuhan hanya berbicara kepada elit saja. Kalau Tuhan hanya berbicara dengan elit, Tuhan Yesus harusnya hanya bergaul dengan orang Farisi saja. Nabi Muhammad hanya berbicara dengan kaisar-kaisar, tak kepada para pedagang.
Mengerikannya, banyak dari mereka sebetulnya sadar bahwa yang di-Tuhankan adalah doktrin yang diciptakan untuk mengerti Tuhan, bukan Tuhan sendiri. Tapi mereka menyukainya, seperti elit gereja dalam kisah Brother Karamazov itu, karena men-Tuhankan doktrin itu berarti memperkuat kekuasaan kaum elit. Elit melihat banyak orang yang memang dalam penjara tersebut, karena itu elit-elit korup tersebut memasang diri mereka sebagai pemimpin penjara tersebut - bukan untuk membantuk membebaskan, namun untuk menambah kekuasaan mereka.
Di agama Kristen dan Katolik, pendeta, kardinal, dan bahkan Paus pun dalam sejarahnya, berselingkuh dengan raja-raja dan konglomerat hitam. Di dalam Islam, imam dan habib memanipulasi massa. Di dalam sejarah agama Budha, misalnya di Tibet pun, rohaniawan menggunakan isu agama untuk melakukan pemerintah otoriter, sebuah fakta yang diakui Dalai Lama sendiri. Dalam Hindu, kita mengenal sistem kasta yang memaksa dominasi rohaniawan dan penguasa terhadap massa.
Tak hanya agama. Sekularisme pun demikian. Segala yang berbau agama wajibdihancurkan karena dianggap sebagai simbol intoleransi. Segalanya harus disekularisasikan. Sekularisme menjadi Tuhan yang mendominasi dan memaksa ompromi nilai-nilai moral agama.
Jadi, banyak sekali jenis penjara pikiran, dan banyak sekali macam orang yang terpenjara atau memenjarakan diri dalam penjara pikiran ini. Salah satu cara untuk melepaskan diri dari penjara ini adalah mengerti bahwa kita dipenjarakan seperti yang disarankan Plato. Namun, tambahan dari saya adalah kita perlu menyadari bahwa penjara merupakan alat dan bentuk kekuasaan, dan kita harus berusaha berpikir kritis agar penjara ini tak selamanya merusak pikiran kita.
YS
No comments:
Post a Comment