Artikel ini lebih sebagai sebuah explorasi tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya budaya korupsi. Tulisan ini tak membahas penyelesaiannya.
YS
-----------
Date: Tue, 02 Sep 2003 08:45:23 -0400
Subject: Refleksi tentang korupsi
Law? What do I care for law?
Hain't I got the power?
--Commodore Vanderbilt
Korupsi, kolusi, dan nepotisme[1] merupakan "tiga musuh besar" yang sering dikumandangkan baik oleh surat-surat kabar maupun dalam pembicaraan-pembicaraan tentang politik. Tak ada yang tak sependapat bahwa korupsi buruk baik secara moralitas ataupun untuk jangka panjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, timbul sebuah pertanyaan, bahwa kalau semua orang memang sependapat bahwa korupsi memang buruk, mengapa kegiatan korupsi sulit sekali diberantas. Untuk menjawabnya, kita perlu mengerti hubungan korupsi dengan kekuasaan. Dalam tulisan ini, kita akan membahas latar belakang korupsi, peranannya dalam kehidupan masyarakat dan bernegara sehingga sulit sekali untuk diberantas.
Korupsi di masa kini sering dihubungkan dengan ekonomi, yakni korupsi merupakan tindakan perampokan dalam sebuah struktur organisasi. Melalui perspektif ekonomi, maka biasanya kita akan mengambil kesimpulan bahwa korupsi itu merupakan penyebab segala kebobrokan social akibat faktor kriminalitas dan pemborosan yang terkandung dalam perspektif ini. Misalnya saja, Bank Dunia menyatakan bahwa angka korupsi yang tinggi bisa memangkas pertumbuhan ekonomi sebuah negara secara signifikan. Pandangan ini juga yang banyak digunakan kaum moralis-idealis dalam menyerang korupsi. Intinya, korupsi itu salah secara moral, karena korupsi berarti mencuri, dan dampaknya sendiri akan berbahaya untuk moral masyarakat di jangka panjang.
Namun penjelasan dari sisi ini tak bisa memberikan gambaran sempurna tentang korupsi, karena penjelasan ekonomi selalu terfokus kepada faktor korupsi sebagai penyebab kerusakan-kerusakan baik moral ataupun riil di masyarakat. Jika memang benar penjelasan tersebut, maka seharusnya pemberantasan korupsi bukan merupakan hal yang sangat sulit. Para akuntan yang hebat dan digaji cukup tinggi bisa digunakan untuk membedah pembukuan perusahaan-perusahaan secara mendetil. Keuangan para politikus korup bisa secara sistematis dibongkar. Kalau kita hanya melihat secara ekonomi, korupsi kelihatannya mudah dihancurkan, alasannya korupsi tetap ada karena tak adanya keinginan kaum politikus untuk membersihkan diri berhubung mereka diuntungkan secara ekonomi oleh korupsi.
Namun menariknya, pemberantasan korupsi tetap sulit sekali dilakukan, walaupun para pemimpin jujur bisa berkuasa, dan hal ini tak hanya di negara berkembang saja, bahkan di negara-negara maju pun, seperti Amerika Serikat, pemberantasan korupsi tetap sulit sekali dilakukan. Kota New York, misalnya, dikenal bersama-sama kota Chicago sebagai kota terkorup di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan abad ke-20. Di tahun 1930-an, pergantian pemimpin dari Mayor Walker yang sangat korup ke Mayor La Guardia yang terkenal bersih dan jujur dianggap bisa menyelesaikan masalah korupsi. Catatannya cukup baik: selama dua belas tahun pemerintahannya, kota New York mengalami penurunan angka korupsi yang cukup tajam. Namun setelah ia memutuskan untuk tak dipilih kembali, angka korupsi kembali melonjak, dan bertambah buruk.[2]
Usaha rakyat untuk membersihkan kegiatan-kegiatan korupsi pun bukannya tak ada, kota New York misalnya, memiliki organisasi "pemerintahan bersih," yang bertujuan menyerang politikus korup dan memilih politikus jujur sebagai pegawai pemerintah. Tapi selama berpuluh-puluh tahun, usaha mereka tak ada artinya. Tekanan-tekanan yang mereka lakukan sama sekali tak dihiraukan, dan korupsi tetap berlangsung dengan blantan. Bahkan di beberapa pemilu, masyarakat memilih politikus-politikus korup dan menolak politikus jujur. Jika masyarakat memang sadar bahwa korupsi itu buruk dan berbahaya, serta untuk membersihkan korupsi cukup melemparkan para politikus korup ke penjara, maka kesulitan-kesulitan kaum reformis untuk mengentaskan korupsi menjadi dipertanyakan.
Di sini kita perlu melihat faktor lain, yakni faktor politik: mengapa rakyat yang seharusnya anti korupsi bisa memilih koruptor-koruptor untuk duduk di bangku pemerintahan. Alasannya sederhana: rakyat bergantung dan diuntungkan oleh korupsi, dan menariknya faktor ini jarang sekali dibahas oleh para idalis atau moralis yang menggaung-gaungkan slogan anti korupsi.
Korupsi merupakan dampak alamiah dari sebuah system kenegaraan yang tidak sempurna, di mana negara tak mampu menyediakan kebutuhan seluruh warga negaranya secara adil. Ketidakmampuan negara disebabkan banyak faktor, seperti tingginya jumlah penduduk dibandingkan jumlah maximum yang bisa dilayani negara, diskriminasi, dsb. Tapi yang jelas, adanya kelompok yang termarginalisasi dalam sebuah negara akan membuka kesempatan bagi aktor-aktor politik untuk memanfaatkan kelompok tersebut.
Banyak sekali contoh dari proposisi di atas. Contoh pertama yang akan dibahas adalah Tammany di New York, di mana di sini akan diilustrasikan bagaimana kelompok politik bisa memanfaatkan kaum imigran. Tammany adalah sebuah kelompok politik yang sangat berpengaruh di New York pada akhir abad ke-19 sampai pemerintahan La Guardia di tahun 1930-an. Tak ada politikus di kota New York maupun di negara bagian New York yang berani menentang kelompok Tammany, karena kelompok Tammany ini bisa menggerakan massa untuk memilih atau menendang politikus dalam pemilihan umum.
Bagaimana cara Tammany bekerja? Tammany mendapatkan massanya dari para imigran yang baru datang dari Eropa, terutama yang dari Irlandia. Orang-orang Irlandia ini bagaikan orang kampung yang baru masuk kota: bingung, tak tahu apa yang dapat dilakukan, dan mereka pun pusing mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Di sini peran Tammany: mereka membantu mencarikan tempat tinggal, pekerjaan, pokoknya membantu adaptasi mereka. Sewaktu mereka dieksploitasi atau ditipu atau berhadapan dengan hukum atau kesulitan ekonomi, mereka meminta bantuan bos-bos Tammany untuk membantu mereka. Tammany selalu bisa diandalkan untuk membawa mereka keluar dari kesulitan mereka.
Namun tentunya ada yang diinginkan Tammany: yakni setiap pemilu, orang-orang ini diwajibkan memilih tokoh yang diinginkan Tammany, dan rakyat yang berhutang budi dengan senang hati memberikan suara mereka. Dari sini, Tammany memiliki banyak politikus yang akan berhutang budi, sehingga selalu membantu Tammany. Bantuan apa yang akan diberikan politikus-politikus tersebut kepada Tammany? Selain memberikan proyek-proyek basah untuk orang-orang Tammany, politikus-politikus tersebut juga akan memberikan pekerjaan di birokrasi atau bantuan-bantuan untuk orang-orang Tammany. Siapa orang-orang Tammany itu? Para imigran yang baru datang atau kroni-kroni lain. Di sini terbentuk lingkaran setan, Tammany memberikan pekerjaan di birokrasi kepada imigran, imigran berhutang budi, membantu Tammany dengan suara mereka dalam pemilu, Tammany kemudian menempatkan kroni mereka dalam pemerintahan, dan mengalihkan proyek-proyek basah ke organisasi mereka, dan dari hasilnya itu, Tammany memperkerjakan imigran-imigran lain, dan semakin memperbesar pengaruh politik kelompok Tammany. Akhirnya Tammany menguasai kota New York dan selama puluhan tahun segala usaha untuk membersihkan balai kota dari orang-orang Tammany selalu gagal.
Contoh kedua adalah system kolusi di perdesaan. Bukanlah sebuah simplifikasi untuk menyatakan bahwa kebanyakan orang desa berpendidikan rendah dan buta hukum. Kebanyakan memfokuskan hidup mereka untuk bertani, sehingga sekolah bukanlah sesuatu yang penting dan pendidikan rendah bukan sebuah kejanggalan. Masalah timbul ketika orang-orang desa ini terlibat dalam perkara hukum non-adat.
Penyebab perlawanan rakyat desa kepada standardisasi hukum sebetulnya sangat sederhana: orang desa terbiasa dengan hukum adat dan mereka sama sekali tak tahu hukum formal. Pemerintah tentunya lebih menyukai sistemisasi karena berarti ada standard dalam hukum sehingga mempermudah urusan pemerintahan. Namun untuk orang desa, mereka sama sekali tak mengerti hukum ini karena hukum formal dianggap terlalu kompleks: banyak masalah yang mungkin sebetulnya tak terpikir dalam hukum adat menjadi ada dan banyak sekali aturan-aturan yang berbeda dengan kebiasaan. Misalnya saja dalam pemerkosaan, dalam hukum formal, pemerkosa akan dilemparkan ke penjara, namun dalam salah satu jenis hukum adat, hukuman bagi pemerkosa adalah pernikahan paksa. Perbedaan nilai ini menyebabkan terjadinya kebingungan di kalangan rakyat desa.
Ini baru hukum pidana, bagaimana dengan perdata, seperti hukum waris, di mana ada perbedaan yang cukup drastic antara hukum waris adat dengan hukum waris formal? Apa yang dianggap hukum adat sebagai legal bisa dipertanyakan dengan hukum waris formal, dan bisa digunakan oleh pihak-pihak yang lihai untuk menyikat warisan-warisan yang biasanya berupa tanah, dengan alasan bahwa pewarisan dengan hukum adat itu illegal. Belum lagi undang-undang lain. Ketidaktahuan mereka menyebabkan mereka tak tahu hak-hak mereka dan mereka akhirnya cenderung menjadi pihak yang selalu kalah, bukan akibat keluguan mereka, tapi karena mereka memang tak mengerti hukum-hukum formal yang sangat kompleks.
Di ini muncul peranan tokoh-tokoh masyarakat desa, orang-orang pintar baik secara agamis ataupun pendidikan formal. Tokoh agama membantu rakyat desa secara politis: hubungan tokoh agama dengan supra organisasi yang sangat berpengaruh bisa membantu rakyat menghadapi kelompok yang dianggap akan merugikan desa. Di Jawa Timur, kiai-kiai yang tergabung dalam Nadhatul Ulama berperan sebagai pelindung secara politis bagi pengikut mereka. Walaupun mungkin kiai-kiai buta hukum formil, namun mereka bisa mengandalkan Nadhatul Ulama untuk memberikan tekanan politis bagi pemerintah untuk tak mengganggu konstituensi mereka.
Tokoh-tokoh dengan pendidikan formal bisa menggunakan perdesaan sebagai batu loncatan agar mereka bisa berpengaruh dalam pemerintahan. Misalnya di Spanyol, tokoh-tokoh politik dapat masuk ke parlemen dengan dukungan rakyat desa. Mengapa orang-orang desa mengagumi tokoh-tokoh berpendidikan formil? Karena mereka tahu hukum, mereka pernah tinggal di kota untuk melanjutkan sekolah mereka, sehingga mereka bisa mengerti sebetulnya apa itu hukum dan apa hak-hak rakyat sebetulnya. Tokoh-tokoh ini membantu rakyat desa yang menghadapi masalah hukum dengan nasihat, atau membantu mereka di pengadilan, yang biasanya akan menelan biaya yang tak sedikit. Apa balasan yang diinginkan? Rakyat desa wajib memilih mereka ke parlemen atau pemerintahan.
Begitu di pemerintahan, para tokoh politik tersebut akan berusaha memperbesar pengaruh mereka di desa. Misalnya dengan meminta pemerintah untuk mengalihkan dana pembangunan ke tempat asal mereka, sehingga meningkatkan kemakmuran rakyat tempat asalnya, dan membuatnya semakin poluler dan kesempatan dipilih kembali akan lebih tinggi. Selain itu, mereka juga akan berusaha memperbesar pengaruh mereka di pemerintahan, dengan memasukkan kerabat dan teman-teman mereka dalam birokrasi, seperti yang rajin dilakukan di negara-negara yang baru merdeka. Misalnya di Indonesia sendiri, di tahun 1950-an (sampai sekarang), terjadi pembengkakan jumlah pegawai negeri, akibat partai-partai di pemerintahan berlomba-lomba memasukkan kerabat dan teman-teman dari daerah asal mereka dalam birokrasi. Keuntungan yang didapatkan menjadi berlipat ganda: mereka akan disukai di tempat asal, dan posisi mereka juga semakin kuat dalam birokrasi pemerintahan.
Begitu jumlah pegawai negeri membludak, terjadi inefisiensi: sering kali jumlah pegawai negeri jauh lebih banyak dari kebutuhan. Untuk meningkatkan jumlah kebutuhan, maka hanya ada satu solusi: memperbanyak lapisan birokrasi: dari si A hanya melapor ke B, menjadi: A melapor ke C, C melapor ke D, & , dan Z melapor ke B. Seperti biasa yang menjadi masalah akhirnya dana yang tersisa untuk kebutuhan lain. Tak ada data akurat yang memberikan persentase anggaran belanja Indonesia yang digunakan untuk membayar pegawai negeri, namun angka India dan Mexico yang diatas 50% mungkin cukup akurat sebagai perbandingan untuk Indonesia.
Masalah berikut muncul setelah membludaknya jumlah pegawai negeri dalam birokrasi, yakni masalah keuangan. Kas negara yang memang minim tak akan mampu membayar pegawai-pegawai negeri tersebut dengan cukup. Kondisi kemudian memaksa pegawai-pegawai negeri tersebut untuk melakukan korupsi, peyelewengan dana, pemerasan, dsb. Para elit politik sendiri, walaupun mereka memiliki uang yang cukup, tetap terjun dalam kegiatan korupsi, karena dua alasan: yang pertama memang mereka tamak, yang kedua, dan jarang sekali dibahas, adalah uang bisa membeli kekuasaan.
Alasan kedua ini yang akan dibahas selanjutnya. Para elit politik menyadari juga bahwa bawahan mereka tak digaji cukup oleh negara. Akibatnya, mereka membantu membayar bawahan mereka, walau dengan alasan yang tidak agung, yakni memperkuat posisi mereka dalam birokrasi. Dalam sebuah organisasi, seorang pemimpin perlu memiliki legitimasi dari luar dan dalam. Dari luar sudah didapatkan, misalnya diangkatnya mereka oleh presiden atau partai atau menangnya mereka dalam pemilu. Legitimasi dari dalamlah yang perlu dibuat, karena tanpa bawahan, semua program mereka akan sulit berjalan atau gagal.
Tanpa kesetiaan dan "hasil," maka legitimasi dari luar yang telah susah payah didapatkan akan menjadi percuma, dan ada kemungkinan bahwa orang tersebut akhirnya disingkirkan, karena efektif, tak bisa mengatur bawahan, dan tak mampu memberikan hasil yang diinginkan. Kesetiaan akhirnya dibeli: bawahan yang menerima uang akan berhutang budi dan mendukung atasan mereka. Selain itu, bawahan yang sudah setia akan lebih sulit menerima orang baru sebagai atasan mereka, sehingga posisi pun bisa lebih terjamin. Akhirnya, korupsi menjadi terinstitusionalisasi dalam organisasi dan tak bisa diberantas, karena tak hanya satu dua orang saja yang terlibat, namun seluruh birokrasi negara.
Salah satu usulan yang sering dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah pegawai-pegawai negeri adalah rasionalisasi pegawai negeri, atau bahasa kasarnya itu pemecatan oknum-oknum yang tak berguna. Namun, kembali ke masalah di atas, bahwa kepegawai negerian sendiri sebetulnya merupakan sistem jaminan social: tanpa pekerjaan sebagai pegawai negeri, angka pengangguran akan membludak dan akan muncul instabilitas social. Jadi usaha penyempurnaan system pasti akan mengalami perlawanan yang dashyat dari orang-orang yang berkepentingan, yakni mereka yang naik karena korupsi, maupun mereka yang di dalam organisasi yang untung, dan juga masyarakat yang melihat kalau kepegawaian negeri benar-benar dibersihkan, maka angka pengangguran meningkat.
Melihat semua faktor di atas, pemberantasan korupsi secara tuntas menjadi sesuatu yang begitu sulit. Salah satu proposisi yang dikeluarkan adalah usaha untuk menyempurnakan system, dengan tangan besi merasionalisasikan kepegawaian, penerapan hukum secara efektif dan keras. Namun, tentunya karena system negara sendiri memang tak sempurna dan tak akan pernah sempurna, maka korupsi akan tetap ada dan terus ada. Yang menjadi masalah juga adalah orang-orang yang berusaha merasionalisasikan pemerintahan sendiri akan menjadi tokoh-tokoh yang sangat dibenci dan mereka bisa ditendang dalam pemilu berikut. Walau kaum akademik dan aktivis akan memuji tindakan mereka, namun rakyat yang menjadi korban dari rasionalisasi tak akan bertepuk tangan: mereka akan memilih tokoh-tokoh politik yang dianggap akan melindungi mereka.
Tak heran, di banyak negara, tokoh-tokoh intelektual yang berusaha mereformasi sistem selalu kalah melawan tokoh-tokoh populis yang menjanjikan "roti dan sirkus" dan peraturan-peraturan yang "menguntungkan" rakyat kecil untuk jangka pendek dalam pemilu (walau jangka panjangnya akan merusak perekonomian negara). Bismarck, salah satu kanselir terhebat di Jerman di abad ke-19, dan pada dasarnya dia bukan pencinta demokrasi, mengijinkan seluruh rakyat Jerman untuk ikut pemilu. Alasannya sederhana: ia tahu bahwa ialah yang akan memenangkan pemilu karena ia berhasil memberikan "roti dan sirkus" untuk rakyat Jerman. Oposisinya akan kalah, karena rakyat tak peduli dengan slogan ataupun moralitas, yang penting adalah apakah besok mereka bisa makan?
Di New York, di awal abad ke-20, tokoh-tokoh reformasi sering sekali kalah dalam pemilu karena mereka melawan mesin Tammany dan para pendukungnya, yang sadar begitu reformasi dilakukan maka mereka akan kehilangan pekerjaan- pekerjaan mereka. Di Indonesia, Kwik Kian Gie dianggap sebagai tokoh yang benar-benar jujur dan bersih. Namun kalau kita melihat dampaknya dalam pemerintahan, kita hanya bisa mendesah, karena sevokal apapun Kwik, angka korupsi tetap meningkat dengan drastis dan tak ada hasil konkrit yang bisa ditunjukkan Kwik tentang usahanya dalam membersihkan Indonesia. Di sini idealisme bertubrukan dengan realitas politik, dan realitas politik sayangnya selalu menang dan membantai idealisme. Tak heran sekarang banyak sekali kaum reformis yang benar-benar putus asa.
Cara lain adalah berkompromi, menyadari bahwa korupsi memang akan tetap ada, dan yang diusahakan adalah meminimalkan pengaruh korupsi secara bertahap, sehingga untuk jangka panjang, angka korupsi akan tetap ditekan.
Di sini idealisme dikorbankan dan realitas dipeluk. Untuk mengubah sistem, para reformis perlu bermain dalam sistem, berusaha melihat kepentingan-kepentingan yang bermain, dan perlahan-lahan menghancurkan kepentingan-kepentingan tersebut, dimulai dari yang paling lemah. Seperti Churchill katakan, kalau Hitler menyerbu neraka, ia bersedia bergabung dengan setan (Stalin), mungkinkah ini jalan yang terbaik, bahwa idealisme dan nilai-nilai kita perlu dikorbankan walau tidak seluruhnya? Namun jangan lupa juga ucapan Lord Acton bahwa kekuasaan mutlak akan mengkorupsi jiwa seseorang secara total.
YS
-----------
[1] Sebagai penyederhanaan, dalam tulisan ini, saya menggunakan korupsi sebagai pencakup ketiga istilah tersebut. Penggunaan ini berdasarkan pertimbangan bahwa korupsi sendiri kalau kita lihat dari arti sebenarnya adalah "kerusakan."
[2] Ia meninggal 14 bulan kemudian karena kanker.
No comments:
Post a Comment