Jaman Edan: Kwik Kian Gie dan Keraton Jakarta
Dalam lakon "Semar Papa," sebuah cerita wayang yang sangat sakral, dikisahkan bahwa kerajaan Amarta dirundung kemalangan yang besar. Wabah penyakit misterius yang tak dapat dihentikan menyerang kerajaan Amarta. Seorang peramal (titisan Batara Shiva) menyatakan bahwa wabah penyakit ini hanya dapat dihentikan dengan kematian Semar.
Setelah kaum Pendawa mengadakan rapat, maka diputuskan bahwa demi bangsa, Semar perlu mati - walaupun Semar, seperti yang pembaca ketahui, merupakan seorang panakawan yang sangat setia dan bijaksana. Yudistira akhirnya dengan terpaksa memerintahkan Abimanyu untuk membunuh Semar. Namun Abimanyu, karena ia adalah seorang yang penuh belas kasihan dan merasa bahwa keputusan untuk membunuh Semar sangat tidak adil, memutuskan untuk melepas Semar.
Abimanyu, akibat perbuatannya, di kisah ini dikecam karena tak bersikap seperti layaknya ksatria. Yudistira sendiri di sini dipuji bukan karena tindakannya yang memerintahkan Abimanyu untuk membunuh Semar, namun atas pertimbangannya yang meletakkan hati nurani dan belas kasihan dibawah kepentingan negara, sehingga ia memutuskan untuk melakukan hal yang diluar hati nuraninya - dan bersikap seperti layaknya seorang ksatria.
Menurut tradisi pewayangan, seorang ksatria memiliki kewajiban untuk memerintah negara dengan baik dan bijaksana dan melindungi negara dan pemerintah dari serangan luar. Seorang ksatria wajib melindungi pemimpinnya dan tak boleh meleceng dari kewajibannya tersebut, apalagi melakukan tindakan yang dianggap berhianat. Namun, untuk elit Indonesia sekarang, bagian pertama dari definisi ini, yakni memerintah dengan baik dan bijaksana ditinggalkan, dan hanya menuntut bagian kedua, yakni melindungi pemimpinnya dan tak berhianat, walaupun sang ksatria melihat negara diperintah oleh elit yang tak bermoral dan berengsek.
Kelihatannya budaya bahwa seorang ksatria "wajib bersikap seperti seorang ksatria" sangat berakar dalam kehidupan politik negara Indonesia sekarang, walau seperti yang saya tulis, arti ksatria sendiri sudah sangat dilecengkan. Untuk keraton Jakarta sekarang, seorang ksatria tak boleh memikirkan tentang dilema moral melihat ketidakadilan, namun perlu melaksanakan tugasnya sebagai ksatria, yakni mematuhi perintah pemimpinnya "demi menjaga kelangsungan bangsa dan negara." Sayangnya, pemerintah sekarang bukan berada di Amarta, dan kebanyakan elit sekarang pun tak pernah memiliki sikap seperti kaum Pandawa.
Kebanyakan elit sekarang bersikap seperti kaum Kurawa di Astina, licik, saling menusuk dari belakang, korupsi, dan gila kekayaan serta hormat. Namun, di tengah kerajaan Astina, Kwik Kian Gie tak bersikap seperti Durna, yakni terus membantu Kurawa, tapi justru menjadi cermin di mana kaum kurawa melihat keburukan muka mereka. Seperti kata pepatah, "buruk muka, cermin dibelah," di sini melihat keburukan mereka, para pemimpin PDI-P berusaha "membelah" Kwik Kian Gie.
Dengan mental keratonnya, para pemimpin PDI-P memandang Kwik bersikap seperti Abimanyu, tak berkelakukan seperti layaknya ksatria yang wajib membela atasannya. Karena itulah, tak heran, akhir-akhir ini kita melihat Kwik Kian Gie yang membeberkan bahwa PDI-P adalah partai terkorup di Indonesia dikecam banyak pihak, terutama jajaran kepemimpinan PDI-P. Patih Kiemas pun menyarankan Kwik untuk berkonsultasi ke psikiater, karena Kwik memang bersikap seperti orang gila, tak berkelakuan seperti layaknya seorang "ksatria" di kerajaan Astina. Tak heran, psikiater yang dikonsultasikan oleh Kwik menyatakan bahwa Kwik tak gila, tapi ia adalah seorang yang tidak normal, yang memang tak pantas berada dalam lingkungan kegilaan negara Astina. Ia lebih pantas berada di negara Amarta yang memang siap menerima kritik dan siap memperbaiki diri.
Menariknya, justru kalau kita lihat, elit Indonesia sekaranglah yang sebetulnya bersikap tak normal, bahkan sebagai ksatria pun. Kalau kita lihat definisi ksatria di atas, di mana tugas kaum ksatria adalah melindungi bangsa, negara, serta memerintah dengan bijaksana, kaum elit pun tak bisa memenuhi tugas mereka sebagai ksatria sejati. Namun, demi memenuhi ketamakan mereka, mereka memaksa orang-orang lain untuk bersikap seperti layaknya ksatria yang mereka inginkan, yakni yang hanya patuh kepada atasan, bukan untuk membela bangsa. Mereka menginginkan ksatria yang impoten, yang hanya menjadi "yes men" dan berbudaya "asal bapak senang."
Jadi memang inilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, di mana para pemimpinnya memang tak tahu dan tak mengerti tugas seorang ksatria, dan menganggap Indonesia seperti keraton Astina, di mana mereka bisa memerintah tanpa memperdulikan rakyat dan hati nurani. Lebih parah dari Kurawa, para elit ini bahkan sudah melecengkan arti ksatria yang sebenarnya. Akibatnya, para pemimpin ini juga meminta anak buahnya bersikap seperti ksatria, tapi ksatria yang dalam definisi mereka, yakni bukan untuk membela bangsa, tapi untuk membela kepentingan mereka. Intinya, daripada bersikap sebagai Abimanyu di Astina, Kwik lebih dipaksa untuk bersikap seperti Kumbakarna di Ramayana yang membela Prabu Dasamuka (Rahwana).
Di alam demokrasi ini, rakyat mengharapkan adanya peralihan dari budaya keraton Jakarta ke budaya demokrasi Indonesia , sebuah transisi yang sampai sekarang masih terus kita alami. Namun, transisi ke demokrasi tak bisa berjalan selama kaum elitnya masih memiliki mental keraton dan menaruh kepentingan mereka sendiri diatas kepentingan bangsa dan negara dan selama ksatria masih disalahartikan oleh para elit politik Astina ini.
Di kisah wayang, kelakuan kaum Kurawa ditolerir, juga di jaman Suharto, di mana memang Suharto yang bersikap seperti Prabu Sujudana, memiliki kekuasaan absolut. Namun di negara Indonesia sekarang, kelakuan para Kurawa tak boleh ditoleransi, karena di alam demokrasi ini, pemerintah wajib mengerti bahwa mereka tak lagi berada dalam keraton Jakarta, tapi mereka bertanggung jawab kepada rakyat yang sekarang ini sedang menderita. Kwik yang berani bersikap seperti Abimanyu atau Raden Wibisana dalam Ramayana, bertindak berdasarkan hati nurani, merupakan udara segar yang menghilangkan kabut kesesakan di negara Astina ini, walau sayangnya, tak seperti dalam cerita-cerita wayang, Kwik akhirnya mundur teratur setelah menghadap Patih Sangkuni.
Memang keraton Astina masih sangat sulit didobrak.
YS
No comments:
Post a Comment