Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Tuesday, September 6, 2011

Partai Kristen vs Organisasi Kristen + Debat Partai Kristen

Tulisan lama di milis Kristen mengenai apakah partai yang berideologi agama Kristen bisa berkembang, dan saya berargumen bahwa ide mendirikan partai Kristen bukanlah ide bagus.

Ada tiga tulisan dalam posting ini. Tulisan pertama merupakan tulisan awal saya, disusul dengan sanggahan, dan akhirnya jawaban akhir saya.

Date:  Mon Jul 7, 2003  3:49 pm
Subject:  Partai Kristen vs Organisasi Kristen

Menjelang Pemilu tahun 2004, terjadi perdebatan di kalangan Kristen tentang apakah lebih menguntungkan untuk kita untuk membentuk Partai Kristen. Melalui tulisan singkat ini, jawaban saya adalah tidak, malahan lebih baik untuk kita untuk membentuk kelompok lobby Kristen yang efektif dan kuat. Saya akan menggunakan methode "game theory" untuk mendukung argumen saya, kemudian pro dan kontra Partai Kristen, dan akhirnya organisasi lobby Kristen dan penerapannya.

Akhir minggu kemarin, saya diajak kawan-kawan muda di sini untuk bersama-sama menyaksikan Terminator 3 pada pukul 9:15 PM. Pada jam 9, saya sudah di bioskop yang ditentukan, membeli tiket, dan duduk - suatu kesalahan yang cukup fatal, mengingat bahwa para mahasiswa-mahasiswi Indonesia di mana pun memiliki budaya ngaret yang hebat dan sangat terkenal (sampai kalau ada janji dengan Pak Liddle, ia dengan bercanda bertanya, "waktu Jakarta atau waktu sini?"). Film di mulai, dan saya satu-satunya orang Indonesia yang menonton film itu, walau secara terus terang, saya tak kecewa, filmnya menarik.

Namun peristiwa itu mengingatkan saya kepada sebuah permainan, yakni dilema dua tahanan. Ceritanya begini, ada dua penjahat yang ditangkap polisi. Inspektur polisi menginterogasi salah satu dari keduanya. Karena buktinya kurang kuat, inspektur itu menawarkan sebuah proposal: kalau si penjahat tersebut mau bersaksi memberatkan penjahat lain, maka ia hanya dipenjara selama satu tahun, dan temannya itu mendapat lima tahun. Jadi kalau si penjahat tersebut membelot, maka ia akan hanya dipenjara sebentar.Masalahnya adalah kalau keduanya membelot, proposalnya tak berguna lagi, dan keduanya akan mendapat empat tahun penjara. Tapi kalau keduanya kerjasama dengan sesama, jadi tak ada yang mau bersaksi melawan yang lain, maka dalam masa dua tahun saja keduanya bebas. Berikut adalah tabel yang bisa menjelaskan lebih lanjut:

                                          Tahanan B
                                    Kerjasama    Membelot
Tahanan A Kerjasama        (2,2)            (5,1)
                  Membelot        (1,5)             (4,4)
Catatan: makin kecil angkanya berarti makin baik

Tentu saja hasil yang terbaik untuk keduanya adalah kerjasama. Namun masalahnya, bagaimana mereka bisa tahu bahwa yang lain tak membelot? Itu adalah dilema yang sulit, apalagi karena "biaya ditipu"-nya cukup tinggi.

Keohane, Axelrod, dan pemikir-pemikir lain menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah ini, kita tak boleh hanya menggunakan permainan satu kali seperti ini, namun perlu beberapa kali permainan, di mana salah satu menerima saja ditipu mentah-mentah untuk beberapa giliran, dengan alasan bahwa pihak yang ditipu mengisyaratkan kepada pihak yang menipu bahwa ia mau bekerja sama sebetulnya, jadi tolong jangan menipu terus - paling bagus adalah kerja sama berdua agar bisa mendapatkan hasil yang menguntungkan kedua pihak.

Tentunya "biaya ditipu" tersebut beragam: untuk saya yang "maklum" atas reputasi anak-anak Indonesia di sini, expectation saya memang sudah cukup rendah, karena status quo-nya sendiri adalah "kamu pasti ditipu," sehingga "biaya" yang ditimpakan kepada saya pun tidak begitu besar. Tapi karena permainan ini diulang terus, akhirnya timbul pilihan dominan, yakni keduanya terus membelot.

Dari sini, kita berpindah kepada kehidupan politik di Indonesia yang mirip dengan "dilemma tahanan" seperti ini. Sebagai umat Kristen, kita memiliki harapan yang cukup tinggi kepada partai-partai yang dianggap bisa mewakili kita, seperti Partai Golkar, PDI-P, dll. Namun, terutama untuk partai Golkar dan PAN, keduanya cukup mengecewakan kita, apalagi mengingat disahkannya RUU pendidikan kemarin tersebut, yang sangat bertentangan dengan kepentingan kita. Kalau kita mau umpamakan diri kita dengan partai-partai tersebut, permainan yang kita hadapi adalah: kita kerjasama, mereka membelot, dan kita kena getahnya.

Yang menjadi masalah adalah biaya membelot kita tak terlalu besar untuk partai-partai tersebut, namun untuk kita sangat tinggi - baik untuk membelot ataupun untuk ditipu. Seperti kita ketahui, jumlah kita tak terlalu besar di Indonesia dan kita pun terpecah-pecah menurut tokoh-tokoh, gereja, dsb. Tidak ada persatuan antara umat Kristen dalam bentuk visi, misi, dan terutama juga suara menyebabkan kita tak menjadi golongan yang diperhitungkan (kecuali oleh PDI-P waktu itu yang memilih abstain dan PKB-Gus Dur yang memang inklusiv). Akhirnya, apa yang terjadi? Kalau kita membelot, berarti kita kehilangan suara, namun karena kita tak sanggup "merugikan" mereka, mereka tak terlalu merasakan sakitnya. Lebih buruk lagi, kalau kita tak membelot kita tetap tak memiliki suara yang berpengaruh dan kita terus terkena "biaya ditipu." Ini adalah tabel biaya kita:

                                                    Kristen
                                       Kerjasama    Membelot
Partai       Kerjasama            (3,3)          (4,10)
                Membelot           (2,10)          (2,10)
Catatan: makin kecil angkanya, berarti makin baik

Intinya, pilihan apapun yang kita pilih, kita akan tetap rugi.

Beberapa tokoh menyarankan untuk membentuk Partai Kristen sebagai tandingan. Kembali ke permasalahannya, keluarnya kita dari "permainan" ini bukan menjadi jalan terbaik. Berapa maksimum suara yang bisa didapat Partai Kristen? Mungkin hanya sekitar 10%, tapi secara praktis, mengingat kita begitu tersebar dan terpecah, 4% pun masih untung. Empat persen kita melawan 96% partai lain tak akan memberikan "dent" apapun. Beberapa orang menunjuk Partai Bulan Bintang sebagai partai kecil yang bersuara keras, namun anda perlu lihat juga bahwa mereka memainkan suara agama. Politikus konyol mana yang mau diteriaki "sesat" atau "anti-Islam." Selain itu pun, dengan bermain agama sebagai program, kita bermain di medan musuh yang sangat tak menguntungkan kita. Agama menjadi topik diskusi dominan, dan kalau isu ini diteruskan, kita tak akan menang.

Memang bisa juga bahwa dengan sistem parlementer kita, sebagai Partai Kristen kita bisa menjadi "kingmakers" apalagi kalau perbedaan suara antara partai terbesar dan kedua terbesar cukup tipis, di mana kita bisa menjadi penentu. Namun, permasalahannya kalau semua partai bersatu melawan kita, itu yang menjadi masalah. Menjadi Partai Kristen adalah sama dengan membelot dan kita tak akan menang.

Jalan yang menurut saya terbaik adalah membuat organisasi politik Kristen yang non-partai, yakni seperti Walhi yang lebih sebagai kelompok penekan dan pemberi ide. Sebagai kelompok penekan, kita menawarkan total suara kepada partai-partai yang sesuai aspirasi kita, yakni partai yang inklusif, liberal (liberal di sini artinya menjunjung tinggi HAM dan tak menekan minoritas), dan sekuler. Pada dasarnya, kita menggaransi mereka bahwa kita bisa membantu mendapatkan mayoritas suara Kristen untuk mereka.

Sebagai organisasi non-partai pun kita akan memiliki banyak kelebihan. Kita juga bisa bekerja sama dengan organisasi-organisasi liberal-pluralis seperti NU, Muhammadiyah, JIL, dan lain sebagainya yang memiliki visi inklusivitas dan pluralistis -- bersama-sama mereka beraliansi melawan kelompok-kelompok fundamentalis di Indonesia yang anti liberal demokrasi dan pro negara agama. Akan cukup sulit untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi seperti itu dalam bentuk partai politik. Dengan bentuk organisasi politik yang non-partai, kita bisa lebih banyak menjangkau kelompok-kelompok lain, apalagi untuk mendorong ide-ide pluralis, liberal, dan inklusivitas. Jika kita hanya terpaku kepada ide "Kristen" saja, maka suara yang kita dapatkan pun tak akan terlalu banyak.

Nah, di sini muncul satu pertanyaan: bagaimana aplikasinya? Sebagai organisasi liberal-pluralis, kita perlu dan wajib mempersatukan gereja-gereja di Indonesia. Memang sebuah kesulitan yang cukup tinggi untuk mendudukkan gereja-gereja seperti Reform dan Kharismatik bersama-sama, karena ujung-ujungnya biasanya debat theologi. Kegagalan PGI sebagai organisasi yang harusnya bisa mempersatukan gereja harus kita pelajari, dan saya lihat salah satu faktor terbesarnya dalah kurangnya ide yang bisa mempersatukan gereja-gereja dan tak adanya penjangkauan dari organisasi ini ke jemaat-jemaat.

Karena itu untuk masa krisis seperti ini, perlu dicari sebuah posisi yang sama diantara semua gereja - apalagi mengingat seperti kata Paulus, bahwa "kita dibenarkan oleh Iman" kepada kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Yang lain, seperti Bahasa Roh, Calvinisme, dsb. hanyalah embel-embel belaka. Di sini perlu adanya kerjasama para pendeta dari semua gereja untuk bersama-sama duduk dan memformulasikan satu ide, dasar, dan falsafah yang bisa diterima oleh semuanya, dan juga jemaat, tanpa dipengaruhi theologia "Bapakisme" (yakni hanya diri sendiri yang terpenting), untuk bersama-sama menghadapi krisis yang menimpa kita.

Peran organisasi Kristen kita adalah untuk membantu mendidik para pendeta tentang masalah ini, yakni berusaha mengubah peran pendeta untuk menjadi pendidik jemaat tentang bagaimana masyarakat pluralistik yang benar itu, bukan sebagai juru kampanye atau sebagai sarana pemuasan ego sang pendeta. Pendeta justru perlu "di atas" politik, dengan arti bahwa mereka tak boleh mendukung satu partai secara eksplisit, namun memberikan petunjuk kepada jemaat untuk memilih partai yang bisa mewakili mereka, menjadi kelompok netral, sehingga pandangan mereka tentang politik akan sangat dihargai.

Selain itu juga, seperti umumnya organisasi macam ini di Amerika Serikat, organisasi ini perlu juga menjangkau segala lapisan masyarakat Kristen, yakni mengabarkan berita-berita yang dianggap perlu, memberikan pendidikan politik seperti sebetulnya apa jenis masyarakat yang baik, dan organisasi ini juga perlu dan wajib memperhatikan jemaat, jadi kalau jemaat memiliki keluhan misalnya tentang ketidakadilan, organisasi ini bisa membantu menekan anggota-anggota partai dan DPR untuk peduli. Pada waktu pemilu, organisasi ini perlu dan wajib memberikan informasi kepada jemaat tentang partai apa yang layak dipilih, sehingga bisa menggaransikan satu blok suara untuk partai tersebut: dan memberikan semacam hasil, sehingga biaya yang akan diterima partai kalau membelot akan sangat tinggi - karena kita akan ikut membelot dan akan merugikan partai tersebut.

Intinya, sangat penting bagi kita untuk mengubah paradigma kita, dari "Partai Kristen dan mempertahankan Kristen" menjadi "Organisasi Kristen yang membantu mendorong penerapan nilai-nilai demokrasi liberal, inklusivitas, dan pluralisme di masyarat." Kita tak boleh hanya bermain masalah "Kristen vs non-Kristen" karena hasil dari RUU Pendidikan memperlihatkan kerugian kita kalau hanya bermain dengan ide ini saja. Kita harus ingat, sewaktu kita bermain dengan ide "Kristen vs non-Kristen," tak hanya Islam Fundamentalis saja yang menentang kita, namun juga kaum Konfusius, Budhis, dan kelompok minoritas lain yang merasa kita bahaya lebih besar daripada Islamisasi. Dengan mendorong ide-ide pluralisme, kita bisa membentuk organisasi yang berpengaruh dan wajib diperhitungkan oleh para politisi.

YS


POLEMIK PARTAI KRISTEN
--------------------------------------
Date: Mon, 14 Jul 2003 05:05:12
From: Daniel - Rohi <rohidaniel@eudoramail.com>
Subject: Partai Kristen Perlu (tanggapan utk Yohanes)

URGENSI PARTAI KRISTEN

Menanggapai penolakan sudara Yohanes terhadap pendirian suatu partai politik Kristen dengan menggunakan teori permainan sebagai pisau analisis, maka perkenankan saya menyatakan ketidaksetujuan saya. Saya mendapati argumentasi yang dikembangkan oleh saudara memiliki  minimal tiga kelemahan mendasar yakni pertama teori permainan mencoba meyederhanakan persoalan politik yang naturnya rumit dan kompleks, tentu hal ini tidak dapat menjangkau akar permasalahan yang sesungguhnya. Kedua teori permainan telah menempatkan proses politik tercabut dari konteks kesejarahannya (sejarah partisipasi Kristen di lapangan politik) dan terakhir berpolitik telah dimaknai hanya sebatas suatu gemes dengan orinetasi menang-kalah.

Seting yang digunakan oleh saudara Yohanes dalam  menjelaskan pendapatnya adalah kekalahan telak  aspirasi Kristen didalam kasus RUU Sidiknas. Saya menilai kekalahan tersebut justru bersumber pada ketidak beranian atau lebih tepatnya ketidaksiapan orang Kristen untuk tampil dengan partai Kristen melainkan memyerahkan nasib mereka pada partai-partai politik lain yang dianggap ‘nasionalis’, tetapi  yang realitanya    mengabaikan  aspirasi orang Kristen, kalaupun ada partai yang nampaknya  tulus tetapi sesungguhnya tidak lebih dari cara Pontius Pilatus alias cuci tangan dengan tidak mengahadiri sidang untuk menyatakan sikapnya, menurut saya ini adalah kelicikan bagi mendapatkan simpati dari umat Kristen dan umat Kristen mesti kritis memahami fenomena ini.

Besar kecilnya jumlah anggota parlemen bagi saya bukan factor dominan sebab panggilan orang Kristen dimanapun dia ditempatkan oleh Tuhan adalah menyuarakan kebenaran. Kebenaran bahwa UU Sidiknas akan memberikan dampak buruk bagi masa depan NKRI sudah dikemukakan oleh aggora parlemen dari PDKB, walaupun ini ditolak oleh mayoritas. Kalah atau menang didalam politik adalah nisbi/relatif, namun yang terpenting   dalam berpolitik bagi orang Kristen adalah kesetiaan kepada apa yang diperjuangkan. Dalam konteks ini kehadiran PDKB sebagai suatu partai Kristen cukup bermakna.

Bagi mendukung argumentasi saya, urain singkat dibawah ini boleh menjadi pembanding terhadap tulisan yang terkasih saudara Yohanes, selamat berdiskusi !!!


Wacana perlu atau tidak partai politik berlabelkan Kristen  dihadirkan di negara Indonesia yang majemuk telah berlangsung sejak  berdirinya republik ini, dan ini merupakan suatu pergumulan yang akan terus ada, manakala umat Kristen di Indonesia hendak merumuskan bentuk partisipasi Krsitiani di dalam lapangan politk.

Pada awal berdirinya republik ini, suatu konperensi penting telah diadakan di Karanpandan Solo, pemimpin gereja dan cendekiawan Kristen secara intensif telah mendiskusikan persolan keterlibatan umat Kristen di dalam politik. Yang menarik dalam diskusi tersebut, Mr. Amir Syarifudin (seorang tokoh Kristen yang memiliki peran penting dalam sejarah RI) salah seorang peserta dalam komperensi tersebut mengatakan bahwa apabila orang Kristen merasa kepentingan mereka tidak terwakili dan terancam oleh golongan lain, maka pendirian sebuah partai politik kristen merupakan suatu kemestian. Pendapat ini secara positif ditanggapi oleh ahli etika Kristen Pdt. Dr.Verkuil yang berujar bahwa berpolitik bagi warga gereja merupakan pengabdian kepada Kristus Kepala Gereja. Dengan kata lain kehadiran Kristen di panggung politik adalah suatu panggilan yang wajib ditunaikan sebagai bentuk pertanggungjawaban iman.

Didalam perkembangan selanjutnya  pada tanggal 18 nopember 1945 berdirilah Partai Kristen Indonesia (parkindo)  sebagai lanjutan dari Partai Kristen Nasional (PKN)  yang diketuai oleh akademisi yang juga adalah rektor pertama Universitas Indonesia, Prof.Dr.W.Z Johannes. Mereka yang menggagas partai ini bukan orang-orang yang handal dan berpengalam dibidang politik, melainkan warga gereja yang awam didalam politik, namun memiliki integritas dan ketajaman visi mengenai masa depan Indonesia dan terpanggil untuk berkarya bagi bangsanya. Keputusan untuk melahirkan Parkindopun diwarnai dengan polarisasi  pendapat diantara mereka yang menghendaki didirikan partai  dengan mengunakan nama Kristen dan pihak lain yang keberatan.

Kiprah Parkindo di arena politik nasional cukup diperhitungkan, hal ini bukan hanya dilihat dari pemikiran-pemikiranya yang konsisten terhadap konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, tetapi juga  kader-kader parkindo tidak pernah absen didalam mengisi kursi sebagai menteri didalam kabinet, bahkan Dr.Johanes Leimena  sebagai ketua umum Parkindo pernah menjadi wakil perdana menteri (waperdam), dan yang mengagumkan beliau dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat (acting) presiden RI selama enam atau tujuh kali, ketika bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Menelusuri keterlibatan parkindo didalam tugas kesejarahanya dapat memberikan pelajaran yang berharga minimal untuk meyakinkan mereka yang ragu bahkan ‘alergi’ akan kehadiran partai yang mengunakan simbol Kristen. Secara umun keraguan yang senantiasa dikemukakan  berkisar kepada dua hal pokok yakni:

Pertama keraguan bahwa partai Kristen akan  menjadi suatu kelompok yang eksklusif, atau bahkan akan terjebak kepada primodialisme sempit yang akan menghambat proses integrasi bangsa. Anggapan ini tidak berasas kukuh, sebab didalam upaya membangun masyarakat yang demokratis perbedaan merupakan suatu unsur yang perlu aktualisasikan secara jujur dan terbuka sehingga setiap kelompok masyarakat akan memahami apa yang menjadi keinginan dan harapan kelompok lain. Walau tidak menutup kemungkinan akan  berpotensi konflik. Jika proses ini dikelola dengan baik, maka potensi  konflik tersebut akan bemuara pada suatu konsensus bagi tercipta suatu iklim politik untuk saling mengakui dan menerima.

Keraguan seperti ini kerapkali  dihembuskan oleh orang Kristen yang sudah mapan didalam partai-partai yang tidak berlebelkan kristen atau yang berpikiran dualisme yang secara tajam memisahkan antara keterlibatan dalam politik dengan keyakinan iman. Alasan yang cukup  ‘rohani’  yang digunakan adalah orang kristen  hendaknya menjadi garam dengan melibatkan diri bersama-sama kelompok lain. Dengan selogan orang Kristen hendaknya ada dimana-mana, namun tidak dapat dipungkiri fakta bahwa ketika berada dimana-mana, sekaligus menjadi korban dimana-mana.

Selain itu, sudah terbukti bahwa, keberadaan parkindo dalam sejarah perpolitikan Indonesia, tidak menimbulkkan kesan yang ekklusif dan primodialisme malainkan inklusif dan nasionalis serta produktif didalam mewujudkan integarsi dan demokratisasi. Nasionalisme dan sikap negarawan yang ditunjukan oleh tokoh-tokoh parkindo tidak dapat diragukan. Secara kreatif dan proporsional, kekristenan dan nasionalisme, iman dan politik atau kasih dan kekuasaan  dapat dipadukan dan dimaknai bahwa menjadi orang Kristen sejati identik dengan menjadi orang Indonesia sejati.

Kedua keraguan yang bersifat pragmatis dengan kuantitas sebagai pertimbangan.  Jumlah umat kristen sebagai basis massa yang minoritas adalah sukar bagi partai Kristen untuk berperan secara efektif. Pandangan ini benar kalau orientasi pendirian partai adalah untuk meraih kekuasaan semat-mata. Apabila dilihat dari perspektif partisipasi dan emansipasi politik, maka jumlah pendukung bukan menjadi faktor dominan melainkan ketajaman dan kekritisan para pegiat partai didalam memahami dan mengartikulasikan aspirasi dari konstituennya dikaitkan dengan prilaku kekuasaan. Kalau kemampuan ini dimiliki dan menjadi kekuatan, maka dukungan masyarakat akan datang seiring dengan perjalanan waktu.

Dalih kuantiti ini, kalau mau ditelusuri lebih lanjut merupakan buah dari sikap sindrom minoritas (minority complex) yang masih membelenggu mayoritas umat Kristen dan ini tercermin dengan sikap selektif diri  (self censorship) berlebihan didalam merespon suatu perubahan, apalagi perubahan tersebut bernuansa SARA yang selama pemerintah orde baru tabu untuk dibincangkan, karena dianggap sensitif. Pilihan yang diambil oleh pengaut sindrom ini adalah tetap menikmati suasana tenang dan damai didalam wilayah kenyamanan (comfort zone) meminjam terminologi Stephen Covey, daripada berpeluh dan bergumul didalam mengarugi tantangan jaman ditengah masyarakat Indonesia yang sedang berubah secara drastis dan cepat pada semua ranah kehidupan.

Selain dua hal diatas, alasan pokok yang perlu direnungkan mengenai perlunya wadah politik Kristen adalah  terkait dengan makna kehadiran suatu partai politik. Suatu partai politik Kristen hendaknya berperan untuk; pertama sebagai media pendidikan politik bagi warga gereja. Melalui partai proses pendidikan politik dapat berjalan lebih efektif dan tepat sasaran. Pendidikan politik yang dimaksud adalah memberikan kesadaran kepada setiap warga gereja mengenai tugas dan tanggungjawabnya sebagai warga negara, sekaligus sebagai warga gereja.

Pembinaan ini diharapkan akan melahirkan warga negara yang mampu melihat suatu persoalan  dibidang politik bahkan semua bidang kehidupan dengan cartur sikap yakni positif,kristis,kreatif dan relalistik. Sikap positif bermakna didalam meninjau sesuatu tanpa terlebih dahulu berprasangka buruk. Dengan sikap seperti itu memungkinkan  persoalan tersebut secara kritis di perhadapkan dengan kebenaran firman Tuhan untuk dievaluasi bagi memahami kehendak dan rencana Tuhan. Selanjutnya secara kreatif melakukan upaya mencari alternatif penyelesain dan ini dilakukan dengan batas-batas yang realistik. Singkatnya pendidikan politik  diorientasikan untuk menghasilakan kewarganegaraan yang bertanggungjawab, sehingga tidak mudah menjadi papan selancar politik oleh kelompok-kelompok yang tidak bertangungjawab.

Kedua partai politik Kristen hendaknya menjadi wahana bagi lahirnya kader-kader terbaik untuk mengisi kepemimpinan bangsa dan gereja disemua peringkat. Kedepan menjadi pemimpin nasional dan lokal yang berada dilegislatif maupun eksekutif mau atau tidak akan diprioritaskan kepada kader-kader partai. Untuk itu, struktur, mekanisme dan program kerja dari partai diproyeksikan untuk melahirkan kader-kader yang visioner, berintegritas, memiliki komitmen moral yang tinggi  sehingga sanggup melayani, beradaptsi dan akomodatif didalam suatu iklim kerja senantiasa berubah serta diwarnai dengan intrik dan kompetisi.

Terakhir sudah tentu partai kristen harus memperjuangkan apa yang menjadi harapan dan keinginan umat Kristen. Secara umum dan ideal harapan dan keinginan ini, merupakan harapan seluruh rakyat Indonesia yakni terwujudnya masyarakat indonesia yang adil, sejahtera, dan demokratis didalam kerangka NKRI yang berdasarkan pancasila bagi memastikan tanah air Indonesia sebagai medan pelayanan bagi pewartaan cinta kasih Tuhan.

Hal ini dimungkinkan apabila partai  berorienstasi  kerakyatan atau menjauhkan diri dari sikap populis dan elitis, dalam arti gagasan dan pembentukan partai benar-benar merupakan refleksi keinginan dan harapan masyarakat yang berada di akar rumput.

Singkat kata, kehadiran suatu partai yang berlebelkan Kristen hendaknya disambut dengan penuh pengharapan bagi memberikan kontribusi bagi terbentuknya Indonesia baru yang utuh, adil dan demokratis. Partai hendaklah dilihat sebagai salah satu, bukan satu-satunya alat perjuangan oleh karena itu, partai  berlabelkan Kristen hanya  akan eksis sepanjang ada kesadaran dari setiap komponen pendukungnya untuk melihat politik sebagai etika untuk melayani Tuhan dan sesama dan bukananya akses untuk meraih kekuasaan belaka, untuk itu integritas moral para pegiatnya harus menjadi basis didalam perjuangan.

Daniel Rohi
Staf pengajar jurusan teknik elektro dan elektronika  program bersama Universiti Putra Malaysia (UPM) -College UNITI, Tinggal di Negeri Sembilan-Malaysia


Date: Fri, 18 Jul 2003 18:46:12
From: Yohanes Sulaiman <sulaiman.6@osu.edu>
Subject: Polemik Partai Kristen (Tanggapan kepada Bpk. Daniel Rohi)

POLEMIK PARTAI KRISTEN

Tanggapan Pak Daniel Rohi yang menyerang asumsi "game theory" yang saya gunakan dalam penyusunan argumen saya sangat menarik dan didukung data-data historis yang memperkuat argumennya secara signifikan. Point Pak Daniel juga menarik: bahwa partai masih sangat dibutuhkan sebagai sarana aspirasi politik umat Kristen, dan saya mengakui kelemahan terbesar tulisan saya adalah saya terkesan menyatakan bahwa Partai Kristen tak berguna dan tak diperlukan. Di sini kita memiliki kesepakatan bahwa kelihatannya saya terlalu "memandang remeh" tentang peranan Partai Kristen.

Namun, saya tetap berpegang kepada pandangan yang saya kemukakan di tulisan pertama saya, bahwa kita kelihatannya terlalu terfokus kepada pendirian partai Kristen dan inti tulisan pertama saya adalah untuk mencoba memberikan alternatif terhadap pola pikir kita dengan menggunakan asumsi game theory. Selain itu, ada beberapa ketidaksetujuan saya terhadap tulisan Pak Daniel yang ingin saya kemukakan dalam tanggapan ini.

Ketidaksetujuan pertama saya adalah kritik Pak Daniel tentang penggunaan game theory yang menyatakan bahwa game theory terlalu menyederhanakan kompleksitas yang ada sehingga tak bisa menjangkau akar persoalan sesungguhnya. Memang benar, game theory menyederhanakan komplexitas, namun terlihat dalam tulisannya, bahwa Pak Daniel kurang memahami fungsi "game theory." Game theory adalah teori tentang "choice," tentang apa pilihan terbaik yang bisa diambil, jadi memang game theory hanya memperhitungkan "untung-rugi" dan memasukkan seluruh kompleksitas ke "black box." Jadi argumen saya adalah argumen fungsionalis: Partai Kristen tak menguntungkan, sehingga lebih baik kita menggunakan sumber daya kita yang memang minim ke "tempat-tempat" di mana sumber daya kita bisa lebih dioptimalkan.

Keberatan saya ini berhubungan dengan keberatan saya yang lain terhadap tulisan Pak Daniel, yakni atas ketidak inginan Pak Daniel untuk mempertimbangkan variable "menang kalah" dalam percaturan politis praktis. Di sini saya akan mempermasalahkan asumsinya bahwa kelemahan dari argumen saya adalah fokus saya dalam memperhitungkan "menang-kalah" dalam politik, karena secara prakteknya, justru perhitungan "menang-kalah" ini sangat penting dalam panggung politik. Fakta di lapangan dan di berbagai negara adalah kebanyakan orang bukan idealis, dan mereka akan mendukung partai-partai yang memiliki kemungkinan menang lebih besar.

Dari sini timbul pertanyaan: berapa banyak pendukung "Partai Kristen?" Bagaimana dengan fenomena-fenomena di lapangan yang salah satunya dikemukakan oleh M. Judika Malau, yakni ketidakmampuan orang-orang Kristen sendiri untuk bersatu? Atau para pengikut milis ini bisa melihat juga, seberapa banyak keributan di milis ini akibat masalah yang saya secara pribadi anggap sepele dibandingkan dengan nasib kita sebagai orang Kristen di Indonesia di masa depan, seperti pro/anti Bahasa Roh atau pro/anti Pdt. Stephen Tong?

Selain itu, dengan berubah-ubahnya Undang-undang Pemilu, seperti "threshold" partai (minimum suara untuk mendapat kursi di DPR/MPR), atau mungkin di masa depan ada sistem "weighed voting,"  di mana kalau sebuah partai mendapatkan 45% popular vote berarti akan mendapatkan 51% kursi di parlemen seperti di Spanyol? Saya tak ragu bahwa semakin ke depan, kita akan melihat perubahan-perubahan undang-undang yang akan lebih menghancurkan kemungkinan partai gurem untuk mendapatkan kursi serta lebih menguntungkan partai-partai besar. Jika itu yang terjadi, mungkin kita masih bisa mendapatkan kursi di DPRD, tapi bagaimana di tingkat nasional yang jauh lebih berpengaruh? Jadi, berlainan dengan anggapan Pak Daniel, argumen saya bukan didasarkan "minority complex," namun berdasarkan faktor untung-rugi/menang-kalah, yang berlainan dengan pandangan Pak Daniel, bukan sesuatu yang tak penting, tetapi sangatlah berpengaruh, dan kalau kita tak siap mempengaruhi partai-partai besar, di masa depan kita mungkin tak akan memiliki suara di tingkat nasional.

Sayangnya Pak Daniel tak memiliki model lain untuk "menggantikan" model "game theory" yang saya gunakan. Argumen Pak Daniel sendiri lebih ke arah "Kenapa Partai Kristen itu baik" dengan menggunakan argumen "legitimasi historis," dan saya melihatnya sebagai kelemahan posisi argumen Pak Daniel. Ada beberapa kelemahan argumen "legitimasi historis" dan saya akan memfokuskan diri kepada kelemahan utamanya yakni masalah "so what".

Saya seratus persen setuju (bahkan sangat suka) dengan "pelajaran" sejarah yang diberikan oleh Pak Daniel, dan fungsi-fungsi yang bisa dilakukan oleh Partai Kristen. Namun, argumen historis lebih berguna untuk menjelaskan kenapa sesuatu bisa terjadi, dan sayangnya sulit atau tak bisa menjawab "lalu, apa yang harus kita lakukan." Bagaimana membentuk Partai Kristen baru yang "Inshaallah" bisa menyaingi Parkindo? Alasannya sederhana: dasar dari argumen itu adalah karena memang dulu pernah dilakukan dan berhasil, sekarang pasti bisa berhasil. Namun, argumen tersebut menganggap konstan peta percaturan politis, yang secara implisit berarti tak mempertimbangkan perubahan-perubahan yang sedang terjadi pada masa kini yang diakibatkan oleh zaman Suharto dan perkembangan politik Islam. Sedangkan game theory yang saya gunakan memasukkan argumen tersebut (bahkan saya sendiri membuat "score" dalam kotak-kotak itu berdasarkan asumsi itu).

Selain itu, beberapa "contoh" keberhasilan orang-orang Kristen yang dikemukakannya saya rasa terlalu simplistik tanpa memperhatikan politik praktis di masa itu. Saya tak meragukan kehebatan Pak Leimena, namun seperti yang Sukarno sendiri pernah katakan, ia lebih cocok sebagai pendeta daripada politikus, dan sejujurnya saya agak ragu kalau ia bisa terpilih sebagai menteri di era sekarang ini - mengingat "political discourse" masa kini adalah Islam-Kristen, sedangkan di era dulu discourse lebih ke masalah Islam/Abangan-Komunis-Nasionalis. Jadi di masa dulu, Leimena bisa naik karena kaum Islam sendiri tak merasa terancam dan ia sendiri membawa bendera Nasionalis. Tapi di masa sekarang, kelihatannya cukup sulit.

Mengenai kekalahan kita dalam RUU Sirdiknas, kembali saya nyatakan bahwa justru kekalahan ini diakibatkan kurang kuatnya kita sebagai kelompok lobby politik yang bisa mempengaruhi para politikus di Senayan, atau tokoh-tokoh masyarakat. Seingat saya (mungkin saya salah), kita juga tak berkoordinasi dengan kelompok-kelompok lain penentang RUU ini, bahkan kita menentang dengan alasan "agama," sedangkan saya rasa kalau kita bisa mem-frame isu ini dengan isu "sentralisasi-desentralisasi," mungkin bisa lebih berguna. Jadi kembali, saya rasa kita sekarang bertempur di medan yang lebih menguntungkan musuh kita daripada kita sendiri. Organisasi Kristen bisa digunakan untuk "melevel" playing field dengan memindahkan kembali discourse politik dari segi "Kristen/Islam" ke "Nasionalis/Agamis," yang lebih menguntungkan untuk posisi kita.

Sebagai penutup, satu hal lain yang saya setujui dari tulisan Pak Daniel adalah memang kita sebagai umat Kristen belum siap untuk berpolitik dan kita perlu menyuarakan kebenaran. Tapi saya ragu kalau Partai Kristen adalah satu-satunya jalan, apalagi mengingat kita sampai sekarang selalu alergi terhadap hal-hal yang berbau politik. Organisasi lobby yang profesional saya rasa bisa membantu menjebatani masalah ini, karena tak adanya bau "partai" menyebabkan organisasi ini bisa lebih membaur, dan juga bisa lebih menjebatani kepentingan-kepentingan yang berbeda di lapangan. Tapi saya sebetulnya tak peduli: partai ataupun organisasi tak ada masalah, yang penting agar kita sebagai umat Kristen bisa lebih terlibat dan bersuara dalam pentas politik nasional.

YS


No comments:

Post a Comment