Announcement

Let me know if you are linking this blog to your page and I will put a link to yours.

Sunday, September 4, 2011

Refleksi terhadap komisi rekonsiliasi Mei


Tiga belas tahun, juga tidak ada kabar. Mungkin ini salah satu tulisan "basi."
YS
--------

Date: Tue, 13 May 2003
Subject: Refleksi terhadap komisi rekonsiliasi Mei

Lima tahun setelah kerusuhan Mei 1998, Indonesia belum melakukan tindakan yang konkrit dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang terjadi di Jakarta, Medan, Solo, dan banyak kota lainnya di Indonesia. Hal ini berbeda sekali dengan negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Guatemala, Rwanda, dan lain-lain, di mana negara-negara tersebut membentuk komisi pencari fakta, komisi untuk rekonsiliasi (Afrika Selatan), dan pengadilan (Rwanda dan Yugoslavia). Beberapa kelompok menyarankan pembentukan komisi seperti ini di Indonesia, namun dalam tulisan ini, saya ingin berargumen bahwa komisi-komisi ini akan sulit sekali untuk berdiri di Indonesia atau kalaupun bisa berdiri, tak akan memiliki gigi sehingga bisa memberikan bab penutup untuk tragedi ini dan juga banyak tragedi lainnya di Indonesia dengan satu alasan yang sangat sederhana: masalah kekuasaan.

Pertama-tama, kita akan melakukan survey singkat tentang komisi-komisi di negara-negara yang saya sebutkan di atas. Ada tiga macam komisi yang akan dibahas di bagian ini, dan saya urutkan berdasarkan bagaimana mereka memperlakukan pelaku kekerasan.

Di Uruguay, Chili, dan Argentina, dan banyak negara Amerika Selatan, komisi pencari fakta bertujuan untuk hanya mencari fakta dan memberikan amnesti kepada semua pelaku militer yang bertanggung jawab kepada "menghilangnya" banyak tokoh politik dan berusaha menyelidiki apa yang terjadi selama puluhan tahun berkuasanya diktator-diktator militer di negara-negara tersebut. Di Argentina, laporan hasil penemuan komisi ini dijual kepada publik dan laku seperti kacang.

Namun, hasilnya dianggap kurang memuaskan karena amnesti total kepada semua pelaku menyebabkan pelaku kurang memiliki insentif untuk memberikan seluruh fakta dan banyak sekali halangan menyebabkan komisi-komisi tersebut kurang efektif. Misalnya saja di Argentina, laporan tersebut walaupun menyebabkan diadilinya beberapa tokoh militer, tapi mereka dianggap sebagai kambing hitam, sementara biang keladinya sendiri tetap tak tersentuh, dan ironisnya beberapa tahun kemudian, para kambing hitam tersebut diberikan grasi oleh presiden.

"Truth and Reconciliation Comission" dibentuk di Afrika Selatan pada tahun 1992 untuk menyelidiki kasus-kasus pembunuhan dan teror yang dilakukan pemerintah apartheid Afrika Selatan selama tahun 1979-1991. Komisi ini mirip dengan komisi-komisi di atas, dengan dua perbedaan utama: Selain mencari fakta, cara kerja komisi ini adalah (1) memberikan forum bagi para korban untuk menceritakan segala penderitaan mereka, mempertemukan para korban dengan pelaku, dan memaksa pelaku untuk menghadapi korban secara pribadi dan mengakui kesalahan mereka dan juga memberikan fakta-fakta secara benar dan (2) dengan imbalan amnesti bagi yang mau menggunakan forum ini. Dengan ini, maka walaupun tak semua pelaku dihukum, namun fakta-fakta yang terjadi di lapangan bisa diketahui secara keseluruhan.

Jenis ketiga adalah pengadilan seperti di Rwanda, di mana pemerintah Rwanda membentuk pengadilan untuk mengadili kaum Hutu yang membantai kaum Tutsi, dan memberikan hukuman berat kepada mereka yang dianggap sebagai dalang, sedangkan memberikan hukuman kerja sosial untuk pelaku yang ikut-ikutan seperti membangun kembali rumah-rumah kaum Tutsi yang dihancurkan. Di Yugoslavia, PBB membentuk pengadilan yang mengadili para pelaku pembantaian etnis, dan beberapa yang diadili memang tokoh-tokoh kakap seperti mantan Presiden Yugoslavia, Milosevic.

Mengapa ada tiga jenis komisi ini? Alasannya seperti yang saya tuliskan di awal tulisan ini: kekuasaan. Di Amerika Selatan, penguasa sipil tetap waspada terhadap militer yang memang masih kuat dan bisa menggulingkan pemerintah sipil sewaktu-waktu, apalagi kalau mereka melihat pemerintah sipil siap melemparkan para pemimpin militer ke bui. Akhirnya komisi yang terjadi hanya memberikan cubitan di tangan para pemimpin militer.

Di Afrika Selatan, pembentukan "Truth and Reconciliation Commission" berlangsung karena adanya transisi yang cukup baik, di mana pemerintah Apartheid, sadar bahwa waktu mereka hampir habis, berusaha membuat perjanjian yang mempertahankan sebagian kepentingan mereka sementara mengorbankan yang bisa mereka korbankan. Akhinya bisa terbentuk komisi ini, yang memberikan sedikit bantuan kepada para korban untuk menutup luka lama yang menganga dan bisa kembali meneruskan hidup mereka.

Di Rwanda, pengadilan bisa terjadi karena pemerintahan baru Rwanda adalah suku Tutsi dan mereka menang telak dalam perang yang terjadi selama pembantaian itu berlangsung. Di Yugoslavia, Milosevic ditendang dari kursi presiden setelah dikalahkan dalam perang lawan Amerika di Kosovo. Jadi di sini terjadi peralihan kekuasaan yang sangat drastis, di mana memang para pelopor pembantaian massal kehilangan kekuasaan mereka dengan drastis, sehingga korban bisa meminta keadilan dari negara dan diberikan tanpa halangan.

Kalau kita mau bandingkan Indonesia dengan ketiga contoh di atas, Indonesia paling mirip dengan contoh pertama. Di Indonesia, kekuasaan masih dipegang oleh orang-orang yang terimplikasi dalam rezim Suharto, atau mereka masih memiliki kekuatan yang cukup besar akibat afiliasi mereka dengan organisasi-organisasi radikal yang bisa memberikan masalah keamanan untuk pemerintah - atau dengan kata lain: kekerasan fisik masih menjadi masalah.

Fakta dilapangan membuktikan bahwa kerusuhan terjadi karena adanya kepercayaan bagi para begal dan perusuh, bahwa mereka bisa melakukan aksi kriminal tanpa diganggu atau diseret ke pengadilan, dan garansi untuk hal seperti ini hanya bisa didapatkan dari sebagian atau seluruh pemimpin keamanan atau tokoh-tokoh politik berpengaruh di kota-kota tempat terjadinya kerusuhan. Seperti kita ketahui, oknum-oknum tersebut masih bebas berkeliaran karena mereka memiliki pengaruh dari segi kemampuan mereka menggerakkan kelompok-kelompok kriminil atau dari informasi yang mereka miliki yang bisa membahayakan tokoh-tokoh penting lainnya.

Selain dari para oknum yang masih berkuasa, legitimasi pemerintah pun masih lemah sehingga rekonsiliasi yang akan memakan banyak sekali sumber daya politik sangat sulit dilakukan. Secara gamblangnya, untuk apa mengorbankan "political capital" yang bisa didapat dari kelompok yang sangat berpengaruh hanya untuk sekelompok kecil masyarakat yang sangat terpecah belah dan tak akan memberikan penalti apa-apa kepada pemerintah, selain sedikit gangguan (minor inconveniences)? Itu pertanyaan yang tak pernah dipikirkan oleh orang-orang yang menginginkan fakta untuk dibeberkan dan para oknum diseret ke pengadilan.

Tapi artikel ini bukan sebagai anjuran untuk tak membentuk komisi pencari fakta dan rekonsiliasi atau membuang harapan terjadinya keadilan bagi para korban. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran realistis tentang apa yang dihadapi di masa kini, sehingga memang nada artikel ini sangatlah suram bagi orang-orang yang haus akan kebenaran dan keadilan. Namun kita perlu sadar bahwa Indonesia sekarang ini sedang melangkah ke masyarakat majemuk yang menjunjung hak asasi (civil society). Komisi pencari fakta perlu terus ada dan terus bekerja karena apa yang mungkin sekarang dianggap hanya sebagai "minor inconveniences" di tahun-tahun kedepan bisa menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh. Selain itu, kalau sejarah Mei 1998 dilupakan maka korban tragedi Mei 1998 akan mengalami tragedi kedua yang tak kalah sadisnya: catatan kaki sejarah yang tak diingat.

Demi para korban Mei 1998, tragedi ini perlu terus diingat.

YS

No comments:

Post a Comment