Date: Mon, 24 Nov 2003
Subject: Menempatkan demokrasi pada tempatnya
Tulisan ini dikirim ke Kompas ditengah-tengah perdebatan antara I. Wibowo dan Franz Magnis Suseno - namun tampaknya tidak dimuat.
YS
--------------
Pada bulan Oktober, harian Kompas menerbitkan polemik tentang demokrasi di Kompas yang dimulai dengan tulisan I. Wibowo yang mempertanyakan tentang apakah demokrasi memang sesuai untuk Indonesia dan disusul dengan berbagai tanggapan yang menarik. Franz Magnis Suseno dan para kontributor yang lain membantah thesis I. Wibowo dengan alasan-alasan yang sangat meyakinkan. Namun sayangnya, saya melihat bahwa ada dua masalah dari tanggapan-tanggapan yang muncul dalam diskusi ini.
Masalah pertama yang ingin saya tekankan adalah konsep demokrasi itu sendiri yang kurang dibahas dalam diskusi ini. Sewaktu kita membicarakan "demokrasi," apakah kita sebetulnya sedang membicarakan hal yang sama? "Demokrasi" yang dikonsepkan I. Wibowo adalah sebuah sistem di mana akan terjadi sebuah kediktatoran oleh kaum mayoritas yang akan menghancurkan minoritas. Sedangkan, Franz Magnis Suseno membicarakan demokrasi yang mewakili rakyat dan akan melindungi semua orang. Di sini walaupun mereka berdua membicarakan "demokrasi," namun perbedaan dari definisi bagi kedua tokoh ini menyebabkan tak terjadinya kesepakatan.
Konsep demokrasi Franz Magnis Suseno mirip dengan apa yang dinyatakan Fareed Zakaria sebagai demokrasi liberal. Dalam bukunya "the Future of Freedom," Fareed Zakaria melihat demokrasi liberal sebagai demokrasi yang bertumbuh bersama-sama dengan berkembangnya institusi yang bisa meredam kediktatoran mayoritas, melindungi minoritas, mengurangi dampak kelompok oportunis berkedok agama ataupun propaganda lain, dan menjamin penegakan hukum. Di sini yang terjadi adalah "pengontrolan demokrasi." Ya, kita memiliki sistem demokrasi, tapi demokrasi yang terbatas, yang memiliki peraturan permainan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Walaupun Franz Magnis Suseno membahas kekuatiran I. Wibowo, namun ia seakan-akan menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah sebuah kenyataan - bahwa demokrasi yang terbentuk di Indonesia pasti akan menjadi demokrasi liberal. Padahal, tipe demokrasi sendiri bergantung kepada persetujuan kaum elit tentang aturan permainan demokrasi ini. Selama institusi yang legitimate belum terbentuk, elit akan berusaha mengubah aturan permainan menjadi bentuk yang mereka inginkan.
Jack Snyder dalam bukunya "From Voting to Violence," melihat pengaruh elit terhadap demokratisasi. Snyder meneliti negara-negara yang berubah ke demokrasi, dan ia menilai bahwa kesuksesan transisi ke demokrasi bergantung kepada elit pemerintahan yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi baru dan kestabilan institusi pemerintahan yang dipercaya rakyat banyak sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi. Konflik terjadi pada situasi di mana elitnya tak mampu beradaptasi dengan demokrasi. Elit politik ini melihat aturan demokrasi yang terbentuk akan mengekang pengaruh politik mereka dan kemudian beralih ke propaganda pro-suku atau pro agama. Inilah yang kita sebut sebagai demokrasi illiberal, atau kediktatoran mayoritas - yang dikuatirkan I. Wibowo, dan kurang dibahas Franz Magnus Suseno dalam tanggapannya yang menarik terhadap I. Wibowo. Jadi itulah masalah pertama yang saya lihat dari perdebatan tentang demokrasi, yakni tak ada kesepakatan tentang definisi demokrasi itu sendiri.
Masalah kedua yang saya lihat dalam perdebatan tentang demokrasi dan berhubungan dengan masalah yang pertama adalah kita terlalu mengidealisasikan demokrasi. Untuk kebanyakan orang, demokrasi selalu diasosiasikan dengan sebuah sistem di mana semua orang memerintah, semua orang memiliki suara dan akan didengar. Keputusan diambil untuk kepentingan bersama. Padahal, prakteknya tidaklah demikian.
John Mueller, dalam bukunya "Capitalism, Democracy, and Ralph's Pretty Good Grocery" menyatakan bahwa demokrasi yang sempurna adalah sebuah kontradiksi (oxymoron). Argumen Mueller didasarkan oleh satu proposisi menarik: bahwa kita terlalu mengidealisasikan demokrasi, padahal demokrasi sendiri bukan sistem sempurna, namun "cukup baik." Ia melihat bahwa stabilitas demokrasi didapatkan dari kesepakatan kaum elit dan rakyat bahwa mereka tak perlu menggunakan kekerasan untuk mengganti pemerintah. Menurutnya, kebaikan demokrasi adalah sebagai sistem di mana publik bisa menendang para penguasa yang buruk dalam pemilu, sehingga para penguasa perlu menjadi moderat dan bertanggung jawab. Tapi, sebagai sistem yang sempurna? Demokrasi tak akan bisa sempurna.
Mueller memberikan sebuah pandangan yang cukup menarik tentang demokrasi: sebetulnya demokrasi adalah sebuah sistem di mana mayoritas rakyat menyetujui untuk diperintah oleh sekelompok kecil elit politik. Elit politik inilah yang memang merasa memiliki kepentingan dalam demokrasi, biasanya merupakan minoritas yang bersuara keras, dan memaksa pandangan mereka diterima. Bagaimana mayoritas penduduk?
Demokrasi yang sempurna memerlukan partisipan dalam demokrasi tersebut yang sempurna - seperti publik yang terinformasi, dsb. Pada kenyataannya, massa kebanyakan memiliki pengetahuan dan informasi minim tentang demokrasi dan hanya mengandalkan apa yang mereka dengar dengan kenyataan sehari-hari. Lebih tepat, rakyat tak peduli demokrasi.
Rakyat yang sibuk mencari makan tak akan memperdulikan konsep-konsep raksasa yang terus bicarakan kaum intelektual dan berpendidikan seperti demokrasi, kebebasan, dsb. Pak Cecep, seorang petani yang tinggal di desa dekat Sumedang, setiap hari nonton TV dan mendengar bahwa "kita berada di era reformasi," dan ia melihat keluar, melihat harga benih dan pupuk yang mahal, hasil panen yang tak terjual, anak kelaparan dan tak bisa bersekolah, ia akan memiliki kesimpulan bahwa reformasi itu sama dengan paceklik. Pak Anto, seorang supir taksi di Jakarta, akan menyatakan lebih baik dibawah Suharto karena dibawah Suharto, penghasilannya lebih terjamin.
Tak heran, George Orwell menyatakan bahwa kondisi yang berat yang menyebabkan manusia seperti budak merupakan sesuatu yang memang diinginkan kaum elit, karena manusia lapar hanya memikirkan pekerjaannya dan apa yang ia akan makan besok.
Pandangan ideal tentang demokrasi yang bertubrukan dengan kenyataan yang pahit di mana demokrasi tak bisa menyelesaikan semua masalah menimbulkan kekecewaan yang luar biasa di kalangan rakyat. Begitu rakyat kecewa terhadap kelompok demokrasi, mereka akan melihat alternatif yang bisa menyelamatkan mereka, tak peduli apapun pandangan politik partai tersebut. Alasan Hitler bisa memenangkan pemilu Jerman di tahun 1933 bukan disebabkan orang-orang Jerman goblok dan rasis, namun karena orang-orang Jerman melihat demokrasi mengecewakan mereka. Melihat partai demokrat moderat tak mampu memberikan janji mereka, rakyat kelas bawah memilih partai Komunis, dan rakyat kelas menengah-atas, takut melihat naiknya pendapatan suara kaum komunis, memilih Hitler dan itulah akhir demokrasi di Jerman.
Akhirnya, menurut saya, perlu sekali untuk kita dalam mendiskusikan demokrasi, untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi kita, tentang apa itu demokrasi. Terlalu menganggap konsep demokrasi sebagai konsep yang sama bagi semua orang menyebabkan perdebatan tak bisa mengenai inti dari masalah, dan terlalu menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang sempurna, menyebabkan terjadinya kekecewaan terhadap hasil-hasil demokrasi. Tulisan ini saya tutup dengan konsep singkat yang ada dalam buku Mueller. Mueller melihat demokrasi sebagai toko kelontong milik Ralph, yang berslogan, "kalau kamu tak menemukan barang yang kamu cari di toko ini, berarti kamu bisa hidup tanpa barang itu." Itulah demokrasi. Demokrasi memang tak bisa sempurna, tapi cukuplah.
YS
No comments:
Post a Comment