Masa Depan Partai Kristen di Indonesia
Majalah DIA (April, 2003)
Setelah jatuhnya Presiden Suharto dan muculnya era reformasi di Indonesia, partai-partai politik muncul dan bertambah banyak seperti jamur di musim hujan. Tak ketinggalan, partai-partai yang mengaku dirinya mewakili Kristen pun muncul. Namun timbul pertanyaan: apakah ada masa depan Partai Kristen di Indonesia? Apakah ada kemungkinan partai-partai yang bernafaskan Kristen akan bisa menjadi relevan dalam dunia perpolitikan di Indonesia?
Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan memperhatikan pertumbuhan partai Kristen di Eropa, seperti partai-partai yang memakai nama "Kristen Demokrat" di Prancis, Jerman, dan Italia dan memperbandingkannya dengan partai-partai yang juga mengaku dirinya mewakili umat Kristen di Indonesia. Argumen dalam tulisan ini adalah partai Kristen di Eropa relatif berhasil pada awalnya karena mereka memiliki basis yang cukup kuat dari gereja, terutama Gereja Katolik dan kelompok-kelompok aksi sosial Kristen yang dekat hubungannya dengan gereja. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, di mana partai-partai Kristen menjadi bagian dalam sistem politik, "Partai Kristen" tak lagi mewakili kepentingan kaum Kristen, apalagi dengan semakin sekulernya Eropa. Akhirnya yang terjadi Partai Kristen hanya tinggal nama saja, dan misalnya di Italia, Partai Kristen pun bubar.
Kembali ke Indonesia, penulis merasa cukup pesimis menanggapi apakah partai Kristen akan berhasil - mengingat bahwa tak seperti di Eropa, partai Kristen tak memiliki basis yang cukup kuat baik dalam hal dukungan gereja yang cenderung terpecah, maupun kelompok sosial yang bisa berfungsi menggalang pemilih untuk ikut dalam pemilu. Masalah structural pun cukup mengurangi kemungkinan partai Kristen bisa menjadi relevan: minimnya jumlah orang Kristen di Indonesia. Kalau pun ada masa depan bagi partai Kristen, dibutuhkan usaha untuk menggalang persatuan orang-orang Kristen dan membuat partai Kristen menjadi relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat, terutama oleh sasaran partai ini, yakni kalangan orang Kristen sendiri.
Struktur tulisan ini sebagai berikut: pertama penulis akan mendiskusikan tentang partai-partai agama, dari mana datangnya "partai agama," dan faktor apa yang menyebabkan partai agama bisa dominan di Eropa daratan, tapi tidak di Inggris ataupun di Amerika Serikat, di mana banyak sekali orang Kristen. Kedua, penulis akan mendiskusikan tentang fenomena partai Kristen di Indonesia, apakah partai Kristen di Indonesia sebetulnya memiliki relevansi dalam dunia politik.
Walau untuk keperluan tulisan ini, penulis akan memfokuskan analisa ini kepada Eropa dan partai Kristen yang terbentuk di Eropa, namun berdasarkan pengamatan penulis, umumnya, fenomena partai yang bernafaskan agama, baik partai Islam maupun partai Kristen hampir selalu merupakan reaksi dari para pemuka agama terhadap sistem politik yang dianggap tidak mewakili kepentingan umat beragama.
Ketidakpuasan ini muncul karena beberapa faktor: pertama, ada jumlah cukup besar dari penduduk di negara tersebut yang mengaku dirinya menganut agama yang menjadi dasar partai tersebut, kedua, ketaatan beragama dan kepada institusi identitas (seperti gereja) dari bagian cukup besar dari masyarakat yang menyebabkan elit agama tersebut memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap sebagian penduduk negara tersebut sehingga "ketaatan" tersebut bisa diterjemahkan sebagai dukungan kepada elit agama dalam pemilihan umum, ketiga, ada "satu institusi agama" yang bisa dianggap wakil dari agama itu sendiri, keempat, apakah kelompok-kelompok aksi yang dibentuk dan bernafaskan agama tersebut berpengaruh cukup besar di masyarakat atau sekuat apakah ikatan institusi dengan masyarakat, dan kelima, elit agama tersebut melihat system negara yang terbentuk atau trend yang terus berkembang berlawanan dengan nilai agama atau mengikis secara signifikan kekuasaan yang dimiliki elit agama tersebut. Ada faktor keenam, yakni sistem pemilihan umum negara itu sendiri, yakni demokrasi parlementer atau presidensil, namun faktor ini kurang berperan dalam perbandingan antara Eropa daratan dan Inggris, walau sangat berperan di Amerika Serikat. Jadi saya tak akan mendiskusikan banyak tentang faktor keenam ini sampai saya mulai membicarakan tentang Amerika Serikat.
Sekarang mari kita mendiskusikan kelima faktor yang telah saya sebutkan di atas secara lebih mendetil. Faktor pertama tentunya adalah memang semestinya; maksud penulis adalah, sebagai sebuah partai yang mengaku dirinya mewakili kepentingan agama tertentu, tentunya dibalik pernyataan tersebut ada sebuah rasionalisasi politik, bahwa ada "pelanggan," yakni sejumlah besar penduduk dari negara tersebut yang merasa sebagai bagian dari identitas yang sama dengan partai. Karena itu, partai tersebut perlu mengambil posisi sebagai "wakil dari identitas mayoritas" dan menurut perhitungan partai, posisi tersebut bisa diterjemahkan sebagai pendapatan suara yang cukup tinggi di pemilihan umum.
Namun pertanyaannya kembali: seberapa terikatnya penduduk yang mengaku memiliki identitas tersebut dengan identitas itu sendiri secara institusi (agama), dari sini kita menuju ke faktor yang kedua, yakni pengaruh elit agama terhadap penduduk yang menganut agama tersebut. Faktor pertama dan kedua walau kelihatannya sama, namun penulis pisahkan karena ada juga negara yang di mana sejunlah besar penduduknya mengaku menganut agama tersebut, namun elit agamanya sendiri tak memiliki pengaruh yang sangat besar kepada masyarakatnya, terutama setelah negara tersebut mengalami proses sekularisasi yang cukup signifikan, seperti Eropa di masa kini.
Contoh dari proses sekularisasi ini misalnya dalam suatu situasi di mana kalau seseorang diminta untuk memilih agama, ia akan menyatakan dirinya menganut agama tersebut, namun dalam praktek kehidupannya sehari-hari orang tersebut sama sekali tak mengidahkan kaidah agama tersebut, misalnya praktek kumpul kebo, atau mungkin sebetulnya memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang agama itu sendiri sehingga agama tersebut tak relevan selain pembentuk identitas. Untuk orang-orang demikian yang cukup sekuler, seruan dari orang-orang yang mengaku dirinya mewakili agama tertentu tak akan terlalu mengikat, dan mungkin lebih tepat tak akan dihiraukan. Karena itulah, faktor persepsi ketaatan sendiri berpengaruh terhadap reaksi dari pemeluk agama terhadap pengaruh dari elit agama negara tersebut, dan karena itu kedua faktor tersebut dipisahkan. Untuk mempermudah pemahaman, faktor pertama dapat diilustrasikan sebagai "air tempat ikan berenang" dan faktor kedua adalah "apakah air tersebut air laut atau tawar atau payau."
Faktor ketiga ini yang sebetulnya sangat penting adalah ada satu institusi yang dianggap mewakili agama tersebut, dan di Eropa institusi tersebut adalah Gereja Katolik yagn satu. Tak seperti Protestan, hanya ada satu gereja Katolik, yakni gereja yang dikepalai Paus di Vatikan. Karena itu, gereja Katolik bisa menyatakan dirinya sebagai satu institusi yang mewakili kepentingan seluruh umat Kristen. Faktor ini cukup berhubungan dengan faktor keempat yang tak kalah penting yakni kelompok aksi sosial yang dibentuk oleh institusi agama di masyarakat yang akan menentukan keterikatan atau keterbutuhan masyarakat dengan institusi tersebut. Masyarakat harus merasa membutuhkan kelompok aksi tersebut, sehingga mau mendukung partai apapun yang didukung kelompok aksi.
Di Eropa misalnya, gereja Katolik banyak membentuk kelompok aksi sosial yang tujuannya membantu rakyat miskin. Serikat buruh juga banyak dibentuk oleh gereja Katolik, selain sebagai benteng melawan serikat buruh komunis, juga sebagai sarana penyaluran aspirasi buruh Katolik. Para buruh yang tergabung dalam serikat buruh Katolik kemudian merasa berhutang budi dan tahu bahwa mereka membutuhkan gereja agar aspirasi mereka tetap terjaga, dan karena itu mereka kemudian mendukung partai-partai yang didukung gereja, misalnya Partai Kristen Demokrat. Tanpa kelompok aksi sosial ini, posisi gereja Katolik mungkin akan jauh lebih terpuruk lagi, apalagi setelah gelombang sekulerisasi yang akan didiskusikan belakangan, dan partai -partai Kristen sendiri tak akan memiliki dukungan yang cukup.
Faktor kelima, yang mungkin sebetulnya bisa diilustrasikan sebagai api yang menyambar sumbu dinamit, adalah persepsi bahwa sistem pemerintahan yang terbentuk sangat merugikan atau berlawanan dengan semangat agama tersebut, dan menyebabkan posisi kekuasaan institusi agama tersebut terus terkikis dan diperlukan usaha untuk mengambil kembali kekuasaan atau pengaruh dalam negara yang terus berkurang. Namun tanpa keempat faktor pendukung di atas, faktor kelima ini tak akan berpengaruh besar. Setelah kita mendiskusikan kelima faktor tersebut, mari kita coba "test" dengan mengambil contoh berdirinya partai-partai Kristen Demokrat di Eropa.
Sejarah partai Kristen di Eropa bermula dari Revolusi Prancis dan pergolakan-pergolakan sosial di Eropa yang menyebabkan hancurnya kerajaan-kerajaan yang absolut dan berkembangnya "demokrasi" (dalam tanda kutip, karena demokrasi awal di Eropa bukanlah demokrasi yang kita ketahui sekarang, yakni masih ada pembatasan siapa saja yang boleh memilih, dan lain sebagainya). Namun tak bisa disangkal, berkembangnya demokrasi ini menempatkan gereja di Eropa dalam posisi yang cukup sulit.
Sudah beratus-ratus tahun gereja berperan sebagai pendukung dan sekaligus oposisi bagi raja-raja di Eropa. Pendukung, karena elit gereja bersimbiosis yang saling menguntungkan dengan raja-raja: raja mendapatkan legitimasi politik karena dinobatkan gereja dan para bangsawan pun bisa mempengaruhi gereja dengan menempatkan antek-antek mereka dalam gereja, sedangkan gereja didukung secara keuangan (subsidi) dan juga tanah-tanah hak milik gereja dilindungi, sehingga pada masa Revolusi Prancis, gereja Katolik adalah salah satu tuan tanah terbesar di Eropa. Oposisi, karena gereja terutama di daerah perdesaan sudah beratus-ratus tahun berperan sebagai pelindung rakyat, para pastor terutama, memberikan bantuan keuangan kepada rakyat yang kekurangan sementara mereka juga mengecam tindakan semena-mena tuan tanah dan juga jajaran atas kepemimpinan gereja seperti Uskup agung dan kardinal yang terkenal korup dan sangat dekat dengan kaum aristocrat.
Bangkitnya ide-ide sekuler di era pencerahan dan yang kemudian mempengaruhi jalannya revolusi di Eropa merupakan pukulan yang cukup keras kepada gereja. Walaupun pada awal revolusi Prancis ada usaha untuk merekonsiliasi antara negara sekuler dan gereja, namun pada puncak revolusi, kepentingan kaum sekuler dan gereja tak bisa lagi direkonsiliasi. Kaum sekuler menginginkan perombakan total tentang struktur negara – misalnya penghapusan kelas, dukungan gereja terhadap perjuangan mereka dan pengakuan gereja bahwa gereja pun tunduk kepada hukum sekuler negara, sedangkan kaum gereja menginginkan perlindungan kepada kepentingan-kepentingan gereja – dimana implikasinya adalah masih adanya kelas. Gereja pun tak terlalu antusias mendukung sekularisasi negara yang akan menyempitkan kekuasaan dan pengaruh gereja di masyarakat, dan terakhir, gereja menolak untuk menyerahkan otonominya kepada negara dan tetap menginginkan paus sebagai otoritas tertinggi. Akhirnya terjadi kekecewaan di kalangan kaum borjuis yang menjadi lokomomtif revolusi kepada gereja dan revolusi pun menjadi sekuler dan anti gereja yang dianggap sisa-sisa rezim absolutisme. Tanah milik gereja disita dan gereja pun dipaksa mendukung revolusi dan negara sekuler, dengan ancaman penutupan atau bahkan penganiayaan.
Walaupun pada akhirnya terjadi kesepakatan antara Napoleon I dan gereja Katolik yang mengakhiri perpisahan gereja dengan negara, namun tetap ada perasaan ketidakamanan gereja yang posisinya jauh lebih lemah dibandingkan di masa sebelum Revolusi Prancis. Era aristokrasi yang bisa diandalkan untuk melindungi gereja sudah lewat, dan apalagi setelah semakin berkembangnya sekulerisasi, terutama setelah komunisme juga muncul sebagai alternatif yang popular, dan juga di tengah proses demokratisasi, kepentingan gereja dianggap lebih sulit lagi untuk dijaga. Gereja dianggap perlu terlibat lebih dalam lagi dalam kehidupan politik dan lebih bersikap "liberal," yakni memperhatikan kehidupan rakyat miskin, buruh, dan golongan yang dianggap ditindas oleh para borjuis. Beberapa tokoh intelektual Katolik kemudian memikirkan perlunya dibentuk partai yang bernafaskan Kristen yang bertujuan untuk menempatkan kembali gereja dalam kehidupan politik, di mana artinya juga gereja berusaha menanamkan ide-ide Kristiani dalam demokrasi yang sekuler (selain berusaha memperjuangkan kepentingan gereja dalam negara), dan partai-partai bernafaskan Katolik pun lahir.
Di negara-negara lain seperti Italia, Jerman, dan Spanyol, partai-partai Kristen pun lahir dari situasi yang mirip. Di Italia misalnya, persatuan Italia di bawah dinasti Savoy menyebabkan terjadinya keributan antara negara dan gereja: negara yang menginginkan kekuasaan penuh di seluruh Italia, melawan negara gereja di bawah Paus di Vatikan, yang mengecam dengan keras persatuan Italia karena pembentukan negara Italia bersatu di tahun 1860-70an dilangsungkan dengan mengorbankan kepentingan Gereja Katolik. Wilayah-wilayah yang dikuasai negara gereja diambil alih dan negara gereja sendiri dihapuskan. Bahkan selama beberapa puluh tahun, untuk menyerang kredibilitas negara sekuler Italia, Paus menyatakan bahwa adalah kewajiban umat Katolik untuk abstain dari pemilu, sehingga legitimasi negara Italia menjadi dipertanyakan. (Catatan: posisi abstain sebagai pernyataan politik berbeda dengan abstain dari pemilu karena "malas." Yang pertama, berarti orang-orang tersebut merasa system yang ada tak mewakili mereka sehingga mereka tak mau memberikan legitimasi bagi negara tersebut dengan cara tidak memilih, sedangkan yang kedua itu adalah orang-orang tersebut sudah mengakui legitimasi negara, namun mereka tak merasa perlu untuk ikut pemilu). Reaksi dari negara semakin keras, negara menyita tanah-tanah milik gereja dan melelangnya. Akhirnya terjadi perpecahan: Paus dan gereja Katolik menjadi anti negara Italia bersatu. Di awal abad ke-20, akhirnya posisi gereja Katolik melunak, dan orang-orang Katolik kembali diijinkan untuk ikut pemilu, terutama setelah sekelompok intelektual Katolik berhasil membujuk paus untuk menyetujui pendirian partai Katolik dengan tujuan membantu kepentingan gereja.
Mampunya kelompok intelektual Kristen untuk mendirikan partai-partai Kristen dipengaruhi beberapa factor, seperti banyaknya penganut Katolik yang masih cukup terikat dengan gereja, di tambah lagi, selama beberapa puluh tahun di "pengasingan," gereja memperbanyak gerakan aksi sosialnya diantara kaum miskin dan para buruh – walau kaum skeptik menyatakan alasan dari tindakan ini adalah ketakutan gereja terhadap gerakan komunis yang atheistis yang berkembang pesat pada akhir abad ke-19. Namun apapun alasannya, gereja berhasil membuat struktur organisasi sosial yang bisa diandalkan sebagai pendukung gereja berhubung gereja bisa menjadi tempat bergantung bagi orang-orang miskin dan buruh yang tanpa organisasi sosial tersebut tak akan bisa hidup.
Menariknya, kalau kita perhatikan lebih lanjut, partai Kristen hanya ada di benua Eropa saja, tapi tidak di Inggris ataupun di Amerika. Seperti telah saya jelaskan sebelumnya, partai Kristen terbentuk akibat perasaan terasingnya gereja dari pembentukan negara sekuler di Eropa, yang disebabkan menurunnya kekuasaan gereja secara drastis. Namun di Inggris dan di Amerika Serikat hal demikian tak terjadi. Di Inggris, dari lima faktor yang saya kemukakan di atas, ada empat faktor yang dominan, namun faktor kelima, yakni persepsi bahwa pemerintah bertentangan dengan gereja itu tak ada. Mengapa? Karena di Inggris proses pembentukan negara sekuler merupakan evolusi, di mana kekuasaan gereja memang sudah sejak lama dikurangi, pertama-tama melalui aksi Raja Henry VIII yang memutuskan hubungan dengan Vatikan, disusul dengan rezim otoriter Oliver Cromwell. Kedua kasus tersebut memaksa gereja Kristen untuk melakukan negosiasi dengan negara, dan gereja akhirnya dirangkul negara dan pada akhirnya gereja pun turut berperan dalam pembentukan demokrasi di Inggris. Di Eropa seperti kita lihat, Paus tetap menjadi sebuah alternatif dari kepala gereja - dan tak diakui negara, sehingga muncul kerenggangan antara gereja dan negara.
Di Amerika Serikat dari kelima faktor di atas, faktor ketiga dan kelima tak ada. Gereja di Amerika Serikat terpecah kepada puluhan aliran dan negara sudah sejak pertama menyatakan bahwa ia tak akan ikut campur urusan gereja dan gereja pun tak mencampuri urusan negara - yang secara otomatis artinya gereja memiliki kebebasan. Unsur lainnya yang mempengaruhi faktor kelima adalah gereja di Amerika Serikat cenderung baru, dan tak memiliki banyak kekuasaan seperti di Eropa. Karena lemahnya gereja di Amerika Serikat dan juga karena gereja sudah sejak pertama dirangkul dalam pembentukan negara sekuler, maka tak ada rasa kekecewaan. Kalaupun ada kekecewaan dari gereja kepada negara, kekecewaan tersebut sulit terwujudkan sebagai sebuah partai karena posisi gereja sendiri yang sangat terbelah. Sewaktu gereja memaklumkan "partai Kristen," muncul pertanyaan: Kristen apa? Metodis? Presbiterian? Baptis?
Faktor keenam berperan cukup penting di Amerika Serikat, yakni sistem presidensil, di mana sistem ini menyebabkan jumlah partai mengalami penyusutan ke arah dua partai dominan. Mengapa? Dalam sistem parlementer, pemerintah perlu mendapatkan dukungan sebagian besar parlemen untuk membentuk pemerintahan (50+%), namun dalam sistem presidensil, presiden bisa berasal dari partai yang tak memiliki mayoritas. Misalnya saja sewaktu Presiden Clinton berkuasa (1993-2000), sejak 1994 Partai Demokrat sebetulnya adalah partai minoritas dalam kongres (parlemen) Amerika Serikat. Karena itu terjadi pemusatan suara ke arah dua partai dominan, karena partai-partai kecil tak akan mendapatkan pengaruh dalam pemerintahan. Karena itulah juga maka tak ada partai Kristen di Amerika. Sistem politiknya tak memungkinkan berkembangnya partai-partai kecil. Kalaupun ada partai kecil (seperti Hijau, Independen, Reform, dsb), kebanyakan penduduk Amerika Serikat sama sekali tak mengetahuinya atau tak memperhitungkannya dalam kalkulasi politiknya.
Dari analisa tentang ke-Kristenan di Eropa, terlihat kelima faktor yang saya sebutkan di atas sangat penting untuk pembentukan partai Kristen di Eropa, dan faktor keenam hanya berperan di Amerika Serikat. Sekarang, mari kita coba bandingkan dengan Indonesia.
Di Indonesia, dari lima faktor yang menyokong pembentukan Partai Kristen, hanya faktor kelima yang ada. Faktor pertama: hanya sekitar 10% penduduk Indonesia beragama Kristen, bandingkan dengan Eropa yang mayoritas Kristen (walaupun Kristen KTP). Untuk faktor kedua juga cukup dipertanyakan: dari 100% orang Kristen, sangat diragukan kalau 50%-nya sangat taat. Sebagian mungkin tak setuju, menyatakan bahwa faktor pertama dan kedua ada di Indonesia dan faktor kedua sendiri sulit sekali untuk disalahkan atau dibenarkan.
Baiklah, untuk meneruskan argumen ini, mari kita anggap faktor pertama dan kedua ada, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana mengubah faktor pertama yang ada di Indonesia ini (10+% dari populasi) menjadi suara di parlemen, sedangkan faktor ketiga, dan keempat yang sangat penting dan kritis sangat kurang. Faktor ketiga adalah ada satu institusi gereja yang bisa dianggap mewakili orang-orang Kristen, di mana dalam contoh saya diatas adalah gereja Katolik. Namun di Indonesia, siapakah gereja? Tak adea satu kesatuan gereja: gereja Bethany tak akan mau diwakili gereja Reform, dan gereja Reform tak akan mau diwakili Injili, dan seterusnya. Gereja terlalu terpecah untuk dijadikan sebagai wadah atau tempat untuk memulai usaha pembentukan partai Kristen. Faktor keempat juga tak ada di Indonesia, yakni organisasi-organisasi massa yang melayani kebutuhan dan menampung aspirasi massa, seperti serikat buruh Kristen. Gereja di Indonesia jarang sekali yang terjun dan terlibat langsung dalam membela masyarakat miskin, sehingga masyarakat pun tak merasa butuh atau paling tidak berhutang budi kepada gereja dan organisasi Kristen.
Intinya, partai Kristen di Indonesia muncul akibat adanya factor kelima, namun tak seperti partai-partai Kristen di Eropa, factor pendukung yang bisa membuat partai Kristen menjadi besar dan berpengaruh di Indonesia tidak ada atau mungkin sangat minim, dari jumlah penduduk, ketaatan, maupun yang paling penting adalah persatuan (persetuijuan gereja untuk berbicara dengan satu suara) dan berakarnya gerja sendiri dalam aksi masyarakat. Keempat factor tersebut sangat minim di Indonesia.
Partai Kristen bisa memiliki masa depan di Indonesia, namun perlu usaha keras untuk menggalang factor ketiga dan keempat yang telah saya sebutkan di atas, dan selama faktor ketiga dan keempat tidak diperbaiki – yakni usaha untuk mempersatukan gereja ke satu organisasi yang bisa mewakili suara seluruh gereja dan suara orang-orang Kristen dan adanya gerakan untuk membantu rakyat miskin dan secara bersamaan membuat gereja relevan dan dibutuhkan rakyat, maka tak ada masa depan partai Kristen di Indonesia.
No comments:
Post a Comment